Senin, 18 Juli 2011

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

VI

Di buku Raja Mantra Presiden Penyair, sastrawan Taufik Ikram Jamil menulis esai bertitel Bersama Sutardji Calzoum Bachri seluas 16 halaman, dari nomor 64 sampai 79, mengisahkan keakraban dirinya dengan sosok dikenal tukang mantra itu. Ikram mengudar perjalanan Tardji sedari kanak hingga proses kreatif di tanah Pasundan, berpelukan hangat kerinduan, seperti mengetahui persis tapak langkah dengus aroma, dan gelagat rupa gemawan apa saja yang menaungi.

Atas kelembutan ke-Melayu-an, Ikram perlahan mematrikan realitas sekeliling kisah bertaburan bunga nan sedap dihirup, nikmat dipandang. Padahal sejatinya, tampak menelanjangi bulat pemantra. Atau pandanganku saja terbalik, ataukah ketakjuban lebih bermakna bumerang alias senjata makan tuannya. Tetapi, meski aku tak kenal Ikram, kukira tidak. Dia menyusup dalam kelembutan budi pekerti bahasa serupa guru mengajarkan pengetahuan ke anak-anak madrasah, melewati kesantunan irama bunyi, memereteli satu per satu pakaian kebesaran Presiden Penyair.

Entah sudah kusebut berapa kali dalam tulisan. Aku cemburu dengan orang Sumatera (sastrawannya) tempo dulu. Yang berimbas hampir tulisanku, seakan memakmurkan ke-khas-an khasanah para pujangga Melayu. Namun, karena aku lahir di bencah Tanah Jawa, maka kutiupkan bayu kepada roh kandungan alam Bumi Dwipa seraya mengharapkan berkah, pada gilirannya seolah ditimbali, demi meluruskan yang gelap gulita.

Betapa melompat ke awang-uwung dunia atas, sedari zaman-zaman terbaca memperluas cakrawala pemikiran memperkaya batin kesungguhan menimba keilmuan. Tulang-belulang nenek moyang selalu bergelayutan untuk dilahirkan yang melangkahkan kaki di bumi keselamatan. Demikian hukum tak tersangkal, tiada daya mengelak kecuali ditimpakan nasib pahit simalakama, seperti praktek jailangkung; “datang tak dijemput, pulang tak diantar.

Siapakah dia? Dialah roh-roh tak bertanggung jawab pada gurat-gemurai tulisannya, atas perintah para pemanggil iseng pun orang-orang goyah hatinya. Sedang panggilan roh moyang berpijak hukum kesentosaan, terekam di setingkap debu perjalanan, di atas kaki pengelana menganggap asing dirinya di alam kehidupan.

***

Hampir menyeluruh tulisan Ikram mbelejeti, ngelenceki, bahasa lainnya mengupas buah perawan dengan paksa mendekati pemerkosaan. Pelahan-lahan kuhanyut mengutipnya:

Maka, aku datang dalam tidurmu, dalam mati sementaramu, ketika rohmu diangkat ke Arasy. Tapi, kau lupa berwudhuk, maka engkau hanya dapat berada di pinggir. Kau lupa ucapkan ayat mantra, tak terbaca engkau seperti Al Qur’an. Pada gilirannya engkau berteriak, “Emak… Allah… Allah…” Lalu, aku sambut “Alif lam mim…”.

Dengan kata “tidur”, Ikram menaburkan butiran abu yang telah diasmak ajian sirep megananda (mantra menidurkan orang) ke ubun-ubun Tardji bermahkota kepresidenannya. Lantas mengangkatnya berdaya upaya ketaksadaran “mati sementara” berarti alam kehidupan, penuh tipu muslihat, fatamorgana, dekat halimun membiusi sikap kesejatian.

Selogis Ilahiah, Arasy hanya teruntuk Nabi Muhammad Saw., Malaikat Jibril pula tunggangannya Buruq, tidak diperkenankan-Nya. Ini kecerdikan bersimpan cerdas mengangkat lembut, aslinya tak sama sekali. Tetapi Ikram khawatir, ungkapannya tiada sampai, maka diingatkan wudunya yang batal di saat menuliskan, cepat-cepat mengambil air wudu.

Air wudu setiap tetesnya menjelma malaikat penjaga, menambah khusyuk kepada-Nya. Lalu malaikat penjaga kubur menanyakan hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan roh dalam tubuh melalui undang-undang telah ditentukan. Tardji keder tersebab mantra-mantranya hangus terbakar. Lantas ditampakkan lembar-lembar mantranya oleh malaikat, mukanya menjadi kelam, atas lelembaran Kitab Suci terbuka memancarkan cahaya sampai sulit terbaca huruf-hurufnya, silaulah pandangan. Akhirnya berteriak, Ikram dengan santun menuntunnya berdoa “Alif lam mim…“. Kata “sambut” sekadar ungkapan kawan, agar tidak melukai dalam nantinya dengan sedikit menggoda.

Sebagai kawan baik, Ikram menegurnya melewati ujaran Aisyah r.a., atau sesamar dipastikan Tardji tidak menyimak dalam. Itulah kelembutannya, kecantikan yang keluar dari mulut perempuan: “Seandainya aku dilahirkan sebagai daun…Sebab, manusia pada hakikatnya kekal dan karenanya harus bertanggung jawab di depan mahkamah paling agung dengan hakim tunggal Yang Mahaagung pula.

***

Tidak, engkau tidak bebas mencari Tuhanmu. Sebab, begitu kau mengembara dalam aorta, dalam rimba darahmu, hanya tertuju kepada-Nya, Ia menemukanmu dalam wajah yang tidak engkau ketahui, sebab tidak ada contoh pada pandanganmu, tak ada padanan dalam rasamu. Sebab itulah, engkau kemudian memandang pada berjuta-suatu angka yang dapat engkau namakan-apa pun, tak teduh dengan seribu pohon, tak jatuh pada seribu perawan, engkau tak akan bisa mengeluh….”.

Kata-kata “tertuju kepada-Nya”, sanjungan manis nan menawan, Ikram sepertinya telah menghafal rumusan matematika kaum sufi, menaik-turunkan melodi dengan tekanan kata di ujung-ujungnya mematikan berdaya filosofis sulit tersangkal, kalau tidak memeramnya. Hitungan akidah akhlak atas meteran syariat yang dipantulkan laku spiritual, mimpi benar bukan kebenaran, dan realitas benda-benda. Para makhluk bertasbih seperti malaikat hanya mengenali kesetiaan suci sejumlah penciptaan, sedangkan nada-nadanya mengikuti irama surat cahaya, kalam-kalam memakhlukkan sendi-sendi peradaban islamiyah. Sebentuk lingkaran transparan, nilai-nilai terpancar sedari kurungan, di kedalamannya cermin memantul wajah Ikram tengah bermunajad khusyuk kepada Realitas Tunggal.

Ada beberapa kalimat membongkar kebiasaan Tardji lewat lambang dari Kitab Suci, hanya pernah menjumpai saja menyaksikan. Oh keindahan memberi padanan jelas hingga kasar bagi yang sampai. Di sini aku tersadar. Kalbu lebih purba dari bahasa pikiran, olehnya tepat kaum filsuf berfaham, perihal perasaan ialah awal pengetahuan. Di sini, meski Ikram lebih muda 22 tahun darinya, ia tampak menguasai keadaan ruang lelingkup bertiupan kenangan kecil yang semua orang lekat menikmati.

Di sini dapat dijumlah, hitungan nalar matematis mudah dirunut pembentukannya, sedangkan sejarah konsentrasi pikiran batin, sulit terlacak, kecuali bijak merenungi hidup, baru mengetahui. Tidak keliru Leo Tolstoy dan lain-lain berdekatan alam perkampungan damai sebagai pondasi nilai-nilai ditancapi demi para pemikir selanjutnya.

***

Dulu, kita menyebut selat yang memisahkan Riau dengan Singapura dan Johor hanya dengan sebutan parit“. Pernyataan Ikram itu mengingatkan pada ungkapan masyarakat Jawa yang tinggal di kampung, khususnya pegunungan. Kalau ada pengembara tanya, berapa jarak hendak ditempuh, sampai ke tujuan ditanyakan, biasanya menjawab, “hanya beberapa gundukan tanah”. Seakan tampak mata, padahal jauh tidak sesuai dengan yang dibayangkan.

Lantas menjadi insaf, tenaga orang dulu lebih unggul dari keadaan kini menganggap ringan menyusuri jalan panjang selencungan, sekarang sudah dijawab kemajuan teknologi. Tapi masih ada terhilangkan; keakraban, perihal mengukur tenaga fisikal, jenjang menancapi alam, pada keseluruhan tubuh lalui pori-pori, sehembus bayu meresapi kandungan hayat.

Inikah letak menjumlah napas, menakar kebeningan peroleh kasih alam untuk insan memekarkan kelopak kehidupan ke batas sadar perjuangan. Tak melupa pinggiran hati, hingga sedikit terlewati lebih banyak perolehan, nilai-nilai sejatinya mampu membiaki fitrah, berkesahajaan ruhani dari pantulan kehakikian indrawi. Yang ditimbulkan dinaya sesal murni, bukan cepat sirna perubahan, lalu mengulang kebodohan kembali.

***

“Untunglah, belati yang selalu terselip di kaus kakimu -yang selalu engkau bawa entah untuk apa- tidak sempat “beroperasi”. Di Paris van Java, yang sekarang lebih banyak terdengar cerita-cerita miang membara, orang semula mengenalmu sebagai calon politikus gagal -benar juga, kuliahmu di Fisipol tak selesai. Engkau adalah kata-kata itu sendiri, sehingga ah…”rasa yang dalam”.

Sepintas terlihat Tardji bukanlah sosok “preman” di TIM pun di Bandung, panggungnya sebatas ruang kesenian. Watak kesenimanannya tidak berangasan keluar-masuk penjara, ialah derajat realitas menentukan corak pementasan lebih. Kegelandangannya dapat dikategorikan hangat, belum cukup nyali jikalau dikeroyok atau tak pernah disentuh tenaga lain.

Tampak di cermin ajaibku, totalitas kenyentrikannya di kota dihargai penduduk malam, tetapi keusilannya kurang tenar kecuali itu. Ah, jika Tardji dulu di Jogja, tentu sudah kugoda. Sebab di batas waswas tertentu, mudah terketahui, sejauh mana dinaya cipta terkandung darinya. Kata “beroperasi” bisa dimaknai belum menujah ke hakikat kemanusiaan.

Kata “politikus gagal” mengingatkanku akan esainya tentang pertanggungjawaban bagian akhir, kian kentara hendak menguasai panggung sosial, tetapi terjerat ruang lingkup gelap belum terkuasai alam realitasnya. Jalan lapar, mata berkunang, siap tantangan tikaman waktu tajam. Tidakkah lambaian kepal tangan pejalan kaki mengetengahkan tenaga ayunan, sekali pukul menjomplangkan lawan. Pengetahuan ini tak ada di buku-buku, tapi bukankah kita lebih suka menghirup keharuman taman daripada bunga karangan?

Ya, ibu, seseorang yang harus diabdikan tiga kali lebih utama dari yang lainnya dalam hubungan sesama manusia”. Kalimat ini merupakan benang merah kalimat sebelumnya: “Emak… Allah… Allah…” yang semestinya: Emak, emak, emak, bapak…. Di sini, aku mencium kegusaran Tardji, di sebelah keegoisan kepenyairannya seakan hendak melupakan kenangan leluhur.

“Astaga, tak serta-merta engkau diterima. Karya-karyamu dinilai bukan sajak, sebagaimana pernyataan Sutan Takdir Alisyahbana sampai akhir hayatnya yang begitu fanatik pada aliran konvensional. Betapapun, pada gilirannya engkau harus berbicara lewat kredomu bahwa kata-kata memiliki semangatnya sendiri, orang tak peduli karena mereka menganggap kata-kata hanyalah gula-gula. Tapi, Horison acuh saja dengan pandangan sinis penganut konvensional tadi. Sajak-sajakmu tetap dimuat-entah dengan alasan apa, tentulah bukan karena alasan temporer agaknya. Ketika O Amuk Kapak terbit 1981, satu generasi yang lalu, engkau telah mencari dan menemukan tempat, kata Hasan Junus.

Adanya kecenderungan, sastrawan berangasan pemiliki keyakinan kuat, meski konsepnya lemah akan diangkat sekelilingnya. Barangkali kehendaknya langkah lanjut kian matang menginsafi perolehan sebelumnya lewat bangunan lebih kokoh. Tapi kesalahan fatal para kritikus, kurangnya menyimak gejala apa saja bergelagat mengisari. Sehingga kesenjangan mencolok kegagalan besar, pondasi yang diules-elus menjulang, terlupa awal paku buminya tak sedalam penyelidikan.

Yang terpenting adalah memahami niatan. Hasratnya mekaran kuntum bunga searah kepastian, olehnya betapa kokoh jembatan penyeberangan, jika dibangun di atas rawa-rawa, mengkhawatirkan amblas ke perut kebijakan. Namun Tardji tetaplah presiden penyair, pasti menghiasi media sampai ke bangku sekolah, sedangkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, di emperan sejarah kesusastraan Indonesia, tersebab takdirnya lahir di kota kecil, Blora.

Kudengar suara, “ah tak bisa disamakan”. Menyusul suara lain, “bagaimana tak, sama-sama sastrawan”. Yang bilang tak, seperti dahan kering kaku mudah patah, tetapi sejarah tak berjalan sepuluh, dua puluh, dan seratus tahun saja. Kualitas karya bergemuruh lebih lantang ketika sama ditinggal sang empunya. Juga patut diperhatikan, propaganda membentuk takdir berbeda, sekerja perefisian hasil cipta menyegarkan ingatan. Namun, pada tataran tertentu, tetap hukum alam berlaku. Yang ampuh berkumandang, tirakat lahir-batin membetot nasib terselimuti kabut tertanda. Kesusasteraan Tanah Pertiwi begini-begitu saja, meski telah memakan banyak tumbal di mana-mana.

***

“Kawanku, Abdul Wahab dan Bayau setuju dengan pendapat beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa sajak-sajakmu berada dalam tataran transendental. Hasrat merasa adanya sesuatu yang agung, menguasai, dan sejenis dengan itu, sesuatu yang tak terjangkau, adalah naluri -fitroh. Sufi? Entahlah, sebab sufi cenderung pada menjalani suatu peristiwa dengan cara yang telah dicapainya, sementara engkau senantiasa dalam proses untuk berbagai hal termasuk cara mencapai sasaran, bahkan sasaran itu sendiri”.

Beberapa kali Ikram menyokong denyut kepenyairan Tardji lewat suara orang lain. Aku jadi ingat ungkapan sastrawan filsuf Prancis Voltaire: “Bahkan jika aku tidak menyukai pendapatmu, aku akan tetap mendukung hak bicaramu”.

Soal nyufi dan lain-lain, balik ke peta kesusastraan Indonesia, pemilik watak kecenderungan menyepadankan karya teman sendiri. Tardji disebandingkan para pendahulu agung yang tiada sekuku hitamnya menimba keilmuan dan perjuangan syiarnya. Seakan abai hikayat tertera, mendadak disejajarkan tanpa penyelidikan mendalam sejarah masing-masing tokoh yang mencerminkan capaian-capaiannya, maka bisalah dibilang sulapan.

Sebagai penutup, sastrawan yang lahir di Telukbelitung, Bengkalis, Riau; Taufik Ikram Jamil, menuliskan ungkapan Ratnawati S., seorang anak SD Jakarta, awal tahun 1980-an, yang dimuat harian Sinar Harapan, bertitel “Puisi Buat Kak Sutardji“. Ia menciptakan kesan kalau Tardji patut diteladani. Tapi jika baca keseluruah esainya, pandangan tersebut mengsle (dimengslekan) sedikit.

Memang ada beberapa kepastian suara Ikram pada Tardji, tapi lebih tepatnya demi tanah ke-Melayu-an, atau seakan tiada daya pantulan suara mendengung keras di telinganya; Tardji memang ada. Soal perayaan pengadaannya, hanyalah Yang Esa lebih tahu rahasia di kedalamannya.

Ikram menutup dengan kata-kata lembut: “Kepada Allah saya minta ampun, segala kebaikan bersumber dari-Nya, sedangkan segala keburukan maupun kekurangan berasal dari saya sebagai tanda rahmat Allah yang menunjukkan bahwa saya tidaklah memiliki kemampuan apa-apa.

Demikian pun diriku, sekadar menambal sulam adanya. Jikalau ada sebentuk dari-Nya Alhamdulillah, kalau tidak, semoga diberi pemaafan menyunggi, karena segala ikhtiar hanya berasal dari-Nya jua kembali kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito