Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/
Minimal, sekali atau dua kali seorang pembaca sastra Indonesia (yang tidak hidup membaca dan berkarya secara soliter tentu saja) pasti pernah mendapati nama Saut Situmorang dan Goenawan Mohamad muncul nyaris bersamaan, bahkan dalam satu hela nafas atau dalam satu kalimat. Entah itu dalam esai, perbincangan, postingan blog, atau status facebook. Mungkin memang itu tugas mereka dalam sejarah sastra Indonesia: yang satu di awang-awang dengan komunitasnya yang terbilang mapan dan satunya lagi blusukan bersama penulis-penulis muda, mengobarkan semangat anti kemapanan sastra. Dampak ekstremnya, mungkin seorang pembaca sastra akan beranggapan Saut itu benci karya Goen (saya sebut Goen, demi bersikap adil karena memanggil saut juga dengan hanya 4 huruf, tanpa mengabaikan hormat kepada orang yang lebih tua) dan begitu pula sebaliknya. Tapi, buat saya, sulit rasanya membawa pertikaian “politik sastra” mereka ke ranah kreatif. Saya tidak akan sebutkan sebabnya dalam sebuah pernyataan positif. Saya akan ajak Anda ke satu pembacaan saya atas masing-masing satu karya dari kedua penyair tersebut, yang pada tataran tertentu, menunjukkan kepada saya “kehandaitolanan kreatif” antara kedua penyair itu.
Saya menikmati puisi secara swasta, dan ada kalanya, dalam proses itu saya benar-benar menemukan kenikmatan. Kenikmatannya sih sederhana saja: hati senang, pikiran seperti menjadi berpacu dan ngelayap ke sana-sini, dan dalam pikiran yang ngelayap itu, segala yang tak akur tampak seperti karib yang berdesak-desakan. Terkait bunyi, saya tentu juga bisa merasakan kenikmatan saat bunyi bersaut-sautan dengan kuat. Tapi, karena saya lebih banyak memutar puisi untuk mendapatkan sensasi imaji, dan karena memang saya bukan seorang deklamator yang baik, maka seringkali elemen bunyi dari sebuah puisi berhenti begitu saya menemukan bahwa rima, aliterasi dan asosiasi bunyi sebuah puisi cukup menghibur–saya tidak pernah sampai mengeksplorasi kekuatan bunyi lewat deklamasi.
Salah satu buku sajak yang sering saja jenguk di malam-malam yang dingin, di remang lampu 5 watt (saatnya menidurkan anak, tapi sekaligus saya pingin napak tilas Malcolm X yang membaca suntuk dengan tempias cahaya dari luar selnya), adalah buku Otobiografi karya penyair protes Saut Situmorang. Sajak-sajaknya selalu memancing saya mereka-reka jejak sajak atau karya sastra lain terdahulu–apalagi Saut juga menjelaskan dengan tegas di esainya adanya ketegangan abadi antara “tradisi” atau intertekstualitas dan bakat murni seorang penyair. Sekilas saja akan terlihat berbagai jejak, mulai jejak peringatan bungkus rokok, novela Hemingway, , Goenawan Kundang, dll.
Tadi malam, sajak dari buku Otobiografi yang kebagian tugas memberi saja kenikmatan adalah sajak “Kepada P” yang begini bunyinya:
di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus
tempat dikubur segala yang mati.
bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?
2007 (Situmorang, 160)
Saat membaca lagi puisi ini tadi malam itu (entah mengapa saya tiba-tiba sadar tidak pernah benar-benar menyuntuki puisi Saut yang satu ini) saya merasa seperti pernah merasakan sensasi yang saya rasakan saat membaca saat ini. Seperti ada Deja Vu yang tidak sempurna. Saya merasa pernah berpapasan dengan sajak serupa ini, entah sekuat atau selemah apapun kemiripannya?
Setelah membaca beberapa kali, perhatian saya terfokus pada “malam turun memperkelam segala” yang tentu saja di mata ingatan saya terdengar seperti gema terdistorsi dari “gerimis mempercepat senja” dari “Senja di Pelabuhan Kecil” sang binatang jalang. Saut tidak langsung saja menerima dan mengulangi gagasan bahwa gerimis bisa membuat senja semakin kelam. Dia membawanya ke level yang lebih jauh: malam, yang merupakan wujud matang dari senja, menyempurnakan segala bentuk kekelaman. Bahkan, buat aku lirik dalam sajak ini, “segalanya” (yang notabene tidak terbatas pada sesuatu yang sejak awalnya sudah muram) bisa dibikin kelam oleh malam. Kalau dalam pembacaan saya, tentu saja bukan kebetulan eksplorasi ini muncul dari Saut Situmorang. Di suatu kesempatan, dia pernah mengaku melakukan penelitian terhadap karya-karya Chairil Anwar ketika menjalani kuliah S2 di Selandia Baru.
Yang kedua menarik-narik saya adalah “jalanan cuma aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim.” Konstruksi kalimat “bla-bla-bla HANYA bla-bla-bla” ditambah dengan adanya imaji tentang “basah” di sini tak urung menyeret ke sebuah sajak yang buat saya mampu menghadirkan imajinasi yang kuat: Dingin Tak Tercatat. Betul, sajak Dingin Tak Tercatat karya Goenawan Mohamad, yang bisa disamakan dengan musuh terbesar yang pengaruhnya ingin Saut obrak-abrik, andaikan jagad sastra Indonesia ini adalah “dunia kang ouw” istilah jagad persilatan yang lazim dipakai di karya-karya Kho Ping Ho (cerita silat kegemaran Saut). Bagaimana bisa imaji saya terbawa ke Dingin Tak Tercatat? Mari kita baca lagi selengkapnya sajak Dingin Tak Tercatat:
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja
disana. Seakan akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971 (Mohamad, 47)
Baris ketiga yang hanya terdiri dari tiga kata itu ternyata sangat kuat tertancap di kesadaran saya. Struktur sintaksisnya sangat sederhana tapi khas: kata benda + hanya + kata sifat. Jalan hanya basah, kira-kira sepadan dengan: saya hanya ngeri, tapi dalam artian “yang saya rasakan hanya kengerian,” bukan “saya sekadar ngeri (tapi tidak takjub atau dll).” Sepertinya itulah yang membuat struktur itu khas, atau paling tidak jarang saya temui dalam perbincangan sehari-hari. Maka, ketika saya membaca kalimat yang agak-agak mirip secara sintaksis agak berbeda, yaitu “jalanan hanya aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim,” saya pun terbawa kepada Dingin Tak Tercatat (mohon maaf kepada Saut yang, andai bisa, pasti akan memarahi kalimat ciptaannya ini karena telah menghadirkan Goen–tapi, Saut tahu pasti, setelah tertulis, penulis sama sekali tidak punya otoritas atas karyanya).
Tapi, lagi-lagi, dalam puisi “Kepada P” ini, imaji dari “Dingin Tak Tercatat” itu tidak digunakan secara siap-pakai. Imaji tentang “Jalan hanya basah” itu justru dibalik menjadi “Jalanan hanya aspal hitam yang KERONTANG KERONTANG KEHILANGAN BASAH hujan birahi musim.” Imaji yang dihadirkan Saut mengesankan sesuatu yang “keras.” Jalanan basah yang terkesan sendu itu diporak-porandakan dengan imaji tentang jalan dengan aspal yang kerontang. Pada titik ini, saya mulai curiga, jangan-jangan “Kepada P” ini benar-benar bisa “menghancurkan” imaji sendu bin muram al-romantis dalam “Dingin Tak Tercatat”?
Maka mulailah saya baca keduanya secara berdampingan. Tapi, mohon maaf, saat pembacaan puisi sudah diiringi dengan hipotesa-hipotesa seperti ini, bisa jadi segala hal bisa terjadi. Apa yang mungkin tidak ada dalam sebuah puisi bisa jadi benar-benar ada. Seringkali, saat bertindak ekstra kritis, kita tidak mampu lagi membedakan antara apa yang benar-benar terlihat dan apa yang ingin kita lihat. Tapi sudahlah, toh yang saya kejar adalah kenikmatan. Begini ceritanya:
Oh ya, karena kecurigaan saya adalah “Kepada P” berpotensi menghancurkan imaji yang dibangun “Dingin Tak Tercatat,” maka pembacaan saya akan cenderung berangkat dari bangunan yang citranya akan dihancurkan, yaitu “Dingin Tak Tercatat,” dan kemudian dilanjutkan dengan bangunan penghancur citra, “Kepada P.” Teknisnya, saya akan mengiris kedua puisi itu masing-masing ke dalam lima bagian. Karena kedua penyair ini adalah pengguna kalimat yang setia, yang puisi-puisinya terlihat jelas terdiri dari kalimat-kalimat lengkap, maka pembagiannya pun berdasarkan kalimat, bukan baris. Anda boleh saja menuduh saya orang yang suka memutilasi puisi dan memperlakukannya sebagai objek. Boleh saja. Tapi saya tegaskan di sini, saya mengiris-iris puisi itu demi melihat anatomi yang mungkin bisa tercermin pada tiap irisannya. Dan saya juga tidak berhak memisahkan antara irisan satu dengan lainnya.
Baiklah, mari kita mulai:
Irisan pertama:
Dua baris pertama “Dingin tak tercatat” langsung membentuk suasana dingin yang luar biasa, yang tak terbaca pada termometer (oh ya, sebenarnya termometer bukan untuk “mencatat” temperatur, Oom Goen, tapi untuk MENGUKUR temperatur). Sepertinya, puisi ini berlatarkan sebuah musim dingin di sebuah tempat yang kemungkinan besar bukan Indonesia. Lazimnya, cekaman hawa musim dingin dan gersangnya pasca musim gugur memberikan kesan kemurungan, kehilangharapanan. Sementara itu, pada “Kepada P,” tidak dijelaskan seperti apa latar suhunya. Yang jelas, imajinasi yang ditawarkan oleh aku lirik adalah sebuah tempat “yang pernah merasakan panas bibirmu.” Tidak dijelaskan/ditentukan apakah sekarang masih panas atau malah sebaliknya sangat dingin, yang pasti saat ini si kota tidak lagi merasakan BIBIR itu. Kota ini sekarang dalam keadaan telah “kehilangan.” Ada yang berkurang dari kota ini. Tak hanya ada suasana kehilangan, aku lirik menambahkan dengan “malam memperkelam segalanya”: hadirnya malam itu membuat segalanya semakin suram. Bukan suhu yang jadi masalah, tapi “kehilangan” dan “kemuraman.” Selain itu, bukan kelembutan bibir atau kehangatan bibir yang membantu membentuk suasana, tapi “panas” atau gairah yang membara yang ikut membentuk suasana itu.
Irisan kedua:
Di baris “Kota hanya basah,” kalau kita sudah membaca tentang dingin yang luar biasa pada dua baris selanjutnya, kita akan semakin mendapatkan cekaman kemurungan yang terasa lembut. Tapi, yang terjadi di sektor Saut semakin liar. “Jalanan cuma aspal hitam,” tidak ada apa-apa di sana; cuma aspal hitam biasa. Selain itu, aspal tersebut sudah kerontang tanpa hujan. Untuk semakin memperkuat hujan, maka dipadankanlah ia dengan “birahi musim:” hujan adalah puncak gairah musim. Tapi, di sini yang seperti itu tidak ada. Maka, yang kita dapatkan adalah jalanan yang hanya aspal hitam biasa tanpa hasil keliaran nafsu musim. Lagi-lagi, kita diajak untuk membicarakan sesuatu yang lebih dari sekadar ruang; “Kepada P” mengajak kita membicarakan tentang perasaan.
Irisan ketiga:
Pada kalimat selanjutnya, “Dingin Tak Tercatat” menghadirkan “Angin sepanjang sungai mengusir.” Tentu, dalam dingin tak bahkan di termometer pun tak terbaca, hembusan angin akan menghasilkan “wind chill,” yang artinya semakin menurunkan suhu. Dari yang normalnya, katankanlah, -10 derajat Celsius, bisa-bisa suhu menjadi -12 hingga -15. Inilah yang mengusir aku lirik. Tapi, si aku dan seorang lirik lainnya tak juga mau meninggalkan TKP. Mereka terus bertahan di cekaman dingin. Di akhir kalimat ini, kita sudah tahu bahwa puisi berbelok arah, dari dingin yang sangat dan mengesankan suasana yang tidak menyenangkan, menjadi kebersamaan yang dinikmati.
Sementara itu, dalam “Kepada P,” melanjutkan baris-baris yang sebelumnya memberikan imaji tentang hilangnya panas bibirmu, tidak adanya lagi gairah, kini aku lirik bertutur tentang “kata-kata yang menghilang ke bukit tandus, tempat dikubur segala yang mati.” Di sini, aku sudah benar-benar sendiri, dan tidak ada lagi yang namanya berkata-kata. Imaji kehilangan demi kehilangan yang dibangun pada baris-baris sebelumnya semangkin dilengkapi di sini: kata-kata sudah kabur, dan kaburnya ke tempat segala yang mati. Seolah-olah, yang tersisa hanya sunyi, sunyi yang semakin intens.
Ah, turut berduka atas kemurunganmu wahai aku-lirik. Betapa senjangnya: sementara di tempat Oom Goen sana si aku lirik tetap bertahap bersama dengan seorang lainnya (saya bayangkan dia seorang kekasih), abai pada dingin yang mengiris-iris daun kuping.
Irisan keempat:
Di baris-baris selanjutnya dalam “Dingin Tak Tercatat”, si aku lirik semakin membanggakan diri (meskipun wujud kebanggaannya sangat tersamar): Seakan-akan gerimis raib dan cahaya mempermainkan warna. Kalimat ini mulai mendukung pernyataan si aku lirik yang sebelumnya, yaitu meskipun dingin angin di sepanjang sungai mestinya mengusir dia, mereka tetap saja bertahan. Kini, gerimis bahkan seakan raib, seakan tak terasa, dan cahaya yang ada mempermainkan warna. Mestinya, warna yang dipermainkan menghasilkan efek yang menyenangkan, atau setidaknya tidak menambah kemurungan, atau mendukung seakan raibnya gerimis. Sekali lagi, dijelaskan di sini bahkan si aku lirik dan kau lirik tidak terlalu merasakan kesusahan meski dingin luar biasa.
Dari “Kepada P”, saya ingin mengambil empat baris (dua kalimat) sekaligus, yang berbunyi “bayang bulan menambah sunyi malam. tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Di kalimat pertama terlihat jelas bahwa bayang bulan–apakah yang dimaksud di sini bayang-bayang dari segala hal yang tercipta karena cahaya bulan? ataukah bayangan bulan di atas air? ataukah bulan yang membayang atau terlihat samar-samar karena tertutup sesuatu?–malah menambah kesunyia malam. Bulan atau cahaya minim yang ada hanya membuat malam yang, kalau dirasakan sejak awal puisi tadi, dipenuhi dengan rasa kehilangan kini menjadi semakin sunyi. Ah, kalau sudah sunyi, cahaya pun hanya menambah sunyi. Kalau sedang susah, dikasih hiburan sedikit pun tambah membuat kita merasa bahwa kita sebenarnya sedang kesusahan. Bahkan, di malam yang sunyi ini, “tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Kalimat ini juga cukup menonjol dalam pembacaan saya, karena, terus terang, saya tidak begitu saja memahami apa yang dimauinya. Ketika saya coba urai, kesan yang muncul adalah: suatu kali, si aku lirik pernah mencoba menikmati “hangat hitam rambutmu.” Penikmatan atas rambut hangat hitam itu seolah sebuah perjalanan yang mempunyai tujuan tertentu. Tapi, lagi enak-enaknya menikmati perjalanan di hangat hitam rambut itu, ada gongggongan anjing yang mengganggunya, yang membuatnya hilang konsentrasi dalam perjalanan tersebut, hingga akhirnya sempat tersesat. Puisi “Kepada P ini ternyata tidak berbelok arah. Dia berjalan lurus: dari kota yang hampa, adanya sesuatu/sesosok yang hilang, dan adanya suasana kesepian, berlanjut terus hingga di titik ini kembali dikuatkan dengan ingatan tentang sesuatu yang pernah ada tapi kini tak ada lagi.
Maka,
Irisan kelima:
ketika aku lirik bertanya “Tuhan kenapa kita bahagia?”, yang dia tanyakan adalah kok bisa ya dalam suasana sedingin ini, setidak nyaman ini, yang dia rasakan hanya bahagia? Ketika membaca puisi ini untuk pertama kalinya dulu, saya cenderung melepaskan pertanyaan ini dari keseluruhan puisi. Saya cenderung kata “kita” di sini mengacu pada aku lirik dan saya sendiri sebagai pembaca. Kayaknya, kegenitan saya lah yang membuat pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Padahal, kini, setelah membaca baris-per-baris, yang terasa adalah, “kita” di sini mengacu kepada si aku lirik dan kamu lirik dalam puisi ini. Siapa kamu liriknya? Ya, tentu saja sosok yang bersama dengan si aku lirik menikmati jalanan ketika suhu dingin luar biasa dan bahkan ada wind-chill di sepanjang sungai yang membuat dingin semakin intens. Jadi, si aku lirik ini sebenarnya mengajak berbicara aku lirik (dan saya pembaca jelata ini hanya seperti orang menguping!): ya Tuhan, kok bisa ya, dingin-dingin kayak begini kita merasa bahagia? (Oh ya, saya sela sebentar, kata “Tuhan” di sini juga–dalam pembacaan saya ini–bukan sapaan kepada tuhan, tapi sebuah ungkapan seru, seperti saat kita bilang “masya allah, kamu ini kok ya repot-repot datang dari Jakarta ke Surabaya cuma untuk ngembalikan buku tulis anakku yang terbawa di kopermu?”) Kembali lagi, kok bisa ya bahagia? Mungkin jawabnya ada pada Jamal Mirdad: “kalau cinta sudah melekat, gula jawa (jadi ter)rasa cokelat.”
Sebaliknya, “Kepada P” diakhiri dengan dua pertanyaan sekaligus yang, ah, lebih to the point: “cinta dan penyair keduanya matikah? atau cuma sekedar rindu?” Kenapa si aku menanyakan apakah cinta dan penyair sudah sama-sama mati? Apakah dia mempertanyakan dirinya sendiri yang tidak bisa “menikmati” kesunyian ini selain sebagai ketidaknyamanan? bukan sesuatu yang bisa dinikmati? Mungkin. Yang pasti, dia berbeda dengan aku lirik dalam “Dingin Tak Tercatat” yang 1) memiliki cinta dan 2) mampu bertahan atau bahkan menemukan sesuatu untuk dinikmati di tengah ketidaknyamanan (misalnya ya permainan cahaya itu tadi). Aku lirik yang mempersembahkan lirisismenya blak-blakannya “Kepada P” ini jadi bertanya-tanya tentang keadaannya sendiri: apakah dia bukan lagi penyair yang bisa mempuitisasi ketaknyamanan? Ataukah memang tidak ada lagi cinta itu, dus tidak ada lagi yang perlu diindah-indahkan? Atau, jangan-jangan, sebenarnya keduanya masih ada tapi dia saja yang “cuma sekedar” merasakan “rindu”? Dia memaklumi kalau saja perasaan kosongnya yang intens itu mungkin saja ada karena dia dibius kerinduan (sehingga masih menginginkan kebersamaan, panas bibir, penikmatan atas hangat hitam rambutmu).
Dari kelima irisan “Dingin Tak Tercatat” dan “Kepada P” yang saya patut-patutkan itu, saya menemukan sejumlah hal yang membedakan pilihan estetika Goen dan Saut.
Yang pertama adalah secara struktur, “Dingin Tak Tercatat” menggunakan ciri mendasar soneta: membelokkan cerita. Dalam tradisi soneta, biasanya delapan baris pertama, atau oktet, berisikan tentang satu hal dan enam baris sisanya (sekstet) berisikan tentang hal yang bertolak belakang atau berbeda arah dengan yang disampaikan pada oktet. Dalam “Dingin Tak Tercatat” meskipun secara fisik tidak ada yang namanya oktet dan sekstet (karena jumlah baris puisi ini sendiri cuma 11, kita bisa merasakan pembelokan tersebut pada baris ke enam, ketika ternyata aku dan kamu lirik tetap berada di sana meskipun udara dingin digambarkan semencekam itu. Sejak baris keenam itu, dingin yang mencekam dikalahkan oleh kekukuhan para tokoh lirik bertahan di sana, hingga bahkan pada dua baris terakhir diindikasikan bahwa mereka berdua bahagia dalam kondisi begitu.
“Kepada P” tidak menerapkan pembelokan bergaya soneta. Bahkan, kalaupun memang dianggap belokan, itu hanya terjadi pada baris terakhir. Saut di sini tampak membangun puisi ini seperti sebuah tanjakan yang dimulai di kedudukan agak tinggi dan kemudian terus menanjak hingga ke puncak. Dan ketika si aku lirik betanya “ataukah cuma sekedar rindu?” kita seperti dijatuhkan dan kita pun berpikir: kalau cuma rindu kan berarti “ngglethek”, cuma segitu doang. Saut tidak membelokkan asosiasi pembaca. Dia membawa pembaca naik ke puncak sajak, dan dari puncak dia memberi pembaca pilihan untuk terus naik sendiri atau menjatuhkan diri ke gigir tebing.
Kedua, ada sikap terhadap hubungan manusia dan kosmos. Dalam puisi “Dingin Tak Tercatat”, terlihat Goen menyajikan ruang fisik yang mestinya dapat memberikan kesan bagi pembacanya dan memantik imajinasi. Dikisahkannya dingin yang bahkan tidak terukur di termometer, angin yang dinginnya semestinya mengusir orang dari jalan, jalan yang basah oleh gerimis, dan permainan cahaya malam. Semua itu belakangan mengarah pada aku dan kamu lirik yang bertahan di luar dan terheran-heran kenapa mereka bisa bahagia dengan keadaan seperti itu. Sajian-sajian deskripsi fisik ini, baik dalam bentuk ruang (jalan, sungai), warna (cahaya), inderaan kulit (suhu dan angin dan gerimis), semua seakan mengajak kita untuk ikut serta merasakan dunia yang serba tidak nyaman dalam dunia itu. Dan ketika pada akhirnya aku dan kamu lirik tetap bahagia, maka kita akan tersugesti bahwa seganas apapun alam, manusia dengan perasaan di dalam hatinya mampu bertahan dan bahkan abai dengan cekaman alam itu.
Sementara itu, pada level yang sama ini, Saut memilih menunjukkan alam secukupnya dan menyelipkan komentarnya sendiri. Dia sajikan alam, tapi dia bandingkan alam itu dengan memorinya. Lingkungan di sekelilingnya saat ini dibandingkan dengan dulu ketika masih ada panas “bibirmu”. Aspal yang kini kerontang dia komentari: karena tidak ada basah hujan berahi musim. Saut memakai majas personifikasi “berahi musim” untuk hujan (wah, ada gunanya juga akhirnya belajar majas-majas di SMP dulu, hehehe), yang menurut saya adalah salah satu cara “mengomentari” alam. Di agak akhir, Saut menunjukkan sunyinya malam ini dengan membandingkan dengan dulu, ketika masih ada suara anjing yang mengganggunya menikmati tenggelam menjelajahi rambut hitamnya yang hangat. “Kepada P” memilih untuk tidak membiarkan alam berbicara dengan sendirinya, harus ada manusia dan aktivitasnya untuk mendefinisikan alam.
Meski menggunakan pendekatan yang berbeda (Goen membiarkan alam berbicara sendiri dan Saut turut campur mengomentari alam), mereka berdua sama-sama mengunggulkan manusia atas alam. Mungkin ini yang membedakan mereka berdua dari para penyair romantik, yang melihat manusia sebagai sosok yang terpengaruh oleh alam. Goen melihat manusia dan alam bisa menunjukkan kekuatannya sendiri-sendiri tapi masing-masing (setidaknya manusianya) tidak bisa terpengaruh oleh yang lain. Sedingin apapun alam, mereka tetap bahagia dan tak terusir. Sementara, Saut membawa ketegaran manusia ini ke sisi yang lebih jauh: alam hanya berarti dalam puisinya saat dijajarkan dengan manusia.
Perbedaan khas ketiga berkaitan dengan kesan yang diberikan saat membaca kedua puisi ini. Pada “Dingin Tak Tercatat”, pembaca puisi bisa dengan mudah mendapatkan kesan kelembutan, kesenduan dan kesantunan. Saking kuatnya kesan ini, saya pribadi membayangkan seorang deklamator membacakan puisi ini dengan biasa saja, seperti seorang kakek yang berkata kepada istrinya yang telah menua bersamanya. “Dingin tak tercatat pada termometer” kata si kakek sambil tatapannya kosong. “Jalan hanya basah” kata si kakek sambil mulai memandang nenek. “Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja di sana,” kata si kakek sambil mulai memegang tangan nenek. Begitulah seterusnya. Kata-kata dan asosiasi dari bunyi yang dihasilkan mendukung pembacaan seperti itu.
Sedangkan untuk puisi “Kepada P” saya bayangkan si aku lirik di sedang berada di sebuah telepon umum dan berbicara kepada P yang berada di ujung entah. Dan sambungan telpon sedang tidak terlalu jernih, sehingga aku lirik harus berbicara dengan agak keras dan mengartikulasikan kata demi kata dengan tegas. “di kotaku yang pernah merasakan panas bibirmu, malam turun memperkelam segala,” begitulah si aku lirik membuka percakapan di telepon umum. Kata-kata semacam “panas bibirmu”, “aspal hitam kerontang”, “bukit tandus” dan gonggong anjing” membantu menciptakan kesan kasar itu. Dan kesan kasar itu seperti menuntut adanya ekspresi yang tidak lembut saat dideklamasikan.
Yang terakhir, saya merasakan bahwa kedua sajak ini berhubungan secara serial. “Dingin Tak Tercatat” adalah sajak tentang sebuah kebersamaan di tengah dingin, pada suatu musim dingin, di suatu kota sub-tropika. Di latar ini, aku dan kamu lirik bersama memadu kebersamaan yang mengatasi segala bentuk ketidaknyamanan lingkungan. Dan kalau boleh kita ambil tahun penulisannya sebagai latar waktu penulisnya, maka musim dingin atau akhir musim guugr ini terjadi di tahun 1971. Di manakah? Kita bisa tanyakan pada Goen: Di mana Anda waktu itu, Oom Goen? Untuk “Kepada P”, kisah terjadi di sebuah kota dalam suatu jenis suhu yang tak didefinisikan, tapi yang pasti si aku dan kamu lirik tidak lagi bersama dan kota dipenuhi suasana kehilangan. Untuk kesenangan saya sendiri, saya bayangkan saja aku dan kamu lirik di kedua sajak ini adalah orang yang sama. Bedanya, “Dingin Tak Tercatat” terjadi pada suatu masa ketika aku dan kamu lirik bersama merajut kebersamaan yang membuat windchill serasa anget-anget kuku dan “Kepada P” terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika aku dan kamu tak lagi bersama dan si aku mengunjungi TKP (Tempat Kejadian Percintaan[?]) dan mengingat-ingat kembali, menapaktilasi yang dulu-dulu, tapi kali ini dengan lebih blak-blakan, tidak ada sentimentalisme, hanya kekosongan, kehilangan yang memuakkan, tapi dia sadar mungkin juga dia rindu.
Sementara sampai di sini dulu saya membaca karya kedua pendekar dari dua kubu di kang ouw sastra Indonesia ini. Memang keduanya menunjukkan gaya yang berbeda dalam bersastra, kecenderungan berbeda dalam ber”politik sastra”, tapi mau tidak mau, dalam kedua ini, mereka terasa begitu “dekat,” tentu dekat dalam artian yang sangat meluas. Tak apalah, apa boleh saya sebut ini “kehandaitolanan kreatif Saut dan Goen”? Silakan rasakan…
* Draf kasar dari tulisan yang direncanakan ilmiah ?
Sumber Acuan:
Situmorang, Saut. Otobiografi. Yogyakarta: sic. 2007. Cetak.
Mohamad, Goenawan. Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor. 2001. Cetak.
Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2011/07/13/kepada-dingin-yang-tak-tercatat-p-kehandaitolanan-kreatif-goenawan-mohamad-dan-saut-situmorang/#more-734
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar