Jumat, 18 Maret 2011

Matahari

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Matahari terdiri dari terik yang panjang, biasanya memancar di saat siang. Sementara fajar hanya menyimpan terik yang sebentar untuk kemudian menghilang digantikan matahari yang garang. Lalu senja datang sesaat untuk digantikan malam yang juga terasa panjang.

Siang dan malam adalah waktu yang menyita sebagian besar pengarang. Tak banyak sastrawan yang betah berada pada siang dengan terik sering kelewat panjang itu. sebagian besar seniman tak mendasarkan proses kreatifnya dengan matahari, tapi dengan bulan (baca: malam). Al-Hallaj, Nietzsche, Chairil hingga Goenawan, akrab dengan malam. Bahkan kita masih ingat secarik sajak Chairil tentang malam:

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Sementara siang identik dengan gerah, bukan gelisah. Sangat jarang penyair betah berada pada tubir siang karena siang identik dengan panas (sekali pun siang tak jarang menduang atau hujan). Kita tak betah dengan matahari karena membuat kita gerah dan berkeringat. Kita tak bisa tidur dalam keadaan dipanggang terik yang garang. Sebaliknya; ketika kita kedinginan di malam hari, kita tidur dengan lelap.

Tapi di Prancis tahun 1942 terbit novel asing yang gandrung pada matahari yang asing: L’Etranger, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Orang Asing oleh Apsanti Djoko Sujatno. Pengarangnya adalah putra terbaik Aljazair yang menjadi warga negara Prancis setelah perang. Dia adalah Albert Camus, novelis dan dramawan yang tak jarang menggetarkan lantaran menulis dengan sangat bagus dan stilis.

Novel ini dianggap karya asing, lantaran kisahnya tentang matahari terasa asing bagi orang Prancis atau Eropa pada umumnya. Tapi Camus tak ambil peduli. Ia menampilkan citraan matahari yang asing tapi intim, aneh tapi menggugah.

Saya sedang memperhatikan gambar sampul L’Etranger dan Orang Asing, dan betapa indah matahari di situ. Pantas saja jika Merusault—si tokoh utama—takjub pada matahari dan berkali-kali melukiskan dengan sejumlah frasa dan sinonim. Matahari yang menyengat hamparan bumi yang gelap dengan cahaya yang menjanjikan, tidak sebagaimana novel musim dingin yang merayakan kesepian dan kesunyian diri jauh dari terik yang ganas dan bahana yang menggetarkan.

Meursault yang nyaris jadi nihilis itu, atau yang tak peduli dengan Tuhan dan menolak menemui pendeta dan menjadi pembunuh yang terhukum dengan tanpa rasa bersalah, tampak menimbulkan perasaan absurd. Orang Asing memang novel debutan Camus yang dipuji-puji oleh kritikus justru karena tema yang diangkatnya terasa asing. Matahari yang dilukiskan jauh dari kenyataan sehari-hari orang Prancis.

Camus tampak sengaja meneror borjuisme Eropa dengan menghadirkan novel asing dengan tokoh kere. Orang Asing adalah novel tipis syarat makna. Novel ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama banyak melukiskan matahari dengan berbagai variannya, yang tampak menggiring kita ke dalam perasaan absurd. Ketika Meursault berada di panti wreda membesuk jenazah ibunya, ketika malam berlalu dan fajar tampak begitu singkat, Meursault di bawa ke rumah penjaga pintu panti, mandi dan kemudian ke luar rumah. Pada saat itu Meursault menatap matahari yang indah. Ketika ia keluar, matahari telah sepenuhnya terbit. Di atas bukit-bukit yang memisahkan Marengo dari laut, langit dipenuhi warna kemerahan, tapi bukan seperti senja. Sementara angin yang lewat di atasnya membawa bau garam ke situ. Itulah sebuah hari yang indah sedang mempersiapkan diri.

Matahari terus mencengkram imajinasi pembaca. Camus memang pintar membawa pembaca ke dalam perenungan dan mendesak kita untuk ikut merasakan terik yang menyengat. Ketika matahari mulai naik sedikit lagi di langit, pada saat itu matahari mulai menghangatkan kedua kaki Meursault. Pada saat iringan jenazah ibunya melintas ke jalan menuju pemakaman, siang begitu terik, cuaca begitu memaksa. Meursault berpeluh. Orang-orang mengucurkan keringat. Iringan jenazah terus berjalan, sedikit lebih cepat. Pedusunan tampak berkilauan dilimpahi cahaya matahari yang asing itu. Sementara kilauan langit tak tertahankan hingga membuat aspal yang dilalui para penunggang jenazah ibunya, terasa meleleh.

Camus menampilkan tema matahari dualis. Perhatikan ungkapan-ungkapan tentang matahari dan turunannya melalui penuturan Merusault dalam detik-detik melepas peluru pistol ke arah orang Arab di depannya sebagai penutup bagian satu Orang Asing:

Sengatan matahari mencapai pipiku dan aku merasakan butir-butir peluh mengumpul di alisku. Mataharinya sama seperti waktu aku menguburkan ibu, dan seperti waktu itu, keningku terutama terasa sakit dan semua pembuluh darahku berdenyut-denyut bersama-sama di bawah kulit. Karena sengatan matahari tak tertahankan lagi olehku, aku melakukan suatu gerakan ke depan. Aku tahu bahwa tindakan itu tolol, bahwa aku tak akan terbebas dari matahari dengan jalan berpindah tempat selangkah. Tetapi aku telah melangkah, hanya satu langkah ke depan. Dan kali ini, tanpa bangkit, orang Arab itu mencabut pisaunya yang diacukannya kepadaku di bawah matahari. Cahaya memercik di atas logam dan peristiwa itu seperti mata pisau dan menyilaukan yang menikam keningku. Pada saat yang sama, keringat yang terjumpul di alisku mengalir semua ke pelupuk dan menutupinya dengan tirai yang hangat dan tebal. Aku tak dapat melihat akibat tirai air mata dan garam itu. Aku hanya merasakan dentang simbal matahari di keningku, dan samar-samar, kilatan seperti lembing menyilaukan dari pisau itu senantiasa di depanku. Lembing pijar itu menggigiti alisku dan menusuki mataku yang pedih. Pada waktu itulah semua bergoyang. Laut meniupkan hembusan yang pekat dan bergelora. Aku merasa seakan-akan langit seluruhnya menganga untuk mencurahkan hujan api. Seluruh tubuhku meregang dan aku menekankan tanganku pada pistol yang licin…dan saat itulah, dalam suara yang sekaligus kering dan memekakkan, semua ini dimulai. Aku mengibaskan keringat dan matahari. Aku mengerti bahwa aku telah menghancurkan keseimbangan hari, kebisuan luar biasa dari sebuh pantai tempat aku pernah merasa bahagia…

Masih ada lanjutan dari kutipan itu, yang memperlihatkan sosol Meursault sebagai pembunuh sadis seperti Sade. Tapi bukan itu yang ingin saya tonjolkan di sini. Camus mengerti betul bagaimana menerjemahkan terik matahari dalam sebuah cerita liris yang mengandung isyarat dan sugesti. Terik yang ganas dan memanjang itu, mengingatkan kita pada situasi perang dunia yang membahana dan merenggut jutaan nyawa. Camus memang tak menghadirkan sesuatu yang tenang dan sunyi, tapi semacam ”epidemi matahari” dengan cahayanya yang panjang dan mematikan.

Pada bagian kedua, Camus kembali melukiskan matahari yang asing itu. Dalam kalimat pembukaan nomor tiga bagian kedua, Meursault—nama yang berarti laut dan matahari kata Apsanti Djoko Sujatno—melukiskan musim panas yang disusul musim panas berikutnya sehingga udara menjadi panas bertambah panas. Jika sudah demikian, akan muncul sesuatu yang baru baginya. ”Perkaraku terdaftar dalam masa sidang yang terakhir di pengadilan, dan masa sidang itu akan berakhir dalam bulan Juni. Perdebatan dibuka dengan matahari yang memancar penuh di luar”.

Bayangkan jika manusia hidup dengan matahari terus-menerus. Bayangkan pula apa yang akan terjadi bila ada matahari bersemayam dalam jantung dan hati kita. Camus merasakan hidup yang asing, dengan matahari penantian. Meursault menjadi pembunuh dan tertuduh, yang merasakan kebosanan yang tak terlukiskan ketika berhadapan dengan orang-orang pengadilan. ”Bahkan di bangku tertuduh, selalu menarik mendengarkan diri kita dibicarakan orang”, tulis Camus.

Albert Camus seperti sedang meneror kita dengan menghamparkan tragisnya hidup sebagai paria. Mirip seperti kisah Keluarga Pascual Duarte, tak ada harga diri yang tercabik-cabik melebihi harga diri karena didera kemiskinan dan hidup dalam tuduhan sambil membayangkan tiang gantungan.

Matahari Camus bukan kemewahan, bahkan sejenis sampar yang mematikan. Tapi ada yang tak lengkap dalam pelukisan Camus tentang matahari. Ada sesuatu yang terasa kurang dari ganasnya matahari. Orang Asing memang bukan novel lengkap tentang matahari, tapi fragemen-fragmen yang muncul di sana-sini.

Tapi, sebagai pembaca, saya merasa lega justru karena ketidaklengkapan matahari yang dilukiskan itu. Dan saya bisa mencarinya ke tempat lain dalam karya yang lain. Dan saya menemukan kisah Nigel Watts—penulis novel biografi mengenai Rumi—dalam pendahuluanThe Way of Love—yang diterjemahkan ke Indonesia menjadi Jalan Cinta Rumi oleh Gramedia, 2003— mengenai matahari dalam diri kaum sufi.

Ada matahari dalam diri kita. Dan, matahari itu begitu terik menyengat sehingga sengatannya meski sekejab sanggup menghanguskan kita hingga menjadi abu. Ada pula matahari-matahari, yang berjalan dalam bentuk manusia. Jika kita membuka mata hati kita, kita dapat melihat mereka. Melihat jejak-jejak kaki mereka yang berasap, yang meninggalkan aroma dupa dari hati mereka yang terbakar. Namun, orang-orang seperti itu jarang; dan lebih jarang lagi yang bisa melihat mereka. Sedikit yang punya mata yang bisa melihat orang seperti Syams Tabriz, Matahari dari Tabriz.

Ungkapan ”Matahri dari Tabriz” biasanya dilekatkan pada sosok kesufian Jalaludin Rumi—sufi besar penulis Matsnawi. Julukan itu tampak tak sinkron dengan kesufian Rumi yang justru memuja malam dan pekatnya kegelapan. Gelar itu diberikan padanya mungkin lantaran hidupnya yang menyala oleh cahaya cinta ilahi. Ada satu kutipan syair Rumi dalam buku Nigel Watts yang agaknya perlu saya kutipkan juga di sini. Rumi mengatakan:

Akulah benih dalam api Kekasih
Panasnya membara hingga aku pun berpendar
Bajuku yang meleleh bebas berhamburan
Kekasih melebur, melebur, melebur
Aku tiada lagi, bahkan sampah pun tiada tersisa.

Atau perhatikan syair Hamusy—si pendiam—Rumi yang dikutip Nigel pada halaman 139:

Para penjaga, pergilah ke menara jagamu
Bawa kepadaku semua kabar tentang orang asing—
Siapa tahu Syams Tabriz telah melintasi jalanmu
Janganlah seorang pun menyebut dirinya Muslim
Kalau ia tak sanggup menyampaikan kabar
tentang matahari itu padaku

Rumi adalah kekasih Tuhan, cahaya mata batin, mutiara berkilau dan berharga tapi langka. Andaikan di Afganistan sekarang masih ada Rumi, saya tak tahu apakah Afganistan akan lebih tentram dan memilih doa diam ketimbang perang. Di dalam diri Rumi cahaya kerinduan senantiasa hidup dan menyala, tidak seperti kita yang justru redup dan pucat. ”Matahari tersembunyi di dalam diri kita”, tulis Nigel Watts; ”kita adalah batu koral yang tak berharga dan berlumuran lumpur”.

Terik matahari yang ganas dan panjang tak mampu menghanguskan Rumi menjadi abu menjadi debu. Rumi adalah perumpamaan manusia yang telah sampai pada puncak pendakian pada lotus terjauh. Rumi dengan ringan menari dan melayang menemu Tuhan pada terik siang.

__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito