Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Matahari terdiri dari terik yang panjang, biasanya memancar di saat siang. Sementara fajar hanya menyimpan terik yang sebentar untuk kemudian menghilang digantikan matahari yang garang. Lalu senja datang sesaat untuk digantikan malam yang juga terasa panjang.
Siang dan malam adalah waktu yang menyita sebagian besar pengarang. Tak banyak sastrawan yang betah berada pada siang dengan terik sering kelewat panjang itu. sebagian besar seniman tak mendasarkan proses kreatifnya dengan matahari, tapi dengan bulan (baca: malam). Al-Hallaj, Nietzsche, Chairil hingga Goenawan, akrab dengan malam. Bahkan kita masih ingat secarik sajak Chairil tentang malam:
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Sementara siang identik dengan gerah, bukan gelisah. Sangat jarang penyair betah berada pada tubir siang karena siang identik dengan panas (sekali pun siang tak jarang menduang atau hujan). Kita tak betah dengan matahari karena membuat kita gerah dan berkeringat. Kita tak bisa tidur dalam keadaan dipanggang terik yang garang. Sebaliknya; ketika kita kedinginan di malam hari, kita tidur dengan lelap.
Tapi di Prancis tahun 1942 terbit novel asing yang gandrung pada matahari yang asing: L’Etranger, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Orang Asing oleh Apsanti Djoko Sujatno. Pengarangnya adalah putra terbaik Aljazair yang menjadi warga negara Prancis setelah perang. Dia adalah Albert Camus, novelis dan dramawan yang tak jarang menggetarkan lantaran menulis dengan sangat bagus dan stilis.
Novel ini dianggap karya asing, lantaran kisahnya tentang matahari terasa asing bagi orang Prancis atau Eropa pada umumnya. Tapi Camus tak ambil peduli. Ia menampilkan citraan matahari yang asing tapi intim, aneh tapi menggugah.
Saya sedang memperhatikan gambar sampul L’Etranger dan Orang Asing, dan betapa indah matahari di situ. Pantas saja jika Merusault—si tokoh utama—takjub pada matahari dan berkali-kali melukiskan dengan sejumlah frasa dan sinonim. Matahari yang menyengat hamparan bumi yang gelap dengan cahaya yang menjanjikan, tidak sebagaimana novel musim dingin yang merayakan kesepian dan kesunyian diri jauh dari terik yang ganas dan bahana yang menggetarkan.
Meursault yang nyaris jadi nihilis itu, atau yang tak peduli dengan Tuhan dan menolak menemui pendeta dan menjadi pembunuh yang terhukum dengan tanpa rasa bersalah, tampak menimbulkan perasaan absurd. Orang Asing memang novel debutan Camus yang dipuji-puji oleh kritikus justru karena tema yang diangkatnya terasa asing. Matahari yang dilukiskan jauh dari kenyataan sehari-hari orang Prancis.
Camus tampak sengaja meneror borjuisme Eropa dengan menghadirkan novel asing dengan tokoh kere. Orang Asing adalah novel tipis syarat makna. Novel ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama banyak melukiskan matahari dengan berbagai variannya, yang tampak menggiring kita ke dalam perasaan absurd. Ketika Meursault berada di panti wreda membesuk jenazah ibunya, ketika malam berlalu dan fajar tampak begitu singkat, Meursault di bawa ke rumah penjaga pintu panti, mandi dan kemudian ke luar rumah. Pada saat itu Meursault menatap matahari yang indah. Ketika ia keluar, matahari telah sepenuhnya terbit. Di atas bukit-bukit yang memisahkan Marengo dari laut, langit dipenuhi warna kemerahan, tapi bukan seperti senja. Sementara angin yang lewat di atasnya membawa bau garam ke situ. Itulah sebuah hari yang indah sedang mempersiapkan diri.
Matahari terus mencengkram imajinasi pembaca. Camus memang pintar membawa pembaca ke dalam perenungan dan mendesak kita untuk ikut merasakan terik yang menyengat. Ketika matahari mulai naik sedikit lagi di langit, pada saat itu matahari mulai menghangatkan kedua kaki Meursault. Pada saat iringan jenazah ibunya melintas ke jalan menuju pemakaman, siang begitu terik, cuaca begitu memaksa. Meursault berpeluh. Orang-orang mengucurkan keringat. Iringan jenazah terus berjalan, sedikit lebih cepat. Pedusunan tampak berkilauan dilimpahi cahaya matahari yang asing itu. Sementara kilauan langit tak tertahankan hingga membuat aspal yang dilalui para penunggang jenazah ibunya, terasa meleleh.
Camus menampilkan tema matahari dualis. Perhatikan ungkapan-ungkapan tentang matahari dan turunannya melalui penuturan Merusault dalam detik-detik melepas peluru pistol ke arah orang Arab di depannya sebagai penutup bagian satu Orang Asing:
Sengatan matahari mencapai pipiku dan aku merasakan butir-butir peluh mengumpul di alisku. Mataharinya sama seperti waktu aku menguburkan ibu, dan seperti waktu itu, keningku terutama terasa sakit dan semua pembuluh darahku berdenyut-denyut bersama-sama di bawah kulit. Karena sengatan matahari tak tertahankan lagi olehku, aku melakukan suatu gerakan ke depan. Aku tahu bahwa tindakan itu tolol, bahwa aku tak akan terbebas dari matahari dengan jalan berpindah tempat selangkah. Tetapi aku telah melangkah, hanya satu langkah ke depan. Dan kali ini, tanpa bangkit, orang Arab itu mencabut pisaunya yang diacukannya kepadaku di bawah matahari. Cahaya memercik di atas logam dan peristiwa itu seperti mata pisau dan menyilaukan yang menikam keningku. Pada saat yang sama, keringat yang terjumpul di alisku mengalir semua ke pelupuk dan menutupinya dengan tirai yang hangat dan tebal. Aku tak dapat melihat akibat tirai air mata dan garam itu. Aku hanya merasakan dentang simbal matahari di keningku, dan samar-samar, kilatan seperti lembing menyilaukan dari pisau itu senantiasa di depanku. Lembing pijar itu menggigiti alisku dan menusuki mataku yang pedih. Pada waktu itulah semua bergoyang. Laut meniupkan hembusan yang pekat dan bergelora. Aku merasa seakan-akan langit seluruhnya menganga untuk mencurahkan hujan api. Seluruh tubuhku meregang dan aku menekankan tanganku pada pistol yang licin…dan saat itulah, dalam suara yang sekaligus kering dan memekakkan, semua ini dimulai. Aku mengibaskan keringat dan matahari. Aku mengerti bahwa aku telah menghancurkan keseimbangan hari, kebisuan luar biasa dari sebuh pantai tempat aku pernah merasa bahagia…
Masih ada lanjutan dari kutipan itu, yang memperlihatkan sosol Meursault sebagai pembunuh sadis seperti Sade. Tapi bukan itu yang ingin saya tonjolkan di sini. Camus mengerti betul bagaimana menerjemahkan terik matahari dalam sebuah cerita liris yang mengandung isyarat dan sugesti. Terik yang ganas dan memanjang itu, mengingatkan kita pada situasi perang dunia yang membahana dan merenggut jutaan nyawa. Camus memang tak menghadirkan sesuatu yang tenang dan sunyi, tapi semacam ”epidemi matahari” dengan cahayanya yang panjang dan mematikan.
Pada bagian kedua, Camus kembali melukiskan matahari yang asing itu. Dalam kalimat pembukaan nomor tiga bagian kedua, Meursault—nama yang berarti laut dan matahari kata Apsanti Djoko Sujatno—melukiskan musim panas yang disusul musim panas berikutnya sehingga udara menjadi panas bertambah panas. Jika sudah demikian, akan muncul sesuatu yang baru baginya. ”Perkaraku terdaftar dalam masa sidang yang terakhir di pengadilan, dan masa sidang itu akan berakhir dalam bulan Juni. Perdebatan dibuka dengan matahari yang memancar penuh di luar”.
Bayangkan jika manusia hidup dengan matahari terus-menerus. Bayangkan pula apa yang akan terjadi bila ada matahari bersemayam dalam jantung dan hati kita. Camus merasakan hidup yang asing, dengan matahari penantian. Meursault menjadi pembunuh dan tertuduh, yang merasakan kebosanan yang tak terlukiskan ketika berhadapan dengan orang-orang pengadilan. ”Bahkan di bangku tertuduh, selalu menarik mendengarkan diri kita dibicarakan orang”, tulis Camus.
Albert Camus seperti sedang meneror kita dengan menghamparkan tragisnya hidup sebagai paria. Mirip seperti kisah Keluarga Pascual Duarte, tak ada harga diri yang tercabik-cabik melebihi harga diri karena didera kemiskinan dan hidup dalam tuduhan sambil membayangkan tiang gantungan.
Matahari Camus bukan kemewahan, bahkan sejenis sampar yang mematikan. Tapi ada yang tak lengkap dalam pelukisan Camus tentang matahari. Ada sesuatu yang terasa kurang dari ganasnya matahari. Orang Asing memang bukan novel lengkap tentang matahari, tapi fragemen-fragmen yang muncul di sana-sini.
Tapi, sebagai pembaca, saya merasa lega justru karena ketidaklengkapan matahari yang dilukiskan itu. Dan saya bisa mencarinya ke tempat lain dalam karya yang lain. Dan saya menemukan kisah Nigel Watts—penulis novel biografi mengenai Rumi—dalam pendahuluanThe Way of Love—yang diterjemahkan ke Indonesia menjadi Jalan Cinta Rumi oleh Gramedia, 2003— mengenai matahari dalam diri kaum sufi.
Ada matahari dalam diri kita. Dan, matahari itu begitu terik menyengat sehingga sengatannya meski sekejab sanggup menghanguskan kita hingga menjadi abu. Ada pula matahari-matahari, yang berjalan dalam bentuk manusia. Jika kita membuka mata hati kita, kita dapat melihat mereka. Melihat jejak-jejak kaki mereka yang berasap, yang meninggalkan aroma dupa dari hati mereka yang terbakar. Namun, orang-orang seperti itu jarang; dan lebih jarang lagi yang bisa melihat mereka. Sedikit yang punya mata yang bisa melihat orang seperti Syams Tabriz, Matahari dari Tabriz.
Ungkapan ”Matahri dari Tabriz” biasanya dilekatkan pada sosok kesufian Jalaludin Rumi—sufi besar penulis Matsnawi. Julukan itu tampak tak sinkron dengan kesufian Rumi yang justru memuja malam dan pekatnya kegelapan. Gelar itu diberikan padanya mungkin lantaran hidupnya yang menyala oleh cahaya cinta ilahi. Ada satu kutipan syair Rumi dalam buku Nigel Watts yang agaknya perlu saya kutipkan juga di sini. Rumi mengatakan:
Akulah benih dalam api Kekasih
Panasnya membara hingga aku pun berpendar
Bajuku yang meleleh bebas berhamburan
Kekasih melebur, melebur, melebur
Aku tiada lagi, bahkan sampah pun tiada tersisa.
Atau perhatikan syair Hamusy—si pendiam—Rumi yang dikutip Nigel pada halaman 139:
Para penjaga, pergilah ke menara jagamu
Bawa kepadaku semua kabar tentang orang asing—
Siapa tahu Syams Tabriz telah melintasi jalanmu
Janganlah seorang pun menyebut dirinya Muslim
Kalau ia tak sanggup menyampaikan kabar
tentang matahari itu padaku
Rumi adalah kekasih Tuhan, cahaya mata batin, mutiara berkilau dan berharga tapi langka. Andaikan di Afganistan sekarang masih ada Rumi, saya tak tahu apakah Afganistan akan lebih tentram dan memilih doa diam ketimbang perang. Di dalam diri Rumi cahaya kerinduan senantiasa hidup dan menyala, tidak seperti kita yang justru redup dan pucat. ”Matahari tersembunyi di dalam diri kita”, tulis Nigel Watts; ”kita adalah batu koral yang tak berharga dan berlumuran lumpur”.
Terik matahari yang ganas dan panjang tak mampu menghanguskan Rumi menjadi abu menjadi debu. Rumi adalah perumpamaan manusia yang telah sampai pada puncak pendakian pada lotus terjauh. Rumi dengan ringan menari dan melayang menemu Tuhan pada terik siang.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Jumat, 18 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar