Selasa, 23 Agustus 2011

PERANG DINGIN GAGASAN ESTETIK PUISI DAN FIKSI

S. Jai *)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

MEMBACA kembali fiksi dan realitas sastra kita kini, tentunya merupakan suatu upaya yang tepat dan pada waktu yang tepat pula—sebelum jatuh dalam nostalgia berkepanjangan. Kita hampir saja mengalami sindrom nostalgia pada kedua hal yang jelas berkait erat itu. Bahwa walaupun pada mulanya semangatnya untuk “membaca kecenderungan estetika fiksi kita” akan tetapi sudah barang tentu bakal mencermati subtansi di balik teks sastra khususnya pandangan dunia sebagaimana kerap kali mencuat di pelbagai media.

Termasuk kemungkinan bilamana mempertanyakan “realitas sastra,” tidak mustahil bisa mengembara pada hal yang terkait dengan pandangan dunia pengarang atau komunitas sastra. Akan tetapi sebelum pergi ke sana, penting bagi kita bersepakat bahwa sesungguhnya posisi seniman, sastrawan adalah selaku intelektual atau cendekiawan yang memantik perkembangan ilmu pengetahuan dengan ide-ide gagasan barunya di bidang sastra. Terlepas apakah kemudian sastrawan dan karyanya dibaca dengan kacamata gramcian, sosiologi pengetahuan, sejarah mental dan lain sebagainya.

Bagi banyak penulis istilah intelektual dan intelegensia mengesankan sebagai pemikir yang kritis, progresif, ditambah dalam bahasa Karl Menhaim “terasing dan terpisah dari masyarakat.” Di Indonesia tokoh satu ini diperkenalkan oleh kritikus sastra Arif Budiman.

Karena tidak berkelas menyebabkan posisi cendekiawan menjadi rumit di hadapan beberapa kenyataan; struktur sosial yang berkembang terus-menerus, kemudahan kaum intelektual bergerak melintasi struktur-struktur tersebut sehingga menyebabkan mereka dapat dihubungkan dengan pelbagai kelompok social.

Nah, gagasan kaum intelektual terutama merupakan produk hubungan-hubungan tersebut yang juga dipengaruhi asal-usulnya, karakter kelompok dari selama kependidikan, di samping pengaruh kesempatan kaum intelektual untuk mengikat mereka dengan pelbagai kelompok sosial dalam pekerjaan dan politik sewaktu mereka menjalani pendidikan formal atau sesudahnya.

Saya sendiri berpendapat, sastra sebagai ilmu sudah jauh melompat dari itu, karena sastra juga bergulat sampai pada rasa sakit, takjub dan kesahduan, cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan sebagainya. Sastrawan dengan daya intelektualnya memandang realitas sastra sudah pada persoalan visi dan ekspresi—dengan kata lain melibatkan baik dengan nalar, ambang batas nalar, di luar batas nalar maupun kegaiban-kegaibannya, juga kerinduannya untuk sanggup menyongsong massa depan.

Di atas segala hal itu, bagaimana sastrawan memandang realitas sastranya?

Saya kira inilah sebetulnya realitas dari daya intelektual yang sedang diperbincangkan oleh banyak kalangan saat ini. Sebagaimana Ibnu Chaldun mendefinisikan visi sebagai “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”

Konon hingga detik ini penyairlah yang punya kesanggupan menjelaskan visi dan ekspresinya. Sementara para pengarang: jarang—untuk tidak mengatakan tak mampu menjelaskannya. Saya tidak tahu persis apakah hal ini dikarenakan memang puisi memerlukan penjelasan, sementara prosa atau fiksi sebagaimana dalam bahasa Adonis yang sinis hanyalah berisi penjelasan-penjelasan informatif. Ataukah telah menjadi kebiasaan tak adanya karya kreatif “saya tentang saya” yang mempertegas visi dan ekspresi pengarang di samping karya mereka.

Kalau mau jujur sebetulnya antara puisi dan prosa sedang dalam keadaan perang dingin. Bahkan dalam diri penulis yang menulis keduanya. Walaupun antara keduanya bisa terjangkit penyakit miskin ide-ide besar kesusastraan kaum intelektual sebagaimana era Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Ajib Rosidi yang progresif mengusung ide besar—dari yang mengacu pada ideologi tertentu maupun yang anti ideologi, sejak perdebatan fungsi kesusastraan, nasionalisme budaya, persoalan angkatan hingga perdebatan yang kemudian sering ditimbultenggelamkan dan dinilai tidak relevan—sebagaimana misalnya pandangan Ulrich Kratz menghabiskan energi untuk kesana.

Puncaknya, para penulis fiksi musti menggedor kunci gembok di rumah sastra yang ditinggal pergi oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Suatu keadaan sikap keengganan penyair (yang diekstremkan Sutardji) menerima ide-ide atau rumusan pikiran yang memberi arah apapun pada kesusastraan, apalagi ideologi. Sutardji mengeluarkan kredo: “Kata-kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian. Dia bukan seperti pipa untuk menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia Bebas.” Bahkan kelak kemudian hari, betapa Sutardji terkunci dengan kredonya sendiri saat menelorkan kredo kedua dalam fiksi-fiksinya yang menyebabkannya terdengar agak lucu: “Pengungkapan yang ringan dari realitas yang berat, di situlah unsur seni dari cerpen-cerpen saya.” Bukankah menjadi intelektual, menjadi cendekiawan, menjadi sastrawan adalah pekerjaan berat dan yang paling ringan adalah tidak melakukan apa-apa? Pertanyaan ini saya unduh dari hasil pembacaan atas kredo Sutardji yang pertama. Artinya, Sutardji pun menyudet kredo puisinya sendiri saat berpikir tentang fiksi.

Pertanyaan pentingnya tentu saja adalah, meskipun masing-masing argumentasi setiap debat gagasan kesusastraan mencoba menyingkap estetika di baliknya atau (ini yang lebih menarik) mencoba menawarkan estetika untuk mengawali gerakan sastra—seperti pada Perdebatan Sastra kontektual (1984) dan juga Revitalisasi Sastra Pedalaman (1993), akan tetapi benarkah memang ada ide besar? Lantas sejauhmana ide itu membiak pada fiksi?

Terus terang, saya pribadi agak meragukan itu, semisal ketika melihat kenyataan bahwa acuan pertama Perdebatan Sastra Kontekstual yang dimotori Ariel Heryanto, Arief Budiman, Halim HD itu adalah tulisan Goenawan Muhamad—tokoh yang disebut Keith Foucher sebagai anti ide—soal teater : Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir.

Nah. Puisi, Prosa, Teater. Ada apa sebetulnya di balik itu?

***

MENCERMATI kenyataan seperti itu, tentu menarik jika menelisik beberapa kata kunci dari Edgar Du Peron—sastrawan Belanda keturunan Prancis Kelahiran Jatinegara. Bahwa, pertama, Yang paling dibutuhkan sastra Indonesia adalah bahasa Indonesia yang kaya akan daya ekspresi. Apabila Indonesia menemukan sendiri seorang penulis besar yang mampu memberi bentuk pada bahasa Indonesia, yang penting tersebut, itu lebih baik. Kedua, Tapi jika kekuatan dalam bahasa itu datang melalui “para penutur cerita” yang mampu menangkap imajinasi public dan luas dibaca orang, maka tak ada alasan untuk cemas. Kekuatan dalam kesusastraan betapapun hanya bisa muncul dari kekuatan dalam bahasa.

Saat itu Du Peron mengomentari perdebatannya dengan Sjahrir—tokoh politik yang pendapatnya sering menjadi spirit dan dikutip sastrawan Belanda lainnya, MH Szekely Lulof— perihal rumusan konsepsi sastra sosialis-realis dari Eropa menjadi Indonesia dalam sebuah polemik di Majalah Pujangga Baru asuhan Sutan Takdir Alisyahbana.

Nasib baik sejarah kesusastraan kemudian menjatuhkan pada Chairil Anwar, seorang penyair, yang sanggup menterjemahkan kata-kata Du Peron—dan pada akhirnya sejarah sastra penting kita dimulai dari sini. Sonder ketidakberpihakannya pada statemen kedua, “para penutur cerita.” Hal ini dibuktikan dengan ketidakberpihakan sejarah sastra pada pengarang Manusia Bebas, Soewarsih Djojopoespito meskipun bahwa realitas sastra ketika itu berbiak pula prosa (fiksi) realis selain tentu saja puisi-puisi simbolik dari sekelompok kecil penulis di sekitar Chairil Anwar yang mengatasnamakan budaya kita melalui peleburan seni modern dan sastra eropa. Nyata bahwa keduanya, baik prosa (fiksi) realis dan puisi simbolik berbiak dari tingkat kesinambungan yang tinggi dari tradisi intelektual budaya sebelumnya dengan bahasa Belanda sebagai medium ekspresinya, terjalin dari akar gerakan nasionalisme aliran Sjahrir.

Andai Novel karya Soewarsih Djojopoespito—istri anggota pertama PNI Baru Sjahrir—yang semula dalam bahasa Sunda bisa diterbitkan di Balai Pustaka ketika itu, atau saat karyanya Buiten Het Gareel atas dorongan Du Peron ditulis dalam bahasa Belanda dianggap penting menerbitkan estetika sastra kita, barangkali sejarah sastra utamanya prosa atau fiksi di kemudian hari akan gemilang. Termasuk kemungkinan bersinarnya sastra dengan warna dan bahasa kedaerahan. Namun meski penting, novel realis Soewarsih yang terbit di Belanda 1940 berkat usaha keras Du Peron, terabaikan karena ditulis dalam bahasa Belanda. Novel itu bertutur tentang tokoh Soelastri, otobiografi dari pengalamanya menjadi Guru Taman Siswa yang dikelola suaminya 1933-1937.

Sungguh nasib sejarah yang kurang baik dan ironis dibandingkan setidaknya pada Max Havelar karya Multatuli maupun Koeli karya Madelon Hermine Szakely Lulof. Multatuli lahir di Amsterdam 2 Maret 1820, dan Lulof pengarang keturunan Belanda yang dijuluki Multatuli Perempuan ini kelahiran Surabaya 24 Juni 1899. Wajar bila keduanya karya-karyanya lantas terkenal di Belanda lantaran memang keturunan Belanda. Sementara hal itu tidak terjadi di negerinya sendiri pada Soewarsih yang kelahiran Bogor 21 April 1912 dan juga pada karyanya hanya karena ditulis dalam bahasa Belanda—bahasa yang menjadikan tradisi intelektual kelompok Chairil Anwar pula.

Pribadi Chairil dan disokong kelompoknya menciptakan takdirnya sendiri dengan memindahkan kerangka cultural-intelektual di lingkaran jurnal Kritiek en Opbouw dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia. Lebih dari itu, dia menolak seluruh yang menandai jenis pemikiran cultural yang berkembang di sekitar nasionalisme politik Sjahrir, menyerang Pujangga Baru dan mengecam seniman yang bekerja sama dengan aparat propaganda Jepang.

Komunitas kecil Chairil sadar harus memanfaatkan jaringan Belanda. Mereka adalah Asrul Sani, Rivai Apin, M Balfas, Baharudin, Ida Nasution. HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid—mengelola jurnal budaya yang didanai dari Belanda Gema Suasana. 1948. Pada jurnal itu pula prosais Idrus, Balfas, Utuy Tatang Sontani mempublikasikan karyanya. Lalu beralih ke jurnal berita mingguan yang berorientasi ke Sjahrir. Di luar lingkaran mereka masih ada pengarang dari laskar-laskar tentara termasuk Pramudya Ananta Toer.

Saat itu lingkaran Kritiek en Opbouw mengelola jurnal Orientatie disokong oleh pemerintah Belanda demi kepentingan politiknya. Berkat Rob Nieuwenhuys, jurnal itu bertekad tampil betul-betul sastrawi menghindar dari kepentingan propaganda Belanda dan menjadikan wadah pertemuan individui-individu pelbagai ras yang telah melihat “Indonesia” yang baru sebagai tanah airnya.

Meskipun Chairil memilih di luar lingkaran Sjahrir, pada Gema Suasana jugalah ide-ide Sjahrir tampil. Gagasan pentingnya: Menentang idealisasi idealisasi budaya timur atau barat, keharusan memilih tuan dan hamba, kapitalistik dan budak. Keduanya harus ditolak karena hanya nostalgia di tengah upaya menempa budaya yang sesuai dengan tuntutan dunia modern.

Yang tak kurang pentingnya, melalui juru bicara Kelompok Chairil, Ida Nasution, komunitas itu mempertegas konsepsi internasionalismenya sebagai identifikasi estetika modernis eropa. Pengertian yang terkadung di dalamnya, bahwa kerangka “internasional” itu meletakkan tanggungjawab penuh integritas seniman/intelektual secara individual sebagai “pembangun budaya”. Nasionalisme Budaya dicampakkan sebab mengaburkan tanggungjawab individual. Yang dibutuhkan adalah tanggungjawab pribadi.

Inilah cikal bakal “Humanisme Universal” dan Nasionalis yang kemudian pada 1950 diadopsi dari Surat Kepercayaan Gelanggang. “Temuan kami, barangkali tidak selalu orisinil; namun hal terpenting yang perlu kita temukan adalah manusia itu sendiri.” Boleh jadi idiom “tidak selalu orisinil” kelak kemudian hari menjadi catatan tersendiri bagi sejumlah kalangan dalam perdebatannya.

***

KEPENGARANGAN Idrus dan Pramoedya dalam sejarah sastra kita terhitung unik. Pada waktu Chairil menempatkan diri sebagai “pengamat” dan bukan pencatat peristiwa revolusi, sementara itu Pramoedya Ananta Toer adalah “orang dalam” revolusi. Keduanya sadar mencari jalan hidup mereka sendiri. Namun bagi Chairil, kebebasan mengikuti kodrat individual tak terpisahkan dan saling berhubungan dengan perjuangan melawan Belanda.

Sebaliknya, bagi Pramoedya meski keduanya dipertemukan pada usaha memperjuangkan kebebasan dari penjajahan Belanda, seringkali karya Pramoedya mementahkan humanisme yang menjadi panji komunitas yang kemudian oleh Jassin disebut Angkatan 45. HB Jasin dan juga A Teeuw terlambat mengakui Pramoedya sebagai pengarang yang kuat pada zaman itu. Hal yang sama terjadi atas kepengarangan Idrus. Novel Keluarga Gerilya, dari catatan Keith Foutcher disebut sangat sentimental dan melodramatic dan kian dekat dengan gagasan humanisme universal.

Atas diri Pramoedya, komitmen HB Jasin hanya tampak pada novel Perburuan. Oleh HB Jasin novel itu didaftarkan sebuah lomba yang disponsori Balai Pustaka dan menang. Perburuan sebagai novel awal Pramoedya semakin dekat dengan gagasan humanisme universal memperlihatkan Pramoedya pada awalnya fokus pada usaha tokoh memahami masalah universal dan harga kemanusiaan yang harus dibayar oleh revolusi. Namun sejumlah karya Pramoedya berikutnya mempertontonkan akrobatik ekperimen pelbagai gaya kepenulisan baik di dalam maupun di luar ideologi sastra yang diasosiasikan dengan angkatan 45.

Keith Foutcher mengecualikan novel Surabaya karya Idrus. Yang menarik kisah seputar karya Idrus berjudul Surabaya, masuk angkatan 45 karena kejujurannya memasukkan segi-segi negative revolusi—kemunafikan, kesombongan, immoralitas para pejuang—yang tentu saja keluar dari komitmen perjuangan, revolusi dan nasionalisme sebagaimana dipersyaratkan komunitas Chairil Anwar. Karena itu Surabaya semasa revolusi karya itu menjadi dalam bahasa Foutcher: anomali. Dalam komunitas kecil “Angkatan 45” Surabaya memang dianggap tak memiliki kejelasan karakteristik dan bahkan sanggup menjadi boomerang nasionalisme. Akan tetapi dari sisi humanisme Surabaya tidak meragukan lagi kegemilangannya. Novelnya yang lain Perempuan dan Kebangsaan, lebih tragis nasibnya setelah dikesampingkan karena gagal menyeimbangkan gagasan humanisme dan nasionalisme di Indonesia. Novel otobiografis tersebut mengkritik para penulis yang begitu seenaknya mencomot model kesusastraan dan teori psikologi dari luar negeri—termasuk HB Jasin. Tampaknya sikap bertentangan ini muncul semata-mata karena HB Jasin merasa terpojok oleh penggambaran Idrus dalam novel tersebut.

Pelbagai perkecualian pada Idrus dan Pramoedya yang tak bernasib baik atas gagasan estetis lingkaran Chairil Anwar tersebut, tampaknya bisa menambah deretan penolakan adanya pemberontakan estetika angkatan 45 setelah Sutan Takdir Alisyahbana, tentunya. Dalam Majalah Pujangga Baru Edisi X Pebruari- Juni 1949, Takdir menolak ada perbedaan hakiki antara Pujangga Baru dan Angkatan 45. Pendapat itu didasarkan atas “cita-cita pembebasan dan penumbuhan pribadi” yang katanya pada kedua angkatan itu menimbulkan pribadi yang sangat berbeda-beda. “Dilihat dari jurusan pembebasan manusia baru dan pembuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi bahasa Indonesia, sesungguhnya gerakan angkatan 45 itu sambungan belaka dari Pujangga Baru.”

Tahun 1950, kelompok Chairil Anwar malah digugat Ajib Rosidi sebagai angkatan yang gagal dan kemudian ia mendeklarasikan “angkatan terbaru sastrawan Indonesia.” Ajib Rosidi menempatkan nasionalisme melalui unsur kedaerahan dari keindahan legenda, permainan anak, balada romantic: Priangan si Jelita (Ramadhan KH), Balada Orang-Orang Tercinta, (Rendra), Roman Perjalanan (Kirdjomulyo).

Begitulah, atas nama revolusi untuk selanjutnya pelbagai perkembangan sejarah kebudayaan termasuk seni dan sastra melaju pesat, terlepas dari keberpihakannya pada kekuasaan politik tertentu. Utamanya kaum Soekarnois yang banyak mendapat suntikan pemikiran dari Lenin dan Mao Tse Tung.

Sementara itu kelompok Manifes Kebudayaan mendapat tradisi intelektualnya dari Chairil Anwar, Albert Camus, Boris Pasternak yang jelas memulihkan tanggungjawab individu dalam bidang seni dan sastra juga mengampu pada jargon-jargon revolusi. Setidaknya seperti itulah yang diakui Goenawan Mohammad—salah seorang peneken Manifes Kebudayaan—dalam Seks, Sastra dan Kekuasaan. Hal ini kentara terlihat usai Manifes Kebudayaan dilarang pemerintah Soekarno, mereka mencoba membuktikan semangat revolusi yang besar dalam gayanya. Tulisan esai, cerpen, puisi bertema revolusi, kehidupan buruh, epos perang kemerdekaan, dan sebagainya. Diantaranya, Bumi yang Berpeluh, Mereka Akan Bangkit (Bur Rasuanto)

Karena itu sebetulnya hingga saat ini boleh dikata perseteruan dan perang dingin gagasan estetika antar keduanya masih misterius, berkembang terus atau salah satu diantaranya tergerus. Utamanya terkait dengan bagaimana pandangan dunia pengarang pasang wajah dan badan di hadapan kekuasaan politik dan kebudayaan tertentu.

Selain kenyataan di atas, guna menimbang asumsi tersebut, hal penting yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa dalam konsepsi Kebudayaan Rakyat—konggres kebudayaan 6-8 Oktober 1951 para pengikut Soekarno: ….Perjuangan Kebudayaan Rakyat…merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dengan perjuangan kelas buruh dan tani yaitu kelas yang menjadi pemimpin dan tenaga terpenting dan pokok dalam perjuangan rakyat. Sepuluh tahun kemudian, ketika perhelatan kian menghebat, tercatat pula saat kelompok pencetus Manifes Kebudayaan mengadakan konferensi para pengarang seluruh Indonesia 1-7 Maret 1964 yang didukung oleh Jenderal AH Nasution dan A Yani, menghasilkan 5 ikrar yang salah satunya: Kami pengarang Indonesia taat kepada garis Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung Karno.

Bagi generasi yang di luar konteks sejarah saat itu tentu sulit untuk betul-betul memahami situasi. Akan tetapi bisa dimengerti mengapa Lekra segaris dengan Soekarno dan Manifes Kebudayaan dilarang karena dianggap ragu-ragu terhadap revolusi. Lantas maklum bila akhirnya para penandatangan Manifes Kebudayaan mengirimkan surat “mematuhi larangan tersebut.” Permakluman itu tidak tercatat dalam sejarah kesusastraan kita, karena memang tidak menentukan nilai estetika sastra—jikapun tidak dibaca sebagai karakteristik yang bisa meruntuhkan perjuangan untuk meraih wibawa atas nilai estetika sastra kita pada komitmen kebebasan dan pembebasan manusia. Buntutnya, nyatalah kemudian publik sastra akhirnya terjatuh dalam kubangan idiom yang sangat sulit untuk dipahami: politik sastra. Semakin politik susah untuk dipahamii, maka sastra pun seakan lebih sukar untuk dimengerti visi dan ekspresinya.

***

MENYAKSIKAN gebalau kekuasaan politik yang membayang-bayangi kebudayaan, seni juga sastra, Iwan Simatupang mengoreksi posisi kecendekiawanan yang sebelumnya menurut dia tidak independen karena terlibat masalah keorganisasian, politik dan bukan masalah kecendikiawanan. Baginya tugas cendekiawan: menjadi anak zaman, saksi budaya, dan sejarah, serta berperan sebagai hati nurani masyarakat yang kadang terpaksa tidak bersuara seirama dengan slogan politisi right or wrong, my country.

Iwan menggambarkan sikap independen seorang seniman atau pengarang, sebagai pendirian dasar untuk membangun kehidupan individu yang asli, yang otentik. Otentisitas seorang seniman sangat perlu untuk melahirkan karya-karya budaya, yang orisinil. Bagi Iwan, otentisitas diri tidak mungkin ditemukan dalam fanatisme, tetapi dalam suasana jiwa yang sunyi sepi dan terbuka menerima relativitas kebenaran. Usaha Iwan ini serasa lebih berat karena bacaan-bacaan filsafat barat sudah telanjur banyak dibacanya. Tampak jelas hasil nyata dari pandangan dunianya pada revolusi pada Merahnya Merah.

Dari penegasan Iwan Simatupang tersebut, nyatalah bahwa yang dibutuhkan adalah urgensi kesusastraan yang terbebas dari kepanglimaan politik dan “budaya.” Sastra Indonesia membutuhkan landasan konsepsi keindonesiaan itu sendiri, yang tentu saja berbeda-beda dan hiterogenitas, termasuk kemungkinan potensi sastra daerah. Iwan Simatupang sendiri pernah mengajar di sebuah SMA di Surabaya sekitar tahun 1950-an dan memiliki murid-murid diantaranya Satyagraha Hoerip—sastrawan kelahiran Lamongan yang menjadi salah satu pelestari humanisme universal dan Soeprijadi Tomodihardjo kelahiran Kediri, yang kemudian dikenal sebagai penulis Lekra.

Salah satu sosok penting dan menarik lainnya adalah WS Rendra. Sepertinya Rendra berhasil mencuri perhatian dari mainstream kesusastraan yang berhumbalang pada zamannya. Yaitu perjuangan Rendra merebut puisi-puisi sosial—yang ia sebut sebagai pamlet. Betapa estetikanya secara psikologis tentu saja dianggap tidak penting selain juga akibat trauma Lekra. Ia pun sendirian ketika kekuasan politik yang tak terlawankan menebar jargon “jangan campuradukkan kesenian dengan politik” yang memasung kemungkinan tumbuhnya kesenian. Inilah yang digugat dan perlu dibebaskan.

Pembacaan daya hidup Sutan Takdir Alisyahbana oleh Rendra, baginya menarik, akan tetapi ia kecewa terhadap sikapnya yang terlalu absolute dalam menolak sastra yang kemudian hari disebut sastra bisu dan juga sastra yang melihat keterbatasan manusia. Sebab dalam penghayatan akan jalan alam manusia, penyadaran akan keterbatasan manusia justru akan mencapai katarsis. Sedangkan para sastrawan bisu sebenarnya bisa mengungkapkan hubungan antar manusia dengan segenap liku-liku jiwanya secara mendalam, atau sebenarnya bisa menggarap masalah-masalah manusia yang lain yang berada di luar jangkauan masalah social, ialah masalah agama dan sebangsanya. “Alangkah mengecewakannya, apabila seniman-seniman itu menjadi bisu karena miskin penglihatan atau miskin rasa kemanusiaan,” katanya.

Di luar itu, disinyalir sejak tahun 1980-an perkembangan kesusastraan telah mengalami gejala anutan tunggal gaya baru. Dulu Lekra berusaha menciptakan suatu bangunan struktur kesenian dengan anutan tunggal. Lalu, Manifes Kebudayaan berusaha merebut kemerdekaan, tetapi kemudian prinsip pemurnian dan pembebasan yang ditumbuhkan olehnya telah sampai pada suatu tirani baru. Konon. Fiksi dan puisi masih belum beranjak dan tetap di tempat yang sama. Ada yang menyadari ada yang tidak menyadari. Ada yang menyadari lalu berbuat sesuatu, melakukan pelbagai ekperimentasi, atau dengan mencoba kembali menciptakan teknik-teknik baru meskipun dianggap sia-sia. Ada pula yang menyadari akan tetapi tidak melakukan apa-apa. Barangkali yang terakhir ini jumlahnya makin lebih banyak lagi. Ya, barangkali. []

*) Penulis adalah pengarang

Daftar Pustaka

Adonis. 2009. Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam. Yogyakarta. LKiS.

Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta. Penerbit PT Sinar Harapan.

______. 2007. Isyarat, Kumpulan Esai. Yogyakarta. Indonesia Terra.

Brym, Robert. 1993. Intelektual dan Politik. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.

Darma, Budi. 1984. Solilokui, Kumpulan Esai Sastra. Jakarta. Gramedia.

Foulcher, Keith. 1994. Angkatan 45: Sastra, Politik dan Revolusi Indonesia. Jakarta. Jaring Kerja Budaya.

Hartoko, Dick. 1985. Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan.

Jasin, HB. 1963. Pengantar: Pujangga Baru, Prosa dan Puisi. Jakarta. Gunung Agung.

Mohamad, Goenawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta. Penerbit PT Sinar Harapan.

Nadjib, Emha Ainun. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Parera, Frans M. 1986. Seorang Cendekiawan Sebagai Saksi Sejarah dalam Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966. Jakarta. LP3ES.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta. Gramedia.

Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya, Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta. Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito