Yohanes Sehandi **
Majalah Mutiara (Jakarta) edisi Nomor 347, 22 Mei--4 Juni 1985
DALAM dunia kritik sastra Indonesia modern, nama Dami N. Toda termasuk kritikus sastra Indonesia yang diperhitungkan setelah nama kritikus besar Indonesia, H.B. Jassin, mulai meredup pengaruhnya. Di samping nama Dami N. Toda, ada kritikus sastra Indonesia lain yang juga berbobot, antara lain Umar Junus, Hary Aveling, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.
Di tengah ributnya masyarakat sastra Indonesia mempertanyakan kehadiran novel-novel absurd karya Iwan Simatupang, puisi-puisi suasana mistik milik Sutardji Calzoum Bachri, dan teater mini kata W.S. Rendra, di saat itulah Dami N. Toda tampil ke permukaan, menjembatani masyarakat sastra Indonesia dengan karya-karya sastra Indonesia modern yang “sarat” diwarnai dengan bentuk-bentuk pengucapan yang baru. Karya-karya Dami N. Toda berupa kritik sastra terhadap bentuk-bentuk pengucapan baru itu terhimpun dalam buku yang diresensi ini. Buku ini berjudul Hamba-Hamba Kebudayaan (1984), diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, dengan tebal 166 halaman.
Catatan: Dami N. Toda lahir pada 29 September 1942 di Pongkor, Manggarai, Flores, meninggal dunia pada 10 November 2006 di Hamburg, Jerman. Karya-karya kritik sastra Dami dalam bentuk buku, antara lain: Puisi-Puisi Goenawan Mohamad (berisi telaah/kritik sastra, 1975), Novel Baru Iwan Simatupang (skripsi sarjana UI, berupa telaah/kritik sastra, 1980), dan Hamba-Hamba Kebudayaan (himpunan kritik sastra dari berbagai media, 1984). Dami pun mengumpulkan cerpen Iwan Simatupang yang tercecer dalam satu kumpulan cerpen dengan judul Tegak Lurus dengan Langit (1983). Puisi-puisi Dami dapat dinikmati dalam buku antologi puisi Penyair Muda di Depan Forum (1974) dan Tonggak III (Editor Linus Suryadi AG, 1987), serta kumpulan puisi pribadinya berjudul Buru Abadi (2005).
Buku berbobot dengan gambar kover motif tenunan ikat daerah ini, berisi 11 artikel kritik sastra Dami yang telah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar di Indonesia. Ke-11 artikel kritik sastra itu adalah (1) Kesibukan Hamba-Hamba Kebudayaan; (2) Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam; (3) Teater Baru Indonesia; (4) Catatan Teoretik Sekitar Penciptaan Novel 1970-an; (5) Iwan Simatupang (1928-1970), Manusia Hotel Salak Kamar 52; (6) Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia; (7) Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir; (8) Pada “Malam Chairir Anwar” KNPI Pusat, 29 April 1980; (9) Menonton dan Mendengar Puisi Konkret; (10) Willy yang Mencari, Terluka, dan Berang; dan (11) Puisi-Puisi Luka Sutardji Calzoum Bachri.
Lewat artikel-artikel yang berbobot dalam buku ini, kritikus sastra Dami N. Toda menemu dan mengungkapkan “kebaruan-kebaruan” estetika sastra Indonesia modern, baik dalam penciptaan novel dan puisi, maupun dalam penciptaan teater atau drama. Untuk itu, Dami memusatkan perhatian pada karya-karya Iwan Simatupang (novel), Sutardji Calzoum Bachri (puisi), dan karya-karya W.S. Rendra (teater).
Dalam menelaah karya-karya sastra itu, Dami N. Toda sengaja menghindari penerapan metode kritik sastra tertentu, karena menurut Dami suatu metode belum tentu dapat dengan utuh menelusuri keunikan suatu karya sastra. Bagi Dami, kritik sastra yang baik perlu cara kerja intrinsik dan ekstrinsik. Di samping kritik sastra bergulat dengan isi dan bentuk dari dunia yang ditemukan pengarang, juga harus menghubungkan cakrawala sastra dengan cakrawala luar sastra yang memungkinkan nilai karya sastra itu komunikatif.
Pada waktu menelaah novel-novel absurd (eksistensial) Iwan Simatupang, Dami terlebih dahulu menelusuri secara mendalam kehidupan pribadi Iwan, kemudian barulah diungkapkan wawasan esetetika karya-karya sastra Iwan. Novel-novel Iwan mengangkat pembacanya ke dunia tak berbenda, dunia spiritual, tak terpahamkan, dan penuh relativisme, karena yang tampak hanya bayang-bayang imajinasi belaka. Realitas imajinasi ini tak berbentuk, tidak mempunyai awal, tengah, dan akhir.
Tokoh-tokoh dalam novel Iwan Simatupang bukan lagi tokoh fisik, seperti dicirikan berpsikologi darah dan daging seperti halnya pada teori novel lama yang hanya terbatas pada realitas formal saja. Karena dalam novel Iwan terjadi perubahan hakikat tokoh, maka konsekuensi logisnya terjadi pula perubahan pada nama tokoh, wawasan alur, dan juga dalam hal latar atau setting. Akhirnya Dami menyatakan penilaian, novel-novel Iwan membawa “kebaruan” estetika penciptaan novel dalam sastra Indonesia modern.
Di samping menelaah novel-novel Iwan, Dami N. Toda mengupas dengan cukup kritis kebaruan estetika perpuisian Indonesia modern, terutama kebaruan yang terdapat dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Menurut Dami, sejak lahirnya kesusastraan Indonesia modern (sekitar tahun 1920-an), baru ada dua “titik ekstrim” dalam wawasan estetika perpuisian Indonesia sampai dengan saat ini (1984). Titik ekstrim pertama berasal dari Chairil Anwar (muncul tahun 1940-an), dan titik ekstrim kedua berasal dari Sutardji Calzoum Bachri (muncul tahun 1970-an).
Chairil Anwar bertolak dari “kepercayaan” pada kekuatan kata yang membentuk puisi. Sebaliknya, Sutardji bertolak dari “penampikan kata” sebagai alat rasional estetika satu-satunya, sambil memberikan kepercayaan kepada daya fantasi. Menurut Dami, dalam menulis puisi Sutardji sangat cermat memperhitungkan elemen kata konvensional yang otonom, kata buntungan, elemen bunyi, bahkan tanda-tanda baca, dan cara menuliskan kata-kata. Dengan gigih Dami mempertahankan pendapatnya bahwa kesadaran terhadap kemandirian elemen-elemen tersebut merupakan “dasar kreativitas berkarya” penyair Sutardji Calzoum Bachri, bukan sekadar kegenitan licentia poetica!
Dalam artikel yang berjudul “Teater Baru Indonesia,” Dami N. Toda mencoba mengungkapkan pertumbuhan teater/drama di Indonesia, dan mendasarkan telaahnya pada karya-karya W.S. Rendra, baik karya asli (Bipbop, Peristiwa Sehari-Hari) maupun karya asing yang disutradarai khas Rendra sendiri (Oedipus Raja, Hamlet, Macbeth, Menunggu Godot, dan Kasidah Berzanji). Analisis Dami terpusat pada “faktor aktor” di atas pentas.
Aktor dalam drama-drama Rendra, menurut Dami bukanlah mesin kata-kata. Tetapi dialah artis. Di atas segala-galanya, aktorlah yang menjadi pusat. Bertolak dari tinjauan yang demikian itu, maka pada akhirnya Dami berkesimpulan bahwa kehadiran teater Rendra di Indonesia merupakan kehadiran “teater baru” yang harus diakui sebagai “pembuka mata” terhadap pengertian teater yang sesungguhnya.
Kesan yang kita dapatkan setelah membaca buku kumpulan kritik sastra Dami N. Toda ini adalah kekritisan, keorisinalan, dan keluasan wawasan sastra dan filsafat Dami N.Toda dalam mencari, menemukan, dan mengungkapkan “kebaruan-kebarauan” estetika dalam karya sastra Indonesia modern, terutama dalam penciptaan novel, puisi, dan teater. Pandangan Dami N. Toda dalam buku Hamba-Hamba Kebudayaan ini mengukuhkan dirinya sebagai kritikus sastra Indonesia modern yang patut diperhitungkan setelah kritikus besar Indonesia, H.B. Jassin mulai meredup pengaruhnya. *
*) Artikel resensi buku ini disusun 26 tahun yang lalu dan sudah dimuat dalam Majalah Mutiara (Jakarta) edisi Nomor 347, 22 Mei--4 Juni 1985. Sengaja ditampilkan kembali di sini (dengan sedikit penambahan) sebagai “bentuk rasa hormat” saya kepada Dami N. Toda, seorang sastrawan Indonesia modern (yang juga sastrawan NTT) yang pada 10 November 2011 genap 5 tahun meninggal dunia).
**) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2011/12/hamba-kebudayaan-dami-n-toda.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar