Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/
“Engkau janganlah ragu menjadi sumber inspirasi berkat kemurnian jiwa dari pertapaanmu, kesunyianmu, kesendirianmu. Perlihatkanlah, pertontonkanlah dan tunjukkan kini sebagai suatu pengetahuan mutakhir wahai sang psikopat, sang penyair, dan sang pemabuk.” (Hal 276).
Ini adalah potongan isi novel Tanha, Kekasih yang Terlupa buah karya S. Jai. Pengarang kelahiran Kediri 38 tahun lalu memang baru saja mempublikasikan karya terbarunya di bawah penerbit Jogja Mediautama.
Novel yang diselesaikannya kurang lebih selama setahun itu, bertutur tentang jalinan hidup sebuah dinasti keluarga Mak Kaji Idayu Kiyati, yang dibelit kemiskinan, penderitaan dan takdirnya. Juga kisah tentang Lastri Srigati yang mewarisi keterasingan ibunya dan dipaksa kawin dengan Matjain—pria pemuja leluhurnya yang keturunan Sunan Bonang dan jatuh cinta pada klenik. Kisah tentang arus jalan tiga anak turunnya seakan menuju alam cita di luar ruang dan waktu guna melintasi penderitaan dengan jalan keindahan Tanha: Ujub Kajat yang cacat, Maya Durghata Karini yang pemberontak, dan Dalla Ringgit yang tak bergairah.
“Karya ini sebetulnya bicara perihal kisah cinta. Tetapi saya menuliskannya dari percikan spiritualisme pendapat Javanolog Romo Zoetmulder tentang Cerita Panji. Bahwa dalam diri Raden Panji dalam kisah itu, ia menjumpai gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia,” ujar penulis lulusan Sastra Indonesia Unair itu saat ditemui di kantornya WYDII di Gubeng Kertajaya, Senin (22/8).
Jadi sesungguhnya, lanjut pengarang yang sebelumnya menelorkan sejumlah novel itu, dirinya mengaku ingin mendedahkan masalah cinta sejati pada novelnya kali ini. Cinta dalam pengertian yang luas. Cinta yang dinamis menyediakan diri dimaknai bagi siapa pun yang terbuka mata batinnya, karena hanya mereka yang terpilih yang dapat mengenal-Nya, yang kuasa menangkap bayang keindahan cinta itu.
Dalam buku Konservasi Budaya Panji (2009), S. Jai memang sempat menyinggung gagasan karyanya. Dikatakannya, idiom Tanha sengaja diambil dari kosakata Budhisme yang berpegang pada teologi “alam itu abadi tetapi jahat,” dan tanha adalah adalah keinginan atau kecenderungan untuk senantiasa berubah, dan penderitaan (dukkha) membentuk esensinya. Hal itu dimaksudkan untuk mengutuhkan seluruh gagasannya yang dapat ditarik satu benang merah terhadap ajaran tantra, sastra juga mantra.
“Oleh karena itu, novel ini saya tulis dalam gaya yang sangat liris, puitis dalam menafsir dan menemukan kembali spirit dalam menangkap bayang keindahan cinta itu di balik mitos Cerita Panji,” papar pengarang yang juga penulis novel Tanah Api itu.
Seperti diketahui, Cerita Panji adalah kisah percintaan dan perjodohan putera mahkota Kerajaan Jenggala dan putri Kerajaan Kediri banyak ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa, tetapi kini telah menjadi cerita rakyat.
Cerita berlatar sosial politik Kerajaan Jenggala dan Kediri itu menurut filolog berkebangsaan Belanda Prof CC Berg, tersebar dan populer pada masa Singasari melalui ekspedisi Pamalayu ke nusantara oleh Kertanegara tahun 1297. Begitu populernya Cerita Panji dengan pelbagai versi seperti Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Panji.
Bahkan kisah itu sangat berpengaruh dalam kepenulisan sastra sesudahnya, semisal pada pujangga R.Ng Ronggowarsito dan Sumosentiko. Begitu kuat pengaruh sastranya, hingga Cerita Panji tumbuh subur sebagai cerita rakyat tulisan maupun lisan. Tak terbatas sebagai karya sastra. Sejumlah kesenian juga mengadobsi cerita-cerita Panji, diantaranya wayang, kentrung, yang paling sering dijumpai di masyarakat.
Menggugat Patriarki
Dalam kreasi S. Jai kisah tentang priyayi-priyayi keraton yang cenderung bersifat patriarkis tersebut disublimasi, diambil saripati spiritnya dan dipindahkan ke dalam kehidupan masyarakat awam yang miskin dalam kehidupan masa kini di sebuah dusun kecil di Kediri. Pangarang ini mempertanyakan, menggugat bahkan menafsirkan ke dalam makna baru melalui pergulatan tokoh-tokoh yang diciptakannya.
“Semua itu saya lakukan tanpa harus meninggalkan watak aslinya. Saya menyusupkan semacam moralitas dalam tafsir ulangnya, memperkaya ruang bermainnya dalam kemungkinan menyusun metarealitas atau realitas baru menjadi karya budaya,” terang ayah dari tiga anak ini.
Nyatalah novel ini lebih banyak berbicara perihal spiritual ketimbang kemiskinan dimana tokoh-tokohnya hidup, bergelut dan bergulat padanya. Pengarang punya nyali menyusup dalam ruh Cerita Panji untuk kemudian mendekonstruksi apa yang disebut sebagai “berhala dalam bentuk primitif, ” Cerita Panji sebagai teks agung dan berbahasa Jawa dengan kadar sastra yang tinggi.
Dengan kata lain, teks klasik tersebut menjadi tambang emas sastra pascamitos, untuk ditafsirkan ulang sebagai sastra yang kaya falsafi atas nama cinta pada yang Maha Tinggi. Pengarang yang pernah memenangkan sayembara menulis Cerita Panji di Dewan Kesenian Jawa Timur ini melakukan pembongkaran teks-teks yang untouchable (tak tersentuh) tersebut lalu membangunnya kembali dalam sebentuk novel. Karena dengan demikian teks-teks yang semula menyembunyikan kekurangan, kelemahan, bahkan kebohongan, serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan, bahkan yang kontradiktif sanggup menemukan kembali makna barunya.
Walaupun diakui S. Jai pengertian baru itu bukannya satu-satunya yang diyakininya secara bulat. Setidaknya melalui novel ini menurutnya, dirinya telah meneguhkan semacam keyakinan bahwa cara manusia menangkap, memandang dan memahami kenyataan dan cara manusia membicarakan kenyataan, itu dua hal yang tetap misteri saling berebut.
“Manusia yang menentukan segalanya ataukah sebetulnya justru manusia dalam cengkeraman dan ditentukan oleh kuasa di luar dirinya,” ungkap advisor program sebuah NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan itu.
Begitulah tokoh-tokoh dalam novel ini melampauinya dengan takdirnya masing-masing. Seorang ahli ilmu jiwa sanggup menembus jalan menuju alam cita di luar ruang dan waktu. Seorang lainnya frustasi dan mati. Sosok lainnya lagi hilang akal dan berkelana tanpa tujuan. Sementara ada yang mengebiri diri, atau mengulang pengembaraannya sebelum akhirnya menemukan tempat barunya yang jahanam.
22 Agustus 2011
http://www.beritajatim.com/
“Engkau janganlah ragu menjadi sumber inspirasi berkat kemurnian jiwa dari pertapaanmu, kesunyianmu, kesendirianmu. Perlihatkanlah, pertontonkanlah dan tunjukkan kini sebagai suatu pengetahuan mutakhir wahai sang psikopat, sang penyair, dan sang pemabuk.” (Hal 276).
Ini adalah potongan isi novel Tanha, Kekasih yang Terlupa buah karya S. Jai. Pengarang kelahiran Kediri 38 tahun lalu memang baru saja mempublikasikan karya terbarunya di bawah penerbit Jogja Mediautama.
Novel yang diselesaikannya kurang lebih selama setahun itu, bertutur tentang jalinan hidup sebuah dinasti keluarga Mak Kaji Idayu Kiyati, yang dibelit kemiskinan, penderitaan dan takdirnya. Juga kisah tentang Lastri Srigati yang mewarisi keterasingan ibunya dan dipaksa kawin dengan Matjain—pria pemuja leluhurnya yang keturunan Sunan Bonang dan jatuh cinta pada klenik. Kisah tentang arus jalan tiga anak turunnya seakan menuju alam cita di luar ruang dan waktu guna melintasi penderitaan dengan jalan keindahan Tanha: Ujub Kajat yang cacat, Maya Durghata Karini yang pemberontak, dan Dalla Ringgit yang tak bergairah.
“Karya ini sebetulnya bicara perihal kisah cinta. Tetapi saya menuliskannya dari percikan spiritualisme pendapat Javanolog Romo Zoetmulder tentang Cerita Panji. Bahwa dalam diri Raden Panji dalam kisah itu, ia menjumpai gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia,” ujar penulis lulusan Sastra Indonesia Unair itu saat ditemui di kantornya WYDII di Gubeng Kertajaya, Senin (22/8).
Jadi sesungguhnya, lanjut pengarang yang sebelumnya menelorkan sejumlah novel itu, dirinya mengaku ingin mendedahkan masalah cinta sejati pada novelnya kali ini. Cinta dalam pengertian yang luas. Cinta yang dinamis menyediakan diri dimaknai bagi siapa pun yang terbuka mata batinnya, karena hanya mereka yang terpilih yang dapat mengenal-Nya, yang kuasa menangkap bayang keindahan cinta itu.
Dalam buku Konservasi Budaya Panji (2009), S. Jai memang sempat menyinggung gagasan karyanya. Dikatakannya, idiom Tanha sengaja diambil dari kosakata Budhisme yang berpegang pada teologi “alam itu abadi tetapi jahat,” dan tanha adalah adalah keinginan atau kecenderungan untuk senantiasa berubah, dan penderitaan (dukkha) membentuk esensinya. Hal itu dimaksudkan untuk mengutuhkan seluruh gagasannya yang dapat ditarik satu benang merah terhadap ajaran tantra, sastra juga mantra.
“Oleh karena itu, novel ini saya tulis dalam gaya yang sangat liris, puitis dalam menafsir dan menemukan kembali spirit dalam menangkap bayang keindahan cinta itu di balik mitos Cerita Panji,” papar pengarang yang juga penulis novel Tanah Api itu.
Seperti diketahui, Cerita Panji adalah kisah percintaan dan perjodohan putera mahkota Kerajaan Jenggala dan putri Kerajaan Kediri banyak ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa, tetapi kini telah menjadi cerita rakyat.
Cerita berlatar sosial politik Kerajaan Jenggala dan Kediri itu menurut filolog berkebangsaan Belanda Prof CC Berg, tersebar dan populer pada masa Singasari melalui ekspedisi Pamalayu ke nusantara oleh Kertanegara tahun 1297. Begitu populernya Cerita Panji dengan pelbagai versi seperti Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Panji.
Bahkan kisah itu sangat berpengaruh dalam kepenulisan sastra sesudahnya, semisal pada pujangga R.Ng Ronggowarsito dan Sumosentiko. Begitu kuat pengaruh sastranya, hingga Cerita Panji tumbuh subur sebagai cerita rakyat tulisan maupun lisan. Tak terbatas sebagai karya sastra. Sejumlah kesenian juga mengadobsi cerita-cerita Panji, diantaranya wayang, kentrung, yang paling sering dijumpai di masyarakat.
Menggugat Patriarki
Dalam kreasi S. Jai kisah tentang priyayi-priyayi keraton yang cenderung bersifat patriarkis tersebut disublimasi, diambil saripati spiritnya dan dipindahkan ke dalam kehidupan masyarakat awam yang miskin dalam kehidupan masa kini di sebuah dusun kecil di Kediri. Pangarang ini mempertanyakan, menggugat bahkan menafsirkan ke dalam makna baru melalui pergulatan tokoh-tokoh yang diciptakannya.
“Semua itu saya lakukan tanpa harus meninggalkan watak aslinya. Saya menyusupkan semacam moralitas dalam tafsir ulangnya, memperkaya ruang bermainnya dalam kemungkinan menyusun metarealitas atau realitas baru menjadi karya budaya,” terang ayah dari tiga anak ini.
Nyatalah novel ini lebih banyak berbicara perihal spiritual ketimbang kemiskinan dimana tokoh-tokohnya hidup, bergelut dan bergulat padanya. Pengarang punya nyali menyusup dalam ruh Cerita Panji untuk kemudian mendekonstruksi apa yang disebut sebagai “berhala dalam bentuk primitif, ” Cerita Panji sebagai teks agung dan berbahasa Jawa dengan kadar sastra yang tinggi.
Dengan kata lain, teks klasik tersebut menjadi tambang emas sastra pascamitos, untuk ditafsirkan ulang sebagai sastra yang kaya falsafi atas nama cinta pada yang Maha Tinggi. Pengarang yang pernah memenangkan sayembara menulis Cerita Panji di Dewan Kesenian Jawa Timur ini melakukan pembongkaran teks-teks yang untouchable (tak tersentuh) tersebut lalu membangunnya kembali dalam sebentuk novel. Karena dengan demikian teks-teks yang semula menyembunyikan kekurangan, kelemahan, bahkan kebohongan, serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan, bahkan yang kontradiktif sanggup menemukan kembali makna barunya.
Walaupun diakui S. Jai pengertian baru itu bukannya satu-satunya yang diyakininya secara bulat. Setidaknya melalui novel ini menurutnya, dirinya telah meneguhkan semacam keyakinan bahwa cara manusia menangkap, memandang dan memahami kenyataan dan cara manusia membicarakan kenyataan, itu dua hal yang tetap misteri saling berebut.
“Manusia yang menentukan segalanya ataukah sebetulnya justru manusia dalam cengkeraman dan ditentukan oleh kuasa di luar dirinya,” ungkap advisor program sebuah NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan itu.
Begitulah tokoh-tokoh dalam novel ini melampauinya dengan takdirnya masing-masing. Seorang ahli ilmu jiwa sanggup menembus jalan menuju alam cita di luar ruang dan waktu. Seorang lainnya frustasi dan mati. Sosok lainnya lagi hilang akal dan berkelana tanpa tujuan. Sementara ada yang mengebiri diri, atau mengulang pengembaraannya sebelum akhirnya menemukan tempat barunya yang jahanam.
22 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar