Judul : Dongeng Afrizal
Penulis : Pringadi Abdi Surya
Tebal : 166 halaman
Edisi : cetakan I, 2011
Penerbit : Kayla Pustaka _ Jakarta
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/
Kesan pertama setelah tuntas membaca Dongeng Afrizal, pikiran saya langsusng tertuju pada sang penulis, bahwa Pring (Panggilang Pringadi Abdi Surya) sedang tak waras, atau memang sudah tak waras lagi. Dan Pring harus bertanggung jawab manakala ada beberapa orang yang merasa pusing atau bahkan gila setelah membaca bukunya. Bagaimana tidak? Keliarannya benar-benar “tak beradab”.
Dari Surat ke Delapan hingga Senja terakhir di Dunia, saya mendapati kedalamanan dan ketakwarasan itu sudah “direncanakan” atau “terencanakan” di alam bawah sadarnya : sebelum atau pada saat ia menulis. Bukan hal yang tak mungkin ini membuat krenyit di kening pembaca. Beberapa kali kita diajaknya berlari, terpeleset, berjinjit, tersungkur, mundur menata kuda-kuda, dan kadang meloncat-loncat dalam imaji. Jadi tak salah jika saya bilang “Pring memang tak waras”.
Pada Surat ke Delapan, Pring menghadirkan konflik “kecil” dalam hubungan suami istri. Suatu kesalahpahaman yang tak dikomunikasikan, ternyata berpengaruh menimbulkan prasangka-prasangka “sepihak” yang menimbulkan masalah-maslah lain(baru) untuk selanjutnya.
Kisah seorang Alina hampir mendominasi cerita dalam buku ini. Kisah klasik Romeo dan Juliet yang diramu dalam berbagai versi dan“menu” , De Ja Vu yang tak bisa lepas dari kisah hidup anak manusia.
Resital Kupu-Kupu, Setan di Kepala Ibu, Djibril dan Aku, Maconda Melankolia, dan Fiksimaksi : Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas, sebagai ketakwajaran yang disuguhkan dengan “kengerian dunia lain”. Alam Ketuhanan yang dibuntal dengan gaya “ekstrim” ini bisa menyesatkan banyak kaum.
Keseluruhan cerita dalam realita, atau realita dalam certia di Dongeng Afrizal ini sangat kental dengan “penjelajahan” batin dan filsafat. Tak kalah seru dalam epilognya yang menampilkan beberapa rumus matematika, yang, oleh sebagian pembaca mungkin bukan hal yang penting untuk dituliskan. Mungkin juga demikian menurut sang penulis. Tetapi tahukah? Ruang-ruang yang coba ditampilkan, rumus-rumus matematika yang kaku dan baku, juga filsafat dan Ketuhanan, tak bisa dilepaskan dalam kehidupan seorang individu. Di sadari atau tidak semua hal di alam ini, bahkan ilmu pengetahuan adalah filsafat (Perbincangan bersama Khrisna dan Sholahuddin di suatu sore di beranda rumah). Dan itu memang benar. Filsafat yang dianggap sebagai kegilaan menuju kemurtadan kepada Tuhan tak lain dan tak bukan adalah perjalanan batin manusia mengenal Tuhannya. Bukankah untuk mengenal Tuhan lebih dari sekedar syari’at–(syariat + hakekat)–dibutuhkan suatu ketiadaan diri, ketiadaan identitas dan keinginan, serta segala yang lekat pada ke”diri”an seseorang? Dan kita semua tahu, itu hanya dimiliki oleh orang yang sudah mengalami “gila”. Gila(menghilangkan diri) terhadap diri sendiri dan gila (mabuk kepayang)untuk senantiasa menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang di hati dan “diri” kita. Dan ingatkah? Bagaimana kisah kegilaan Kusrau terhadap Syirin, Qais dan Layla juga serentetan kisah cinta lainnya. Secara harfiah memang, baik Kusrau maupun Qais tergila-gila dengan Syirin dan Layla, demikian juga sebaliknya. Tetapi lebih dari itu, mereka “mengagungkan” dan telah “gila” akan makna sebuah”cinta”. Bagaimana perjuangan, kenikmatan, dan efek yang diberikan cinta, tentang arti kerelaan, ketakberdayaan, pengorbanan, perjuangan, keikhlasan, juga macam nilai moral lainnya. Dan penggemblengan atas semua itu tak lain merujuk pada sifat-sifat mulia, yang tak lain dan tak bukan adalah manifestasi dari sifat-sifat yang 99 (Asmaul Husna) itu.
lalu apa hubungannya dengan kelimabelas cerita dalam Dongengnya Pringadi?
Tauhid dimaknai sebagai (mem)percaya(i) bahwa Allah itu satu/Esa.
Ketauhidan adalah kepercayaan, keyakinan, keimanan terhadap keesaan Allah s.w.t. Sesuatu yang dimiliki setelah selampauan peristiwa-peristiwa yang dialami disertai dengan pembuktian-pembuktian (sengaja atau tidak) yang didukung oleh kebenaran-kebenaran empiris, logika, juga dalil-dalil (aqli dan naqli).
Tak berlebihan jika ini ditarik pada karya milik Pringadi—khususnya terlihat pada epilognya—yang nyleneh itu. Ilmu matematika adalah ilmu yang berhubungan dengan logika. Dan logika perlu, bahkan harus dimiliki dan gunakan di dalam hidup dan kehidupan. Logika yang meliputi : categoriae (mengenai pengertian-pengertian), de interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan), analitica priora (tentang selogisme), analitica parteriora (mengenai pembuktian), topika (mengenai berdebat), dan de sophisticis elenchic (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Lepas dari beberapa pengertian yang ada dan bisa disistematikakan : logika naturalis,ilmiah, tradisioanl, modern, formal, deduktif, induktif, dansebagainya, logika sangat diperlukan untuk memahami dan menyakini sesuatu hal lewat penginderaan (lahir ataupun batin). Dan jika sampai pada ranah ini, kita menyebutnya sebagai keimanan. Keimanan terhadap Tuhan, benda, peristiwa, atau apapun (tergantung bagaimana diri pribadi menerjemahkannya).
Tauhid + logika, artinya berpikir tentang Tuhan, ketuhanan, dan segala macam yang meliputi dan berkenaan dengan Tuhan dan keTuhanan. Dari pengamatan sungai, langit, tumbuhan, manusia, hewan, dansebagainya yang ada di langit dan bumi sebagai pengejawantahan ciptaan/kekuasaan Allah s.w.t.
Pemikiran tentang Tuhan, sebagaimana konsekuensi logis ajaran tauhid, merupakan salah satu dari banyak tema yang paling sentral dalam tradisi filsafat (ketauhidaan-Agama) Islam. Baik Aristotelian, Neoplatonisme, Paripatetisme, maupun Illuminasionisme.1)
Ketidakwarasan dan “kemurtadan” Pring yang sedemikian kompllit dituturkan dalam gaya bahasa kuat. Bahasa kepenyairan yang digunakannya meledakkan segenap kegilaan yang bisa menyesatkan umat.
Ket : 1) Analisi Matematikan Terhadap Filsafat Islam. (Abd Azis, UIN Press 2006)
Ketuhanan + rasa + imaji + ke“binal”an = Dongeng(nya) Pringadi
Maka berhati-hatilah.
Haha….
Penulis : Pringadi Abdi Surya
Tebal : 166 halaman
Edisi : cetakan I, 2011
Penerbit : Kayla Pustaka _ Jakarta
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/
Kesan pertama setelah tuntas membaca Dongeng Afrizal, pikiran saya langsusng tertuju pada sang penulis, bahwa Pring (Panggilang Pringadi Abdi Surya) sedang tak waras, atau memang sudah tak waras lagi. Dan Pring harus bertanggung jawab manakala ada beberapa orang yang merasa pusing atau bahkan gila setelah membaca bukunya. Bagaimana tidak? Keliarannya benar-benar “tak beradab”.
Dari Surat ke Delapan hingga Senja terakhir di Dunia, saya mendapati kedalamanan dan ketakwarasan itu sudah “direncanakan” atau “terencanakan” di alam bawah sadarnya : sebelum atau pada saat ia menulis. Bukan hal yang tak mungkin ini membuat krenyit di kening pembaca. Beberapa kali kita diajaknya berlari, terpeleset, berjinjit, tersungkur, mundur menata kuda-kuda, dan kadang meloncat-loncat dalam imaji. Jadi tak salah jika saya bilang “Pring memang tak waras”.
Pada Surat ke Delapan, Pring menghadirkan konflik “kecil” dalam hubungan suami istri. Suatu kesalahpahaman yang tak dikomunikasikan, ternyata berpengaruh menimbulkan prasangka-prasangka “sepihak” yang menimbulkan masalah-maslah lain(baru) untuk selanjutnya.
Kisah seorang Alina hampir mendominasi cerita dalam buku ini. Kisah klasik Romeo dan Juliet yang diramu dalam berbagai versi dan“menu” , De Ja Vu yang tak bisa lepas dari kisah hidup anak manusia.
Resital Kupu-Kupu, Setan di Kepala Ibu, Djibril dan Aku, Maconda Melankolia, dan Fiksimaksi : Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas, sebagai ketakwajaran yang disuguhkan dengan “kengerian dunia lain”. Alam Ketuhanan yang dibuntal dengan gaya “ekstrim” ini bisa menyesatkan banyak kaum.
Keseluruhan cerita dalam realita, atau realita dalam certia di Dongeng Afrizal ini sangat kental dengan “penjelajahan” batin dan filsafat. Tak kalah seru dalam epilognya yang menampilkan beberapa rumus matematika, yang, oleh sebagian pembaca mungkin bukan hal yang penting untuk dituliskan. Mungkin juga demikian menurut sang penulis. Tetapi tahukah? Ruang-ruang yang coba ditampilkan, rumus-rumus matematika yang kaku dan baku, juga filsafat dan Ketuhanan, tak bisa dilepaskan dalam kehidupan seorang individu. Di sadari atau tidak semua hal di alam ini, bahkan ilmu pengetahuan adalah filsafat (Perbincangan bersama Khrisna dan Sholahuddin di suatu sore di beranda rumah). Dan itu memang benar. Filsafat yang dianggap sebagai kegilaan menuju kemurtadan kepada Tuhan tak lain dan tak bukan adalah perjalanan batin manusia mengenal Tuhannya. Bukankah untuk mengenal Tuhan lebih dari sekedar syari’at–(syariat + hakekat)–dibutuhkan suatu ketiadaan diri, ketiadaan identitas dan keinginan, serta segala yang lekat pada ke”diri”an seseorang? Dan kita semua tahu, itu hanya dimiliki oleh orang yang sudah mengalami “gila”. Gila(menghilangkan diri) terhadap diri sendiri dan gila (mabuk kepayang)untuk senantiasa menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang di hati dan “diri” kita. Dan ingatkah? Bagaimana kisah kegilaan Kusrau terhadap Syirin, Qais dan Layla juga serentetan kisah cinta lainnya. Secara harfiah memang, baik Kusrau maupun Qais tergila-gila dengan Syirin dan Layla, demikian juga sebaliknya. Tetapi lebih dari itu, mereka “mengagungkan” dan telah “gila” akan makna sebuah”cinta”. Bagaimana perjuangan, kenikmatan, dan efek yang diberikan cinta, tentang arti kerelaan, ketakberdayaan, pengorbanan, perjuangan, keikhlasan, juga macam nilai moral lainnya. Dan penggemblengan atas semua itu tak lain merujuk pada sifat-sifat mulia, yang tak lain dan tak bukan adalah manifestasi dari sifat-sifat yang 99 (Asmaul Husna) itu.
lalu apa hubungannya dengan kelimabelas cerita dalam Dongengnya Pringadi?
Tauhid dimaknai sebagai (mem)percaya(i) bahwa Allah itu satu/Esa.
Ketauhidan adalah kepercayaan, keyakinan, keimanan terhadap keesaan Allah s.w.t. Sesuatu yang dimiliki setelah selampauan peristiwa-peristiwa yang dialami disertai dengan pembuktian-pembuktian (sengaja atau tidak) yang didukung oleh kebenaran-kebenaran empiris, logika, juga dalil-dalil (aqli dan naqli).
Tak berlebihan jika ini ditarik pada karya milik Pringadi—khususnya terlihat pada epilognya—yang nyleneh itu. Ilmu matematika adalah ilmu yang berhubungan dengan logika. Dan logika perlu, bahkan harus dimiliki dan gunakan di dalam hidup dan kehidupan. Logika yang meliputi : categoriae (mengenai pengertian-pengertian), de interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan), analitica priora (tentang selogisme), analitica parteriora (mengenai pembuktian), topika (mengenai berdebat), dan de sophisticis elenchic (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Lepas dari beberapa pengertian yang ada dan bisa disistematikakan : logika naturalis,ilmiah, tradisioanl, modern, formal, deduktif, induktif, dansebagainya, logika sangat diperlukan untuk memahami dan menyakini sesuatu hal lewat penginderaan (lahir ataupun batin). Dan jika sampai pada ranah ini, kita menyebutnya sebagai keimanan. Keimanan terhadap Tuhan, benda, peristiwa, atau apapun (tergantung bagaimana diri pribadi menerjemahkannya).
Tauhid + logika, artinya berpikir tentang Tuhan, ketuhanan, dan segala macam yang meliputi dan berkenaan dengan Tuhan dan keTuhanan. Dari pengamatan sungai, langit, tumbuhan, manusia, hewan, dansebagainya yang ada di langit dan bumi sebagai pengejawantahan ciptaan/kekuasaan Allah s.w.t.
Pemikiran tentang Tuhan, sebagaimana konsekuensi logis ajaran tauhid, merupakan salah satu dari banyak tema yang paling sentral dalam tradisi filsafat (ketauhidaan-Agama) Islam. Baik Aristotelian, Neoplatonisme, Paripatetisme, maupun Illuminasionisme.1)
Ketidakwarasan dan “kemurtadan” Pring yang sedemikian kompllit dituturkan dalam gaya bahasa kuat. Bahasa kepenyairan yang digunakannya meledakkan segenap kegilaan yang bisa menyesatkan umat.
Ket : 1) Analisi Matematikan Terhadap Filsafat Islam. (Abd Azis, UIN Press 2006)
Ketuhanan + rasa + imaji + ke“binal”an = Dongeng(nya) Pringadi
Maka berhati-hatilah.
Haha….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar