S. Jai *)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
MEMBACA kembali fiksi dan realitas sastra kita kini, tentunya merupakan suatu upaya yang tepat dan pada waktu yang tepat pula—sebelum jatuh dalam nostalgia berkepanjangan. Kita hampir saja mengalami sindrom nostalgia pada kedua hal yang jelas berkait erat itu. Bahwa walaupun pada mulanya semangatnya untuk “membaca kecenderungan estetika fiksi kita” akan tetapi sudah barang tentu bakal mencermati subtansi di balik teks sastra khususnya pandangan dunia sebagaimana kerap kali mencuat di pelbagai media.
Termasuk kemungkinan bilamana mempertanyakan “realitas sastra,” tidak mustahil bisa mengembara pada hal yang terkait dengan pandangan dunia pengarang atau komunitas sastra. Akan tetapi sebelum pergi ke sana, penting bagi kita bersepakat bahwa sesungguhnya posisi seniman, sastrawan adalah selaku intelektual atau cendekiawan yang memantik perkembangan ilmu pengetahuan dengan ide-ide gagasan barunya di bidang sastra. Terlepas apakah kemudian sastrawan dan karyanya dibaca dengan kacamata gramcian, sosiologi pengetahuan, sejarah mental dan lain sebagainya.
Bagi banyak penulis istilah intelektual dan intelegensia mengesankan sebagai pemikir yang kritis, progresif, ditambah dalam bahasa Karl Menhaim “terasing dan terpisah dari masyarakat.” Di Indonesia tokoh satu ini diperkenalkan oleh kritikus sastra Arif Budiman.
Karena tidak berkelas menyebabkan posisi cendekiawan menjadi rumit di hadapan beberapa kenyataan; struktur sosial yang berkembang terus-menerus, kemudahan kaum intelektual bergerak melintasi struktur-struktur tersebut sehingga menyebabkan mereka dapat dihubungkan dengan pelbagai kelompok social.
Nah, gagasan kaum intelektual terutama merupakan produk hubungan-hubungan tersebut yang juga dipengaruhi asal-usulnya, karakter kelompok dari selama kependidikan, di samping pengaruh kesempatan kaum intelektual untuk mengikat mereka dengan pelbagai kelompok sosial dalam pekerjaan dan politik sewaktu mereka menjalani pendidikan formal atau sesudahnya.
Saya sendiri berpendapat, sastra sebagai ilmu sudah jauh melompat dari itu, karena sastra juga bergulat sampai pada rasa sakit, takjub dan kesahduan, cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan sebagainya. Sastrawan dengan daya intelektualnya memandang realitas sastra sudah pada persoalan visi dan ekspresi—dengan kata lain melibatkan baik dengan nalar, ambang batas nalar, di luar batas nalar maupun kegaiban-kegaibannya, juga kerinduannya untuk sanggup menyongsong massa depan.
Di atas segala hal itu, bagaimana sastrawan memandang realitas sastranya?
Saya kira inilah sebetulnya realitas dari daya intelektual yang sedang diperbincangkan oleh banyak kalangan saat ini. Sebagaimana Ibnu Chaldun mendefinisikan visi sebagai “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”
Konon hingga detik ini penyairlah yang punya kesanggupan menjelaskan visi dan ekspresinya. Sementara para pengarang: jarang—untuk tidak mengatakan tak mampu menjelaskannya. Saya tidak tahu persis apakah hal ini dikarenakan memang puisi memerlukan penjelasan, sementara prosa atau fiksi sebagaimana dalam bahasa Adonis yang sinis hanyalah berisi penjelasan-penjelasan informatif. Ataukah telah menjadi kebiasaan tak adanya karya kreatif “saya tentang saya” yang mempertegas visi dan ekspresi pengarang di samping karya mereka.
Kalau mau jujur sebetulnya antara puisi dan prosa sedang dalam keadaan perang dingin. Bahkan dalam diri penulis yang menulis keduanya. Walaupun antara keduanya bisa terjangkit penyakit miskin ide-ide besar kesusastraan kaum intelektual sebagaimana era Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Ajib Rosidi yang progresif mengusung ide besar—dari yang mengacu pada ideologi tertentu maupun yang anti ideologi, sejak perdebatan fungsi kesusastraan, nasionalisme budaya, persoalan angkatan hingga perdebatan yang kemudian sering ditimbultenggelamkan dan dinilai tidak relevan—sebagaimana misalnya pandangan Ulrich Kratz menghabiskan energi untuk kesana.
Puncaknya, para penulis fiksi musti menggedor kunci gembok di rumah sastra yang ditinggal pergi oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Suatu keadaan sikap keengganan penyair (yang diekstremkan Sutardji) menerima ide-ide atau rumusan pikiran yang memberi arah apapun pada kesusastraan, apalagi ideologi. Sutardji mengeluarkan kredo: “Kata-kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian. Dia bukan seperti pipa untuk menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia Bebas.” Bahkan kelak kemudian hari, betapa Sutardji terkunci dengan kredonya sendiri saat menelorkan kredo kedua dalam fiksi-fiksinya yang menyebabkannya terdengar agak lucu: “Pengungkapan yang ringan dari realitas yang berat, di situlah unsur seni dari cerpen-cerpen saya.” Bukankah menjadi intelektual, menjadi cendekiawan, menjadi sastrawan adalah pekerjaan berat dan yang paling ringan adalah tidak melakukan apa-apa? Pertanyaan ini saya unduh dari hasil pembacaan atas kredo Sutardji yang pertama. Artinya, Sutardji pun menyudet kredo puisinya sendiri saat berpikir tentang fiksi.
Pertanyaan pentingnya tentu saja adalah, meskipun masing-masing argumentasi setiap debat gagasan kesusastraan mencoba menyingkap estetika di baliknya atau (ini yang lebih menarik) mencoba menawarkan estetika untuk mengawali gerakan sastra—seperti pada Perdebatan Sastra kontektual (1984) dan juga Revitalisasi Sastra Pedalaman (1993), akan tetapi benarkah memang ada ide besar? Lantas sejauhmana ide itu membiak pada fiksi?
Terus terang, saya pribadi agak meragukan itu, semisal ketika melihat kenyataan bahwa acuan pertama Perdebatan Sastra Kontekstual yang dimotori Ariel Heryanto, Arief Budiman, Halim HD itu adalah tulisan Goenawan Muhamad—tokoh yang disebut Keith Foucher sebagai anti ide—soal teater : Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir.
Nah. Puisi, Prosa, Teater. Ada apa sebetulnya di balik itu?
***
MENCERMATI kenyataan seperti itu, tentu menarik jika menelisik beberapa kata kunci dari Edgar Du Peron—sastrawan Belanda keturunan Prancis Kelahiran Jatinegara. Bahwa, pertama, Yang paling dibutuhkan sastra Indonesia adalah bahasa Indonesia yang kaya akan daya ekspresi. Apabila Indonesia menemukan sendiri seorang penulis besar yang mampu memberi bentuk pada bahasa Indonesia, yang penting tersebut, itu lebih baik. Kedua, Tapi jika kekuatan dalam bahasa itu datang melalui “para penutur cerita” yang mampu menangkap imajinasi public dan luas dibaca orang, maka tak ada alasan untuk cemas. Kekuatan dalam kesusastraan betapapun hanya bisa muncul dari kekuatan dalam bahasa.
Saat itu Du Peron mengomentari perdebatannya dengan Sjahrir—tokoh politik yang pendapatnya sering menjadi spirit dan dikutip sastrawan Belanda lainnya, MH Szekely Lulof— perihal rumusan konsepsi sastra sosialis-realis dari Eropa menjadi Indonesia dalam sebuah polemik di Majalah Pujangga Baru asuhan Sutan Takdir Alisyahbana.
Nasib baik sejarah kesusastraan kemudian menjatuhkan pada Chairil Anwar, seorang penyair, yang sanggup menterjemahkan kata-kata Du Peron—dan pada akhirnya sejarah sastra penting kita dimulai dari sini. Sonder ketidakberpihakannya pada statemen kedua, “para penutur cerita.” Hal ini dibuktikan dengan ketidakberpihakan sejarah sastra pada pengarang Manusia Bebas, Soewarsih Djojopoespito meskipun bahwa realitas sastra ketika itu berbiak pula prosa (fiksi) realis selain tentu saja puisi-puisi simbolik dari sekelompok kecil penulis di sekitar Chairil Anwar yang mengatasnamakan budaya kita melalui peleburan seni modern dan sastra eropa. Nyata bahwa keduanya, baik prosa (fiksi) realis dan puisi simbolik berbiak dari tingkat kesinambungan yang tinggi dari tradisi intelektual budaya sebelumnya dengan bahasa Belanda sebagai medium ekspresinya, terjalin dari akar gerakan nasionalisme aliran Sjahrir.
Andai Novel karya Soewarsih Djojopoespito—istri anggota pertama PNI Baru Sjahrir—yang semula dalam bahasa Sunda bisa diterbitkan di Balai Pustaka ketika itu, atau saat karyanya Buiten Het Gareel atas dorongan Du Peron ditulis dalam bahasa Belanda dianggap penting menerbitkan estetika sastra kita, barangkali sejarah sastra utamanya prosa atau fiksi di kemudian hari akan gemilang. Termasuk kemungkinan bersinarnya sastra dengan warna dan bahasa kedaerahan. Namun meski penting, novel realis Soewarsih yang terbit di Belanda 1940 berkat usaha keras Du Peron, terabaikan karena ditulis dalam bahasa Belanda. Novel itu bertutur tentang tokoh Soelastri, otobiografi dari pengalamanya menjadi Guru Taman Siswa yang dikelola suaminya 1933-1937.
Sungguh nasib sejarah yang kurang baik dan ironis dibandingkan setidaknya pada Max Havelar karya Multatuli maupun Koeli karya Madelon Hermine Szakely Lulof. Multatuli lahir di Amsterdam 2 Maret 1820, dan Lulof pengarang keturunan Belanda yang dijuluki Multatuli Perempuan ini kelahiran Surabaya 24 Juni 1899. Wajar bila keduanya karya-karyanya lantas terkenal di Belanda lantaran memang keturunan Belanda. Sementara hal itu tidak terjadi di negerinya sendiri pada Soewarsih yang kelahiran Bogor 21 April 1912 dan juga pada karyanya hanya karena ditulis dalam bahasa Belanda—bahasa yang menjadikan tradisi intelektual kelompok Chairil Anwar pula.
Pribadi Chairil dan disokong kelompoknya menciptakan takdirnya sendiri dengan memindahkan kerangka cultural-intelektual di lingkaran jurnal Kritiek en Opbouw dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia. Lebih dari itu, dia menolak seluruh yang menandai jenis pemikiran cultural yang berkembang di sekitar nasionalisme politik Sjahrir, menyerang Pujangga Baru dan mengecam seniman yang bekerja sama dengan aparat propaganda Jepang.
Komunitas kecil Chairil sadar harus memanfaatkan jaringan Belanda. Mereka adalah Asrul Sani, Rivai Apin, M Balfas, Baharudin, Ida Nasution. HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid—mengelola jurnal budaya yang didanai dari Belanda Gema Suasana. 1948. Pada jurnal itu pula prosais Idrus, Balfas, Utuy Tatang Sontani mempublikasikan karyanya. Lalu beralih ke jurnal berita mingguan yang berorientasi ke Sjahrir. Di luar lingkaran mereka masih ada pengarang dari laskar-laskar tentara termasuk Pramudya Ananta Toer.
Saat itu lingkaran Kritiek en Opbouw mengelola jurnal Orientatie disokong oleh pemerintah Belanda demi kepentingan politiknya. Berkat Rob Nieuwenhuys, jurnal itu bertekad tampil betul-betul sastrawi menghindar dari kepentingan propaganda Belanda dan menjadikan wadah pertemuan individui-individu pelbagai ras yang telah melihat “Indonesia” yang baru sebagai tanah airnya.
Meskipun Chairil memilih di luar lingkaran Sjahrir, pada Gema Suasana jugalah ide-ide Sjahrir tampil. Gagasan pentingnya: Menentang idealisasi idealisasi budaya timur atau barat, keharusan memilih tuan dan hamba, kapitalistik dan budak. Keduanya harus ditolak karena hanya nostalgia di tengah upaya menempa budaya yang sesuai dengan tuntutan dunia modern.
Yang tak kurang pentingnya, melalui juru bicara Kelompok Chairil, Ida Nasution, komunitas itu mempertegas konsepsi internasionalismenya sebagai identifikasi estetika modernis eropa. Pengertian yang terkadung di dalamnya, bahwa kerangka “internasional” itu meletakkan tanggungjawab penuh integritas seniman/intelektual secara individual sebagai “pembangun budaya”. Nasionalisme Budaya dicampakkan sebab mengaburkan tanggungjawab individual. Yang dibutuhkan adalah tanggungjawab pribadi.
Inilah cikal bakal “Humanisme Universal” dan Nasionalis yang kemudian pada 1950 diadopsi dari Surat Kepercayaan Gelanggang. “Temuan kami, barangkali tidak selalu orisinil; namun hal terpenting yang perlu kita temukan adalah manusia itu sendiri.” Boleh jadi idiom “tidak selalu orisinil” kelak kemudian hari menjadi catatan tersendiri bagi sejumlah kalangan dalam perdebatannya.
***
KEPENGARANGAN Idrus dan Pramoedya dalam sejarah sastra kita terhitung unik. Pada waktu Chairil menempatkan diri sebagai “pengamat” dan bukan pencatat peristiwa revolusi, sementara itu Pramoedya Ananta Toer adalah “orang dalam” revolusi. Keduanya sadar mencari jalan hidup mereka sendiri. Namun bagi Chairil, kebebasan mengikuti kodrat individual tak terpisahkan dan saling berhubungan dengan perjuangan melawan Belanda.
Sebaliknya, bagi Pramoedya meski keduanya dipertemukan pada usaha memperjuangkan kebebasan dari penjajahan Belanda, seringkali karya Pramoedya mementahkan humanisme yang menjadi panji komunitas yang kemudian oleh Jassin disebut Angkatan 45. HB Jasin dan juga A Teeuw terlambat mengakui Pramoedya sebagai pengarang yang kuat pada zaman itu. Hal yang sama terjadi atas kepengarangan Idrus. Novel Keluarga Gerilya, dari catatan Keith Foutcher disebut sangat sentimental dan melodramatic dan kian dekat dengan gagasan humanisme universal.
Atas diri Pramoedya, komitmen HB Jasin hanya tampak pada novel Perburuan. Oleh HB Jasin novel itu didaftarkan sebuah lomba yang disponsori Balai Pustaka dan menang. Perburuan sebagai novel awal Pramoedya semakin dekat dengan gagasan humanisme universal memperlihatkan Pramoedya pada awalnya fokus pada usaha tokoh memahami masalah universal dan harga kemanusiaan yang harus dibayar oleh revolusi. Namun sejumlah karya Pramoedya berikutnya mempertontonkan akrobatik ekperimen pelbagai gaya kepenulisan baik di dalam maupun di luar ideologi sastra yang diasosiasikan dengan angkatan 45.
Keith Foutcher mengecualikan novel Surabaya karya Idrus. Yang menarik kisah seputar karya Idrus berjudul Surabaya, masuk angkatan 45 karena kejujurannya memasukkan segi-segi negative revolusi—kemunafikan, kesombongan, immoralitas para pejuang—yang tentu saja keluar dari komitmen perjuangan, revolusi dan nasionalisme sebagaimana dipersyaratkan komunitas Chairil Anwar. Karena itu Surabaya semasa revolusi karya itu menjadi dalam bahasa Foutcher: anomali. Dalam komunitas kecil “Angkatan 45” Surabaya memang dianggap tak memiliki kejelasan karakteristik dan bahkan sanggup menjadi boomerang nasionalisme. Akan tetapi dari sisi humanisme Surabaya tidak meragukan lagi kegemilangannya. Novelnya yang lain Perempuan dan Kebangsaan, lebih tragis nasibnya setelah dikesampingkan karena gagal menyeimbangkan gagasan humanisme dan nasionalisme di Indonesia. Novel otobiografis tersebut mengkritik para penulis yang begitu seenaknya mencomot model kesusastraan dan teori psikologi dari luar negeri—termasuk HB Jasin. Tampaknya sikap bertentangan ini muncul semata-mata karena HB Jasin merasa terpojok oleh penggambaran Idrus dalam novel tersebut.
Pelbagai perkecualian pada Idrus dan Pramoedya yang tak bernasib baik atas gagasan estetis lingkaran Chairil Anwar tersebut, tampaknya bisa menambah deretan penolakan adanya pemberontakan estetika angkatan 45 setelah Sutan Takdir Alisyahbana, tentunya. Dalam Majalah Pujangga Baru Edisi X Pebruari- Juni 1949, Takdir menolak ada perbedaan hakiki antara Pujangga Baru dan Angkatan 45. Pendapat itu didasarkan atas “cita-cita pembebasan dan penumbuhan pribadi” yang katanya pada kedua angkatan itu menimbulkan pribadi yang sangat berbeda-beda. “Dilihat dari jurusan pembebasan manusia baru dan pembuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi bahasa Indonesia, sesungguhnya gerakan angkatan 45 itu sambungan belaka dari Pujangga Baru.”
Tahun 1950, kelompok Chairil Anwar malah digugat Ajib Rosidi sebagai angkatan yang gagal dan kemudian ia mendeklarasikan “angkatan terbaru sastrawan Indonesia.” Ajib Rosidi menempatkan nasionalisme melalui unsur kedaerahan dari keindahan legenda, permainan anak, balada romantic: Priangan si Jelita (Ramadhan KH), Balada Orang-Orang Tercinta, (Rendra), Roman Perjalanan (Kirdjomulyo).
Begitulah, atas nama revolusi untuk selanjutnya pelbagai perkembangan sejarah kebudayaan termasuk seni dan sastra melaju pesat, terlepas dari keberpihakannya pada kekuasaan politik tertentu. Utamanya kaum Soekarnois yang banyak mendapat suntikan pemikiran dari Lenin dan Mao Tse Tung.
Sementara itu kelompok Manifes Kebudayaan mendapat tradisi intelektualnya dari Chairil Anwar, Albert Camus, Boris Pasternak yang jelas memulihkan tanggungjawab individu dalam bidang seni dan sastra juga mengampu pada jargon-jargon revolusi. Setidaknya seperti itulah yang diakui Goenawan Mohammad—salah seorang peneken Manifes Kebudayaan—dalam Seks, Sastra dan Kekuasaan. Hal ini kentara terlihat usai Manifes Kebudayaan dilarang pemerintah Soekarno, mereka mencoba membuktikan semangat revolusi yang besar dalam gayanya. Tulisan esai, cerpen, puisi bertema revolusi, kehidupan buruh, epos perang kemerdekaan, dan sebagainya. Diantaranya, Bumi yang Berpeluh, Mereka Akan Bangkit (Bur Rasuanto)
Karena itu sebetulnya hingga saat ini boleh dikata perseteruan dan perang dingin gagasan estetika antar keduanya masih misterius, berkembang terus atau salah satu diantaranya tergerus. Utamanya terkait dengan bagaimana pandangan dunia pengarang pasang wajah dan badan di hadapan kekuasaan politik dan kebudayaan tertentu.
Selain kenyataan di atas, guna menimbang asumsi tersebut, hal penting yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa dalam konsepsi Kebudayaan Rakyat—konggres kebudayaan 6-8 Oktober 1951 para pengikut Soekarno: ….Perjuangan Kebudayaan Rakyat…merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dengan perjuangan kelas buruh dan tani yaitu kelas yang menjadi pemimpin dan tenaga terpenting dan pokok dalam perjuangan rakyat. Sepuluh tahun kemudian, ketika perhelatan kian menghebat, tercatat pula saat kelompok pencetus Manifes Kebudayaan mengadakan konferensi para pengarang seluruh Indonesia 1-7 Maret 1964 yang didukung oleh Jenderal AH Nasution dan A Yani, menghasilkan 5 ikrar yang salah satunya: Kami pengarang Indonesia taat kepada garis Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung Karno.
Bagi generasi yang di luar konteks sejarah saat itu tentu sulit untuk betul-betul memahami situasi. Akan tetapi bisa dimengerti mengapa Lekra segaris dengan Soekarno dan Manifes Kebudayaan dilarang karena dianggap ragu-ragu terhadap revolusi. Lantas maklum bila akhirnya para penandatangan Manifes Kebudayaan mengirimkan surat “mematuhi larangan tersebut.” Permakluman itu tidak tercatat dalam sejarah kesusastraan kita, karena memang tidak menentukan nilai estetika sastra—jikapun tidak dibaca sebagai karakteristik yang bisa meruntuhkan perjuangan untuk meraih wibawa atas nilai estetika sastra kita pada komitmen kebebasan dan pembebasan manusia. Buntutnya, nyatalah kemudian publik sastra akhirnya terjatuh dalam kubangan idiom yang sangat sulit untuk dipahami: politik sastra. Semakin politik susah untuk dipahamii, maka sastra pun seakan lebih sukar untuk dimengerti visi dan ekspresinya.
***
MENYAKSIKAN gebalau kekuasaan politik yang membayang-bayangi kebudayaan, seni juga sastra, Iwan Simatupang mengoreksi posisi kecendekiawanan yang sebelumnya menurut dia tidak independen karena terlibat masalah keorganisasian, politik dan bukan masalah kecendikiawanan. Baginya tugas cendekiawan: menjadi anak zaman, saksi budaya, dan sejarah, serta berperan sebagai hati nurani masyarakat yang kadang terpaksa tidak bersuara seirama dengan slogan politisi right or wrong, my country.
Iwan menggambarkan sikap independen seorang seniman atau pengarang, sebagai pendirian dasar untuk membangun kehidupan individu yang asli, yang otentik. Otentisitas seorang seniman sangat perlu untuk melahirkan karya-karya budaya, yang orisinil. Bagi Iwan, otentisitas diri tidak mungkin ditemukan dalam fanatisme, tetapi dalam suasana jiwa yang sunyi sepi dan terbuka menerima relativitas kebenaran. Usaha Iwan ini serasa lebih berat karena bacaan-bacaan filsafat barat sudah telanjur banyak dibacanya. Tampak jelas hasil nyata dari pandangan dunianya pada revolusi pada Merahnya Merah.
Dari penegasan Iwan Simatupang tersebut, nyatalah bahwa yang dibutuhkan adalah urgensi kesusastraan yang terbebas dari kepanglimaan politik dan “budaya.” Sastra Indonesia membutuhkan landasan konsepsi keindonesiaan itu sendiri, yang tentu saja berbeda-beda dan hiterogenitas, termasuk kemungkinan potensi sastra daerah. Iwan Simatupang sendiri pernah mengajar di sebuah SMA di Surabaya sekitar tahun 1950-an dan memiliki murid-murid diantaranya Satyagraha Hoerip—sastrawan kelahiran Lamongan yang menjadi salah satu pelestari humanisme universal dan Soeprijadi Tomodihardjo kelahiran Kediri, yang kemudian dikenal sebagai penulis Lekra.
Salah satu sosok penting dan menarik lainnya adalah WS Rendra. Sepertinya Rendra berhasil mencuri perhatian dari mainstream kesusastraan yang berhumbalang pada zamannya. Yaitu perjuangan Rendra merebut puisi-puisi sosial—yang ia sebut sebagai pamlet. Betapa estetikanya secara psikologis tentu saja dianggap tidak penting selain juga akibat trauma Lekra. Ia pun sendirian ketika kekuasan politik yang tak terlawankan menebar jargon “jangan campuradukkan kesenian dengan politik” yang memasung kemungkinan tumbuhnya kesenian. Inilah yang digugat dan perlu dibebaskan.
Pembacaan daya hidup Sutan Takdir Alisyahbana oleh Rendra, baginya menarik, akan tetapi ia kecewa terhadap sikapnya yang terlalu absolute dalam menolak sastra yang kemudian hari disebut sastra bisu dan juga sastra yang melihat keterbatasan manusia. Sebab dalam penghayatan akan jalan alam manusia, penyadaran akan keterbatasan manusia justru akan mencapai katarsis. Sedangkan para sastrawan bisu sebenarnya bisa mengungkapkan hubungan antar manusia dengan segenap liku-liku jiwanya secara mendalam, atau sebenarnya bisa menggarap masalah-masalah manusia yang lain yang berada di luar jangkauan masalah social, ialah masalah agama dan sebangsanya. “Alangkah mengecewakannya, apabila seniman-seniman itu menjadi bisu karena miskin penglihatan atau miskin rasa kemanusiaan,” katanya.
Di luar itu, disinyalir sejak tahun 1980-an perkembangan kesusastraan telah mengalami gejala anutan tunggal gaya baru. Dulu Lekra berusaha menciptakan suatu bangunan struktur kesenian dengan anutan tunggal. Lalu, Manifes Kebudayaan berusaha merebut kemerdekaan, tetapi kemudian prinsip pemurnian dan pembebasan yang ditumbuhkan olehnya telah sampai pada suatu tirani baru. Konon. Fiksi dan puisi masih belum beranjak dan tetap di tempat yang sama. Ada yang menyadari ada yang tidak menyadari. Ada yang menyadari lalu berbuat sesuatu, melakukan pelbagai ekperimentasi, atau dengan mencoba kembali menciptakan teknik-teknik baru meskipun dianggap sia-sia. Ada pula yang menyadari akan tetapi tidak melakukan apa-apa. Barangkali yang terakhir ini jumlahnya makin lebih banyak lagi. Ya, barangkali. []
*) Penulis adalah pengarang
Daftar Pustaka
Adonis. 2009. Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam. Yogyakarta. LKiS.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta. Penerbit PT Sinar Harapan.
______. 2007. Isyarat, Kumpulan Esai. Yogyakarta. Indonesia Terra.
Brym, Robert. 1993. Intelektual dan Politik. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Darma, Budi. 1984. Solilokui, Kumpulan Esai Sastra. Jakarta. Gramedia.
Foulcher, Keith. 1994. Angkatan 45: Sastra, Politik dan Revolusi Indonesia. Jakarta. Jaring Kerja Budaya.
Hartoko, Dick. 1985. Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan.
Jasin, HB. 1963. Pengantar: Pujangga Baru, Prosa dan Puisi. Jakarta. Gunung Agung.
Mohamad, Goenawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta. Penerbit PT Sinar Harapan.
Nadjib, Emha Ainun. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Parera, Frans M. 1986. Seorang Cendekiawan Sebagai Saksi Sejarah dalam Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966. Jakarta. LP3ES.
Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta. Gramedia.
Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya, Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta. Pustaka Jaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar