Senin, 17 Oktober 2011

MUHAMMAD YAMIN: PERINTIS PERSATUAN KEINDONESIAAN

Maman S Mahayana*
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya untuk bidang puisi, ada dua kepeloporan penting yang telah ditanamkan Muhammad Yamin (23 Agustus 1903—17 Oktober 1962). Pertama, dalam hal tema yang dikedepankan, dan kedua, dalam hal bentuk yang digunakan. Muhammad Yamin pada mulanya mengangkat tema kedaerahan yang kemudian secara jelas bergerak menuju tema kebangsaan. Dari sudut ini, ia telah menempatkan puisi tidak sekadar alat untuk mengekspesikan perasaan pribadinya, melainkan juga ekspresi gagasannya selaku warga bangsa.
Ia menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau-Sumatera) dalam hubungannya dengan Tanah Air Indonesia. Itulah mula pertama konsep Tanah Air digunakan yang sejalan dengan perkembangan pemikiran Muhammad Yamin, pemaknaannya bergerak dari makna yang sempit tentang tempat kelahiran (Sumatera) menjadi vaderland (fatherland)—ibu pertiwi—dan kemudian meluas dalam makna sebagai sebuah negara.

Perkembangan pemikiran Muhammad Yamin tentang konsep Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa, yang mula dituangkan dalam sejumlah puisinya itu, makin jelas manakala kita mencermati puisinya yang berjudul “Bahasa, Bangsa.” Di bawah judul puisi itu, Yamin mengutip perkataan Wolfgang von Goethe: “Was du ererbt von deinen Vatern hast/ Erwirb es um es zu besitzen.” Selain itu, bentuk persajakan pantun dan syair yang cenderung lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat naratif, melalui Yamin nada itu menjadi bentuk ungkapan ekspresif yang lahir dari gejolak perasaan dan pikiran. Dari sudut pemakaian bahasa Melayu, apa yang telah dilakukan Muhammad Yamin telah membuka peluang bagi pemanfaatan bahasa Melayu secara lebih kreatif. Bahasa Melayu menjadi bahasa budaya yang modern, dan tidak lagi terkungkung oleh kata-kata klise. Perhatikan bait kedua puisi pertamanya, “Tanah Air” dimuat Jong Sumatra, Juli 1920.

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Cermatilah larik pertama: Sesayup mata, hutan semata. Secara kreatif, Yamin memakai kata sesayup mata dan bukan sekejap mata. Citraan pendengaran sesayup, justru digunakan untuk menggantikan citraan penglihatan sekejap, yang menunjukkan usaha pembebasan ikatan makna pada kata-kata tertentu. Dalam bahasa Melayu memang ada kata sayup mata yang artinya memandang atau sejauh mata memandang. Namun, itu jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Jadi, Yamin tampak sengaja menggali kata Melayu yang jarang dipakai yang justru membentuk kesamaan bunyi (rima) dalam larik. Dengan demikian dua larik awal dalam bait kedua di atas: Sesayup mata, hutan semata/

Bergunung bukit, lembah sedikit, memperlihatkan kebaruan dalam hal apa yang disebut rima dalam larik, mata semata/bukit-sedikit. Pola rima a-a-a-a atau a-b-a-b yang lazim kita jumpai dalam syair atau pantun, diintegrasikan dalam larik, bukan dalam bait.

Selain itu, pemanfaatan kata mata dengan dua makna, yaitu sesayup mata yang bermakna denotatif dan hutan semata yang bermakna konotatif, sekaligus menunjukkan kekayaan makna dalam kosakata bahasa Melayu yang coba ditawarkan Yamin. Dengan demikian, di sana ada kesadaran untuk mengeksploitasi bahasa, meskipun belum sampai pada tahap mengeksplorasi makna kata sebagaimana yang kelak dilakukan Chairil Anwar. Usaha mengungkapkan kekayaan bahasa Melayu itu, tampak pula dalam pemakaian sinonim kata surga, janat, dan Firdaus.

Bahwa bahasa Melayu digunakan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak dari pemakaian metafora. Dipagari gunung untuk menunjukkan deretan pegunungan, dan Firdaus Melayu untuk menunjukkan keindahan alam Melayu. Dalam bait berikutnya, Yamin menggunakan majas personifikasi untuk menggambarkan deburan ombak dengan menyatakan: Ia memekik, berandai-randai. Untuk ukuran zaman itu, tentu saja apa yang dilakukan Yamin merupakan sesuatu yang memperlihatkan kebaruan.

Puisi “Tanah Air” sebenarnya terdiri dari tiga bait dengan sembilan larik pada masing-masing baitnya. Dalam hal ini saja, puisi Yamin sudah tidak sama dengan pola syair atau pantun yang lazim terdiri dari empat larik dalam tiap baitnya. Meskipun dalam setiap lariknya masih terasa pengaruh puisi tradisional itu, seperti larik-larik yang terdiri dari dua elahan napas; Sesayup mata-hutan semata/Bergunung bukit-lembah sedikit/jauh di sana-di sebelah situ, dst., hubungan antar-lariknya sama sekali sudah menghilangkan bentuk sampiran dan isi. Jadi, dalam hal bentuk, Yamin telah menampilkan bentuk puisi baru, dan keluar dari konvensi puisi tradisional.

Puisi “Tanah Air” yang dimuat Jong Sumatra, Juli 1920 itu, rupanya dikembangkan lagi dengan beberapa perubahan dan penambahan jumlah bait. Lengkapnya, “Tanah Air” menjadi sebuah buku puisi dengan judul yang sama, terdiri dari lima belas nomor dengan masing-masing nomor terdiri dari dua bait. Jadi seluruhnya terdiri dari 30 bait dan setiap baitnya terdiri dari sembilan larik. Buku tipis itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen Bond, tahun 1922.

Dari puisi yang bertanggal 9 Desember 1922 itu, kita dapat melihat adanya perkembangan gagasan Yamin mengenai Tanah Air. Ia tidak sekadar menggambarkan kecintaannya pada tanah air (Sumatera), tetapi juga mulai menyinggung soal tanggung jawab pada Tanah Air, bahasa, dan keberadaan bangsa asing. Mengenai tanggung jawab pada tanah air, Yamin mengatakan: Tetapi Andalas di zaman nan tiba/Itu bergantung ke tuan dan hamba. Sedangkan mengenai bahasa, ia mengungkapkan: o, Tanah, wahai pulauku/tempat bahasa mengikat bangsa.

Muhammad Yamin juga melihat keberadaan bangsa asing yang menginjak bangsanya: karena hatiku haram ‘lai girang/kalau bangsaku diinjak orang. Oleh karena itu, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hal yang penting untuk membangun kemakmuran bangsanya. O, bangsaku penduduk Emas/Mari bekerja sampaikan bebas. Atau lebih tegas lagi dikatakannya: Selama badanku segenap ketika/Selagi menumpang di dunia nan baka/ Kubawa Andalas ke pada merdeka//

Dalam puisi “Bahasa, Bangsa” yang bertarikh Februari 1921, hubungan bangsa dan bahasa, lebih tegas lagi dinyatakan Muhammad Yamin. Meskipun bangsa yang dimaksud –pada awalnya—masih berkaitan dengan tanah kelahirannya, Sumatera, demikian pula dengan bahasa yang ia maksudkan bahasa Melayu, Yamin makin menyadari pentingnya mempunyai bahasa sendiri sebagai identitas sebuah bangsa. Terlahir dibangsa/berbahasa sendiri … Lupa ke bahasa, tiadakan pernah/Ingat pemuda, Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsapun hilang//

Perkembangan gagasan Muhammad Yamin yang semula melihat Sumatera dan Minangkabau sebagai tanah airnya menjadi Nusantara (Indonesia) yang menjadi tanah airnya, tampak pula dalam puisinya yang berjudul “Bandi Mataram”. Mengenai hal itu A. Teeuw, menyatakan: “Usaha mencari tapak sejarah bagi konsep dan cita-cita nasional Indonesia yang merupakan suatu ciri biasa dalam seluruh kehidupan serta Yamin itu, juga amat jelas kelihatan dalam sebuah puisi panjang dari zaman itu juga, Bandi Mataram judulnya … disiarkan tahun 1923 menyambut ulang tahun kelima Jong Sumatera.

Dalam bait terakhir puisi itu, Yamin mengatakan: Kini bangsaku, insafkan diri/ Berjalan ke muka, marilah mari/Menjelang padang ditumbuhi mujari/ Dicayai Merdeka berseri-seri// Bait ini mengungkapkan, sekarang telah tumbuh kesadaran pada bangsa ini untuk menatap masa depan menjelang terjadinya persaudaraan setanah air yang disinari semangat untuk merdeka. Secara simbolik, Yamin menulis larik ketiganya dengan Menjelang padang ditumbuhi mujari. Mujari adalah sejenis tumbuhan yang daunnya harum baunya dan biasa digunakan untuk makan sirih. Ada dua makna yang dapat kita tafsirkan dari larik ini. Pertama Tanah Air yang mulai harum namanya, dan kedua, terjadinya persaudaraan lewat perkawinan antarsuku bangsa. Makna kedua ini ditarik dari peristiwa membawa sirih yang biasanya dilakukan menjelang perkawinan.

Bahwa bahasa Melayu diperlakukan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak pula dari puisi awalnya yang berjudul “Tanah Air”. Puisi yang ditulisnya saat masih berusia 17 tahun itu, dimuat majalah Jong Sumatra, Juli 1920. Meskipun belum pola syair dan pantun Melayu dipadukan menjadi sebuah puisi yang mengungkapkan kerinduannya pada tanah air leluhur.

Dalam puisinya yang kemudian, “Indonesia Tumpah Darahku” yang ditulisnya 26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. “Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air di-Indonesia.” Dalam kata “Penyusuli” yang terdapat dalam buku puisi Indonesia Tumpah Darahku, Yamin menegaskan lagi: “… Bahasa Indonesia sudah demikian lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.”

Gagasan mengenai bahasa persatuan itu, tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin pula salah seorang yang memperjuangkan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam prasarananya, ia mengatakan: “Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia memiliki sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah menjadi bahasa pengantar di kalangan orang-orang Indonesia …” Di bagian lain, ia berpendapat: “… saya sendiri mempunyai keyakinan penuh, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa percakapan dan peratuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di masa depan …”

Salah satu hasil kongres itu adalah mempersiapkan materi-materi yang akan dibahas dalam kongres berikutnya. Muhammad Yamin dipercaya untuk membuat konsep-konsepnya. Satu di antara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa yang tertulis: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu.” Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa persatuan sebagai Melayu diganti menjadi sebagai berikut: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sebuah keputusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat, Adi Negoro, Sanusi Pane, dll. Dengan keputusan itu, bahasa Melayu resmi diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia.

Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Dikatakannya: “membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan barulah berhasil, jikalau diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia dalam seluruh masyarakat Indonesia dahulu dan sekarang, tentang tempatnya pada hari yang akan datang dan tentang artinya bagi bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.” Ditegaskannya pula: “… bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu … Pengetahuan dan kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendirian bahwa bahasa Indonesia mendapat tempat yang semestinya sebagai bahasa pertemuan, persatuan kebudayaan Indonesia dan sebagai bahasa negara.” Terbukti kemudian, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945.
***

Demikianlah, tampak jelas bagaimana perkembangan gagasan Muhammad Yamin mengenai bahasa menjadi cita-cita untuk mempersatukan bangsanya. Hal tersebut, seperti telah disinggung, kemudian memperoleh momentum yang tepat di dalam perwujudan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Itulah sebabnya, dalam puisi yang ditulisnya menjelang ikrar para pemuda itu, Muhammad Yamin tidak lagi mengatakan tanah air dan bangsanya semata-mata Sumatera atau Minangkabau, melainkan Indonesia. Dalam larik terakhir bait pertama, kedua, dan keempat, misalnya, ia mengatakan: Tumpah darahku Indonesia namanya// Indonesia namanya, tanah airku// Bertanah air di-Indonesia.

Selain itu, secara tegas Yamin mengungkapkan pula kebesaran tokoh-tokoh atau kerajaan masa lalu yang tercatat dalam deretan kemegahan bangsa Indonesia, seperti Sriwijaya, Pasai, Hang Tuah, Malaka, Cindur Mata, Imam Bonjol, dan Gajah Mada. Hal itu juga memperlihatkan kebanggaannya terhadap tokoh-tokoh Nusantara itu.

Keberanian Muhammad Yamin dalam mengangkat tema-tema yang yang demikian itu, diikuti pula oleh kebaruan puisinya yang sebagian besar menggunakan pola soneta, yaitu terdiri dari 14 larik yang dibagi dalam empat bait. Bait pertama dan kedua masing-masing terdiri dari empat larik, dan bait ketiga dan keempat masing-masing terdiri dari tiga larik.

Dalam Sandjak-Sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin (Djakarta, Firma Rada, 1954) yang disusun Armijn Pane, kita dapat melihat bahwa sebagian besar puisi dalam buku itu menggunakan pola soneta. Bait yang terdiri dari 4-4-3-3 dengan rima a-b-b-a dan c-d-c atau c-c-c merupakan pola soneta yang boleh dikatakan sudah baku. Pola soneta yang dirintis penyair Italia Petrach (1304—1374) dan dikembangkan penyair Inggris, Edmund Spencer pada abad ke-16 dengan bait yang terdiri dari 4—4—4—2; dan rima a-b-a-b, b-c-b-c, c-d-c-d, dan e-e. Timbul pertanyaan: termasuk pola soneta yang manakah puisi awal Yamin yang berjudul “Tanah Air”?

Bait-bait yang terdiri dari sembilan larik, misalnya, jelas bukanlah merupakan bentuk soneta. Demikian pula pola rimanya yang lebih dekat pada perpaduan antara soneta, pantun dan syair. Barulah dalam puisi berikutnya Yamin lebih berkonsisten menggunakan pola soneta, meskipun itu juga tidak berlaku untuk puisi “Bahasa, Bangsa” yang bait-baitnya terdiri dari 4-3-5-6-6. Sementara itu, puisi berjudul “Tenang” dengan bait yang terdiri dari 4-4-2-2-2, meski jumlah lariknya sama seperti soneta, bait-baitnya tidaklah sama dengan bentuk puisi itu.

Perubahan bentuk yang lebih mencolok dapat kita lihat dari puisi Yamin yang berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku” yang setiap baitnya terdiri dari tujuh larik, dan puisi “Bandi Mataram” yang polanya seperti gurindam, tetapi juga bukan gurindam karena pada bait-bait terakhir, lariknya terdiri dari 3-3-3-3-4.

Demikianlah, beberapa usaha pembaruan yang dilakukan Muhammad Yamin dalam merintis perjalanan puisi modern Indonesia. Pola soneta kemudian banyak diikuti oleh para penyair Pujangga Baru, sesungguhnya lebih merupakan pembaruan bentuk. Yang justru jauh lebih penting dari itu adalah muatan puisi-puisinya yang bergerak dari tema kedaerahan menuju nasionalisme, tema kebahasaan menuju semnagt persatuan. Tentulah hal itu juga dibarengi oleh tema-tema yang lebih beragam. Dengan begitu, bagaimanapun juga kita tidak dapat menafikan kepeloporan Muhammad Yamin dalam hal tema yang dikedepankan dan dalam hal bentuk yang digunakan. Dalam hal itulah, kedudukan Muhammad Yamin tetap tak tergoyahkan sebagai perintis puisi baru Indonesia dan penegas tentang konsep Tanah Air dan posisi bahasa Indonesia sebagai alat perekat persatuan keindonesiaan.
***

LAMPIRAN 1

POETOESAN CONGRES PEMOEDA PEMOEDA INDONESIA

Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra, (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;
sesoedahnja mendengar pidato-pidato pebitjaraan jang diadakan kerapatan tadi;
sesoedahnya menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:

Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas jang wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan perkoempoelan kebangsaan Indonesia;
mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja;
KEMAOEAN
SEDJARAH
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN
dan mengeloearkan penghargaan, supadja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.
LAMPIRAN 2

SOEMPAH INDONESIA RAJA

DAN apakah jang berlakoe pada tanggal 28 Oktober 1928 digedoeng Keramat 106 dikota Djakarta-Raja dalam sidang penoetoep jang menjoedahi Congres Indonesia Moeda dan persoempahan terbagi atas doea bagian, jaitoe: soempah jang ketiga dan poetoesan jang tiga poela. Djadi enam semuanja djumlah keboelatan jang diambil dalam sidang penoetoep itoe. Marilah saja oelangi boenji soempah jang tiga:

SOEMPAH JANG TIGA

Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Toempah Darah Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.
Dalam rapat itoe hadirlah lagoe Indonesia-Raja, karena pertama kalinja poedjangga Wage Soepratman melagoekan lagoe Indonesia-Raja, sebagai soembangan kepada perdjoeangan Indonesia Merdeka menoedjoe Indonesia-Raja jang akan bergolak dikalangan rakjat pedjoeang. Dalam rapat itoe dikibarkan pertama kalinja sesoedah beratoes-ratoes tahoen, bendera Sang Merah Poetih sebagai bendera-persatoean, jang nanti akan menjadi benderanegara jang merdeka-berdaoelat pada hari Proklamasi. Kepoetoesan ketiga jaitu meletakkan dasar bersatoe dalam kesatoean boelat dan kokoh jang dinamai dasar oenitarisme dengan segala akibatja bagi pergerakan pemoeda dan pergerakan politik, jang haroes disoesoen kembali menoeroet dasar oenitarisme. Dengan demikian lenjaplah dasar berpoelaoe-poelaoe, bernoesa-noesa ataoe dasar insoelarisme, dan bersihlah roeangan-roehani dan organisasi perdjoeangan dengan dasar kelahiran bangsa, jaitoe dasar oenitarisme.

LAMPIRAN 3

BAHASA, BANGSA

Was du ererbt von deinen Vatern hast.
Erwirb es um zu besitzen.

Wolfgang von Goethe

Selagi kecil berusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu;
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya, permai merdu.

Merayap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatera, di situ bangsa
Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana bejana
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang.

TANAH AIR

Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai:
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku.

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-randai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!

Bogor, Juli 1920

TANAH AIR

Di atas batasan Bukit Barisan
Memandang beta ke bawah memandang:
Tampaklah hutan rimba dan ngarai
Lagipun sawah, telaga nan permai:
Serta gerangan lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya tumpah darahku.

Indah ‘alam warna pualam
Tempat moyangku nyawa tertumpang;
Walau berabad sudah lampau
Menutupi Andalas di waktu nan silau
Masih kubaca di segenap mejan
Segala kebaktian seluruh zaman,
Serta perbuatan yang mulia-hartawan
Nan ditanam segala ninikku
Dikorong kampung hak milikku.

Rindu di gunung duduk bermenung
Terkenangkan masa yang sudah lindang;
Sesudah melihat pandang dan tilik
Timur dan Barat, hilir dan mudik,
Teringatlah pulau tempat terdidik
Dilumuri darah bertitik-titik,
Semasa pulai berpangkat naik:
O, Bangsaku, selagi tenaga
Nan dipintanya berkenan juga.

Gunung dan bukit bukan sedikit
Melengkung di taman bergelung-gelung
Memagari daratan beberapa lembah;
Di sanalah penduduk tegak dan rebah
Sejak beliung dapat merambah

Sampai ke zaman sudah berubah:
Sabas Andalas, bunga bergubah
Mari kujunjung, mari kusembah
Hatiku sedikit haram berubah!

Anak Perca kalbunya cuaca
Apabila terkenang waktu nan hilang,
Karena kami anak Andalas
Sejak dahulu sampai ke atas
Akan seia sehidup semati
Sekata sekumpul seikat sehati
Senyawa sebadan sungguh sejati
Baik di dalam bersuka raya
Ataupun diserang bala bahaya.

Hilang bangsa bergantikan bangsa
Luput masa timbullah masa…
Demikianlah pulauku mengikutkan sejarah
Sajak dunia mula tersimbah
Sampai ke zaman bagus dan indah
Atau tenggelam bersama ke lembah
Menyerikan cahaya penuh dan limpah.
Tetapi Andalas di zaman nan tiba
Itu bergantung ke tuan dan hamba.

Awal berawal semula asal
Kami serikat berpagarkan ‘adat,
Tapi pulauku yang mulia raya
Serta Subur, tanahnya kaya
Mari kupagar serta kubilai
Dengan Kemegahan sorak semarai
Lagi ketinggian berbagai nilai,
Karena di sanalah darahku tertumpah
Serta kupinta berkalangkan tanah.

Yakin pendapat akan sepakat
‘Akibat Barisan manik seikat;
Baikpun hampir jauh dan dekat,
Lamun pulauku mari kuangkat
Dengan tenaga kata mufakat
Karena, bangsaku, asal’lai serikat
Mana yang jauh rasakan dekat
Waktu yang panjang rasakan singkat,
Dan Kemegahan tinggi tentu ditingkat.

O, tanah, wahai pulauku
Tempat bahasa mengikat bangsa,
Kuingat di hati siang dan malam
Sampai semangatku suram dan silam;
Jikalau Sumatera tanah mulia
Meminta kurban bagi bersama
Terbukalah hatiku badanku reda
Memberikan kurban segala tenaga,
Berbarang dua kuunjukkan tiga
Elok pemandangan ke sana Barisan
Ke pihak Timur pantai nan kabur,
Sela bersela tamasa nan ramai
Diselangi sungai yang amat permai:
Dengan lambatnya seperti tak’kan sampai
Menghalirlah ia hendak mencapai
Jauh di sana teluk yang lampai;
Di mana dataran sudah dibilai
Tinggallah emas tiada ternilai.

Tanah Pasundan, 9 Desember 1922

INDONESIA, TUMPAH DARAHKU

Bersatu kita teguh
Bercerai kita jatuh

Duduk dipantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau,
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.

Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan;
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengajari bumi ayah dan ibu,
Indonesia namanya, tanah airku.

Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang,
Sejak malam di hari kelam
Sampai purnama terang benderang;
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di ‘alam nan lapang.

Tumpah darah Nusa-India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di-Indonesia

Bangsa Indonesia bagiku mulia
Terjunjung tinggi pagi dan senja,
Sejak syamsiar di langit nirmala
Sampaikan malam di hari kelam
Penuh berbintang cahaya bulan;
Mengapatah mulai, handai dan taulan,
Badan dan nyawa ia pancarkan.

Selama metari di alam beredar
Bulan dan bintang di langit berkisar
Kepada bangsaku berani berikrar;
Salam awan putih gemawan
Memayungi telaga ombak-ombakan,
Selama itu bangsaku muliawan
Kepada jiwanya kami setiawan.

Ke Indonesia kami setia
Di manakah ia di hatiku lupa,
Jikalau darah di badan dan muka
Berasal gerangan di tanah awal;
Sekiranya selasih batang kemboja
Banyak kulihat ditentang mata
Menutupi mejan ayah dan bunda?

Di batasan lautan penuh gelombang,
Mendekati pantai buih berjuang,
Terberai tanahku gewang-gemewang
Sebagai intan jatuh terberai
Dilingkari kerambil lembai-melambai
Menyanyikan lagu dan indah permai
Di sela ombak memecah ke pantai.

Duduk di pantai tanah permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.

Memandang ‘alam demikian indahnya
Ditutupi langit dengan awannya
Berbilaikan buih putih rupanya,
Rindulah badan ingin dan rewan,
Terkenangkan negeri dengan bangsanya
Berumah tangga selama-lamanya
Penuh peruntungan berbagai sejarahnya.

Pasundan, 26 Oktober 1928

BANDI MATARAM!*

Pandangan jauh sekali
kepada zaman yang sudah hilang,
Ketika dewa hidup di bumi
serta bangsaku, bangsaku sayang
Berumah di hutan indah sekali,
atau di ranah lembah dan jurang,
O, Bangsaku, alangkah mujurmu di waktu itu
berjuang di padang ditumbuhi duka
Karena bergerak ada dituju
serta disinari cahaya Cinta
Atau meratap tersedu-sedu
karena kalbunya dipenuhi duka.
Walau demikian beratnya beban
hati nan sesak tiadalah sangka;
Ke langit nan hijau menadahkan tangan
meminta ke-Tuhan junjungan mulia
Supaya peruntungan tuan lupakan,
walau sengsara bukan kepalang
Tuan elakkan segala semuanya
biar terhempas terbawa ke karang,
Karena bangsaku nan sangat mulia
dengan begola, bintang gemilang
Serta bulan bersamaku surya
bertabur di langit gulita cemerlang,
Ia sehati, sekumpul senyawa,
Sebagai anak nan belum gedang
Kulihat tuan bergerak ke muka
dengan sengsara biar berperang,
Kadang berbantu haram tiada:
sungguh demikian Cahaya nurani
Nan bersinar-sinar di dalam dada
Bertambah besarnya bergandakan seri
Biar menentang bala dan baya
yang menceraikan orang, sehidup semati
Atau sepakat taulan saudara.
Dalam pandanganku tampaklah pula
Daripada bangsaku beberapa orang
berjalan berdandan ke padang mulia
Ke medan gerangan hendak berjuang
berbuat kurban meminta sejahtera
Isteri dan anak, sibiran tulang,
Baik bercabul rukun dan damai
bangsaku selalu besar dan tinggi:
Kadang ‘tu fajar hampir berderai
sedangkan embun belumlah pergi
Berjalan tuan alim dan lalai
menjelang sawah sedang menanti,
Beserta kerbau, anak dan bini
Tuan berjerih membuat puja
Kepada tanah yang subur sekali:
berkat pun turun dihadiahkan dewa,
Karena awan di gunung dan giri
turun ke bumi hujan terbawa
Alamat kesejahteraan sangat sejati!
Ditengah malam duduk bersama
Menghadapi seri cahaya pelita
timbullah sukur di hati mesra
Serta mendoa ke-Tuhan Mahakuasa
memulangkan santun, meminta cinta.
Jikalau pekan harilah balai
Alangkah sukanya kecil dan besar.
Segala yang kecil sorak semarai
menurut jalan berputar-putar
Serta sorakan bandar dan permai:
Ada menolong ibu dan bunda
Walaupun ketiding belum berisi!
Ada bermainan, cengkerik dan layang
Dan mengadu ayam, sesuka hati!
Berapalah suka alang kepalang
Bergurau dengan pinangan sendiri,
Si anak dara di hari nan datang!
Gadis perawan muka nan permai,
ketika hari bersuka raya,
Semua berjalan menuju balai:
kalau begini terkenang dik beta
Besarlah hati tiada ternilai,
karena disinari ingatan mulia.
Lihatlah perempuan hiasan di kampung
berpakaian adat bertekatkan emas
Berteduh di surga sebagai payung
menginjakkan kaki langkah yang tangkas
Atau mengidap sebagai ikan tunjung
menceriterakan rahasia, harap dan cemas,
Di belakang berjalan ninik dan mamak,
Ajuk-mengajuk bertukar bicara
Timbang menimbang kuranglah tidak
Ke balai terus gerangan jua
Dengan suara seberapa suka!
Tiada berhingga sehari-harinya.
Apabila hari sudah malam
Datanglah pula satu per satu
berundangan makan di hari kelam:
Demikian teguhnya gerangan bangsaku
Senyawa sebadan, sejahtera dan malam
Membuat kurban setiap sekalu,
kepada kawan handai dan taulan
Jika diserang gundah gulana
tuan sembahkan kedua tangan.
Dan berapalah pula berhati suka
Kalau disinari caya kenangan,
Alamat bagia yang sangat mulia.

Lihatlah gerangan, pandanglah pula
Di sana memutih cahaya mega
Menebarkan harapan di cakrawala.

Dengarkan sungai, air dan gangga
Mengeluarkan lagu merdua suara
Sebagai bunyian di dalam suarga.

Di hati bangsaku di pulau perca
Bersinar Cinta, bersuka riang
Menghadapi usia, gemilang cuaca.

Wahai bangsaku, remaja ‘lah lindang
Sebagai embun di hari pagi
Lenyaplah ke zaman yang sudah hilang

Kini bangsaku, insafkan diri
Berjalan ke muka, marilah mari
Menjelang padang ditumbuhi mujari
Dicayai Merdeka berseri-seri.

Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, Editor H.B. Jassin, Gunung Agung, Jakarta, 1963

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito