Fahrudin Nasrulloh*
http://www.radarmojokerto.co.id/
Obrolan di cafe ”Sidade” itu makin menghangat. Kopi disuguhkan. Bila mau pilih teh boleh juga. Yang wasgitel atau sariwangi. Bisa pesan jika minat teh rosella Malang yang berdaun gelap kecoklat-coklatan. Rokok Jisamsoe disesap, seperti menghirup seisi cafe dari ingatan yang pudar. Ia berjalan mondar-mandir melayani pembeli. Pangsit dan Mie ayam Jakarta, pun es campur tersedia di sini: Jl. Manukan Tama 10 A, Tandes, Surabaya. Dulu, lelaki berkumis tebal dan bertubuh gempal ini pemain bass di grup pertunjukan Gambus Misri. Ia termasuk penonton ludruk yang setia.
”Saya itu hampir tidak ingat sama sekali Gambus Misri. Apalagi tentang ludruk Jombang ataupun yang di Surabaya. Ingat sedikit-sedikit, dan kayaknya kalau dipancing tanya sana-sini, tak banyak yang bisa keluar,” ia melirik garing. Lalu omongannya mblakrak ngalor-ngidul. Teringat tiba-tiba ia akan masa kecilnya di Desa Nglele, Sumobito, Jombang, saat karibnya Jazuli bercerita, seperti kadal kalap dilempar sandal, tentang orang-orang yang dikepung ketakutan di masa Gestok. Masa silam itu seperti mengeprukkan ganden ke dengkul hingga remuk. ”Pokoke sing gak sembahyang diarani PKI,” begitu patahan kalimatnya, yang diulang 3 kali. Lalu saya teringat cerita orang-orang tua di kampung tentang hubungan ludruk dan PKI. Ada memang beberapa grup ludruk yang digandeng PKI untuk ikut memuluskan program-program pemberdayaan kaum petani, pemuda-pemuda rakyat, dan para buruh. Mereka kadang menyelingi cerita soal lakon yang dipentaskan. Misalnya ”Gusti Allah Sunat”, atau ”Gusti Allah Mantu”, atau ”Tujuh Setan Desa”. Lakon-lakon itu kini tenggelam, lamat-lamat, tapi tetap terdengar angker. Seperti darah yang merembes dari mata dan telinga. ”Wah, kalau cerita itu saya nggak menangi (tidak di masanya) Mas. Tapi, ketika ramai-ramainya ludruk di Surabaya, tahun 1980-an, yang masih teringat kuat ya lakon ’Subakir Mati Metingkrang’ itu. Ceritanya lupa bagaimana. Para pemainnya sudah lupa. Ludruknya apa juga lupa,” sela Cak Memet. Tampaknya, orang-orang agak lawas kayak Cak Memet, sebagai bagian kecil dari apresian ludruk, satu potong dua potong, masih mengingat ludruk sebagai kepingan dari kenangan hidupnya.
Cak Memet tak tahu persis kapan ia lahir. Ingatannya sudah ”butek”, kacau dan kotor. Barangkali sekitar tahun 1956. Tak terlalu tua. Ia pendek dan tegap. Sorot matanya teduh tapi menembus. Rambutnya cepak berombak. Namun ingatannya kerap dihajar bayang-bayang kematian di rimba Timor-Timur pada 1976-1979. Ia bercerita dengan bangganya saat membunuhi tentara pemberontak di sana. Dibunuh atau membunuh. Terbayanglah film Platoon garapan Oliver Stone itu. Tahun 1980-an ia keluar dari dinas ketentaraan. Karena sering bikin kisruh dan pernah sekali menghajar komandannya. Ia lantas merantau ke Surabaya. Menggelandang dan jadi preman. Kini, hampir seluruh orang pasar dan warga sekitar Manukan mengenalnya sebagai orang baik dan telah meninggalkan pekerjaan lamanya itu.
Pada seseorang lain. Di malam 23 April 2011 sehabis hujan di sore hari yang deras. Si penjual kacang godok, Mbah Munawi (65 tahun), asal Gayungsari, dengan sepeda onthelnya, rutin berjualan di sekitar Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), di Jl. Genteng Kali 85 Surabaya. Sejak awal Februari 2011, ia sudah mencatat dari brosur agenda pertunjukan kesenian yang secara periodik digelar di pendopo Jayengrono TBJT itu. Di situ sepanjang 2011 diadakan banyak pertunjukan kesenian. Ada wayang kulit, ludruk, pakeliran, festival balet, tayuban, seminar seni budaya, pertunjukan musik, festival dalang, revitalisasi budaya daerah, dan lain-lain. Yang paling digemarinya adalah pertunjukan ludruk. Ia sangat terkenang lakon ”Subakir Mati Metingkrang” yang pernah ditontonnya di daerah Krian di awal 1980-an yang dipentaskan ludruk Begidhak Massa pimpinan Saji Wibowo dari Jombang. Saya jadi teringat sejenak cerita Cak Memet dan kembali saya bertanya-tanya, pernahkah ada lakon itu atau semata halusinasi belaka? Biarlah saja dulu. Pak tua ini mungkin keliru atau lupa-lupa ingat.
Di balik kertas pembungkus kacang, Mbah Munawi, menunjukkan kepada saya agenda ludruk periodik itu: Ludruk Budhi Wijaya Jombang, lakon ”Babat Tunggorono” (di pendopo TBJT, 26 Februari 2011); ludruk Warna Jaya Sidoarjo, lakon Kabut di ”Lereng Gunung Pananjakan” (di Taman Krida Budaya Malang, 25 Maret 2011); ludruk RRI Surabaya, lakon ”Tragedi Bumi Rungkut” (di pendopo TBJT, 26 Maret 2011); ludruk Suromenggolo Ponorogo, lakon ”Asal-usul Reog Ponorogo” (di pendopo TBJT, 23 April 2011); ludruk Wahyu Budaya Lamongan, lakon ”Bandit Blandong Selo Guno” (di pendopo TBJT, 28 Mei 2011); ludruk Merdeka Jember, lakon ”Maryati Gila” (di pendopo TBJT, 25 Juni 2011); ludruk Bintang Baru Jombang, lakon ”Dendam Membara” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Juli 2011); ludruk Subur Budaya Malang, lakon ”Selor Pancuran Mergosono” (di pendopo TBJT, 24 September 2011); ludruk Armada Malang, lakon ”Putri Guwo Buring” (di Taman Krida Budaya Malang, 22 Oktober 2011); ludruk Timbul Jaya Probolinggo, lakon ”Brandal Gunung Anyar” (di pendopo TBJT, 26 November 2011); ludruk Karya Budaya Mojokerto, lakon ”Pasir Kali Brantas” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Desember 2011).
Wah, lengkap betul catatannya. Lalu saya membayar satu contong kacang seharga 2000 rupiah. ”Gimana Mbah, pertunjukan ludruknya yang kemarin, menarik?” tanya saya. ”Podo wae ambek sing saiki Mas, kurang nyes dirasakno. Lakone kok model iku-iku terus,” timpalnya. Lantas ia bercerita agak panjang dan putus-putus tentang lakon ”Subakir Mati Metingkrang”. Kisahnya, Subakir itu juragan becak yang sombong, keminter, gatal menggoda perempuan, penjudi, suka adu jago, tapi baik hati dan royal mentraktir makan siapapun terutama terhadap penggenjot becaknya. Ia juga tukang pukul semasa mudanya. Musuh-musuhnya banyak. Bla-bla-bla. Di akhir cerita, saat ia duduk di kursi pentil sambil cedat-cedut merokok, di sebuah warung kopi, bersama puluhan tukang becaknya, tiba-tiba ia meninggal dalam posisi metingkrang. Semua orang di situ kaget. Bingung. Histeris. ”Wak Bakir mati metingkrang, Wak Bakir mati metingkrang!!” teriak seorang dari mereka.
Mbah Munawi sempat terhenti sejenak. Memungkasi cerita. Saya menoleh ke panggung. Tampak 2 personil ludruk Suromenggolo sedang mendagel, setelah mengidung soal susahnya jadi petani dan mirisnya jadi seniman ludruk di jaman ini. Terasa garing. Kira-kira 25-an menit penonton membisu. Tak ada ledakan tawa. Lakonnya malam itu ”Asal-usul Reog Ponorogo”. Lalu saya bergeser lima langkah ke warung kopi sebelah. Ada Cak Imam CB, seniman teater, di situ bersama 2 temannya. Kami saling menyapa. ”Jaman wis majune koyok ngene, kenapa nggak ngangkat lakon misale ’Cuci Otak’? Ini kan lagi rame-ramenya NII. Atau tentang terorisme. Dulu orang nonton ludruk itu seperti menyerap energi jaman. Sekarang nggak tahu apa yang mereka serap,” komentarnya. ”Bisa juga seperti itu Cak. Ludruk seperti ’mati metingkrang’: ditinggalkan jaman sekaligus kehilangan spirit masa silamnya. Yang kita tonton seolah hanya panggung kosong. Cuma hawa dingin sepi yang kita bawa pulang,” sambung saya. ”Bukan, Mas. Tapi orang-orang ludruk sendiri yang tak mau atau tak mampu mengikuti perubahan jaman yang terus berderap. Jadi yang ’mati metingkrang’ itu utopianya. Sebab urusan perut yang jadi pokoknya. Tak menggerakkan jiwa dinamisnya.”
Dan, sejenis cerita apakah yang seakan-akan fiksi itu tiba-tiba menyembul dari Cak Memet, lalu secara kebetulan juga keluar dari Mbah Munawi? Sosok Subakir yang mati unik itu bisa saja sebagai cermin persoalan keseharian kaum kelas bawah. Tak begitu penting apakah itu pernah sebagai lakon ludruk ataukah semata halusinasi dari dunia klangenan publik ludruk.
—
Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar