(Catatan Kecil Kumpulan Cerpen Mahmud Jauhari Ali)
Hamberan Syahbana
http://www.radarbanjarmasin.co.id/
Saya baru saja membaca sebuah kumpulan cerpen karya Mahmud Jauhari Ali yang berjudul Imanku Tertelungkup di Kakinya. Kumpulan cerpen ini terbit edisi cetakan pertama April 2010 oleh Penerbit Araska Publisher Yogyakarta 2010. Sebuah buku kecil dengan disain cover yang indah menawan oleh N. Anjala dan editor Wiwik Indayani S.Pd.
Buku ini juga di komentari oleh Arsyad Indradi salah seorang Sastrawan/Penyair Nasional yang berdomisili di Banjarbaru Kalimantan Selatan, Agus R. Sarjono anggota Dewan Redaksi Majalah sastra Horison, Dimas Arika Mihardja (Prof. Dr. Sudaryono, M.Pd) dosen Bahasa dan Sastra Universitas Jambi, Tajuddin Noor Ganie sastrawan dan Pemimpin Pusat Pengkajian Masalah Sastra Kalimantan Selatan, dan Hamberan Syahbana.
Seperti biasa, cerpen-cerpen karya Mahmud begitu tenang tapi tetap mengharukan penuh greget dan menggugah nurani. Gaya menulis yang terbiasa dengan apik dan santun mengaduk-aduk berbagai masalah dengan imaji-imaji yang bernuansa humanis religius dan filosofis, membuat buku ini enak dibaca, diresapi, direnungkan dan dihayati. Dia juga sangat piawai menyajikan secara cermat nilai-nilai tradisi, sosial kemasyarakatan, relegi, budaya, estetis yang saling kait berkait dalam domain nilai moral dan kemanusiaan. Diantaranya nilai da’wah Islamiyah yang penuh dengan tuntunan hidup berumah tangga dan bermasyarakat. Kesemuanya tersaji dengan manis dalam: Tangisnya Membasahi Pundakku (hal. 11), Ustad Muda dan Perempuan Hamil (hal 18), Kuning, (hal 36) Imanku Tertelungkup di Kakinya (hal 46),Ia pun Terlihat Berbeda (hal 58), Darah dan Irisan Buah (hal 66), Aku Kembali kepada Kata (hal 75), Malam Lebaran di Penghujung Waktu (hal 82), Lamut (hal 92), dan Kala Cemburu Membakar Jiwa (hal 99).
Buku ini semakin dibaca ulang, direnungkan, diresapi dan dihayati maka filosofisnya semakin dapat dipahami, dan tentunya semakin jelas pula permasalahan-permasalahannya. Karena semua cerpen dalam buku ini bukan hanya jalinan cerita kosong, tapi lebih pada sebuah cermin pergumulan hidup dan kehidupan anak manusia yang bisa jadi telah terjadi di sektar kita, bahkan di mana-mana. Buku yang penuh ungkapan pikiran dan perasaan kepedulian Mahmud Jauhari Ali terhadap lingkungan sekitar, sosial kemasyarakatan dan sosial keberagamaan yang disajikannya lewat kritik dan sindiran halusnya. Secara piawai nurani pembacanya diarahkan menuju kesadaran penyesalan dan pertaubatan. Semuanya disajikannya dengan bahasa yang santun tenang balarut banyu yang pada akhirnya bermuara pada pencerahan jiwa, iman dan takwa.
Dalam buku ini betapa manisnya dan hampir tak terasa dia menyindir dan mengkritisi kebijakan yang melindas persawahan dan sungai di mana ia punya kenangan indah di masa kanak-kanaknya. Kini tak ada lagi sawah di sini. Sungai yang dulu menjadi sumber irigasi pun telah mati. Kini hanya kulihat menguning di bekas sawah kami. Bukan menguning oleh padi, melainkan menguning oleh warna bangunan perumahan yang memadatinya. [Kuning hal 45]
Mahmud juga sangat piawai merangkai kata dan menyajikannya lewat imaji visual membuat pembaca seakan-akan benar-benar melihat: Tubuhnya kemudian roboh di tanah becek dekat pohon beringin yang berdiri tegak. Tak ada manusia lain yang tahu ia roboh. Diciumnya mayat adik kesayangannya. Mayat wanita muda itu kini dipeluknya erat-erat. Ia menangis, hatinya pedih, wajahnya seperti orang gila yang sedang meringis campur tawa (Pemuda Tampan dalam Hutan, hal. 29). Udara semakin dingin. Petir menyambar-nyambar dan hujan pun turun dengan derasnya disertai angin kencang. Ia menggigil, suhu tubuhnya naik. Kala itu ia sangat menyesal, mengapa ia tak pernah menuruti kata-kata ayah dan ibunya. (Pemuda Tampan dalam Hutan, hal 33)
Tepat di hadapanku, seorang pemuda roboh dengan luka di tubuhnya. Seragam satpamnya yang putih dinodai darahnya sendiri yang masih segar hampir sewarna dengan kulit buah jambuku. Ia dihajar dua orang perampok sadis yang menyantroni toko emas milik pengusaha Cina. (Darah dan Irisan Buah, hal. 69)
Dia terdiam lagi. Lidahnya beku bak ditimpa gulungan es kutub selatan, hingga tak bisa lagi bergerak lincah seperti biasanya. Kutarik tubuhnya keluar dari kamar jahanam itu. Kulihat wanita cantik yang dari tadi di sebelahnya, ditingkahi ketakutan teramat sangat. ( Ustad Muda dan Perempuan Hamil. hal. 20)
Keesokan harinya, orang-orang yang hendak melaksanakan salat ied menemukan sesosok mayat lelaki muda tertindih sepeda motor di dekat mesjid. Wajah mayat lelaki itu terlihat bahagia. Bibirnya tersenyum beku. (Malam Lebaran di Penghujung Waktu. hal. 91)
Latifah yang melihat Romi hendak menembakkan peluru keduanya ke tubuh Hamid, langsung menjadikan dirinya perisai. Tak pelak lagi, Latifah pun roboh bersimbah darah. (Kala Cemburu Membakar Cinta, hal. 106) Romi benar-benar tak bisa membantah kata orang tua itu. Ia baru sadar, selama ini dia belum mencintai Latifah sepenuh hati. Ia menyadari pula bahwa selama ini hanya ketertarikan yang melekat di hatinya kepada Latifah (Kala Cemburu Membakar Cinta, hal. 108)
Buku kumpulan cerpen ini menarik untuk dibaca semua kalangan, dan ditinjau dari sudut manapun tetap menarik, patut dijadikan bahan pembahasan dalam essei, skripsi dan karya ilmiah lainnya. Dengan terbitnya kumpulan cerpen ini berarti bertambah lagi satu bacaan sastra karya anak banua yang patut kita acungi jempol. Selamat buat Mahmud Jauhari Ali.-
Banjarmasin, Mei 2010
Hamberan Syahbana
http://www.radarbanjarmasin.co.id/
Saya baru saja membaca sebuah kumpulan cerpen karya Mahmud Jauhari Ali yang berjudul Imanku Tertelungkup di Kakinya. Kumpulan cerpen ini terbit edisi cetakan pertama April 2010 oleh Penerbit Araska Publisher Yogyakarta 2010. Sebuah buku kecil dengan disain cover yang indah menawan oleh N. Anjala dan editor Wiwik Indayani S.Pd.
Buku ini juga di komentari oleh Arsyad Indradi salah seorang Sastrawan/Penyair Nasional yang berdomisili di Banjarbaru Kalimantan Selatan, Agus R. Sarjono anggota Dewan Redaksi Majalah sastra Horison, Dimas Arika Mihardja (Prof. Dr. Sudaryono, M.Pd) dosen Bahasa dan Sastra Universitas Jambi, Tajuddin Noor Ganie sastrawan dan Pemimpin Pusat Pengkajian Masalah Sastra Kalimantan Selatan, dan Hamberan Syahbana.
Seperti biasa, cerpen-cerpen karya Mahmud begitu tenang tapi tetap mengharukan penuh greget dan menggugah nurani. Gaya menulis yang terbiasa dengan apik dan santun mengaduk-aduk berbagai masalah dengan imaji-imaji yang bernuansa humanis religius dan filosofis, membuat buku ini enak dibaca, diresapi, direnungkan dan dihayati. Dia juga sangat piawai menyajikan secara cermat nilai-nilai tradisi, sosial kemasyarakatan, relegi, budaya, estetis yang saling kait berkait dalam domain nilai moral dan kemanusiaan. Diantaranya nilai da’wah Islamiyah yang penuh dengan tuntunan hidup berumah tangga dan bermasyarakat. Kesemuanya tersaji dengan manis dalam: Tangisnya Membasahi Pundakku (hal. 11), Ustad Muda dan Perempuan Hamil (hal 18), Kuning, (hal 36) Imanku Tertelungkup di Kakinya (hal 46),Ia pun Terlihat Berbeda (hal 58), Darah dan Irisan Buah (hal 66), Aku Kembali kepada Kata (hal 75), Malam Lebaran di Penghujung Waktu (hal 82), Lamut (hal 92), dan Kala Cemburu Membakar Jiwa (hal 99).
Buku ini semakin dibaca ulang, direnungkan, diresapi dan dihayati maka filosofisnya semakin dapat dipahami, dan tentunya semakin jelas pula permasalahan-permasalahannya. Karena semua cerpen dalam buku ini bukan hanya jalinan cerita kosong, tapi lebih pada sebuah cermin pergumulan hidup dan kehidupan anak manusia yang bisa jadi telah terjadi di sektar kita, bahkan di mana-mana. Buku yang penuh ungkapan pikiran dan perasaan kepedulian Mahmud Jauhari Ali terhadap lingkungan sekitar, sosial kemasyarakatan dan sosial keberagamaan yang disajikannya lewat kritik dan sindiran halusnya. Secara piawai nurani pembacanya diarahkan menuju kesadaran penyesalan dan pertaubatan. Semuanya disajikannya dengan bahasa yang santun tenang balarut banyu yang pada akhirnya bermuara pada pencerahan jiwa, iman dan takwa.
Dalam buku ini betapa manisnya dan hampir tak terasa dia menyindir dan mengkritisi kebijakan yang melindas persawahan dan sungai di mana ia punya kenangan indah di masa kanak-kanaknya. Kini tak ada lagi sawah di sini. Sungai yang dulu menjadi sumber irigasi pun telah mati. Kini hanya kulihat menguning di bekas sawah kami. Bukan menguning oleh padi, melainkan menguning oleh warna bangunan perumahan yang memadatinya. [Kuning hal 45]
Mahmud juga sangat piawai merangkai kata dan menyajikannya lewat imaji visual membuat pembaca seakan-akan benar-benar melihat: Tubuhnya kemudian roboh di tanah becek dekat pohon beringin yang berdiri tegak. Tak ada manusia lain yang tahu ia roboh. Diciumnya mayat adik kesayangannya. Mayat wanita muda itu kini dipeluknya erat-erat. Ia menangis, hatinya pedih, wajahnya seperti orang gila yang sedang meringis campur tawa (Pemuda Tampan dalam Hutan, hal. 29). Udara semakin dingin. Petir menyambar-nyambar dan hujan pun turun dengan derasnya disertai angin kencang. Ia menggigil, suhu tubuhnya naik. Kala itu ia sangat menyesal, mengapa ia tak pernah menuruti kata-kata ayah dan ibunya. (Pemuda Tampan dalam Hutan, hal 33)
Tepat di hadapanku, seorang pemuda roboh dengan luka di tubuhnya. Seragam satpamnya yang putih dinodai darahnya sendiri yang masih segar hampir sewarna dengan kulit buah jambuku. Ia dihajar dua orang perampok sadis yang menyantroni toko emas milik pengusaha Cina. (Darah dan Irisan Buah, hal. 69)
Dia terdiam lagi. Lidahnya beku bak ditimpa gulungan es kutub selatan, hingga tak bisa lagi bergerak lincah seperti biasanya. Kutarik tubuhnya keluar dari kamar jahanam itu. Kulihat wanita cantik yang dari tadi di sebelahnya, ditingkahi ketakutan teramat sangat. ( Ustad Muda dan Perempuan Hamil. hal. 20)
Keesokan harinya, orang-orang yang hendak melaksanakan salat ied menemukan sesosok mayat lelaki muda tertindih sepeda motor di dekat mesjid. Wajah mayat lelaki itu terlihat bahagia. Bibirnya tersenyum beku. (Malam Lebaran di Penghujung Waktu. hal. 91)
Latifah yang melihat Romi hendak menembakkan peluru keduanya ke tubuh Hamid, langsung menjadikan dirinya perisai. Tak pelak lagi, Latifah pun roboh bersimbah darah. (Kala Cemburu Membakar Cinta, hal. 106) Romi benar-benar tak bisa membantah kata orang tua itu. Ia baru sadar, selama ini dia belum mencintai Latifah sepenuh hati. Ia menyadari pula bahwa selama ini hanya ketertarikan yang melekat di hatinya kepada Latifah (Kala Cemburu Membakar Cinta, hal. 108)
Buku kumpulan cerpen ini menarik untuk dibaca semua kalangan, dan ditinjau dari sudut manapun tetap menarik, patut dijadikan bahan pembahasan dalam essei, skripsi dan karya ilmiah lainnya. Dengan terbitnya kumpulan cerpen ini berarti bertambah lagi satu bacaan sastra karya anak banua yang patut kita acungi jempol. Selamat buat Mahmud Jauhari Ali.-
Banjarmasin, Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar