Ahmad Zaini*
http://sastra-indonesia.com/
Di depan beranda rumah, nenek duduk santai sembari mengelus rambutmemutih yang disimpul menjadi sanggul. Sambil memandang suasana sore iamengecapi sirih yang sudah hampir lembut. Ludah yang bercampur dengan sirih, neneksemprotkan ke tanah. Warna merah seperti darah menodai tanah di sekitar tempat duduknya.
“Ayo, Nek masuk ke rumah! Hari sudah senja,” seruku padanya.
“Nanti dulu. Saya masihmenikmati suasana senja,” jawabnya sambil tiada henti menyirih. Aku membiarkandia yang sedang asyik menyirih di tengah terpaan angin senja.
Usia selanjut dia memang tidakbaik berlama-lama duduk di beranda rumah. Daya tahan fisiknya yang menurun akan memudahkanangin malam menggerogoti tubuhnya. Dan biasanya akan masuk angin. Nah, jika sudah masuk angin maka yangmuda-muda akan kerepotan. Tapi itulah sifat orang yang sudah tua. Ia akankembali seperti anak kecil. Cengeng dan keras kepala.
“Nek, besok sudah memasukibulan puasa. Jika nanti nenek masuk angin, nenek tidak bisa melaksanakan ibadahpuasa. Mari masuk!” ajakku.
Kali ini permintaanku diadengarkan. Ia berdiri lantas meninggalkan tempat duduknya sambil berpeganganpada dinding rumah. Tubuhnya yang sudah reot tertatih-tatih merayap masuk kerumah. Aku bermaksud membantu dengan memapahnya berjalan. Kedua tangankeriputnya menolak uluran tanganku. Ia bersikeras berjalan sendiri masuk kedalam rumah.
“Eit, aku masih kuat,”katanya.
Menjelang bulan puasa, kitamengadakan selamatan. Kita memohon kepada Allah mudah-mudahan kita diberikesehatan jasmani dan rohani sehingga dapat melaksanakan ibadah puasa dengansempurna. Nenek malam itu duduk di ranjang tidurnya. Dari dalam kamar iamemanggilku. Segera aku masuk ke dalam kamarnya.
“Aku mau ikut selamatan,”katanya.
“Apa, ikut selamatan? Nenek,yang ikut selamatan itu laki-laki. Perempuan seperti nenek ini cukup berdoa dari dalam kamar saja. Nenek tidurlagi biar besok badannya segar dan bisa berpuasa.”
“Eit, tidak mau! Aku akan ikutselamatan!” sanggahnya dengan keras kepala.
Hati kecilku tertawa melihattingkah nenek yang seperti anak kecil. Maka aku biarkan dia berjalansempoyongan keluar kamar mengikuti selamatan.
“Begini saja, Nek! Selamatanini keliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Nenek ikut selamatan kalaugiliran di rumah kita, Nek!”
Dia diam tak meresponkata-kataku. Nenek lantasduduk sambil memandangi serangga malam yang menari-nari mengitari lampu diruang tamu.
“Nek, usia seperti nenek initidak wajib berpuasa. Maka nenek besok tidak usah puasa, ya!” saranku kepadanenek.
“Eit, jangan menganggap sayatidak kuat puasa! Walaupun usiaku sudah tua tetapi saya tidak kalah dengan yangmuda-muda,” katanya dengan nada tinggi.
“Ya, sudahlah kalau begitu! Akantetapi, kalau nenek tidak kuat, ya, jangan memaksakan diri!”
Para warga yang akan selamatansudah berada di depan pintu. Kedatangan mereka menghentikan pembicaraankudengan nenek. Anakku yang mengikuti selamatan langsung menghampiriku sambilmenyodorkan jajan pasar ke pangkuanku. Nenek yang asalnya diam tiba-tiba menggerakkantangannya menyambar jajan yang baru kuterima dari anakku. Anakku tertawaterpingkal-pingkal melihat kelucuan sikap buyutnya.
“Ayo, mari masuk semua!” akumempersilakan para tetangga.
Mereka kemudian masuk danduduk bersila membentuk lingkaran. Nenek yang semula duduk manis sambilmenikmati jajan dari anakku langsung turun. Ia ikut duduk berbaur dengan paratetangga yang sedang melantunkan doa-doa. Perilakunya yang seperti anak kecilmembuat para tetangga terusik kekhusukan doanya. Mereka menahan tawa ketikamelihat nenek yang menggeleng-nggelengkan kepalanya ketika berdoa. Mereka ingatsikap anak-anaknya di rumah ketika mendengar bacaan tahlil.
Usai doa-doa dilantunkan,sebagai tuan rumah saya memberi shadaqah kepada tetangga yang mengikuti acaraselamatan. Sebungkus jajan pasar kubagikan satu persatu. Ketika giliran nenek,jajannya sudah habis. Nenek pun memperlihatkan sikap kekanak-kanakannya. Iamerengek meminta jatah jajan kepadaku. Sontak para tetangga yang ada puntertawa semua. Anak semata wayangku yang kebetulan berada di dekat buyutnya puntak ketinggalan ikut tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap buyutnya. Ia punmengambilkan sebungkus jajan yang ia dapatkan dari rumah tetangga yang lain.
“Ini, Yut!” kata anakku denganmenyodorkan sebungkus jajan.
Nenek langsung berdirisempoyongan. Melihat buyutnya yang hampir jatuh, anakku meraih tangan kanannenek hendak membantunya berdiri.
“Eit, jangan memegangtanganku! Aku masih mampu berdiri,” tolak nenek yang disambut tawa olehtetangga. Dan nenek pun menjauh dari tempat tersebut untuk menikmati jajan yangdiberi oleh anakku.
Malam semakin larut. Riuhrendah suara orang tadarrus telah sepi. saya dan anakku pun lelap dalam tidurpulas. Menjelang makan sahur aku bangun terlebih dahulu untuk mempersiapkanmakan sahur bagi anak dan nenekku. Ketika aku menyalakan saklar lampu,tiba-tiba aku dikejutkan oleh wanita tua renta yang sudah duduk di meja makan.
“Masya Allah, Nek! Sudah bangun?” tanyaku terkejut.
“Iya. Saya kuatir bangun kesiangan dan tidak sempat makan sahur,”jawabnya dengan rada-rada mengantuk.
Aku tertawa geli melihat nenekyang keras kepala seperti itu. Ia tidak percaya kepadaku karena kuatir akutidak membangunkannya untuk makan sahur. Sampai-sampai dia harus bangun lebihdahulu menunggu waktu makan sahur di kursi ruang makan. Lalu aku memasak danmengahangatkan sayur yang sudah kubuat sewaktu hari masih sore. Tak lupa anaksemata wayangku- yang sudah dua tahun tidak bisa menjalankan ibadah puasabersama ayahnya yang pergi merantau ke negeri jiran- aku bangunkan.
“Buyut sudah dibangunkan?”tanya anakku.
“Lha, itu siapa?” jawabkusambil menunjuk ke arah nenek.
Anakku pun tersenyum simpulmenahan gelak tawa.
Seruan makan sahur yangbersahut-sahutan di penghujung malam membuat suasana makan sahur menjadimengasyikkan. Belum lagi tetabuhan anak-anak yang berkeliling kampungmembangunkan warga untuk makan sahur. Mendengar tetabuhan anak-anak yangmelintas di depan rumah, nenek pun langsung berdiri dan memanggut-manggutkankepalanya mengikuti irama yang ia dengar. Aku dan anakku tertawaterpingkal-pingkal.
“Sudah, Nek, sudah! Ayo berdoadan makan sahur bersama-sama!” ajakku.
Dengan lahap nenek menyantapmenu makan sahur pertama di bulan puasa tahun ini. Sayur yang masih mengepulkanasap tak ia hiraukan suhu panasnya.
“Dibiarkan dulu, Nek biartidak panas!”
“Eit, nenek ini jago makanmasakan panas!”
Ketika sesendok nasi dan sayuryang masih mengepulkan asap dimasukkan ke dalam mulut, nenek merasa kepanasan.Mulutnya dibuka lebar-lebar sambil mendesis kepanasan.
“Apa kata saya? Makanya yangsabar!”
Nenek diam tak beranimenunjukkan sikap keras kepalanya.
Fajar telah tiba. Makan danminum sudah diharamkan bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa. Saat siangsudah mencapai puncaknya, aku tidak tega melihat kondisi nenek yang lemah. Akuberusaha membujuknya agar membatalkan puasanya.
“Eit, saya masih kuat!”tolaknya.
Akhirnya aku hanya diammemandangi nenek yang terkulai lemas di kursi depan rumah.
Menjelang berbuka menu bukapuasa sudah kusiapkan di meja makan. Waktu berbuka puasa masih lima belasmenit. Kami sudah berkumpul di ruang makan. Tiba-tiba tangan nenek meraih semangkokkolak kacang hijau yang sudah kuhidangkan di meja makan.
“Eit, belum waktunya!”larangku yang ditertawakan oleh anakku.
Dia spontan menghentikanniatnya yang akan menyeruput kolak kacang hijau. Nenek pun duduk lagi sambilmemandangi menu yang sudah siap makan.
Ketika hari sudah petang danwaktu buka puasa telah tiba, kami pun berbuka puasa dengan menu yang telah akusiapkan. Minum-minuman manis kami dahulukan kemudian memakan nasi secukupnya.Usai berbuka kami pun bersiap-siap menunaikan shalat maghrib di mushallaterdekat.
“Lho, buyutmu mana?” tanyakupada anakku.
Saat kucari kesana kemariternyata dia masih berada di meja makan menghabiskan kolak kacang hijau yangmasih tersisa. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap nenekku yanglucu.
Wanar, 1 Ramadlan1431 H
*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.
http://sastra-indonesia.com/
Di depan beranda rumah, nenek duduk santai sembari mengelus rambutmemutih yang disimpul menjadi sanggul. Sambil memandang suasana sore iamengecapi sirih yang sudah hampir lembut. Ludah yang bercampur dengan sirih, neneksemprotkan ke tanah. Warna merah seperti darah menodai tanah di sekitar tempat duduknya.
“Ayo, Nek masuk ke rumah! Hari sudah senja,” seruku padanya.
“Nanti dulu. Saya masihmenikmati suasana senja,” jawabnya sambil tiada henti menyirih. Aku membiarkandia yang sedang asyik menyirih di tengah terpaan angin senja.
Usia selanjut dia memang tidakbaik berlama-lama duduk di beranda rumah. Daya tahan fisiknya yang menurun akan memudahkanangin malam menggerogoti tubuhnya. Dan biasanya akan masuk angin. Nah, jika sudah masuk angin maka yangmuda-muda akan kerepotan. Tapi itulah sifat orang yang sudah tua. Ia akankembali seperti anak kecil. Cengeng dan keras kepala.
“Nek, besok sudah memasukibulan puasa. Jika nanti nenek masuk angin, nenek tidak bisa melaksanakan ibadahpuasa. Mari masuk!” ajakku.
Kali ini permintaanku diadengarkan. Ia berdiri lantas meninggalkan tempat duduknya sambil berpeganganpada dinding rumah. Tubuhnya yang sudah reot tertatih-tatih merayap masuk kerumah. Aku bermaksud membantu dengan memapahnya berjalan. Kedua tangankeriputnya menolak uluran tanganku. Ia bersikeras berjalan sendiri masuk kedalam rumah.
“Eit, aku masih kuat,”katanya.
Menjelang bulan puasa, kitamengadakan selamatan. Kita memohon kepada Allah mudah-mudahan kita diberikesehatan jasmani dan rohani sehingga dapat melaksanakan ibadah puasa dengansempurna. Nenek malam itu duduk di ranjang tidurnya. Dari dalam kamar iamemanggilku. Segera aku masuk ke dalam kamarnya.
“Aku mau ikut selamatan,”katanya.
“Apa, ikut selamatan? Nenek,yang ikut selamatan itu laki-laki. Perempuan seperti nenek ini cukup berdoa dari dalam kamar saja. Nenek tidurlagi biar besok badannya segar dan bisa berpuasa.”
“Eit, tidak mau! Aku akan ikutselamatan!” sanggahnya dengan keras kepala.
Hati kecilku tertawa melihattingkah nenek yang seperti anak kecil. Maka aku biarkan dia berjalansempoyongan keluar kamar mengikuti selamatan.
“Begini saja, Nek! Selamatanini keliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Nenek ikut selamatan kalaugiliran di rumah kita, Nek!”
Dia diam tak meresponkata-kataku. Nenek lantasduduk sambil memandangi serangga malam yang menari-nari mengitari lampu diruang tamu.
“Nek, usia seperti nenek initidak wajib berpuasa. Maka nenek besok tidak usah puasa, ya!” saranku kepadanenek.
“Eit, jangan menganggap sayatidak kuat puasa! Walaupun usiaku sudah tua tetapi saya tidak kalah dengan yangmuda-muda,” katanya dengan nada tinggi.
“Ya, sudahlah kalau begitu! Akantetapi, kalau nenek tidak kuat, ya, jangan memaksakan diri!”
Para warga yang akan selamatansudah berada di depan pintu. Kedatangan mereka menghentikan pembicaraankudengan nenek. Anakku yang mengikuti selamatan langsung menghampiriku sambilmenyodorkan jajan pasar ke pangkuanku. Nenek yang asalnya diam tiba-tiba menggerakkantangannya menyambar jajan yang baru kuterima dari anakku. Anakku tertawaterpingkal-pingkal melihat kelucuan sikap buyutnya.
“Ayo, mari masuk semua!” akumempersilakan para tetangga.
Mereka kemudian masuk danduduk bersila membentuk lingkaran. Nenek yang semula duduk manis sambilmenikmati jajan dari anakku langsung turun. Ia ikut duduk berbaur dengan paratetangga yang sedang melantunkan doa-doa. Perilakunya yang seperti anak kecilmembuat para tetangga terusik kekhusukan doanya. Mereka menahan tawa ketikamelihat nenek yang menggeleng-nggelengkan kepalanya ketika berdoa. Mereka ingatsikap anak-anaknya di rumah ketika mendengar bacaan tahlil.
Usai doa-doa dilantunkan,sebagai tuan rumah saya memberi shadaqah kepada tetangga yang mengikuti acaraselamatan. Sebungkus jajan pasar kubagikan satu persatu. Ketika giliran nenek,jajannya sudah habis. Nenek pun memperlihatkan sikap kekanak-kanakannya. Iamerengek meminta jatah jajan kepadaku. Sontak para tetangga yang ada puntertawa semua. Anak semata wayangku yang kebetulan berada di dekat buyutnya puntak ketinggalan ikut tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap buyutnya. Ia punmengambilkan sebungkus jajan yang ia dapatkan dari rumah tetangga yang lain.
“Ini, Yut!” kata anakku denganmenyodorkan sebungkus jajan.
Nenek langsung berdirisempoyongan. Melihat buyutnya yang hampir jatuh, anakku meraih tangan kanannenek hendak membantunya berdiri.
“Eit, jangan memegangtanganku! Aku masih mampu berdiri,” tolak nenek yang disambut tawa olehtetangga. Dan nenek pun menjauh dari tempat tersebut untuk menikmati jajan yangdiberi oleh anakku.
Malam semakin larut. Riuhrendah suara orang tadarrus telah sepi. saya dan anakku pun lelap dalam tidurpulas. Menjelang makan sahur aku bangun terlebih dahulu untuk mempersiapkanmakan sahur bagi anak dan nenekku. Ketika aku menyalakan saklar lampu,tiba-tiba aku dikejutkan oleh wanita tua renta yang sudah duduk di meja makan.
“Masya Allah, Nek! Sudah bangun?” tanyaku terkejut.
“Iya. Saya kuatir bangun kesiangan dan tidak sempat makan sahur,”jawabnya dengan rada-rada mengantuk.
Aku tertawa geli melihat nenekyang keras kepala seperti itu. Ia tidak percaya kepadaku karena kuatir akutidak membangunkannya untuk makan sahur. Sampai-sampai dia harus bangun lebihdahulu menunggu waktu makan sahur di kursi ruang makan. Lalu aku memasak danmengahangatkan sayur yang sudah kubuat sewaktu hari masih sore. Tak lupa anaksemata wayangku- yang sudah dua tahun tidak bisa menjalankan ibadah puasabersama ayahnya yang pergi merantau ke negeri jiran- aku bangunkan.
“Buyut sudah dibangunkan?”tanya anakku.
“Lha, itu siapa?” jawabkusambil menunjuk ke arah nenek.
Anakku pun tersenyum simpulmenahan gelak tawa.
Seruan makan sahur yangbersahut-sahutan di penghujung malam membuat suasana makan sahur menjadimengasyikkan. Belum lagi tetabuhan anak-anak yang berkeliling kampungmembangunkan warga untuk makan sahur. Mendengar tetabuhan anak-anak yangmelintas di depan rumah, nenek pun langsung berdiri dan memanggut-manggutkankepalanya mengikuti irama yang ia dengar. Aku dan anakku tertawaterpingkal-pingkal.
“Sudah, Nek, sudah! Ayo berdoadan makan sahur bersama-sama!” ajakku.
Dengan lahap nenek menyantapmenu makan sahur pertama di bulan puasa tahun ini. Sayur yang masih mengepulkanasap tak ia hiraukan suhu panasnya.
“Dibiarkan dulu, Nek biartidak panas!”
“Eit, nenek ini jago makanmasakan panas!”
Ketika sesendok nasi dan sayuryang masih mengepulkan asap dimasukkan ke dalam mulut, nenek merasa kepanasan.Mulutnya dibuka lebar-lebar sambil mendesis kepanasan.
“Apa kata saya? Makanya yangsabar!”
Nenek diam tak beranimenunjukkan sikap keras kepalanya.
Fajar telah tiba. Makan danminum sudah diharamkan bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa. Saat siangsudah mencapai puncaknya, aku tidak tega melihat kondisi nenek yang lemah. Akuberusaha membujuknya agar membatalkan puasanya.
“Eit, saya masih kuat!”tolaknya.
Akhirnya aku hanya diammemandangi nenek yang terkulai lemas di kursi depan rumah.
Menjelang berbuka menu bukapuasa sudah kusiapkan di meja makan. Waktu berbuka puasa masih lima belasmenit. Kami sudah berkumpul di ruang makan. Tiba-tiba tangan nenek meraih semangkokkolak kacang hijau yang sudah kuhidangkan di meja makan.
“Eit, belum waktunya!”larangku yang ditertawakan oleh anakku.
Dia spontan menghentikanniatnya yang akan menyeruput kolak kacang hijau. Nenek pun duduk lagi sambilmemandangi menu yang sudah siap makan.
Ketika hari sudah petang danwaktu buka puasa telah tiba, kami pun berbuka puasa dengan menu yang telah akusiapkan. Minum-minuman manis kami dahulukan kemudian memakan nasi secukupnya.Usai berbuka kami pun bersiap-siap menunaikan shalat maghrib di mushallaterdekat.
“Lho, buyutmu mana?” tanyakupada anakku.
Saat kucari kesana kemariternyata dia masih berada di meja makan menghabiskan kolak kacang hijau yangmasih tersisa. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap nenekku yanglucu.
Wanar, 1 Ramadlan1431 H
*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar