Kamis, 03 Maret 2011

LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas mengasumsikan adanya sejumlah garis pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan mutlak yang mengelilingi satu wilayah atau ruang tertentu. Dalam konsep politik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan penguasaan wilayah, lokalitas dengan sejumlah garis pembatas yang dimilikinya itu diandaikan pula seperti berhadapan dengan kepungan garis pembatas lain sebagai simbol atau representasi kekuasaan lain dalam posisi yang bisa bersifat arbitrer atau bisa juga dalam posisi yang saling mengancam.

Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia merupakan wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah, dan pemilik—pendukung kebudayaan tertentu. Ia bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari.

Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas –relatif—berdasarkan garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan sosio-kultural. Oleh karena itu, lokalitas budaya, lantaran sifatnya yang dinamis, licin, dan lentur, dapat ditarik ke belakang yang menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang mengungkapkan harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi, atau bahkan ke segala arah yang menerabas lokalitas budaya yang lain.

Dalam hal itulah, lokalitas budaya tidak bisa direduksi dengan melakukan pembatasan melalui garis geografi atau politik. Bagaimanapun, lokalitas budaya tidak akan pernah sejalan dengan lokalitas dalam pengertian politik pemerintahan yang melihatnya sebagai persoalan kedaerahan dengan batas kewilayahan yang diasumsikan bersifat permanen, tegas, dan mutlak. Maka dalam pengertian politik itu, lokalitas budaya dimaknai sebagai budaya lokal yang lalu diperlakukan sebagai budaya daerah.

Dari sanalah dimulainya problem kebudayaan (Indonesia) yang bergulir dengan lahirnya usaha membuat dikotomi kebudayaan lokal (: etnik) dan kebudayaan nasional. Kebudayaan lokal yang dibenturkan dengan kebudayaan nasional berakibat terjadinya marjinalisasi sejumlah kebudayaan etnik yang lantaran berbagai faktor, secara sepihak ditempatkan sebagai bukan termasuk kebudayaan nasional. Ada hegemoni dan penafikan terhadap dinamika kebudayaan lokal yang secara salah kaprah dicap sebagai kebudayaan daerah. Dengan demikian, dikotomi pusat—daerah mengisyaratkan bahwa pusat mengatasi daerah. Tak ada kesejajaran di sana. Relasinya hegemonik, sebab ada kecenderungan budaya yang satu melakukan hegemoni terhadap yang lain, dan hubungannya berlaku secara vertikal, tidak horisontal. Pandangan dikotomis semacam itu, diskriminatif karena menempatkan yang satu (pusat) seolah-olah lebih penting daripada yang lain (daerah). Contoh kasus pandangan dikotomis yang bersifat hegemonik tampak dalam perumusan kebudayaan nasional yang dikatakannya sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah”.
***

Sastra merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan budaya masyarakatnya. Ketika ia memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.

Lokalitas dalam sastra tidaklah identik dengan sastra lokal. Sastra lokal bertumpu pada pemakaian bahasa etnik, sedangkan lokalitas dalam sastra mengasumsikan adanya ruang kultural yang menjiwai karya sastra. Meski begitu, lokalitas dalam sastra bukanlah sekadar ruang (space), locus, tempat (place) atau wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain yang secara fisikal dapat diukur, melainkan ruang dalam ranah budaya. Secara struktural, lokalitas dalam sastra kerap dimaknai sebagai wilayah, tempat, kondisi, atau situasi dalam teks yang menggambarkan para pelaku memainkan perannya. Lokalitas seperti mengalami pereduksian menjadi sekadar latar (setting) dalam teks yang mewartakan tempat, situasi, suasana, atau gambaran tentang masyarakat budaya.

Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berkebudayaan. Lokalitas –menyitir pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna teks jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan.

Begitulah, lokalitas dalam sastra semestinya dimaknai sebagai ruang kultural yang dinamis dan tak pernah berhenti pada makna tertentu ketika ia melekat pada teks. Teks sastra pada gilirannya menjelma medan tafsir yang bermuara pada ruang imajinasi pembaca. Bukankah sastra dalam proses pemaknaan pembaca adalah teks yang akan terus menggelindingkan hiruk-pikuk penafsiran. Oleh karena itu, pemahaman lokalitas dalam (teks) sastra sebagai ruang budaya akan menempatkan makna teks ke dalam wilayah medan tafsir yang lebih luas lantaran bisa ditarik, dipadankan, dan dicantelkan dengan realitas kehidupan. Makna teks pada akhirnya tidak berhenti pada makna tekstual, tetapi terus berkeliaran mengembangkan maknanya secara kontekstual.

Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, seolah-olah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra Indonesia dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh seketika di ruang pembaca. Seolah-olah lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba lahir dan mengada. Sastra Indonesia dimaknai tanpa ada usaha memahami berbagai masalah sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang melatardepaninya. Akibatnya, sastra Indonesia tercerabut dari akar budaya dan problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.

Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada pemisahan yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern. Demikian juga hubungan sastra daerah dan sastra Indonesia seolah-olah sudah menjadi produk budaya yang berada dalam dua kutub yang berjauhan. Keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling mengenal, tidak saling mempengaruhi.
***

Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya, menyebut Sumatera—Andalas mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi “Tanah Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah airku/Sumatera namanya tumpah darahku//

Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera, memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran, tidak lagi jatuh pada Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia, Tumpah darahku” menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi: wilayah, bangsa, dan bahasa.

Demikianlah, pemaknaan lokalitas dalam sastra tidak dapat berhenti hanya pada teks, hanya pada makna tekstual. Di belakangnya bertaburan kekayaan makna lain yang tidak hanya menuntut pembaca mengisi ruang kosong yang ditinggalkan teks, melainkan juga menuntut pembaca memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.
***

Lokalitas dalam sejumlah besar novel terbitan Balai Pustaka sebelum merdeka memperlihatkan terjadinya perang ideologi. Di satu pihak, Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial mengemban tugas suci kolonialisme dengan menerapkan sejumlah syarat dan aturan main, dan di pihak lain, berdiri para pengarang Indonesia yang bagaimanapun juga menyadari tugas suci nasionalisme. Sebagai contoh kasus, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, misalnya, seperti merepresentasikan perang ideologi itu.

Pertama, lokalitas Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan tradisionalismenya adalah musuh ideologi yang harus diperangi. Tetapi di sana, ada juga pihak lain yang harus dibela: ninik-mamak, kultur leluhur, tanah kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka, Datuk Meringgih, dengan sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat legitimasi: membela ninik-mamak, kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub yang saling berlawanan: tradisionalisme—patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik, serakah, dan brengsek yang menunjukkan segalam sisi negatif bagi kemanusiaan. Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat dimaknai sebagai penghancuran otoritas ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur, dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat legitimasi tindakan patriotisme sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai pahlawan.

Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi positif modernisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai pusat kekuasaan kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif, menciptakan pengkhianatan pada tanah leluhur.

Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk kompromi yang menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi kemenangan pada tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan pada Samsulbahri yang tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu datang ke tanah kelahiran justru untuk membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan, itu juga bentuk kompromi dengan syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.

Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasarnya juga merepresentasikan perang ideologi yang semacam itu. Minangkabau—Jakarta, Rafiah—Hanafi—Corrie adalah simbolisasi dua kutub ideologi. Minangkabau—Rafiah adalah dunia adat yang dalam hal-hal tertentu bermakna negatif. Ia hidup dengan segala kesederhaan, keterbelakangan, dan kebodohannya, meski pada akhirnya tampil sebagai korban dan sekaligus juga pemenang. Batavia—Corrie adalah modernisme yang dalam beberapa hal, justru berdampak negatif ketika gaya hidup modern (: Barat) menjadi ukuran. Maka, Batavia tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern Corrie, tetapi tidak untuk Hanafi. Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. Ia membuang kultur leluhur dan hidup di kota yang dijalaninya setengah hati. Hanafi tertolak di tanah kelahirannya dan mati sebagai pecundang.

Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial, lokalitas Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik tradisionalisme dan modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe tentang Timur yang kemudian dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu ditandai dengan ciri-ciri umum yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional, komunal, dan karikaturis. Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe Barat yang lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi dengan berbagai teknologinya.

Perdebatan Timur—Barat yang terjadi pada dasawarsa tahun 1930-an yang lalu diberi label oleh Achdiat Karta Mihardja sebagai Polemik Kebudayaan, sesungguhnya merupakan tafsir atas lokalitas kultur etnik yang diperlakukan sebagai representasi dunia Timur berhadapan dengan globalitas dan semangat rasional Barat. Lokalitas dalam sastra terbitan Balai Pustaka ketika itu memperlihatkan marjinalisasi dan inferioritas dunia Timur dalam berhadapan dengan superioritas dunia Barat. Tentu saja tafsir ini tidak berlaku ketika kita mencermati karya-karya yang berada di luar jalur Balai Pustaka. Kesusastraan di luar Balai Pustaka ini pula yang seolah-olah sengaja dibiarkan tanpa suara, dituding sebagai “bacaan liar” dan dicemooh sebagai roman picisan. Di dalam novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka, kita akan menjumpai tokoh-tokoh Belanda yang pemabuk, keluar—masuk rumah bordil, bahkan juga potret dunia pernyaian yang terjadi ketika itu.

Pada zaman Jepang (1942—1945), konsep lokalitas bisa ditarik—ulur sesuai tuntutan ideologi pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon Borobudur, misalnya, bisa ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan peradaban Asia Tenggara, menjadi kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan kembali bangsa-bangsa di Asia—Afrika (: Mesir). Dengan demikian, Sakura, Angkor Wat, Tembok Besar Cina atau piramida Mesir, sengaja digunakan sebagai pintu masuk untuk menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Asia dan kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menentang kolonialisme. Lokalitas digunakan sebagai alat menggugah sentimen ras sesama bangsa Asia. Jika pada zaman sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai stereotipe tradisional, terbelakang, tidak berbudaya, irasional, dan mirip barang rongsokan, maka pada zaman Jepang, stereotipe itu dibongkar dan dicitrakan sebaliknya.
***

Lokalitas dalam sastra pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna tekstual. Teks sekadar bertugas memberi isyarat pada pembaca akan adanya simpul-simpul makna yang mendekam dan bersembunyi di balik teks. Ketika makna itu diterjemahkan, seketika itu simpul-simpul tadi memberi sinyal lain yang memungkinkan saklar imajinasi pembaca bergentayangan memasuki medan tafsir, mengungkap kekayaan dan kompleksitas sosio-budaya yang melingkari, membentuk, mempengaruhi, dan menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan bersangkutan. Jadi, lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif pembaca yang titik berangkatnya bersumber pada teks, pada makna tekstual.

Perhatikan teks berikut ini:

Aston kelihatan kaget. Ia melangkah menerobos kesibukan … Orang-orang mengikutinya…. Sebuah komidi puter dengan ributnya memanggil anak-anak kampung dengan lagu-lagu dangdut. Seorang pedagang kain dengan aksen orang awak sibuk berteriak-teriak mengatasi suara mesin parutan kelapa, menarik perhatian ibu-ibu yang mondar-mandir mencari bumbu dapur. Sebuah truk kecil yang biasa mengangkut es, ribut mengklakson untuk mencari parkiran menggeser tukang-tukang becak yang tak mau minggir kalau tidak dicolek secara pribadi oleh kenek. Dari arah yang lain, masuk mobil penjual jamu dengan badut kate. Jalan yang menampung dua arus kendaraan … itu agak kalang kabut, sebagaimana biasanya. Sepasang suami—istri muda dengan tenang mendorong kereta bayi, anaknya yang baru berusia beberapa bulan menggeliat-geliat. Di pinggang bapak muda itu ada walkman. Di atas atap dua buah rumah, terlihat beberapa anak mengayun-ayunkan burung merpati, memangil merpati yang baru saja diterbangkan. Dan sebuah kapal terbang melintas dekat sekali, tapi tak ada yang mengacuhkan. (Putu Wijaya, Pol, Jakarta: Grafiti, 1987, hlm. 10—11).

Bagaimana kita menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas? Bukankah ketika kita mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar, saklar imajinasi kita menyala seketika dan kemudian bergentayangan mencari cantelannya pada makna di luar teks? Tidak dapat lain, pintu masuknya memang teks. Dan yang menghidupkan teks itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain, karena pembaca juga mempunyai persediaan referensi tentang lokalitas berdasarkan pemahaman dan pengalamannya sendiri. Bukankah teks itu hidup lataran imajinasi pembaca menghidupinya.

Perhatikan juga puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
LUKA
ha ha

Bagaimana kita menemukan lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan simpul-simpul maknanya tidak kita temukan atau seola-olah tidak ada di sana. Kembali, persoalan lokalitas dalam sastra tidak berhenti pada teks. Dalam hal ini, salah satu tugas utama pembaca adalah menelusuri, melacak dan mencari makna di luar teks. Pencarian dan pelacakan itu memang pada akhirnya bermuara pada latar belakang sosio-kultural yang melingkari diri pengarang. Cantelan teks dengan konteks menjadi niscaya ketika kita hendak menguak kekayaan maknanya. Lokalitas menjadi ruang sosio-kultural yang harus diterjemahkan berdasarkan pemahaman tiga kode: kode bahasa, kode sastra, kode budaya.

Ketika kita mencoba menerjemahkan makna puisi itu secara tekstual, seketika itu pula kegagalan membayangi kita dalam usaha mengungkapkan kekayaan makna yang mendekam di belakang teks. Meskipun begitu, ketika kita menemukan makna yang berada di belakang teks, problem lokalitas tetaplah mesti ditempatkan dalam medan tafsir yang terus menggelindingkan maknanya sampai entah ke mana. Sutardji Calzoum Bachri secara kultural menyerap dan merevitalisasi mantra, pantun, gurindam, dan tradisi sosial—budaya Melayu. Tetapi ketika ia berada di level sastra Indonesia, lokalitas Melayu serta-merta berhadapan dengan lokalitas budaya lain dan diizinkan menerobos wilayah dalam wacana keindonesiaan. Tetapi, ketika Melayu ditempatkan dalam wilayah regional, lokalitas Melayu seketika bisa menerabas lokalitas budaya yang lain hingga melewati batas politik wilayah negara Asia Tenggara. Lokalitas dalam sastra menjadi begitu lentur, fleksibel, licin, dinamis, dan tidak menyediakan sebuah tempat pemberhentian terakhir. Dalam ruang imajinasi pembaca, memang tersedia terminal. Tetapi ia bukan tempat pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik pemberangkatan berikutnya menuju makna teks yang tidak pernah berhenti menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah selesai dirumuskan.

Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu licin, lentur, dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah. Dengan demikian, dikotomi lokalitas—globalitas adalah konsepsi yang secara spasial bersifat relatif lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang sudah selesai. Ia berada dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus dapat diperluas atau dipersempit, bergantung pada keluasan wawasan pembaca dan kecerdasannya memainkan ruang imajinasi ketika ia memasuki dan berada dalam medan tafsir.
***

Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia –sebagaimana yang tampak dalam pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah besar skripsi atau tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan menemukan cantelan teks dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia menyajikan begitu banyak problem itu. Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan politik sekarang yang memberi ruang pemerintah daerah mengurus dan mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan bahwa teks sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna tekstual, mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan perjalanannya sampai entah ke mana.

Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan terjerembab pada ketersesatan.

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok)

(Tulisan ini bersumber dari Makalah Diskusi “Lokalitas dalam Sastra” diselenggarakan Bale Sastra Kecapi bekerja sama dengan Harian Kompas dan Bentara Budaya Jakarta, di Bentara Budaya Jakarta, Senin, 16 April 2007, Pukul 15.00—17.00).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito