Raudal Tanjung Banua
http://www.tempointeraktif.com/
Di bawah hujan lebat, tepat pukul 17.00 waktu setempat, KM Ratu Maria tujuan Melonguane yang saya tumpangi perlahan bergerak meninggalkan pelabuhan Manado. Hari itu Rabu, awal Mei 2010. Pasar ikan, gereja, mercusuar, tiang jembatan, pertokoan, dan rumah-rumah mulai pudar di kejauhan, tertutup tirai hujan. Dari ruang nakhoda, seorang pendeta memimpin doa bagi keselamatan pelayaran.
Jika tak ada aral melintang, kapal bertarif Rp 165 ribu ini akan tiba di gugusan Kepulauan Talaud esok hari. Saya bayangkan, semalaman bakal melelahkan, tapi wajah riang para penumpang memupus anggapan itu. Lagi pula, saya mendapat kamar yang nyaman di lantai atas, milik anak buah kapal dengan tambahan sewa Rp 150 ribu. Bersih, penuh simbol Kristiani. Saya beralih membayangkan suasana lain yang bakal saya reguk di sepanjang pelayaran.
Benar saja, belum jauh ke tengah, gerombolan ikan tuna muncul berkejaran di sisi kapal. Tak lama, kapal melewati dua ikon pariwisata Sulawesi Utara: Gunung Manado Tua dan Pulau Bunaken. Manado Tua, yang tersembul dari laut, memiliki perkampungan tua, cikal-bakal orang Manado. Bunaken mendunia berkat taman bawah lautnya. Meski hanya numpang lewat, cukup alasan untuk berdecak kagum.
Malam harinya, hujan reda dan langit terang penuh bintang. Bulan bulat menjelang purnama membuat permukaan laut berkilat mandi cahaya. Saya bertahan di dek kapal sampai larut malam. Setelah puas, saya berbaring di dipan bagian atas. Lewat pintu yang dibiarkan terbuka, saya bisa memandang laut lepas. Akhirnya saya tertidur dalam lelah.
Keesokan hari saya terbangun ketika sinar matahari jatuh menyentuh pipi saya. Suara merdu Dian Pisesa terdengar dari speaker kapal. Bersamaan dengan itu, dua petugas datang membagikan jatah sarapan pagi. Saya bergegas bangun, dan pergi mencuci muka ke kamar mandi. Pukul 08.00 Wita, lewat pengeras suara, petugas mengumumkan kapal akan merapat di Lirung. Ia meminta penumpang bersiap, dan bapak pendeta memimpin doa.
Kapal menyorongkan lambungnya yang sarat ke dermaga. Sejumlah speedboat berkejaran menyongsong. Pengemudinya berteriak menawarkan jasa. Rupanya, waktu sandar dimanfaatkan sebagian penumpang tujuan Melonguane untuk melanjutkan perjalanan dengan speedboat. Waktu tempuhnya hanya 25 menit, tarifnya Rp 20 ribu per orang. Kalau ikut kapal, waktu tempuh satu jam.
Saya memilih sabar menunggu. Perlu lebih dari satu jam untuk menurunkan penumpang dan barang. Saya terhibur oleh keindahan dua pulau kecil di depan pelabuhan. Pantainya putih dan dirimbuni pohon kelapa. Dari Pak Alex, seorang penumpang, saya tahu nama pulau itu: Sarak Besar dan Sarak Kecil. Tapi Sarak Kecil, katanya, sudah dikuasai seorang pengusaha. Saya mulai merasa jemu ketika tong-tong sampah menganga ke laut, menghamburkan sampah plastik dari atas kapal.
Beruntung, Pak Alex beralih cerita. Lirung, katanya, merupakan pelabuhan pertama disinggahi pagi hari. Lirung terletak di Pulau Salibabu. Setelah Lirung, pelabuhan berikutnya adalah Melonguane dan Beo, keduanya di Karakelang, pulau terbesar di gugusan Talaud. Hanya, kapal tak selalu ke Beo, lebih sering sampai Melonguane. Padahal Beo pelabuhan tertua.
Itu sebabnya, ketika Talaud jadi kabupaten sendiri,lepas dari Sangihe pada 2000, persoalan ibu kota cukup krusial. Lirung dan Beo bersaing ketat. Jalan tengah: ditetapkan Melonguane. Toh, kota ini sudah lebih dulu memiliki pelabuhan udara yang didarati dua hari sekali oleh pesawat kecil Merpati dan Wings Air. Selain itu, feri dari Bitung punya jadwal tetap ke tempat ini.
Kabupaten Talaud terdiri atas Pulau Salibabu, Karakelang, Sarak, Kabaruan, dan puluhan pulau kecil. Termasuk Kepulauan Nanusa, yang terdiri atas Karatung, Mangumpung, Kakarotan, Gerama, dan Miangas, pulau paling utara. Talaud terletak di gerbang Samudra Pasifik dan berbatasan langsung dengan Filipina. Tak mengherankan, orang Talaud banyak di Mindanao, terutama di Davao City. Begitupun sebaliknya. Mereka membarter barang: orang Filipina mengandalkan sandal, ayam, dan minuman kaleng, sedangkan orang kita mengandalkan rokok kretek dan pakaian.
Talaud berasal dari ungkapan tanah ujung laut. Tapi nama paling populernya adalah pemberian Gubernur VOC di Maluku, Padtbrugge. Pada 1677 ia singgah di Talaud dan menyebutnya "Noorder-einlanden", Nusa Utara. Belanda kemudian masuk dengan membangun banyak gereja yang artistik. Portugis pun ikut mengincar, tapi tersingkir ke Filipina, meninggalkan tata ruang kota khas Eropa, yakni jalan-jalan yang sejajar lurus. Portugis menyebut Talaud "Porodisa", artinya Tanah Sorga.
Pukul 09.30 Wita, kapal merapat di Melonguane. Pelabuhannya lebih kecil dibanding Lirung. Gudang dan rumah-rumah juga tak sepadat di Lirung. Yang membuat keduanya sama ialah menjulang tingginya tiang pancar telepon seluler. Seolah mengingatkan bahwa kota di lautan luas ini meretas isolasi.
Saya bersalaman dengan Pak Alex, yang badannya tinggi berdegap. "Nanti torang boleh ketemu lagi dang. Kalau ke Rainis, singgahlah, kitorang ada di Beo. Boleh begitu?" ia menepuk pundak saya. Besar kemungkinan kami kembali bertemu. Maklum, kami berada di satu pulau yang jalannya belum banyak simpang, kotanya masih lengang, dan penduduknya relatif sedikit. Tapi, ah, bisa saja Pak Alex menghabiskan waktu di ladang memetik kelapa, cengkeh, atau pala.
Saya dijemput Alfred Pontolondo, kawan lama waktu di Yogya. Berboncengan kami naik sepeda motor. Mata saya tak henti memperhatikan Melonguane, yang sedang tumbuh. Sebuah tugu berlambang bola dunia berdiri sejajar dengan dermaga, dekat perempatan yang sepi. Yang membuat jalanan di Melonguane hidup ialah keberadaan "taksi bentor", becak yang dimodifikasi dengan sepeda motor. Bentor menjadi alat transportasi andalan warga, jauh-dekat tarifnya Rp 3.000.
Alfred membawa saya ke rumahnya, tak jauh dari tugu. Rumah kayu sederhana itu terletak di gang berlumpur karena kerap diguyur hujan. Atapnya dari seng, membuat saya mandi keringat. "Rumah ini belum setahun kami beli," kata Alfred. Saya segera ke teras depan. Lumayan, angin bertiup segar. Istri dan mertua Alfred sebenarnya tinggal di Rainis, 60 kilometer arah utara dari Melonguane. Sekali seminggu mereka pulang. Seperti hari itu, ibu mertuanya--salah satu staf Kantor Lingkungan Hidup--baru berangkat ke Rainis, dan bapak mertuanya--pegawai Dinas Pendidikan Nasional--sedang mengontrol ujian akhir nasional.
Alfred mengajak saya makan siang. Ternyata ibu mertuanya sudah menyiapkan sejumlah menu yang bagi saya terasa spesial. Ikan bakar dan sayur nating sebenarnya menu rumahan di Talaud, tapi segera memancing saya untuk lahap. Sayur nating sejenis daun singkong, tapi lebih lembut dan membuat kuah gulai jadi kental. Apalagi santan gulai di sini sangat pekat. Maklum, daerah penghasil kelapa. Cocok dengan lidah Sumatera saya.
Yang paling menantang adalah rebusan talas, jenis umbian yang gampang ditemukan di Talaud. Ada dua jenis talas, warna putih dengan rasa gurih, asli Talaud. Sedangkan warna merah berserat lembut berasal dari Filipina. Dimakan pakai gulai ikan cakalang, wah, rasanya jadi tak mau beranjak dari meja makan!
Habis makan, kami berkeliling kota, melewati rumah-rumah berpagar rendah yang seragam. Anehnya, warna pagar itu hanya dua macam: merah dan biru. Menurut Alfred, itu pantulan "warna politik" mereka. Kami tiba di kompleks pemerintah daerah Talaud di atas bukit. Kantor bupati tampak paling besar, bertingkat dua. Di sampingnya berderet kantor dinas dengan bangunan relatif baru, tapi halamannya tak terurus. Bahkan rumput liar nyaris menutupi badan jalan di kawasan itu. Tak jauh dari kantor bupati, terdapat kompleks rumah ibadah beberapa agama, dinamakan "Bukit Cinta"--mengingatkan akan "Bukit Kasih" di Minahasa.
Ketika warna senja memantul merah di pucuk-pucuk cengkeh dan pala, kami mampir membeli ikan yang dijajakan para perempuan di dekat pelabuhan. Murah-meriah, meski kurang segar karena merupakan sisa siang sebelumnya. Saya pilih juga ikan tongkol cukup besar, hanya Rp 10 ribu. Ikan kembung dan bawal satu kresek kami bayar Rp 12 ribu. Lalu kami ke pasar membeli bumbu. Malamnya, kami puas pesta ikan bakar.
Hari berikutnya, hujan turun sejak pagi. Rencana ke Desa Musi terpaksa kami batalkan. Musi merupakan desa tua yang memiliki kepercayaan pada roh leluhur. Menjelang siang, hujan reda, kami langsung tancap ke Rainis. Moda transportasi di jalur ini adalah mobil pelat hitam, yang mematok tarif mahal, Rp 30 ribu per orang.
Kami memutuskan berkendaraan motor dengan santai di jalan aspal yang bagus. Saya pikir, meski jauh di perbatasan, jalan di Talaud lebih baik. Tapi, Alfred bilang, banyak juga jalan Talaud yang rusak. Kondisi jalan lingkar Karakelang hanya bagus di jalur Melonguane-Beo-Rainis-Esang, sedangkan pantai timur rusak parah.
Kami singgah di Gua Totambatu, Desa Tarohan. Gua ini terdapat di puncak batu karang tempat tengkorak dan tulang-belulang yang dipercaya sebagai nenek moyang orang Talaud berserakan. Ditilik dari pecahan piring dan keramik di situ, mereka berkebudayaan tinggi. Sayang, semua itu tak terawat. Padahal pantainya juga sangat indah dengan hutan bakau dan pohon kelapa. Di sini ditemukan burung langka endemik, tu'a. Jurnal ilmiah Forkatil menamainya Gymnocrex talaudensis.
Saya menikmati Beo sebagai kota kecil berusia tua, yang menyiapkan dirinya sejak dulu dengan pelabuhan, gereja, sekolah, dan tata ruang kota yang baik. Sayang, sejarah seolah berhenti ketika Belanda pergi dan pemerintah tak cakap mengembangkannya. Malah tambang bijih besi hendak dibuka dan ditentang masyarakat karena dianggap merusak. Spanduk penolakan terpasang di jalan-jalan. Kini Beo tampak seperti berdandan dengan pakaian lama yang tersimpan di lemari tua.
Jalan ke Rainis mulai menanjak dan penuh tikungan. Maklum, jalan ini memotong bagian tengah Pulau Karakelang, menghubungkan Beo di pantai barat dengan Rainis di pantai timur. Perjalanan melewati pegunungan sejuk dalam lindungan pohon cengkeh yang rimbun di kiri-kanan jalan. Orang-orang dengan keranjang di punggung tampak pulang dari ladang, sebagian membawa tangga bambu pemetik cengkeh.
Selain hasil laut, Talaud sumber utama kelapa, pala, dan cengkeh, meski harganya tak pernah memuaskan. Hanya pada masa pemerintahan Gus Dur harga komoditas itu menembus harga pasar internasional. Tak mengherankan, nama Gus Dur seharum bunga cengkeh di Talaud. Selebihnya cerita sedih, misalnya tentang puluhan hektare kebun warga dijual murah kepada pengusaha dan tuan tanah.
Perasaan asing sejak tiba di Rainis pupus ketika Minggu pagi yang cerah saya berkeliling. Orang-orang berbaris ke gereja, menyapa ramah. Saya rasakan masyarakat Talaud sangat religius. Selain pemeluk Kristen, ada desa muslim, seperti Bawunian dan Resduk. Mereka transmigran dari Marore, Kawio, dan Kawaluso, Sangihe, yang memeluk Islam sejak masa Kasultanan Ternate dan Tidore. Mereka hidup damai.
Saya terus berjalan menyusuri Rainis, dan tahu betapa kota kecil ini sangat cantik! Ia bertingkat dua, bagian atas dengan cengkeh dan pala, bagian bawah pantai dan kelapa. Sebuah tangga batu menghubungkannya. Gereja tua, tangga batu, dan pelabuhan kecil seolah jadi landmark Rainis. Saya menghabiskan waktu empat hari di sini. Lebih sekadar memberi workshop sastra, saya merasa masuk dalam kehidupan orang Talaud yang hangat.
ari terakhir, bersama siswa dan guru, saya berkunjung ke Lobbo, pulau kecil di sebelah utara Beo. Kami menyeberang naik perahu, membawa banyak makanan. Saya dan Alfred berkeliling pulau. Meski tak lebih dari 2 kilometer persegi, ternyata tak mudah. Banyak karang tajam dan belukar. Tapi rimba bakau, pasir putih, dan suara burung imbalannya. Setelah susah-payah mencapai tempat berkumpul, kami merayakan semacam perpisahan. Berdiri mengitari tikar penuh makanan, seseorang di antara kami memimpin doa. Lalu kami makan bersama. Terus semua berendam di laut yang tenang, menyaksikan ikan tuna memburu ikan-ikan kecil. Di atas kami, lengkung pelangi menyemburat dari laut ke langit. Besoknya, dari bandara kecil Melonguane, dengan pesawat kecil, saya meninggalkan Porodisa dengan kecamuk perasaan yang sengit.
*) Penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar