Afrizal Malna*
Kompas,6 Mei 2007
HAMPIR selama dua minggu, sejak awal April kemarin, saya beberapa kali sempat bertemu dengan Boedi S Otong, sutradara Teater Sae yang hidup sebagai performer di Eropa sejak awal tahun 1990-an.
Selama dua minggu itu saya cenderung terlalu memaksakan diri untuk bisa bertemu dan ngo- brol dengannya. Tubuh dan jiwa saya terasa sakit dan tidak siap untuk bertemu dengan siapa pun waktu itu.
Saya merasa berada dalam tekanan yang datangnya tidak jelas. Seperti ada makhluk yang mau meledak dalam tubuh dan jiwa saya. Tapi saya tidak memberi tahu keadaan ini kepada Boedi. Mungkin dia bisa merasakannya seperti keringat yang merembes lewat alis matanya.
Lalu kami sempat terperangkap dalam tema pembicaraan di sekitar wajah kekuasaan: Kenapa di wajah sebagian teman-teman kesenian kini memiliki semacam “selubung kekuasaan”? Kami berdua mungkin juga bagian dari wajah itu. Kita tidak bertemu dengan seniman atau dengan seorang teman, melainkan bertemu dengan kekuasaan yang sosoknya tidak jelas.
Apakah kesenian itu? Dan apakah menjadi seorang seniman itu? Kesenian tidak bisa dijaga oleh wacananya sendiri. Kesenian menjadi ember bocor justru lewat kehidupan senimannya.
Progresivitas gaya hidup membuat sebagian seniman kehilangan kesadaran kelasnya dan membiarkan kehidupan sosialnya dikonstruksi lewat kelas sosial yang menjadi super-ego tak sadarnya. Hubungan-hubungan politik, terutama yang dekat dengan pemerintahan, parlemen, dan partai politik, membuat sang seniman rela menjadikan dirinya sebagai “agen politik” dengan kesenian sebagai obyeknya.
Sensitivitas klik dan intrik juga bermunculan di sini, seperti virus sosial yang membuat hubungan-hubungan dalam lingkungan kesenian menjadi kumuh. Setiap telinga dan mulut seperti memiliki sumbu kompor dan korek api. Masalah kemanusiaan dan sosial kian terabaikan dalam hubungan-hubungan itu. Identitas kemanusiaan tertanggalkan hanya untuk memperbesar gaya hidup kesenimanan.
Rezim gelap dan teater tidur
Dalam kondisi itu, ada dua hal yang mungkin kita tertarik menanyakannya: di manakah peran kuratorial (legitimasi, visi) dan kritik seni (pengembangan wacana-wacana kritis kesenian) kini?
Peran kuratorial lebih menonjol di seni rupa dalam membuat pemetaan seni rupa, terutama lewat forum-forum bienale seni rupa. Walaupun “pesan” yang dibawa para kolektor papan atas sedikit banyaknya ikut bermain. Hubungan seni rupa dalam kondisi ini kian dekat dengan gejolak ekonomi. Karena itu, manajemen dan infrastruktur seni rupa memerlukan banyak perubahan dalam memasuki fenomena ini.
Tetapi, di bidang seni lain peran ini gelaplah sudah. Sebagian kesan yang muncul justru bukan pemetaan kuratorial, melainkan klik dari rezim yang berkuasa.
Rezim seni ini sebagian merupakan “rezim gelap” yang tidak mengamati langsung kehidupan kesenian yang bergerak di sekitarnya. Mereka hanya bermain di tingkat networking dan meninggalkan subyeknya sendiri.
Teater kini mungkin tampak sedang tidur, dan beruntung tidak memiliki rezim yang menentukan keberadaannya (mungkin karena tidak terlalu menguntungkan).
Teater yang mengesankan sedang meninggalkan ruangnya sendiri dan tidak terlalu mengambil sikap atas tumbuhnya performance art. Teater yang kehilangan pernyataan.
Teater kampus tumbuh di mana-mana dan ikut merayakan narasi yang bukan datang dari dunianya sendiri. Tetapi, ketika teater kembali membaca aktor dan tubuh seperti apa yang sedang dialami oleh dunia di sekitarnya, mungkin teater akan bangun dan terkejut ketika menyaksikan bahwa jam di tangannya telah berpindah mencekik lehernya sendiri.
Jurnalisme gaya hidup
Tetapi, apa kabar peran kritik seni?
Uh. Kritik seni masih membawa masalah lamanya: Kesulitan melakukan identifikasi karya, lalu hanya bermain di tingkat konsep dan tema; menggunakan karya yang dikritik hanya sebagai obyek justru untuk membicarakan teori-teori yang digunakannya. Kritik yang cenderung menempatkan diri di atas karya seni.
Kritik seni menjadi lipstik untuk karya yang dipuji, dan menjadi comberan untuk karya yang dianggap jelek. Kritik yang masih bermain di tingkat apakah karya yang dibahas bagus atau jelek, dan bukannya lebih berurusan dengan fenomena seni yang dibawa sebuah karya.
Padahal, bagus dan jelek sebuah karya seni bukanlah urusan kritik seni, melainkan urusan pasar. Pasar bisa subyektif di tingkat konsumen, tetapi bisa obyektif di tingkat pembentukan pasar. Kritik seni yang perannya berubah menjadi pendapat konsumen atau pendapat pasar adalah kritik seni yang sebenarnya lebih menjalankan perannya sebagai “promotor seni”.
Bergesernya peran kritik seni menjadi promotor seni sebenarnya berhubungan dengan dekatnya kritik seni atas media massa, bersamaan itu dengan lemahnya peran akademis dan penelitian.
Media massa, terutama karena provokasi media tv, membuat politik jurnalisme kian mendekati dirinya sebagai “jurnalisme gaya hidup” yang menggunakan kecantikan, kekerasan, dan selebriti sebagai performance dan politik pembacaannya. Kesenian yang bermain di lapis bawah cenderung tidak mendapatkan ruang dan kritik, bersaing dengan kesenian dari seniman selebriti.
Karena itu pula medan baca kesenian cenderung kehilangan halaman lain oleh jurnalisme gaya hidup seperti ini, di mana kritik seni lebih menjalankan perannya sebagai promotor seni.
Pendidikan dan tradisi
Pada pihak lain, dunia akademis, baik sastra maupun disiplin seni lainnya, hampir tidak memiliki sumbangan untuk pengembangan wacana seni dewasa ini, kecuali dari ilmu-ilmu komunikasi dan antropologi seni.
Dunia pendidikan juga harus menerima nasibnya seperti media massa, di mana budaya saintis dalam kehidupan kampus kian tergantikan oleh budaya gaya hidup (konsumerisme). Menjadi mahasiswa sama seperti memasuki gaya hidup, siswa dan mahasiswa masuk tv, tv juga masuk ke sekolah dan ke kampus.
Dunia pendidikan seni seperti sibuk dengan urusan birokrasi, proyek pertunjukan, dan soal-soal teknis kesenian. Cenderung melahirkan seniman yang cukup tangguh secara teknis, tetapi basis intelektualnya untuk mencipta cukuplah miskin.
Pendidikan tari paling menderita dalam hal ini karena hanya mahasiswa tarilah yang paling dibebani untuk mewarisi tradisi dibandingkan dengan disiplin seni lain yang lebih memiliki kebebasan untuk mencipta. Tradisi yang umumnya lahir dari sikap “melakoni”, oleh pendidikan hanya diperlakukan sebagai pola-pola teknik dalam metodologi penerapannya. Gaya hidup membuat “salonisasi tradisi” tak terhindarkan berlangsung lewat pendidikan tari.
Tradisi kehilangan kelanjutannya dalam konteks perubahan yang dibawa oleh generasi selanjutnya. Dalam fenomena ini tradisi sebenarnya bukan diwariskan ke generasi di selanjutnya, melainkan ditaklukkan dan diringkus untuk sebuah kemasan gaya hidup.
Ketika politik identitas dibiarkan dikuasai gaya hidup, tradisi pun terancam kehilangan sejarahnya sendiri.
* Afrizal Malna, Penyair
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/esai-gaya-hidup-delete-kritik-seni.html
Kompas,6 Mei 2007
HAMPIR selama dua minggu, sejak awal April kemarin, saya beberapa kali sempat bertemu dengan Boedi S Otong, sutradara Teater Sae yang hidup sebagai performer di Eropa sejak awal tahun 1990-an.
Selama dua minggu itu saya cenderung terlalu memaksakan diri untuk bisa bertemu dan ngo- brol dengannya. Tubuh dan jiwa saya terasa sakit dan tidak siap untuk bertemu dengan siapa pun waktu itu.
Saya merasa berada dalam tekanan yang datangnya tidak jelas. Seperti ada makhluk yang mau meledak dalam tubuh dan jiwa saya. Tapi saya tidak memberi tahu keadaan ini kepada Boedi. Mungkin dia bisa merasakannya seperti keringat yang merembes lewat alis matanya.
Lalu kami sempat terperangkap dalam tema pembicaraan di sekitar wajah kekuasaan: Kenapa di wajah sebagian teman-teman kesenian kini memiliki semacam “selubung kekuasaan”? Kami berdua mungkin juga bagian dari wajah itu. Kita tidak bertemu dengan seniman atau dengan seorang teman, melainkan bertemu dengan kekuasaan yang sosoknya tidak jelas.
Apakah kesenian itu? Dan apakah menjadi seorang seniman itu? Kesenian tidak bisa dijaga oleh wacananya sendiri. Kesenian menjadi ember bocor justru lewat kehidupan senimannya.
Progresivitas gaya hidup membuat sebagian seniman kehilangan kesadaran kelasnya dan membiarkan kehidupan sosialnya dikonstruksi lewat kelas sosial yang menjadi super-ego tak sadarnya. Hubungan-hubungan politik, terutama yang dekat dengan pemerintahan, parlemen, dan partai politik, membuat sang seniman rela menjadikan dirinya sebagai “agen politik” dengan kesenian sebagai obyeknya.
Sensitivitas klik dan intrik juga bermunculan di sini, seperti virus sosial yang membuat hubungan-hubungan dalam lingkungan kesenian menjadi kumuh. Setiap telinga dan mulut seperti memiliki sumbu kompor dan korek api. Masalah kemanusiaan dan sosial kian terabaikan dalam hubungan-hubungan itu. Identitas kemanusiaan tertanggalkan hanya untuk memperbesar gaya hidup kesenimanan.
Rezim gelap dan teater tidur
Dalam kondisi itu, ada dua hal yang mungkin kita tertarik menanyakannya: di manakah peran kuratorial (legitimasi, visi) dan kritik seni (pengembangan wacana-wacana kritis kesenian) kini?
Peran kuratorial lebih menonjol di seni rupa dalam membuat pemetaan seni rupa, terutama lewat forum-forum bienale seni rupa. Walaupun “pesan” yang dibawa para kolektor papan atas sedikit banyaknya ikut bermain. Hubungan seni rupa dalam kondisi ini kian dekat dengan gejolak ekonomi. Karena itu, manajemen dan infrastruktur seni rupa memerlukan banyak perubahan dalam memasuki fenomena ini.
Tetapi, di bidang seni lain peran ini gelaplah sudah. Sebagian kesan yang muncul justru bukan pemetaan kuratorial, melainkan klik dari rezim yang berkuasa.
Rezim seni ini sebagian merupakan “rezim gelap” yang tidak mengamati langsung kehidupan kesenian yang bergerak di sekitarnya. Mereka hanya bermain di tingkat networking dan meninggalkan subyeknya sendiri.
Teater kini mungkin tampak sedang tidur, dan beruntung tidak memiliki rezim yang menentukan keberadaannya (mungkin karena tidak terlalu menguntungkan).
Teater yang mengesankan sedang meninggalkan ruangnya sendiri dan tidak terlalu mengambil sikap atas tumbuhnya performance art. Teater yang kehilangan pernyataan.
Teater kampus tumbuh di mana-mana dan ikut merayakan narasi yang bukan datang dari dunianya sendiri. Tetapi, ketika teater kembali membaca aktor dan tubuh seperti apa yang sedang dialami oleh dunia di sekitarnya, mungkin teater akan bangun dan terkejut ketika menyaksikan bahwa jam di tangannya telah berpindah mencekik lehernya sendiri.
Jurnalisme gaya hidup
Tetapi, apa kabar peran kritik seni?
Uh. Kritik seni masih membawa masalah lamanya: Kesulitan melakukan identifikasi karya, lalu hanya bermain di tingkat konsep dan tema; menggunakan karya yang dikritik hanya sebagai obyek justru untuk membicarakan teori-teori yang digunakannya. Kritik yang cenderung menempatkan diri di atas karya seni.
Kritik seni menjadi lipstik untuk karya yang dipuji, dan menjadi comberan untuk karya yang dianggap jelek. Kritik yang masih bermain di tingkat apakah karya yang dibahas bagus atau jelek, dan bukannya lebih berurusan dengan fenomena seni yang dibawa sebuah karya.
Padahal, bagus dan jelek sebuah karya seni bukanlah urusan kritik seni, melainkan urusan pasar. Pasar bisa subyektif di tingkat konsumen, tetapi bisa obyektif di tingkat pembentukan pasar. Kritik seni yang perannya berubah menjadi pendapat konsumen atau pendapat pasar adalah kritik seni yang sebenarnya lebih menjalankan perannya sebagai “promotor seni”.
Bergesernya peran kritik seni menjadi promotor seni sebenarnya berhubungan dengan dekatnya kritik seni atas media massa, bersamaan itu dengan lemahnya peran akademis dan penelitian.
Media massa, terutama karena provokasi media tv, membuat politik jurnalisme kian mendekati dirinya sebagai “jurnalisme gaya hidup” yang menggunakan kecantikan, kekerasan, dan selebriti sebagai performance dan politik pembacaannya. Kesenian yang bermain di lapis bawah cenderung tidak mendapatkan ruang dan kritik, bersaing dengan kesenian dari seniman selebriti.
Karena itu pula medan baca kesenian cenderung kehilangan halaman lain oleh jurnalisme gaya hidup seperti ini, di mana kritik seni lebih menjalankan perannya sebagai promotor seni.
Pendidikan dan tradisi
Pada pihak lain, dunia akademis, baik sastra maupun disiplin seni lainnya, hampir tidak memiliki sumbangan untuk pengembangan wacana seni dewasa ini, kecuali dari ilmu-ilmu komunikasi dan antropologi seni.
Dunia pendidikan juga harus menerima nasibnya seperti media massa, di mana budaya saintis dalam kehidupan kampus kian tergantikan oleh budaya gaya hidup (konsumerisme). Menjadi mahasiswa sama seperti memasuki gaya hidup, siswa dan mahasiswa masuk tv, tv juga masuk ke sekolah dan ke kampus.
Dunia pendidikan seni seperti sibuk dengan urusan birokrasi, proyek pertunjukan, dan soal-soal teknis kesenian. Cenderung melahirkan seniman yang cukup tangguh secara teknis, tetapi basis intelektualnya untuk mencipta cukuplah miskin.
Pendidikan tari paling menderita dalam hal ini karena hanya mahasiswa tarilah yang paling dibebani untuk mewarisi tradisi dibandingkan dengan disiplin seni lain yang lebih memiliki kebebasan untuk mencipta. Tradisi yang umumnya lahir dari sikap “melakoni”, oleh pendidikan hanya diperlakukan sebagai pola-pola teknik dalam metodologi penerapannya. Gaya hidup membuat “salonisasi tradisi” tak terhindarkan berlangsung lewat pendidikan tari.
Tradisi kehilangan kelanjutannya dalam konteks perubahan yang dibawa oleh generasi selanjutnya. Dalam fenomena ini tradisi sebenarnya bukan diwariskan ke generasi di selanjutnya, melainkan ditaklukkan dan diringkus untuk sebuah kemasan gaya hidup.
Ketika politik identitas dibiarkan dikuasai gaya hidup, tradisi pun terancam kehilangan sejarahnya sendiri.
* Afrizal Malna, Penyair
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/esai-gaya-hidup-delete-kritik-seni.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar