Rabu, 09 November 2011

LAHIR KEMBALI SETELAH ‘MATI’ DI BALIK JERUJI

Leila S.Chudori
http://majalah.tempointeraktif.com/

INI adalah sebuah suara dari “sebelah sana”. Setelah 32 tahun “mereka”— karena Orde Baru memaksa kita untuk membelah manusia menjadi “kita” dan “mereka”—dibungkam suaranya dan “dibunuh” kehidupannya, mereka “lahir” kembali melalui sebuah suara: buku.
Merajut Harkat adalah cara Putu Oka Sunanta bertutur, sebelum dan sesudah ia keluar dari jeruji penjara. Dan Mawa, meski ini adalah sebuah karya fiksi, adalah sebuah alter-ego sang penulis. Karena itu, selain kisah dari balik jeruji dan penyiksaan yang tentu saja menarik karena dikisahkan oleh orang yang mengalaminya sendiri, novel ini memperlihatkan keunggulan penggambaran sebuah karakter yang kompleks dan rumit.

Bagaimana novel sepanjang 590 halaman menggali sosok seorang Mawa? Novel ini dibuka dengan adegan Mawa, sang tokoh utama, yang dikepung oleh rasa takut; suatu perasaan yang terus-menerus menyelimuti mereka yang merasa anggota PKI—dan anggota ormas-ormasnya—keluarga, teman, tetangga, kekasih, atau bahkan mereka yang cuma pernah bersimpati dan mampir sekali-dua kali di pertemuan-pertemuan itu.

Pada masa itu, seperti yang pernah diutarakan dalam karya Umar Kayam, Bawuk dan Musim Gugur di Connecticut, wilayah kelabu—the gray area—tak boleh eksis. Komunis atau bukan. Hitam atau putih. Ini memudahkan cara pencidukan. Lalu, siapakah Mawa? Dia mengaku terlibat dalam salah satu ormas (Lekra?), tetapi dia bukan PKI.

Seperti banyak korban lain, ia juga tak paham apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September itu. Ini ditunjukkan oleh Putu Oka dengan sikap kritis Mawa terhadap PKI: “Ketika selebaran pertama sampai di tangan Mawa, ia senang sekali membacanya. Isinya mengkritik pimpinan PKI yang sudah menyeleweng sehingga terjadi kesalahan prinsipiil.…”

Kritik Mawa lainnya adalah bahwa ia merasa betapa sibuknya para elite politik di atas memperebutkan posisi, sementara darah telah mengalir deras. “Rakyat telah dibantai di mana-mana, pimpinan malah bercongkrah memperebutkan takhta dan saling tuding dengan mengibaskan tanggung jawab dari bahunya sendiri. Aku heran dan simpatiku semakin susut,” ia berbisik kepada dirinya sendiri. (halaman 33)

Dengan demikian, PKI atau bukan, Lekra atau bukan, Mawa adalah sosok kelabu yang tidak dengan serta-merta bergumul dengan ideologi secara fanatik. Dia adalah seorang seniman yang selalu mempertanyakan sikap diri dan lingkungannya. Dia menolak untuk mengedarkan dan membuat sajak di buletin organisasinya. Dia tak ingin dipesan. “Aku tidak punya kesediaan bekerja seperti itu, apalagi menulis sajak. Aku kreator!” (halaman 38)

Bagian lain yang menegangkan adalah tema pengkhianatan yang senantiasa muncul dalam kisah-kisah dari balik tembok penjara. Siapa menunjuk siapa, siapa membisikkan siapa kemudian menjadi cara bertahan yang sungguh menyedihkan. Tetapi, apakah benar si A yang menunjuk si B? Siapakah yang bisa dikategorikan pengkhianat?

Novel ini, seperti juga novel Martin Aleida, menunjukkan betapa rumitnya untuk menyatakan definisi seorang pengkhianat. Para pengawal bisa saja tiba-tiba membawa tahanan ke rumah temannya dan dalam sekejap tahanan itu sudah diberi label pengkhianat. Dalam kasus Mawa, “tukang tik di kantor ormas”-nya dinyatakan sebagai “tukang tunjuk”.

Pertengkaran demi pertengkaran sesama tahanan yang terjadi beberapa kali—dan digambarkan dengan hidup—menunjukkan bahwa para anggota PKI atau simpatisannya itu juga tak bisa dikelompokkan sebagai satu kelompok yang homogen. Mereka juga terdiri dari satu garis spektrum luas yang memiliki pemikiran dan keinginan yang berbeda-beda.

Tokoh Budi adalah contoh anggota PKI yang setia kepada partai dan bercita-cita “melawan imperialis yang wakil-wakilnya ada di kamar pemeriksaan”, sementara Risno dianggap sebagai anggota partai yang cengeng karena dengan terbuka menyatakan kerinduannya kepada istrinya.

Tokoh Pak Listiono (Pak Uban) menyarankan Mawa untuk mencegah upaya bunuh diri salah seorang rekan pendiri gerakan PKI—sesudah dilarang—karena “mati dengan cara bunuh diri adalah mati yang tidak terhormat. Sedangkan di depan kita masih banyak jalan yang bisa ditempuh, yakni dengan melarikan diri, jika ditembak itu lebih patriotik daripada bunuh diri”.

Selain itu, penyiksaan fisik, di mata Pak Uban, “akan memberikan arti politis bagi partai dan kader-kader yang meneruskan perjuangan. Orang akan memuji pengorbanannya dan sejarah akan mencatatnya sebagai pahlawan gerakan komunis Indonesia”. Mendengar ungkapan “sesepuh”-nya itu, reaksi Mawa: merinding dan bertanya: “inikah seorang komunis yang sebenarnya?”

Maka, sangat jelas, Mawa adalah seorang pribadi yang jauh lebih merdeka dan kritis terhadap fanatisme ideologis yang tengah berkecamauk pada masa itu. Meski ia menentang kapitalisme dan imperialisme—sebagai orang yang memang dekat dengan kemiskinan—Mawa tak seiring dan sejalan dengan ekstremitas yang dianut Pak Uban, sebuah sikap yang kemudian mengorbankan kemanusiaan demi kepentingan sebuah partai.

Karena itu, tak mengherankan bahwa Mawa, seperti manusia biasa lainnya, juga memiliki rasa takut yang mendalam. Dia tak berpretensi menjadi perkasa saat dikejar-kejar dan dibuntuti sebelum masa penangkapannya. Adalah Nio, sang kekasih, yang justru mengirim rasa aman dan keberanian kepada Mawa.

Di dalam penjara yang gelap itu, dengan menggunakan teknik kilas balik, Putu Oka menampilkan lukisan sebuah pertemuan yang mengharukan antara sepasang kekasih itu. Nio menekankan bahwa sesungguhnya rasa takut diciptakan oleh diri sendiri.

“Bukankah kita sendiri yang membikin ketakutan itu? Saya takut akan gerakan rasialis. Saya takut kepada gambaran yang saya bikin sendiri, walau itu mungkin saja terjadi. Tetapi, sekarang saya tidak takut lagi. Kalaupun terjadi rasialisme dan itu menyerang saya, tidak ada jalan lain kecuali melawan. Melawan atau tidak melawan akibatnya sama.”

Bagian lain yang menyentuh adalah bagaimana sebuah keluarga bisa terbelah oleh ideologi yang berbeda. Seperti cerita pendek Bawuk karya umar Kayam, ketika Bawuk merasa ditempatkan di seberang versus kakak-kakaknya karena perkawinannya dengan Hasan yang PKI itu, Mawa juga merasa dirinya pada masa kecil terpaksa “pecah” dengan kakaknya akibat perbedaan sikap. Sang kakak menentang Pemuda Rakyat, yang seenaknya menanami tanah milik orang, sementara Mawa menolak untuk bergabung dengan kelompok mana pun.

“Apakah kakakku ikut juga mengayunkan kelewang memenggal saudara-saudaraku yang berseberangan itu?”(halaman 523) demikian pikir Mawa. Bagaimanapun, membaca kisah penderitaan sepanjang 590 halaman itu tentu saja membutuhkan kesabaran dan konsentrasi yang luar biasa penuh karena, seperti diutarakan Melani Budianta dalam kata pengantar, narasi novel ini tidak terjalin dalam satu kesatuan mood yang utuh.

“Terkadang narasi-narasi diolah dengan puitis dan reflektif, terkadang romantis sendu, sedangkan bagian-bagian lain yang terpanjang merupakan rentetan laporan monoton tentang suatu hidup yang keras, bau kencing dan berak yang menyengat, dan penuh sumpah-serapah.”

Seperti teknik penulisan novel-novel Inggris abad ke-19, novel Merajut Harkat penuh dengan repetisi adegan-adegan interogasi dan penyiksaan, yang memakan berpuluh-puluh halaman. Terkadang teknik semacam itu efektif, seperti juga pengulangan adegan penyiksaan para buruh oleh tuannya dalam novel-novel Charles Dickens, tetapi lebih sering menjadi monoton bagai dipaksa mengendarai kereta api tua yang berderak lamban.

Dari kebrutalan demi kebrutalan yang diolah, misalnya deskripsi penyimpanan tawanan perempuan dan istri anggota BC (Biro Chusus) yang diperkosa enam petugas, yang tentu saja menghunjam adalah gambaran bahwa mungkin hanya penulis yang pernah mengalami pengalaman hitam semacam ini yang mampu merepresentasikan sebuah kejujuran seperti itu, terlepas dari daya olah estetikanya yang menjadi periferal.

Putu mengakhiri novelnya dengan sebuah penyelesaian yang terbuka. Pada akhirnya, Mawa mampu mencapai suatu tahap pemikiran ketika kebebasan bukanlah kebebasan fisik semata.

“Jiwanya masuk ke dalam raga orang-orang di pasar. Ia melangkah sendiri ke tepi pasar, berjumpa tukang becak, dan jiwanya merasuk ke tubuh tukang becak. Ia sendiri sudah tidak bisa lagi mengenali dirinya. Tubuhnya berjalan dengan pasti dan bergegas, tapi rohnya sudah lepas melayang menyelinap di tubuh orang-orang yang dilihatnya. Ia lenyap tapi hidup.…

Ia memanjat langit, menunggang mega, diembus angin. “Aku membebaskan kemanusiaanku.” Putu membuat sebuah tekanan yang penting. Tokoh Mawa lahir kembali sebagai seorang manusia yang bebas jiwa dan raga, meski ada jeruji yang mencengkeramnya.

30 Agustus 1999

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito