Djoko Pitono
http://ppsjs.blogspot.com/
ilang jenenge kawula,
sirna datan ana keri,
pan ilang wujudira,
tegese hyang widi,
ilang wujude iku,
anenggih perlambangipun,
lir lintang karainan,
kasorotan ngilang ing rudita.
[Sunan Drajat, dalam Sinom]
Lembaga Kebudayaan Lamongan (LKD) bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan menggelar acara seminar tentang folklor Lamongan, rembug budaya, dan juga bedah novel Pendekar Sendang Drajat (PSD) karya sastrawan dan budayawan terkenal Viddy AD Daery.
Apresiasi yang tinggi layak diberikan kepada para pemrakarsa dan pendukung acara ini. Bukan basa-basi kalau saya sampaikan hal ini. Di tengah maraknya gempuran beragam produk asing, termasuk karya sastra dan budaya, muncul perhatian untuk tidak sekedar mengingat folklor tetapi juga melestarikan dan mempromosikannya. Sudah sepantasnyalah bila Pemkab Lamongan mendukung acara ini, karena dalam beberapa tahun ini laporan dan berita “keajaiban” daerah ini umumnya menyangkut perkembangan ekonomi dan perdagangan. Tak ada yang membantah bahwa Lamongan memang maju pesat, terutama sejak daerah ini dipimpin oleh Bupati Masfuk.
Tetapi bagaimana kondisi kehidupan seni dan budaya di daerah ini, itulah yang bakal didiskusikan dalam acara hari ini.
Kita sekarang berbicara tentang folklor. Makhluk apakah ini? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, folklor didefinisikan sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. Atau, ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.
Menurut Prudentia MPSS, staf pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), folklor dibagi dalam dua jenis, yaitu tulisan (keberaksaraan) dan lisan. Folklor tulisan di antaranya meliputi arsitektur rakyat, kerajinan tangan, tenun tradisional, dan musik tradisional. Folklor lisan di antaranya berupa cerita rakyat, legenda, mite, dongeng, hukum tak tertulis, dan mantra-mantra pengobatan.
Mungkin ada yang bertanya, boleh jadi dengan nada sinis, untuk apa di tengah globalisasi seperti sekarang ini kita membicarakan produk-produk kuno seperti itu? Zaman gini masih bicara folklor? Adalah hak seseorang untuk bicara seperti itu. Tetapi jelas, folklor bukanlah cerita omong kosong. Prudentia menegaskan, folklor adalah budaya yang mampu digunakan sebagai jendela atau alat untuk memahami masyarakat atau komunitas yang menciptakannya, termasuk kecenderungan- kecenderungan penguasa.
Terkait dengan ini, Lamongan adalah daerah yang kaya dengan folklor. Cerita-cerita rakyat yang terkait dengan Sunan Drajat saja amat banyak. Apa yang telah dirintis oleh Saudara Viddy adalah upaya menggali dan mempromosikan warisan budaya masyarakat Lamongan. Novel Pendekar Sendang Drajat (PSD) memang kisah fiktif, tetapi Viddy mampu mengemasnya sedemikian rupa dengan warna sejarah di seputar Sunan Drajat. Sudah lama masyarakat kita tidak menikmati cerita-cerita silat berlatarbelakang sejarah Jawa, seperti Bende Mataram dan Api di Bukit Menoreh. Novel PSD akan mengisi kekosongan tersebut.
Siapa yang akan menyusul Saudara Viddy? Saya pribadi yakin, daerah ini memiliki bibit-bibit pengarang dan intelektual yang bagus. Kepedulian para cerdik pandai di daerah ini, juga Pemkab Lamongan, akan memacu semangat generasi muda untuk berkarya. Tetapi yang jelas, untuk menggali khasanah folklor di Lamongan dan mempromosikannya tentu memperlukan ketrampilan dan pemahaman hal-hal yang terkait dengan itu. Salah satunya adalah ketrampilan dan permahaman bahasa daerah atau lokal.
Untaian kata-kata yang indah dalam tembang Sinom yang diwariskan Sunan Drajat seperti ditulis di awal tulisan ini adalah sekedar contoh. Seberapa banyak anak-anak sekolah kita yang memahami makna tembang tersebut?
Pentingnya Bahasa Lokal
Di tengah iklim globalisasi sekarang ini, bahasa lokal terasa makin tersingkir. Apa yang sering dibicarakan adalah peranan bahasa Inggris yang makin kuat. Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan di internet. Di banyak negara, para pembela bahasa mengeluh karena bahasa Inggris “merusak” bahasa-bahasa lokal. Di Prancis, Rusia, Italia , Indonesia hingga Brasil di Amerika Selatan, penggunaan bahasa Inggris menyeruak di mana-mana.
Papan-papan reklame dan iklan sering menggunakan bahasa Inggris. Di seminar-seminar, sebagian pembicara sering menggunakan bahasa Inggris, juga menggunakan kutipan-kutipan dalam bahasa itu. Mengapa bahasa Inggris tak terbendung?
Pentingnya bahasa Inggris sekarang adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Bahasa itu berkembang pesat karena besarnya pengaruh ekonomi, politik, budaya hingga militer Inggris, yang kemudian digantikan Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk Internet juga banyak dimotori Amerika sehingga kekuatan bahasa Inggris pun makin kokoh. Bahasa Inggris memang telah menggantikan kedudukan bahasa Jerman di bidang iptek dan bahasa Prancis di bidang diplomasi.
Tetapi di tengah gencarnya penyebaran bahasa Inggris, sebenarnya juga sedang berkembang kesadaran baru tentang pentingnya peran bahasa-bahasa lokal dan bahasa-bahasa etnis. Berkembang pula upaya secara “diam-diam” untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang hampir punah. Di negeri ini, misalnya, para pakar bahasa telah memperingatkan bahaya punahnya bahasa-bahasa daerah. Termasuk bahasa Jawa, meskipun penuturnya cukup besar.
Kecenderungan menyangkut bahasa-bahasa yang tersingkir itu sebenarnya memberikan banyak pelajaran berharga. Orang boleh jadi akan diketuk hatinya untuk kembali ke fitrahnya semula, sebagai manusia yang tak bisa dilepaskan dari bahasa ibu (native tongue). Selain itu, mungkin juga tumbuhnya kesadaran betapa pentingnya penghormatan pada setiap bahasa yang ada untuk memelihara harmoni di masyarakat. Bukan tak mungkin pula akan tumbuh minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa-bahasa nenek moyang, suatu cara untuk memahami budaya masyarakat tertentu secara utuh.
Setiap Bahasa Indah
Kesadaran untuk menyelamatkan bahasa lokal juga muncul di masyarakat Indian di Santa Fe , New Mexico , Amerika Serikat. Dalam acara Native Youth Language Fair, para siswa SMU keturunan Indian menyanyikan lagu-lagu dalam beragam bahasa Indian. Tak kurang 13 bahasa yang digunakan, mulai dari bahasa Indian Cherokee dan Comanche hingga Oneida, Navajo dan Apache.
Ada pernyataan yang memedihkan sekaligus membesarkan hati dari acara tersebut. Direktur Institut Bahasa Pribumi, Inee Yang Slaughter, mengatakan, meskipun tempat-tempat perlindungan masyarakat Indian di seluruh Amerika makin meningkat, banyak suku Indian memandang bahasa-bahasa mereka sudah punah. Dari 300 bahasa Indian atau lebih, hanya 175 bahasa yang masih hidup.
Dari bahasa-bahasa itu, hanya 20 bahasa yang dipandang sebagai sebagai Kelas A, artinya digunakan oleh semua usia; 30 bahasa masuk Kelas B, yang hanya dipakai orang dewasa; 70 bahasa masuk Kelas C, yang hanya dipakai kakek dan nenek; dan 55 bahasa termasuk Kelas D, yang hanya digunakan orang-orang Indian berusia di atas 70 tahun.
Lenyapnya bahasa-bahasa itu tak dipisahkan dari sejarah kelam hubungan ras di Amerika di masa lalu. Sejarah mencatat bagaimana upaya asimilasi pada abad ke-19 menorehkan kesengsaraan pada masyarakat Indian. Banyak anak Indian dipisahkan secara paksa dari keluarganya dan dimasukkan asrama-asrama sekolah. Mereka dipaksa menghilangkan semua identitasnya sebagai orang Indian. Kadang-kadang mereka dipukuli karena berbicara bahasa ibunya.
Selain menyangkut kebijakan, perselisihan antara kelompok masyarakat dengan kelompok lain atau suatu negara dengan negara lain sering pula berakar dari ketidakpahaman bahasa dan budaya.
Satu poin penting di sini adalah tidak ada bahasa yang lebih unggul atau lebih indah. Setiap bahasa indah dan punya keunggulan sendiri. Hanya orang yang congkak –atau sebaliknya rendah diri — yang percaya satu bahasa tertentu lebih indah, lebih merdu atau lebih rasional dari bahasa lainnya. Terlepas dari kekuatan perannya, setiap bahasa tentu punya keindahan. Kata “jujur” sama derajat dan sama merdunya dengan honest, sama dengan eerlijk, juga tak beda dengan honnete.
Demikian juga kalimat bahasa Jawa Panjenengan pidalem wonten ing pundi? Kalimat ini tidak lebih rendah tingkatnya, juga tidak kurang merdunya dibanding kalimat dalam bahasa lain: Di mana anda tinggal?, atau Where do yo live?, atau Waar woont u?, dan juga Ou demeurez-vous?
Penghormatan pada eksistensi bahasa-bahasa lokal dewasa ini memang tuntutan. Kita memang harus semakin sadar bahwa dalam galaksi bahasa, setiap bahasa seseorang adalah bintang.
Persoalannya, ketika kita bicara tentang folklor di negeri ini, termasuk di Lamongan, apakah senjata kita seperti bahasa daerah (dan kuno) sudah memadai?
*) Djoko Pitono adalah Jurnalis, Pengarang, dan Editor Buku.
–kiriman Viddy AD Daery melalui milis
Dijumput dari: http://ppsjs.blogspot.com/2009/08/melestarikan-folklor-mempromosikan.html
http://ppsjs.blogspot.com/
ilang jenenge kawula,
sirna datan ana keri,
pan ilang wujudira,
tegese hyang widi,
ilang wujude iku,
anenggih perlambangipun,
lir lintang karainan,
kasorotan ngilang ing rudita.
[Sunan Drajat, dalam Sinom]
Lembaga Kebudayaan Lamongan (LKD) bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan menggelar acara seminar tentang folklor Lamongan, rembug budaya, dan juga bedah novel Pendekar Sendang Drajat (PSD) karya sastrawan dan budayawan terkenal Viddy AD Daery.
Apresiasi yang tinggi layak diberikan kepada para pemrakarsa dan pendukung acara ini. Bukan basa-basi kalau saya sampaikan hal ini. Di tengah maraknya gempuran beragam produk asing, termasuk karya sastra dan budaya, muncul perhatian untuk tidak sekedar mengingat folklor tetapi juga melestarikan dan mempromosikannya. Sudah sepantasnyalah bila Pemkab Lamongan mendukung acara ini, karena dalam beberapa tahun ini laporan dan berita “keajaiban” daerah ini umumnya menyangkut perkembangan ekonomi dan perdagangan. Tak ada yang membantah bahwa Lamongan memang maju pesat, terutama sejak daerah ini dipimpin oleh Bupati Masfuk.
Tetapi bagaimana kondisi kehidupan seni dan budaya di daerah ini, itulah yang bakal didiskusikan dalam acara hari ini.
Kita sekarang berbicara tentang folklor. Makhluk apakah ini? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, folklor didefinisikan sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. Atau, ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.
Menurut Prudentia MPSS, staf pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), folklor dibagi dalam dua jenis, yaitu tulisan (keberaksaraan) dan lisan. Folklor tulisan di antaranya meliputi arsitektur rakyat, kerajinan tangan, tenun tradisional, dan musik tradisional. Folklor lisan di antaranya berupa cerita rakyat, legenda, mite, dongeng, hukum tak tertulis, dan mantra-mantra pengobatan.
Mungkin ada yang bertanya, boleh jadi dengan nada sinis, untuk apa di tengah globalisasi seperti sekarang ini kita membicarakan produk-produk kuno seperti itu? Zaman gini masih bicara folklor? Adalah hak seseorang untuk bicara seperti itu. Tetapi jelas, folklor bukanlah cerita omong kosong. Prudentia menegaskan, folklor adalah budaya yang mampu digunakan sebagai jendela atau alat untuk memahami masyarakat atau komunitas yang menciptakannya, termasuk kecenderungan- kecenderungan penguasa.
Terkait dengan ini, Lamongan adalah daerah yang kaya dengan folklor. Cerita-cerita rakyat yang terkait dengan Sunan Drajat saja amat banyak. Apa yang telah dirintis oleh Saudara Viddy adalah upaya menggali dan mempromosikan warisan budaya masyarakat Lamongan. Novel Pendekar Sendang Drajat (PSD) memang kisah fiktif, tetapi Viddy mampu mengemasnya sedemikian rupa dengan warna sejarah di seputar Sunan Drajat. Sudah lama masyarakat kita tidak menikmati cerita-cerita silat berlatarbelakang sejarah Jawa, seperti Bende Mataram dan Api di Bukit Menoreh. Novel PSD akan mengisi kekosongan tersebut.
Siapa yang akan menyusul Saudara Viddy? Saya pribadi yakin, daerah ini memiliki bibit-bibit pengarang dan intelektual yang bagus. Kepedulian para cerdik pandai di daerah ini, juga Pemkab Lamongan, akan memacu semangat generasi muda untuk berkarya. Tetapi yang jelas, untuk menggali khasanah folklor di Lamongan dan mempromosikannya tentu memperlukan ketrampilan dan pemahaman hal-hal yang terkait dengan itu. Salah satunya adalah ketrampilan dan permahaman bahasa daerah atau lokal.
Untaian kata-kata yang indah dalam tembang Sinom yang diwariskan Sunan Drajat seperti ditulis di awal tulisan ini adalah sekedar contoh. Seberapa banyak anak-anak sekolah kita yang memahami makna tembang tersebut?
Pentingnya Bahasa Lokal
Di tengah iklim globalisasi sekarang ini, bahasa lokal terasa makin tersingkir. Apa yang sering dibicarakan adalah peranan bahasa Inggris yang makin kuat. Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan di internet. Di banyak negara, para pembela bahasa mengeluh karena bahasa Inggris “merusak” bahasa-bahasa lokal. Di Prancis, Rusia, Italia , Indonesia hingga Brasil di Amerika Selatan, penggunaan bahasa Inggris menyeruak di mana-mana.
Papan-papan reklame dan iklan sering menggunakan bahasa Inggris. Di seminar-seminar, sebagian pembicara sering menggunakan bahasa Inggris, juga menggunakan kutipan-kutipan dalam bahasa itu. Mengapa bahasa Inggris tak terbendung?
Pentingnya bahasa Inggris sekarang adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Bahasa itu berkembang pesat karena besarnya pengaruh ekonomi, politik, budaya hingga militer Inggris, yang kemudian digantikan Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk Internet juga banyak dimotori Amerika sehingga kekuatan bahasa Inggris pun makin kokoh. Bahasa Inggris memang telah menggantikan kedudukan bahasa Jerman di bidang iptek dan bahasa Prancis di bidang diplomasi.
Tetapi di tengah gencarnya penyebaran bahasa Inggris, sebenarnya juga sedang berkembang kesadaran baru tentang pentingnya peran bahasa-bahasa lokal dan bahasa-bahasa etnis. Berkembang pula upaya secara “diam-diam” untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang hampir punah. Di negeri ini, misalnya, para pakar bahasa telah memperingatkan bahaya punahnya bahasa-bahasa daerah. Termasuk bahasa Jawa, meskipun penuturnya cukup besar.
Kecenderungan menyangkut bahasa-bahasa yang tersingkir itu sebenarnya memberikan banyak pelajaran berharga. Orang boleh jadi akan diketuk hatinya untuk kembali ke fitrahnya semula, sebagai manusia yang tak bisa dilepaskan dari bahasa ibu (native tongue). Selain itu, mungkin juga tumbuhnya kesadaran betapa pentingnya penghormatan pada setiap bahasa yang ada untuk memelihara harmoni di masyarakat. Bukan tak mungkin pula akan tumbuh minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa-bahasa nenek moyang, suatu cara untuk memahami budaya masyarakat tertentu secara utuh.
Setiap Bahasa Indah
Kesadaran untuk menyelamatkan bahasa lokal juga muncul di masyarakat Indian di Santa Fe , New Mexico , Amerika Serikat. Dalam acara Native Youth Language Fair, para siswa SMU keturunan Indian menyanyikan lagu-lagu dalam beragam bahasa Indian. Tak kurang 13 bahasa yang digunakan, mulai dari bahasa Indian Cherokee dan Comanche hingga Oneida, Navajo dan Apache.
Ada pernyataan yang memedihkan sekaligus membesarkan hati dari acara tersebut. Direktur Institut Bahasa Pribumi, Inee Yang Slaughter, mengatakan, meskipun tempat-tempat perlindungan masyarakat Indian di seluruh Amerika makin meningkat, banyak suku Indian memandang bahasa-bahasa mereka sudah punah. Dari 300 bahasa Indian atau lebih, hanya 175 bahasa yang masih hidup.
Dari bahasa-bahasa itu, hanya 20 bahasa yang dipandang sebagai sebagai Kelas A, artinya digunakan oleh semua usia; 30 bahasa masuk Kelas B, yang hanya dipakai orang dewasa; 70 bahasa masuk Kelas C, yang hanya dipakai kakek dan nenek; dan 55 bahasa termasuk Kelas D, yang hanya digunakan orang-orang Indian berusia di atas 70 tahun.
Lenyapnya bahasa-bahasa itu tak dipisahkan dari sejarah kelam hubungan ras di Amerika di masa lalu. Sejarah mencatat bagaimana upaya asimilasi pada abad ke-19 menorehkan kesengsaraan pada masyarakat Indian. Banyak anak Indian dipisahkan secara paksa dari keluarganya dan dimasukkan asrama-asrama sekolah. Mereka dipaksa menghilangkan semua identitasnya sebagai orang Indian. Kadang-kadang mereka dipukuli karena berbicara bahasa ibunya.
Selain menyangkut kebijakan, perselisihan antara kelompok masyarakat dengan kelompok lain atau suatu negara dengan negara lain sering pula berakar dari ketidakpahaman bahasa dan budaya.
Satu poin penting di sini adalah tidak ada bahasa yang lebih unggul atau lebih indah. Setiap bahasa indah dan punya keunggulan sendiri. Hanya orang yang congkak –atau sebaliknya rendah diri — yang percaya satu bahasa tertentu lebih indah, lebih merdu atau lebih rasional dari bahasa lainnya. Terlepas dari kekuatan perannya, setiap bahasa tentu punya keindahan. Kata “jujur” sama derajat dan sama merdunya dengan honest, sama dengan eerlijk, juga tak beda dengan honnete.
Demikian juga kalimat bahasa Jawa Panjenengan pidalem wonten ing pundi? Kalimat ini tidak lebih rendah tingkatnya, juga tidak kurang merdunya dibanding kalimat dalam bahasa lain: Di mana anda tinggal?, atau Where do yo live?, atau Waar woont u?, dan juga Ou demeurez-vous?
Penghormatan pada eksistensi bahasa-bahasa lokal dewasa ini memang tuntutan. Kita memang harus semakin sadar bahwa dalam galaksi bahasa, setiap bahasa seseorang adalah bintang.
Persoalannya, ketika kita bicara tentang folklor di negeri ini, termasuk di Lamongan, apakah senjata kita seperti bahasa daerah (dan kuno) sudah memadai?
*) Djoko Pitono adalah Jurnalis, Pengarang, dan Editor Buku.
–kiriman Viddy AD Daery melalui milis
Dijumput dari: http://ppsjs.blogspot.com/2009/08/melestarikan-folklor-mempromosikan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar