Leila S.Chudori
http://majalah.tempointeraktif.com/
INI adalah sebuah suara dari “sebelah sana”. Setelah 32 tahun “mereka”— karena Orde Baru memaksa kita untuk membelah manusia menjadi “kita” dan “mereka”—dibungkam suaranya dan “dibunuh” kehidupannya, mereka “lahir” kembali melalui sebuah suara: buku.
Merajut Harkat adalah cara Putu Oka Sunanta bertutur, sebelum dan sesudah ia keluar dari jeruji penjara. Dan Mawa, meski ini adalah sebuah karya fiksi, adalah sebuah alter-ego sang penulis. Karena itu, selain kisah dari balik jeruji dan penyiksaan yang tentu saja menarik karena dikisahkan oleh orang yang mengalaminya sendiri, novel ini memperlihatkan keunggulan penggambaran sebuah karakter yang kompleks dan rumit.
Bagaimana novel sepanjang 590 halaman menggali sosok seorang Mawa? Novel ini dibuka dengan adegan Mawa, sang tokoh utama, yang dikepung oleh rasa takut; suatu perasaan yang terus-menerus menyelimuti mereka yang merasa anggota PKI—dan anggota ormas-ormasnya—keluarga, teman, tetangga, kekasih, atau bahkan mereka yang cuma pernah bersimpati dan mampir sekali-dua kali di pertemuan-pertemuan itu.
Pada masa itu, seperti yang pernah diutarakan dalam karya Umar Kayam, Bawuk dan Musim Gugur di Connecticut, wilayah kelabu—the gray area—tak boleh eksis. Komunis atau bukan. Hitam atau putih. Ini memudahkan cara pencidukan. Lalu, siapakah Mawa? Dia mengaku terlibat dalam salah satu ormas (Lekra?), tetapi dia bukan PKI.
Seperti banyak korban lain, ia juga tak paham apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September itu. Ini ditunjukkan oleh Putu Oka dengan sikap kritis Mawa terhadap PKI: “Ketika selebaran pertama sampai di tangan Mawa, ia senang sekali membacanya. Isinya mengkritik pimpinan PKI yang sudah menyeleweng sehingga terjadi kesalahan prinsipiil.…”
Kritik Mawa lainnya adalah bahwa ia merasa betapa sibuknya para elite politik di atas memperebutkan posisi, sementara darah telah mengalir deras. “Rakyat telah dibantai di mana-mana, pimpinan malah bercongkrah memperebutkan takhta dan saling tuding dengan mengibaskan tanggung jawab dari bahunya sendiri. Aku heran dan simpatiku semakin susut,” ia berbisik kepada dirinya sendiri. (halaman 33)
Dengan demikian, PKI atau bukan, Lekra atau bukan, Mawa adalah sosok kelabu yang tidak dengan serta-merta bergumul dengan ideologi secara fanatik. Dia adalah seorang seniman yang selalu mempertanyakan sikap diri dan lingkungannya. Dia menolak untuk mengedarkan dan membuat sajak di buletin organisasinya. Dia tak ingin dipesan. “Aku tidak punya kesediaan bekerja seperti itu, apalagi menulis sajak. Aku kreator!” (halaman 38)
Bagian lain yang menegangkan adalah tema pengkhianatan yang senantiasa muncul dalam kisah-kisah dari balik tembok penjara. Siapa menunjuk siapa, siapa membisikkan siapa kemudian menjadi cara bertahan yang sungguh menyedihkan. Tetapi, apakah benar si A yang menunjuk si B? Siapakah yang bisa dikategorikan pengkhianat?
Novel ini, seperti juga novel Martin Aleida, menunjukkan betapa rumitnya untuk menyatakan definisi seorang pengkhianat. Para pengawal bisa saja tiba-tiba membawa tahanan ke rumah temannya dan dalam sekejap tahanan itu sudah diberi label pengkhianat. Dalam kasus Mawa, “tukang tik di kantor ormas”-nya dinyatakan sebagai “tukang tunjuk”.
Pertengkaran demi pertengkaran sesama tahanan yang terjadi beberapa kali—dan digambarkan dengan hidup—menunjukkan bahwa para anggota PKI atau simpatisannya itu juga tak bisa dikelompokkan sebagai satu kelompok yang homogen. Mereka juga terdiri dari satu garis spektrum luas yang memiliki pemikiran dan keinginan yang berbeda-beda.
Tokoh Budi adalah contoh anggota PKI yang setia kepada partai dan bercita-cita “melawan imperialis yang wakil-wakilnya ada di kamar pemeriksaan”, sementara Risno dianggap sebagai anggota partai yang cengeng karena dengan terbuka menyatakan kerinduannya kepada istrinya.
Tokoh Pak Listiono (Pak Uban) menyarankan Mawa untuk mencegah upaya bunuh diri salah seorang rekan pendiri gerakan PKI—sesudah dilarang—karena “mati dengan cara bunuh diri adalah mati yang tidak terhormat. Sedangkan di depan kita masih banyak jalan yang bisa ditempuh, yakni dengan melarikan diri, jika ditembak itu lebih patriotik daripada bunuh diri”.
Selain itu, penyiksaan fisik, di mata Pak Uban, “akan memberikan arti politis bagi partai dan kader-kader yang meneruskan perjuangan. Orang akan memuji pengorbanannya dan sejarah akan mencatatnya sebagai pahlawan gerakan komunis Indonesia”. Mendengar ungkapan “sesepuh”-nya itu, reaksi Mawa: merinding dan bertanya: “inikah seorang komunis yang sebenarnya?”
Maka, sangat jelas, Mawa adalah seorang pribadi yang jauh lebih merdeka dan kritis terhadap fanatisme ideologis yang tengah berkecamauk pada masa itu. Meski ia menentang kapitalisme dan imperialisme—sebagai orang yang memang dekat dengan kemiskinan—Mawa tak seiring dan sejalan dengan ekstremitas yang dianut Pak Uban, sebuah sikap yang kemudian mengorbankan kemanusiaan demi kepentingan sebuah partai.
Karena itu, tak mengherankan bahwa Mawa, seperti manusia biasa lainnya, juga memiliki rasa takut yang mendalam. Dia tak berpretensi menjadi perkasa saat dikejar-kejar dan dibuntuti sebelum masa penangkapannya. Adalah Nio, sang kekasih, yang justru mengirim rasa aman dan keberanian kepada Mawa.
Di dalam penjara yang gelap itu, dengan menggunakan teknik kilas balik, Putu Oka menampilkan lukisan sebuah pertemuan yang mengharukan antara sepasang kekasih itu. Nio menekankan bahwa sesungguhnya rasa takut diciptakan oleh diri sendiri.
“Bukankah kita sendiri yang membikin ketakutan itu? Saya takut akan gerakan rasialis. Saya takut kepada gambaran yang saya bikin sendiri, walau itu mungkin saja terjadi. Tetapi, sekarang saya tidak takut lagi. Kalaupun terjadi rasialisme dan itu menyerang saya, tidak ada jalan lain kecuali melawan. Melawan atau tidak melawan akibatnya sama.”
Bagian lain yang menyentuh adalah bagaimana sebuah keluarga bisa terbelah oleh ideologi yang berbeda. Seperti cerita pendek Bawuk karya umar Kayam, ketika Bawuk merasa ditempatkan di seberang versus kakak-kakaknya karena perkawinannya dengan Hasan yang PKI itu, Mawa juga merasa dirinya pada masa kecil terpaksa “pecah” dengan kakaknya akibat perbedaan sikap. Sang kakak menentang Pemuda Rakyat, yang seenaknya menanami tanah milik orang, sementara Mawa menolak untuk bergabung dengan kelompok mana pun.
“Apakah kakakku ikut juga mengayunkan kelewang memenggal saudara-saudaraku yang berseberangan itu?”(halaman 523) demikian pikir Mawa. Bagaimanapun, membaca kisah penderitaan sepanjang 590 halaman itu tentu saja membutuhkan kesabaran dan konsentrasi yang luar biasa penuh karena, seperti diutarakan Melani Budianta dalam kata pengantar, narasi novel ini tidak terjalin dalam satu kesatuan mood yang utuh.
“Terkadang narasi-narasi diolah dengan puitis dan reflektif, terkadang romantis sendu, sedangkan bagian-bagian lain yang terpanjang merupakan rentetan laporan monoton tentang suatu hidup yang keras, bau kencing dan berak yang menyengat, dan penuh sumpah-serapah.”
Seperti teknik penulisan novel-novel Inggris abad ke-19, novel Merajut Harkat penuh dengan repetisi adegan-adegan interogasi dan penyiksaan, yang memakan berpuluh-puluh halaman. Terkadang teknik semacam itu efektif, seperti juga pengulangan adegan penyiksaan para buruh oleh tuannya dalam novel-novel Charles Dickens, tetapi lebih sering menjadi monoton bagai dipaksa mengendarai kereta api tua yang berderak lamban.
Dari kebrutalan demi kebrutalan yang diolah, misalnya deskripsi penyimpanan tawanan perempuan dan istri anggota BC (Biro Chusus) yang diperkosa enam petugas, yang tentu saja menghunjam adalah gambaran bahwa mungkin hanya penulis yang pernah mengalami pengalaman hitam semacam ini yang mampu merepresentasikan sebuah kejujuran seperti itu, terlepas dari daya olah estetikanya yang menjadi periferal.
Putu mengakhiri novelnya dengan sebuah penyelesaian yang terbuka. Pada akhirnya, Mawa mampu mencapai suatu tahap pemikiran ketika kebebasan bukanlah kebebasan fisik semata.
“Jiwanya masuk ke dalam raga orang-orang di pasar. Ia melangkah sendiri ke tepi pasar, berjumpa tukang becak, dan jiwanya merasuk ke tubuh tukang becak. Ia sendiri sudah tidak bisa lagi mengenali dirinya. Tubuhnya berjalan dengan pasti dan bergegas, tapi rohnya sudah lepas melayang menyelinap di tubuh orang-orang yang dilihatnya. Ia lenyap tapi hidup.…
Ia memanjat langit, menunggang mega, diembus angin. “Aku membebaskan kemanusiaanku.” Putu membuat sebuah tekanan yang penting. Tokoh Mawa lahir kembali sebagai seorang manusia yang bebas jiwa dan raga, meski ada jeruji yang mencengkeramnya.
30 Agustus 1999
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar