Salamet Wahedi *
Radar Surabaya, 10 jan 2010
saya iba
pada para pujangga silam
karena mereka terpaksa mengambil peran
yang seharusnya dimainkan para sastrawan sekarang
(Michael Augustine, “Saya Iba”)
***
Sehabis selesai membaca sajak, saya seolah-olah dihantui oleh hasrat aneh dan ilusi ganjil. Saya selalu merasa, sajak-sajak yang saya baca menyimpan cerita yang berlapis, berita-berita masa lampau yang tak habis kikis. Saat menghadapinya pun, sajak-sajak itu menggoda saya untuk menyusuri jalan-jalan gelapnya; mendiami ruang-ruang ekstase; tidak ketinggalan sajak-sajak yang sering menghipnotis alam bawah sadar, juga menghadirkan huruf-huruf yang kurang ajar.
‘A’-nya kata darah, perang, bencana, cinta dan lain-lain, misalnya, tidak hanya hadir untuk membedakan dengan dirih atau duruh, pering atau piring, bencini, cinti din liin-liin, tapi ia telah membawa suara gaib yang menghentak saya. Semacam gema yang sering membuat saya terjerembab dan terpelanting ke dasar gelisah, resah, dan mimpi basah.
Huruf-huruf itu, yang biasanya berbaris ‘sopan’ di karya-karya non-fiksi, dalam sajak-sajak yang mengundang saya, terutama tiap hari minggu, tampak nakal, liar bahkan tampak lebih provokatif dari para politisi, kepitalisme dan isu agama di negeri ini; tapi tidak jarang, huruf-huruf yang menggema dari kerongkong dan hentakan rongga dada, berjalan begitu renta dari usia bumi; lebih duka dari luka; lebih merah dari darah; mereka seperti suara-suara yang diterima Nabi. Seperti lonceng yang kita dengar tapi gema bahasa yang kita dapatkan
Tapi membaca sajak-sajak akhir-akhir ini, tiap hari minggu-minggu ini, saya pun merasa iba pada para pujangga masa silam yang terlanjur berbicara kemanusiaan, kemiskinan, ketidak-adilan, dan cerita rakyat lainnya; peran yang seharusnya diemban para pujangga sekarang.
Cerita Masa Lalu
Sebelum membaca (sekilas) teks Ramayana atau Mahabrata, saya sudah mendapatkan cerita-cerita tentang Rama, Sinta atau Pandawa dan Kurawa dari tuturan nenek. Setiap malam nenek mengisahkannya bak sinetron “Cinta Fitri” yang ber-season-season. Cerita nenek begitu lekang dalam ingatan, sebab nenek mengisahkannya dengan diksi dan hikmah yang memberi ‘pencerahan’ alam bawah sadar.
Cerita nenek tentang karya sastra Ramayana dan Mahabrata, masih begitu mengingatkan saya akan peran-fungsi karya sastra: ia tidak hanya menghibur, tapi ia juga mampu ‘mendidik’. Hal ini pun senada dengan pengertian sastra itu sendiri: alat mengajar.
Di awal kemerdekaan negeri zamrud khatulistiwa ini, polemik posisi dan peran (karya) sastra juga mencuat. Adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane yang berseteru. Mereka coba memaparkan visi-misi tentang arah kebudayaan. Sutan Takdir Alisyahbana, lewat karya-karyanya menekankan pentingnya berkiblat ke ‘barat’, sedang Sanusi Pane bersama tebaran puisi-puisinya menginginkan masyarakat Indonesia bertahan dan maju dengan jati dirinya: adat ketimuran.
Setelah perdebatan Sutan Takdir Alisyhabana dan Sanusi Pane, jagad kesastraan (:kebudayaan) kita diguncang polemik kebudayaan Manikebu vs Lekra. Lagi-lagi dalam perdebatan ini, posisi dan peran-fungsi sastra menjadi titik sentral. Kalau Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane merumuskan arah kebijakan kebudayaan, polemik Manikebu vs Lekra berkisar tentang tugas sastra dalam mengisi dan mengawal kemerdekaan negeri Indonesia ini.
Mengingat cerita-cerita masa lalu itu, saya seolah mendapat jawaban atas beberapa pertanyaan: untuk apa karya sastra tersebut ditulis? Untuk apa kata-kata dirangkai dengan metafor yang jungkir-balik? Tidakkah laporan berita lebih mengena untuk berkabar dan menyapa masyarakat tentang sebuah persoalannya?
Pertemuan
Dengan (karya) sastra Indonesia modern, saya bertemu (dan mulai berkenalan) ketika duduk di bangku kelas dua MTs Yayasan Abdullah. Mengenal dan membaca karya sastra di lingkungan pondok pesantren, tempat saya menimba ilmu, merupakan sesuatu yang aneh. Bahkan saya pun harus diam-diam--atau ekstrimnya sembunyi-sembunyi--membaca karya sastra. Seperti siswa sekolah kebanyakan, kali pertama saya bertemu dengan sajak ‘Aku’ Chairil Anwar. Entah karena apa saya begitu suka dan bersemangat mendeklamasikan sajak ‘Aku’, walau waktu itu saya belum paham arti dan maknanya.
Baru tiga tahun kemudian, ketika saya duduk di kelas dua SMA Yayasan Abdullah, saya paham arti dan makna sajak ‘Aku’. Seperti yang diutarakan Rachmat Djoko Pradopo (2002), dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tafsir ini terlepas dari kenyataan bahwa sajak ini, selain menunjukkan semangat untuk bertarung, juga keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ pada kesewenang-wenangan ayahnya.
Kecintaan saya pada sajak (: atau puisi atau syair) tambah mantap saja ketika saya bertemu sajak-sajak sederhana Taufiq Ismail dan sajak-sajak penuh kobaran semangat Rendra. Walau kiai saya mengolok-olok, penulis sajak adalah orang ‘gila’, orang yang tidak punya pekerjaan, saya tetap menyimpan keyakinan, sajak selain ingin menampilkan rancak keindahan kata, juga ingin menyentuh lubuk sanubari manusia yang paling dalam. Sajak mengajak manusia untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaannya.
Proses(i)
Kerja karya sastra adalah sebuah proses panjang. Ia bak jalan panjang tanpa ujung. Sumur tanpa dasar. Seorang penyair, menyitir kata-kata Nirwan Dewanto (2007), adalah ia yang membuat bahasa, menggunakan bahasa, gandrung pada bahasa. Ah, tidak juga. Penyair adalah ia yang merasa terpenjara oleh bahasa, sehingga selalu berusaha memperluas bahasa. Dengan kata lain, penyair adalah orang gelisah. Orang yang selalu tidak tinggal diam untuk membaca, mencatat dan menyikapi persoalan di sekitarnya. Sungguh proses panjang dan penuh ekstase petualangan.
Namun sayang, membaca sajak-sajak modern Indonesia dewasa ini saya merasa kerja kaya sastra bukan proses panjang tanpa ujung lagi. Sajak-sajak yang saya baca belakangan ini, sebagaimana yang saya dapat dalam diskusi ‘Halte Sastra’ Dewan Kesenian Surabaya (DKS), pada tanggal 11 juli 2009, hanya meributkan persoalan keindahan dan derai bunyi. Bahkan para penyair sekarang pun, sibuk menahbiskan dirinya. Menunjukkan dirinya sebagai penyair yang liar, penyair agung dengan rancaknya bunyi kata, atau sebagai dewa penyair karena ia telah mampu memiliki banyak ‘anak didik’ yang menulis puisi seperti gayanya.
Sungguh suatu ‘keibaan’ yang mendalam, yang saya dapat ketika selesai membaca sajak-sajak di sebuah halaman koran di setiap Minggu pagi. Saya mendapati kerja karya sastra tak ubahnya kerja para artis. Demi ketenaran dan keonaran dirinya, para penyair rela memperdagngkan apa pun. Walau yang diperdagangkan itu esensi dan nilai-nilai luhur kepenyairannya. Nilai-nilai eksistensi yang menempatkan seorang penyair yang memiliki kepekaan mata batin.
Kalau dulu Roland Barthes menegaskan adanya kematian pengarang, maka sekarang tibalah waktunya kematian karya di tangan pengarang. Karya yang tidak memiliki arah ke mana dia berjalan untuk hidup dan menghidupi nilai-nilai kemusiaan yang mengilhami pengarangnya. Kematian karya di batas derai bunyi dan gemerlap keindahan imajinasi pengarangnya.
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=276038842274
Radar Surabaya, 10 jan 2010
saya iba
pada para pujangga silam
karena mereka terpaksa mengambil peran
yang seharusnya dimainkan para sastrawan sekarang
(Michael Augustine, “Saya Iba”)
***
Sehabis selesai membaca sajak, saya seolah-olah dihantui oleh hasrat aneh dan ilusi ganjil. Saya selalu merasa, sajak-sajak yang saya baca menyimpan cerita yang berlapis, berita-berita masa lampau yang tak habis kikis. Saat menghadapinya pun, sajak-sajak itu menggoda saya untuk menyusuri jalan-jalan gelapnya; mendiami ruang-ruang ekstase; tidak ketinggalan sajak-sajak yang sering menghipnotis alam bawah sadar, juga menghadirkan huruf-huruf yang kurang ajar.
‘A’-nya kata darah, perang, bencana, cinta dan lain-lain, misalnya, tidak hanya hadir untuk membedakan dengan dirih atau duruh, pering atau piring, bencini, cinti din liin-liin, tapi ia telah membawa suara gaib yang menghentak saya. Semacam gema yang sering membuat saya terjerembab dan terpelanting ke dasar gelisah, resah, dan mimpi basah.
Huruf-huruf itu, yang biasanya berbaris ‘sopan’ di karya-karya non-fiksi, dalam sajak-sajak yang mengundang saya, terutama tiap hari minggu, tampak nakal, liar bahkan tampak lebih provokatif dari para politisi, kepitalisme dan isu agama di negeri ini; tapi tidak jarang, huruf-huruf yang menggema dari kerongkong dan hentakan rongga dada, berjalan begitu renta dari usia bumi; lebih duka dari luka; lebih merah dari darah; mereka seperti suara-suara yang diterima Nabi. Seperti lonceng yang kita dengar tapi gema bahasa yang kita dapatkan
Tapi membaca sajak-sajak akhir-akhir ini, tiap hari minggu-minggu ini, saya pun merasa iba pada para pujangga masa silam yang terlanjur berbicara kemanusiaan, kemiskinan, ketidak-adilan, dan cerita rakyat lainnya; peran yang seharusnya diemban para pujangga sekarang.
Cerita Masa Lalu
Sebelum membaca (sekilas) teks Ramayana atau Mahabrata, saya sudah mendapatkan cerita-cerita tentang Rama, Sinta atau Pandawa dan Kurawa dari tuturan nenek. Setiap malam nenek mengisahkannya bak sinetron “Cinta Fitri” yang ber-season-season. Cerita nenek begitu lekang dalam ingatan, sebab nenek mengisahkannya dengan diksi dan hikmah yang memberi ‘pencerahan’ alam bawah sadar.
Cerita nenek tentang karya sastra Ramayana dan Mahabrata, masih begitu mengingatkan saya akan peran-fungsi karya sastra: ia tidak hanya menghibur, tapi ia juga mampu ‘mendidik’. Hal ini pun senada dengan pengertian sastra itu sendiri: alat mengajar.
Di awal kemerdekaan negeri zamrud khatulistiwa ini, polemik posisi dan peran (karya) sastra juga mencuat. Adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane yang berseteru. Mereka coba memaparkan visi-misi tentang arah kebudayaan. Sutan Takdir Alisyahbana, lewat karya-karyanya menekankan pentingnya berkiblat ke ‘barat’, sedang Sanusi Pane bersama tebaran puisi-puisinya menginginkan masyarakat Indonesia bertahan dan maju dengan jati dirinya: adat ketimuran.
Setelah perdebatan Sutan Takdir Alisyhabana dan Sanusi Pane, jagad kesastraan (:kebudayaan) kita diguncang polemik kebudayaan Manikebu vs Lekra. Lagi-lagi dalam perdebatan ini, posisi dan peran-fungsi sastra menjadi titik sentral. Kalau Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane merumuskan arah kebijakan kebudayaan, polemik Manikebu vs Lekra berkisar tentang tugas sastra dalam mengisi dan mengawal kemerdekaan negeri Indonesia ini.
Mengingat cerita-cerita masa lalu itu, saya seolah mendapat jawaban atas beberapa pertanyaan: untuk apa karya sastra tersebut ditulis? Untuk apa kata-kata dirangkai dengan metafor yang jungkir-balik? Tidakkah laporan berita lebih mengena untuk berkabar dan menyapa masyarakat tentang sebuah persoalannya?
Pertemuan
Dengan (karya) sastra Indonesia modern, saya bertemu (dan mulai berkenalan) ketika duduk di bangku kelas dua MTs Yayasan Abdullah. Mengenal dan membaca karya sastra di lingkungan pondok pesantren, tempat saya menimba ilmu, merupakan sesuatu yang aneh. Bahkan saya pun harus diam-diam--atau ekstrimnya sembunyi-sembunyi--membaca karya sastra. Seperti siswa sekolah kebanyakan, kali pertama saya bertemu dengan sajak ‘Aku’ Chairil Anwar. Entah karena apa saya begitu suka dan bersemangat mendeklamasikan sajak ‘Aku’, walau waktu itu saya belum paham arti dan maknanya.
Baru tiga tahun kemudian, ketika saya duduk di kelas dua SMA Yayasan Abdullah, saya paham arti dan makna sajak ‘Aku’. Seperti yang diutarakan Rachmat Djoko Pradopo (2002), dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tafsir ini terlepas dari kenyataan bahwa sajak ini, selain menunjukkan semangat untuk bertarung, juga keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ pada kesewenang-wenangan ayahnya.
Kecintaan saya pada sajak (: atau puisi atau syair) tambah mantap saja ketika saya bertemu sajak-sajak sederhana Taufiq Ismail dan sajak-sajak penuh kobaran semangat Rendra. Walau kiai saya mengolok-olok, penulis sajak adalah orang ‘gila’, orang yang tidak punya pekerjaan, saya tetap menyimpan keyakinan, sajak selain ingin menampilkan rancak keindahan kata, juga ingin menyentuh lubuk sanubari manusia yang paling dalam. Sajak mengajak manusia untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaannya.
Proses(i)
Kerja karya sastra adalah sebuah proses panjang. Ia bak jalan panjang tanpa ujung. Sumur tanpa dasar. Seorang penyair, menyitir kata-kata Nirwan Dewanto (2007), adalah ia yang membuat bahasa, menggunakan bahasa, gandrung pada bahasa. Ah, tidak juga. Penyair adalah ia yang merasa terpenjara oleh bahasa, sehingga selalu berusaha memperluas bahasa. Dengan kata lain, penyair adalah orang gelisah. Orang yang selalu tidak tinggal diam untuk membaca, mencatat dan menyikapi persoalan di sekitarnya. Sungguh proses panjang dan penuh ekstase petualangan.
Namun sayang, membaca sajak-sajak modern Indonesia dewasa ini saya merasa kerja kaya sastra bukan proses panjang tanpa ujung lagi. Sajak-sajak yang saya baca belakangan ini, sebagaimana yang saya dapat dalam diskusi ‘Halte Sastra’ Dewan Kesenian Surabaya (DKS), pada tanggal 11 juli 2009, hanya meributkan persoalan keindahan dan derai bunyi. Bahkan para penyair sekarang pun, sibuk menahbiskan dirinya. Menunjukkan dirinya sebagai penyair yang liar, penyair agung dengan rancaknya bunyi kata, atau sebagai dewa penyair karena ia telah mampu memiliki banyak ‘anak didik’ yang menulis puisi seperti gayanya.
Sungguh suatu ‘keibaan’ yang mendalam, yang saya dapat ketika selesai membaca sajak-sajak di sebuah halaman koran di setiap Minggu pagi. Saya mendapati kerja karya sastra tak ubahnya kerja para artis. Demi ketenaran dan keonaran dirinya, para penyair rela memperdagngkan apa pun. Walau yang diperdagangkan itu esensi dan nilai-nilai luhur kepenyairannya. Nilai-nilai eksistensi yang menempatkan seorang penyair yang memiliki kepekaan mata batin.
Kalau dulu Roland Barthes menegaskan adanya kematian pengarang, maka sekarang tibalah waktunya kematian karya di tangan pengarang. Karya yang tidak memiliki arah ke mana dia berjalan untuk hidup dan menghidupi nilai-nilai kemusiaan yang mengilhami pengarangnya. Kematian karya di batas derai bunyi dan gemerlap keindahan imajinasi pengarangnya.
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=276038842274
Tidak ada komentar:
Posting Komentar