Senin, 18 Juli 2011

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

VII

Bagian ini menuruti angka ganjil VII, sebagai letak pemberhentian atas ketaksesuaianku dengan Tardji. Yang bermula igauannya bahwa Tuhan berimajinasi, bermimpi, hingga menggugah diriku mendatangi:

Jika tidak satu pun kritikus dapat memberikan penilaian atau pemahaman yang meyakinkan atau malah hanya sekadar komentar asal bunyi atau lip service saja, maka pengarangnya harus angkat bicara. Pengarang tidak mati karena karyanya selesai ditulis, tetapi malah harus hidup mendampingi karyanya yang “aneh” itu memberikan komentar, visi, dan penjelasan agar para pembaca yang kebingungan bisa mendapatkan bandingan dari penafsiran pengarang terhadap penafsiran pembacanya. Hal ini perlu karena pembaca tidak mendapatkan bandingan pengalaman dalam membacanya, karena karya itu adalah karya baru yang sebelumnya tidak memiliki pendahulunya.” (Esai pembuka, ihwal personal, dari buku Isyarat Sutardji Calzoum Bahri).

***

Sebuah karya dimaknai seni, dihasilkan para seniman, apakah lukisan, patung, musik, sastra dan lain-lain, hakikatnya ialah pengabdian atas hidup demi yang menghidupi. Peribadatan itu dikerjakan dengan sangat hati-hati, cermat-teliti, senantiasa mengolah kandungan nilai yang tengah dilebur dari jiwanya guna hasil-hasil di depan.

Pengarang ini berharap minim cacat, maka perevisian pandang sungguh penting, selain perbarui niatan pula daya termiliki. Hal itu dilakukan agar segar menapaki jenjang perluasan kesadaran akan tapak lelangkah menambah derajat yang dipunyai.

Di sana, usaha keras dituntut, kesuntukan direbut ruang sunyi pun keramaian mengisari. Kian matang direngkuh dalam perolehan orang-orang setelahnya. Akhirnya, kecewa terjadi oleh sikap meremehkan, abai sekitar penggarapan.

Puncak pengetahuan itu merupakan penggalian, mengeruk tanah kucurnya mata air hakiki, menaiki bukit yakin, keniscayaan takdir lekat di badan setanggung jawab, juga mencurigai hasil sebelum dan sesudahnya yang di waktunya kewaspadaan kembangkan jejaring getar menarik isyarat, firasat. Guna kemajuan bertingkat memantulkan balik kepasrahan tunggal, selepas melayarkan sampan pelita hati.

Sebab itu, suatu karya purna tak perlu dijelaskan pencetusnya, kecuali sekadar. Di sana tak menelisik dalam, hanya sejenis abstraksi bagi keliaran pembaca memperoleh kilatan cahaya, dengan sendirinya tahu keberadaan nilai-nilai tersebut dari dalam dirinya, bukan berasal pemahaman penciptanya bulat-bulat. Di sini tanggung jawab sementara itu, dan pengantar dapat dikerjakan orang lain; pengamat, kritikus, kawan, atau musuh kreatif.

Jika seniman menerangkan detail hasil karyanya, itu bukan tangung jawab, melainkan karyanya memang bobrok, sehingga butuh alat pengantar si empunya, meski karyanya dibilang cetusan baru, mazhab aneh sekalipun. Apalagi mantra, bukan asing untuk warga dunia yang membongkar makna di balik alam kebendaan.

Kalau mengudar detail, aku curiga batinnya belum ikhlas melepas. Ada penyesalan di wajah karyanya. Ternyata, ciptaannya memang tak bisa dinikmati dan tidak memuaskan batin. Itu kegagalan seniman. Tidak melempar jejaring komunikasi, wewarna dierami nan pernah disenggamai berkeseluruhan diri.

Dari itulah, pokok karya cipta ialah konsep selalu ditempa. Jika terjadi gelagat kemiringan, lekas dibenahi agar bangunan yang dicanangkan tidak buyar menimpahi penikmat juga dirinya. Nyata, karya diinginkan merentang umur panjang, ambruk sedurung menujah pembaca, tersebab cecabangnya lelaku sekadar perkiraan, belum diuji, meski di tingkatan terendah.

Ini biasanya pada seniman ambisius berkeyakinan tanggung, tapi jarang mencurigai perolehannya dan cukup puas pendapatan yang dikunyah. Padahal bisa saja kunyahan pertama berlapis racun, sebelum mencapai isi buah demi ditanam di ladang kembara.

***

Dua paragraf di bawah ini, kupetik dari esaiku bertitel Intrik Penyair dan Karyanya, dalam buku Trilogi Kesadaran halaman 284:

Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali”.

Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung dikubur dalam keranda kata-kata”.

***

Rasa mati itu malu, dipermalukan, karena rahasia terkandung selama ini, hakikat puisi itu terketahui khalayak, meski berselimut nada kata-kata bermakna. Penyairnya menggigil seperti saat mencipta, malu membuatnya senantiasa berkarya, sebentuk nyawa rangkap yang terbit dari api semangat.

Mati berkali-kali laksana latihan bunuh diri. Seseorang seperti menjajal kesaktian dalam mempelajari kekebalan, diuji sampai memantapkan pribadi, dan memahami sejauh tingkat keilmuan yang dipelajari.

Jika mati di awal pertarungan, masih punya ribuan pasukan yang sudah ditempa untuk menuntut balas kekalahan saudaranya. Ini termasuk bentuk tanggung jawab, bukan membantu saat tengah bertarung dengan argumentasi pendamping seperti melemparkan tameng, kalau memang sudah lepas genggaman.

Detik-detik tanggung jawab hadir mengamati kekalahan pun kemenangannya, kala dibenturkan karya lain. Itu dipikul yang demen (kayungyung) kepadanya, karena penulisnya seperti ibu melahirkannya. Tidakkah ibunda malu, jikalau anaknya cacat? Ibunda sang kesatria merelakan anak-anaknya gugur di medan tempuran dengan bangga.

Arti tanggung jawab terletak saat-saat pembuaian, pertumbuhan, wewaktu perevisian. Ketika sudah diterbitkan, anak pasukan mengikuti jalur nasibnya sendiri, sejauh ketentuan dihasrati berdaya gravitasi termiliki atas serangan udara-darat dari angin bertubi perubahan mengendarai hukum alam. Maka kurang tepat jika Tardji memahami tanggung jawab seperti ini:

Dan lebih penting lagi dengan pengarangnya angkat bicara, ia telah menunjukkan tanggung jawabnya sebagai pengarang. Jika ia berdiam diri bisa timbul kesan hanya sekadar beraneh-aneh, cari sensasi, atau menulis secara untung-untungan atau dengan kata lain ia kurang bertanggung jawab atas karyanya”.

Tampak di sana Tardji beraninya main keroyokan kala dilihat anak-anak karyanya diudel-udel, diburaikan isi perut rangkaian ususnya membuyar di medan perang, pembelejetan dalam pengadilan. Kalau ikut cawe-cawe, kian kentara buruk karyanya, karena membuat penikmatnya kebingungan seribu keliling alun-alun.

Jangan salahkan jika pembaca tidak faham lantas dianggap bingung. Tapi perlu juga untuk mencurigai anak karya, apakah sudah ampuh atau masih kacangan yang kalah di arena pertandingan? Watak keroyokan kuanggap bentuk tidak faham tanggung jawab sejati, lebih bobrok menggalang kekuatan demi main keroyok.

Harusnya penyair mawas diri juga pada karyanya, sehingga dinaya yang keluar tidak sia-sia, apalagi menghamburkan kalimat sugesti tanpa dilandasi filosofi. Bersiap-siaplah terjungkal dan terpental keluar sedari lingkaran pengertian yang diharapkan, sebab tidak menempati kursi nyaman di dalam menggumuli karya. Konsep gusar hanya terbit dari mental-mental tanggung. Waspadalah, buah mentah membikin sakit perut!

Lantas apa jadinya pekerjaan pensyarah kitab, penafsir pengetahuan, dan kaum kritikus, kalau seniman yang menciptakan karya, menerangkan hasilnya sampai tetek bengeknya? Sebagaimana tuturan Tardji, “Jika tidak satu pun kritikus dapat memberikan penilaian atau pemahaman yang meyakinkan atau malah hanya sekadar komentar asal bunyi atau lip service saja, maka pengarangnya harus angkat bicara”.

Aku kira itu pantulan keragu-raguan pada karyanya. Ketidakpuasan di atas merupakan hasil temuan kritikus, tidak sesuai dengan dirinya di awal penciptaan. Bisa jadi, ini termasuk bentuk terlalu yakin diri kelewat, di samping para pengudar bayang-bayang. Padahal bayangan penerjemah dapat berlainan tetapi tetap sampai jua. Tidakkah penilaian orang lain cenderung mengisi?

Sepatutnya di sini wilayah keterlepasan. Ibunda para kesatria merestui anak-anaknya ke medan laga dan hanya doa serta usaha secukupnya. Misalkan membikin karya tandingan demi persiapkan gelombang balasan untuk kemajuan wibawa senimannya.

Tidakkah seniman (sastrawan) dituntut menyegarkan pandangan, seperti setiap pagi matahari terbit diganti perubahan bulan menerus, meremaja niatan, tak terlena. Dalam proses itu, tertanam sikap rela memenggal, mengubur lengan sampai seluruh tubuh karya, jikalau tidak punya kekuatan petarung. Jiwa karya bermental kesatria akan menginspirasi karya-karya setelahnya. Oleh sebab itu, kemandirian sikap karya diharuskan hadir, tidak ditutupi dengan angkat bicara yang menambah dangkal kehadirannya, dan membikin wagu keberadaannya sebagai kesatuan utuh sebuah karya cipta.

Pengecualian jika terpaksa, dipaksa, ibunda rohaniah karya ditodong keadaan terjepit. Ini pun harus digarisbawahi. Memberi gambaran di sisinya, mengeluarkan contoh lain sebanding dengan kasus tengah dihadapi agar tidak tampak lucu dan bisa mengurangi kewibawaan karya tersebut. Serupa penyelidik membuat undang-undang dengan menimba berbagai kasus keserupaan demi menurunkan nilai bijak tetap dalam lingkup cita-cita. Hal itu demi membangun sarana penalaran menuju pencerahan yang diingini lawan bicara.

Kalau dengan itu masih menuntut tanggung jawab yang tidak pada tempatnya, anggap saja lain kelas dengan memberi jalan secukupnya. Jalan kupasan tersebut seharusnya masih ada pembatas pada karya, agar tidak seakan menghidupi karya yang dianggap mati pengkritik.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito