Sabtu, 10 September 2011

MUHAMMAD IQBAL: FILOSOF KEBANGKITAN TIMUR DAN DUNIA ISLAM

Abdul Hadi W.M.

Muhammad Iqbal — Sang Allama, begitu dia disebut di negerinya – adalah seorang filosof sastrawan Timur paling terkemuka pada abad ke-20 M yang pernah dilahirkan dunia Islam. Gelar yang patut diberikan kepadanya ialah Filosof Kebangkitan Timur dan Islam. Judul buku-bukunya sendiri, yang di dalamnya gagasan-gagasan pembaharuannya dituangkan dalam ungkapan puisi yang indah dan inspiratif, selalu mengacu pada tema kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan Islam. Misalnya Payami Masyriq (Pesan Dari Timur) dan Pas Chih Bayad Kard Aye Aqwami Syarq (Apa Yang Harus Kau Lakukan O Bangsa-bangsa Timur?”. Himpunan ceramahnya yang terkenal diberi judul Membangun Kembali Pemikiran Keagamaan Dalam Islam.
Puisi-puisinya sering dinilai sebagai karya profetik, karena ditulis berdasar visi kerohanian yang terang dan mampu memberi petunjuk tentang arah masa depan peradaban umat manusia. Konsep kunci pemikiran falsafahnya ialah khudi(Diri) dan ‘isyq (Cinta), merupakan gagasan revolusioner pada masanya dan relevan pada masa kini. Gagasan ini lahir dilatarbelakangi keprihatinan Iqbal terhadap kondisi buruk umat Islam pada abad ke-20 disebabkan kelemahan-kelemahannya sendiri, terutama rasa kurang percaya diri kaum Muslimin terhadap kekuatan ajaran agamanya dan khazanah budayanya yang kaya.

Iqbal merasa prihatin menyaksikan betapa kaum Muslimin di banyak negeri tidak lagi memiliki sistem nilai dan pandangan dunia (weltanschauung) yang islami, dan juga tidak pernah berusaha lagi membangun kebudayaan dan peradabannya berdasarkan sistem pengetahuan Islam. Bahkan mereka tidak peduli dan menyerah begitu saja kepada sistem nilai asing yang dicekokkan dan didiktekan kepada mereka, dan dengan fanatiknya pula membela sistem dan kebudayaan asing itu. Lebih daripada itu Iqbal melihat betapa kaum Muslim tidak mempunyai tujuan dan cita-cita hidup yang tinggi. Cita-cita mereka terbatas pada soal-soal kebendaan dan kedudukan. Ini semua merupakan pertanda kemunduran Islam dan hilangnya identitasnya. Falsafah Iqbal tentang khudi berkaitan dengan itu semua.

Dalam sajaknya Iqbal menulis “Kepada Saqi, Penuang Anggur” lebih kurang:

Adat zaman mulai bertukar
Nada dan lagu baru terdengar di mana-mana
Dari mimpi masa silamnya Cina mulai bangkit

Namun orang Islam yang berpegang pada Tauhid
Jiwanya masih terbelenggu tali keramat
Seni, hukum, falsafah dan ilmu kalamnya
Masih tercemar praktek penyembahan berhala

Pada akhir bait puisinya Iqbal menyatakan, “Kini Islam tak lebih dari timbunan abu dingin dan gelap”. Keterpurukan Islam, menurut Iqbal, disebabkan ulama dan cendekiawan Muslim tidak mampu menafsirkan kembali ajaran agamanya dengan segar dan relevan dengan zamannya yang sedang berubah. Namun untuk memahami gagasan Iqbal memang tidak mudah. Latar belakang sejarah serta kondisi sosial ekonomi, politik dan budaya umat Islam pada masa hidup Iqbal juga mesti dpahami.

Tiga Golongan Orang Islam

Iqbal lahir di Sialkot, sekarang masuk wilayah Pakistan, pada 22 Februari 1873 dan wafat di Lahore pada 21 April 1938. Dia memperoleh pendidikan dasar di maktab, setara dengan madrasah di negeri kita. Pendidikan menengahnya di Scottish Mission School Lahore, sedang pendidikan tingginya diperoleh di Government College, juga di Lahore. Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya di Cambridge University, London untuk mendapat gelar MA di bidang hukum. Gelar doktor di bidang falsafah ia peroleh di Universitas Munchen, Jerman.

Walaupun Iqbal memperoleh pendidikan di Eropah, namun pengetahuan tentang Islam juga tidak tenggelam oleh pengetahuan Baratnya. Ia memang memiliki sikap yang kritis terhadap ulama dan pemikiran tradisionalnya, namun terhadap peradaban modern Barat dia juga sangat kritis. Kondisi buruk yang dihadapi umat Islam di bawah sistem kolonial Inggeris yang diskriminatif, merupakan sumber renungan puisi dan dasar pijak pemikiran falsafahnya.

Pada awal abad ke-19 M Dinasti Mughal, yang lebih kurang tiga abad memegang tampuk pemerintahan di India dan membawa Islam pada puncak kejayaannya di bidang intelektual, keagamaan dan budaya; mengalami keruntuhan. Kegelapan mulai meliputi kehidupan umat Islam disebabkan semakin kuatnya cengkeraman kolonialisme Inggeris. Kebijakan pemerintah kolonial Inggeris yang diskriminatif terhadap kaum Muslimin berakibat fatal: umat Islam semakin terpuruk dalam hampir semua lapangan kehidupan. Dalam ekonomi dan politik mereka menjadi kaum paria yang tidak berdaya, begitu juga di bidang intelektual dan kebudayaan. Degradasi moral pula mulai melanda kelas menengah Muslim. Yang sangat ketara lagi semakin mundurnya pemikiran para ulama di bidang agama dan intelektual.

Yang lebih menyedihkan lagi bagi Iqbal ialah terpecah-belahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan, yang kian memperlemah solidaritas antar sesama Muslim. Setidak-tidaknya di India ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga golongan besar mengikuti kecenderungan pemikiran para pemimpin atau ulama masing-masing. Golongan pertama ialah sekelompok kelas menengah yang mendapat pendidikan Barat. Kebanyakan mereka tidak lagi mengenal ajaran agama secara mendalam, dan sangat dangkal pengetahuannya tentang kebudayaan dan peradaban Islam. Pemahaman yang dangkal dan buruk ini diperoleh dari sistem pendidikan Inggeris yang mereka ikuti.

Mereka lebih akrab dengan kebudayaan Barat dan tumbuh menjadi pembela fanatik sekularisme. Islam di mata mereka setali tiga uang dengan keterbelakangan dan kemunduran. Mereka takjub dan silau terhadap Barat bukannya tanpa pamrih. Dengan menyerap pola hidup dan pola pikir Barat mereka mengharpkan pemerintah kolonial Inggeris bersimpati kepada mereka dan naik martabatnya. Menurut Iqbal golongan inilah yang paling nyata kehilangan khudi(diri) dan asing terhadap ajaran Islam dan kebudayaan Islam. Mereka gemar meniru pola hidup Barat yang cenderung materialistis dan hedonistis. Tentang golongan ini Iqbal menulis menulis dalam sebuah puisinya dengan nada menyindir:

Rahasia kekuatan Barat bukan dalam nada suling dan gitarnya
Pun tidak dalam tari setengah telanjang gadis-gadisnya
Tidak pula karena persona kemolekan wanitanya
Pun bukan disebabkan buah dadanya dipamerkan dan rambut dipotong
pendek

Kekuatan Barat bukan pula karena sekularisme
Kemajuannya tidak disebabkan menggunakan huruf Latin
Kekuatan Barat terletak pada ilmu pengetahuan dan seninya
Lampunya menyala terang oleh karena api ini

Pengetahuan tidak tergantung pada mode dan corak pakaian
Surban tidak merintangimu memperoleh pengetahuan

Golongan kedua, yang juga dikritik habis-habisan oleh Iqbal, ialah Muslim tradisional yang berpikiran picik dan gemar bertaqlid pada ulama yang pandangan keagamaannya mandeg total. Karena golongan ini sangat benci kepada Inggeris, maka segala hal yang berasal dari Barat mereka tolak. Mereka tumbuh menjadi golongan yang picik dan tertutup. Mereka tidak mau mempelajari ilmu pengetahun modern sebab berasal dari Barat dan tidak juga mau belajar bahasa Inggeris untuk meningkatkan pengetahuannya. Iqbal pun memandang golongan ini sebagai kelompok soaial yang telah kehilangan khudi atau dirinya yang sejati. Di tangan mereka agama jatuh menjadi sehiimpunan upacara dan bentuk peribadatan formal yang tidak membawa transformasi dan perubahan yang bermakna kepada penganutnya. Ayat-ayat kitab suci dibaca dan dihafal tanpa diikuti rasa ingin mengetahui maknanya secara mendalam. Bahkan tidak jarang yang menganggap kalimat-kalimat suci sebagai azimat untuk menangkal diri dari ancaman bahaya.

Padahal, menurut Iqbal dan banyak cendekiawan Muslim lain, al-Qur`an mengajarkan kepada umat agar mencintai ilmu pengetahuan dan mengasah akal pikirannya. Dan yang disebut ilmu pengetahuan tidak terbatas ilmu-ilmu agama, tetapi juga termasuk ilmu pengetahuan alam dan sosial, ilmu-ilmu kemanusiaan dan kebudayaan. Bahkan peradaban dan kebudayaan Islam berkembang pesat pada zaman kejayaan Abbasiyah di Baghdad, karena orang Islam giat mempelajari bahasa-bahasa dan kebudayaan dari luar Islam seperti Yunani, Persia, India, Cina dan Byzantium. Namun dalam menyerap kebudayaan, falsafah dan ilmu pengetahuan dari luar itu para cendekiawan dan filosof Muslim bersikap kritis; dan dengan metode dan caranya yang sendiri yang didapat ajaran agamanya dapat mengembangkan corak pemikiran, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sendiri.

Terhadap golongan kedua ini Iqbal menulis sajak yang tidak kalah pedas kecamannya, lebih kurang seperti berikut:

Agama sejati tenggelam, kalah dari bukan agama
Bagi para mullah agama ialah kesibukan mengecam orang sebagai kafir
Bagi mereka yang sekuler, agama ialah bagaimana mengatur siasat
Dan menimbun kekayaan walaupun merugikan agama anutannya
Bagi para mullah agama ialah bagaimana mendatangkan kesukaran
Atas nama kitab suci dan Tuhan

Golongan masyarakat Muslim lain yang juga dikecam oleh Iqbal ialah para pengikut tarekat sufi yang dekaden. Mereka acuh tak acuh terhadap pemulihan kehidupan sosial ekonomi orang Islam. Mereka melarikan diri dari kehidupan nyata dan tenggelam dalam kehidupan spiritual yang palsu. Padahal Islam tidak memusuhi dunia meskipun meninggikan akhirat. Mengeritik golongan ketiga dan juga kedua Iqbal menulis dalam sajak “Kepada Saqi, Penuang Anggur”:

Kebenaran ajaran agama terkubur dalam timbunan sampah
Dan upacara-upacara sesat menenggelamkan kalimah syahadatnya
Khotbah para ulamanya memang enak didengar telinga
Namun kehilangan api cinta sejati

Kaum sufinya dulu dikenal sebagai Kesatria Tuhan yang tak kenal rasa
takut
Tidak tertandingi dalam cinta dan makrifat
Namun kini mereka telah berubah jadi pesilat lidah
Dan tukang khayal yang menyedihkan

Yang ideal bagi Iqbal untuk memajukan peradaban Islam ialah bagaimana memadukan akal dan wahyu, metode rasional dan metode intuitif, pengetahuan dan cinta, ilmu dan iman. Di Barat, kata Iqbal, hanya akal yang diutamakan dan iman disingkirkan. Di Timur kaum pendeta dan terpelajarnya hanya menekankan pada intuisi dan perasaan, tetapi mengabaikan akal atau rasio. Iman dan cinta penting karena manusia adalah hamba-Nya, dan untuk berdialog dengan Tuhan memerlukakan sarana iman dan cinta. Namun sebagai khalifah-Nya di muka bumi, manusia harus mendayagunakan akalnya dan giat mencari pengetahuan agar dapat mengemban amanat Tuhan untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan di bumi.

Khudi dan Kebangunan Islam

Apa yang dimaksud khudi dalam pemikiran falsafah Iqbal? Apa relevansinya bagi kita dan bagaimana kaitan sebenarnya dengan gagasan kebangunan kembali Islam sebagai agama profetik? Sebagaimana telah dikemukakan, gagasan Iqbal tentang khudi pada mulanya bertolak dari keprihatinannya terhadap keadaan umat Islam di India yang telah mulai kehilangan diri dan jati dirinya. Jadi gagasan ini lebih bersifat sosiologis dibanding bersifat falsafah. Tetapi kemudian, terutama sebagai nampak dalam buku puisinya Asrar-i Khudi (Rahasia-rahasia Diri, 1905) gagasan tentang khudidiperluas dan diperdalam, dan dalam puisi-puisi Iqbal yang lebih kemudian lagi dikaitkan dengan kebangunan kembali Islam pada abad ke-20 M.

Pusat kehidupan kemanusiaan dan sumber eksistensi kita sebagai manusia, menurut Iqbal ialah Diri. Dirilah yang bertanggungjawab memilih yang paling sesuai dan juga memilih cara untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup. Tingkat intensitas dan kelemahan khudi dalam diri setiap insan yang menentukan kekuatan dan kelemahan seseorang atau suatu bangsa. Semakin penuh kesadaran dirinya, semakin tinggi cita-cita dirinya, semakin kuat kehendak dan semangat bangsa tersebut mencpai cita-citanya dan tidak menyerah pada cita-cita bangsa lain yang dipaksakan kepadanya.

Dalam bahasa yang sederhana khudi merupakan pusat kesadaran manusia dan disebabkan kenyataan ini manusia dipandang sebagai mahkluq kerohanian. Sebagai kenyataan rohani khudi merupakan kesadaran dan perasaan bawaan yang membimbng manusia menuju martabatnya. Iqbal bertolak dari ayat al-Qur`an surah Ali Imran, “Sesungguhnya Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah dirinya (kesadaran diri, atau alam pikirannya.” Esensi khudi mengacu pada pengertian yang dikemukakan al-Qur`an tentang kedudukan manusia di alam semesta dan di tengah mahkluq lain, yaitu sebagai khalifah Tuhan dan juga sebagai hamba-Nya.

Gagasan Iqbal ini dikembangkan dari gagasan para sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Abdul Karim al-Jili mengenai Insan Kamil (Manusia Universal). Rujukannya dijumpai dalam al-Qur’an misalnya dalam surat al-Baqarah 30: “Alam semesta dicipta bagi manusia dan manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.” Juga dalam al-Qur’an 15:29, “Allah mencipta manusia menurut gambaran-Nya, meniupkan ruh ke dalam tubuhnya.” Begitu pula al-Qur’an menyebut manusia sebagai makhluq yang paling banyak menerima anugerah kemampuan intelektual. Ayat yang dirujuk Iqbal untuk memperkuat gagasan tentang realisasi diri (khudi) menuju martabat Insan Kamil, ialah al-Qur’an 51:20-21. Di situ dinyatakan bahwa ayat-ayat Tuhan terbentang di langit dan bumi, serta di dalam diri manusia. Ini menurut Iqbal merupakan pertanda pentingnya realisasi diri ke arah pribadi yang menyerupai gambaran-Nya.

Iqbal juga mengutip Hadis riwayat Muslim dan Bukhari, “Seseorang yang merealisasikan martabatnya sebagai khalifah Tuhan di bumi, tidak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun”. Pepatah Sufi menyatakan, “Barang siapa yang dapat merealisasikan dirinya, dia merealisasikan Tuhannya.” Menurut Iqbal khudi atau Diri dapat tumbuh dan menjadi teguh apabila diperkuat oleh Cinta (`isyq). Cinta adalah kecenderungan kuat terhadap sesuatu yang dicintai. Cinta seorang Muslim yang paling tinggi ditujukan kepada Tuhan, kemudian kepada ajaran agama dan Nabi sebagai pembimbingnya di jalan keimanan dan tauhid.

Cinta dalam falsafah Iqbal juga diartikan sebagai iman dan juga intuisi intelektual. Dalam pengertian yang demikian Cinta merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan di luar jalan yang rasional dan empiris, tetapi melalui ilham profetik atau visi kerohanian yang terang. Cinta juga merupakan prinsip kreatif kehidupan. Manusia dapat merealisasikan dirinya bukan semata-mata melalui ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan Cinta. Pengetahuan intuitif juga disebut Cinta dan ia dibangun oleh seorang Muslim dengan jalan memperbanyak ibadah dan amal saleh.

Adanya kesadaran mendalam mengenai khudi dan kuatnya cinta kaum Muslimin terhadap ajaran agama, beserta khazanah intelektual dan budayanya, merupakan syarat kebangunan kembali Islam pada abad ini. Tanpa kebangunan Diri, tidak mungkin umat Islam mengalami kebangkitan. Tanpa jati diri dan percaya diri, juga terhadap tauhid sebagai inti ajaran agamanya, kaum Muslimin tidak akan dapat merevitalisasi peradabannya yang pernah jaya dan cemerlang di masa lalu.

15 November 2010
Sumber: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/muhammad-iqbal-filosof-kebangkitan-timur-dan-dunia-islam/178249592230374

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito