Senin, 27 September 2010

SELIR, OH… SELIR

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

Omong soal selir, pikiran pastilah langsung istri banyak. Paling tidak lebih dari satu. Tetapi istri lebih dari satu pastilah selir? Inilah yang menarik untuk disimak dan diperhatikan. Itu adalah gejala yang ada di masyarakat, yang kadang mengundang pro dan kontra. Biasa, seperti halnya hidup itu sendiri mengundang pro dan kontra. Lantas bagaimana tentang selir di tanah Jawa ini atau khususnya di seputaran kalangan kerabat raja yang disebut ningrat atau priyayi yang sering dijadikan panutan masyarakat.

Masih ingat Douwes Dekker yang nulis Max Havelaar? Ia menyebutkan, ada empat hal yang dominan dalam kehidupan priyayi. Pertama, bahwa dalam kehidupan lahir-batin bangsa berkulit coklat (pribumi), para priyayi banyak yang ambigous atau mendua. Misalnya, di satu pihak setia terhadap Gubermen van Nederlandsch-Indie, di lain pihak haruslah setia pada raja atau ratu pribumi sendiri yang ketika itu dalam lingkungan Praja Kejawen atau Vorstenlanden (yakni 4 kerajaan Jawa, yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman). Ambiguitas dan dualisme ini dibedakan menurut kutub-kutub adat istiadat lokal yang tak lepas dari ikatan etika dan politik, antara setia pada penjajah dan juga loyal terhadap raja sebagai penguasa trah Mataram.

Kedua, masih menurut Dekker, ada perbedaan hakiki dan konvensional antara pejabat yang merasa tentang adanya hak-hak administratif mereka sebagai abdi gubermen yang otomatis selaku priyayi-ambtenar yang feodalistik dan patuh terhadap perangkat yang membawahi mereka selaku pegawai negeri yang memiliki hak-hak istimewa.

Ketiga, dalam hal ini maka tidak hanya lingkungan kerja yang serba berbeda dan serba berkecukupan, namun juga mempunyai kelimpahan dalam berbagai hal yang sifatnya kenikmatan manusiawi termasuk kenikmatan seksual yang hanya mereka yang berhak merasakannya. Sedang lapisan rakyat jelata tak berhak merasakan. Lapisan rakyat jelata tak boleh merasakan dengan pertimbangan bahwa mereka “tak berkelas.”

Keempat, dalam kaitan tentang keharuman yang melimpah tersebut, orang ternyata boleh meresapkan limpahan dan keistimewaan dalam perkawinan yang subtil yang sengaja hendak berlebih-lebihan. Beberapa yang patut dipakai sebagai alasan pemberkatan trah ini:

1. Perkawinan bukan mengambil corak satu lawan satu atau monogami melainkan polygami yang mewartakan bahwa dalam hal ini maka ada banyak pasangan wanita di samping satu pria ada banyak istri diperlukan buat memperkokoh status penguasa tunggal. Ini disebut sebagai suatu warasandamani yang tak boleh diganggugugat.

2. Antara para istri tersebut, harap dibedakan antara garwa padmi atau garwa utama, istri prima bagi sang suami, sementara istri-istri lainnya disebut selir atau garwa ampeyan dan hak-hak istimewa dalam politik, ekonomi, sosial hanya tertuju kepada sang first lady yang begitu kharismatik. Sistem ini disebut “lamdaruwinaya” atau bahwa apa yang dikehendaki istri pinilih tak boleh didesak oleh istri-istri sampingan saja.

Pada hakikatnya konsep perseliran dalam adat priyayi, yang dicontoh adalah teladan dewa, seperti misalnya Raden Panji Inu Kertapati (Asmarabangun) mengikuti teladan Dewa Kamajaya (strirandapalupi), kemudian ide Raden Arjuna yang sanggup berpoligami sempurna (pranundradipta), kemudian teladan Raden Soma tatkala mengawini Dewi Angnyawati (strilaku-tambulinari) dan tak lupa mengikuti jalur kesempurnaan kasih Rama dan Sinta (dwiparandacihna) yang diperteguh kekuatan Dewa Semar Ismaya (datunalajigja) yang potensial.

Dalam hal inilah maka konsep tersebut langsung dibumbui oleh jaminan langkah-laku-asmara menurut Asmaradana dan Kamasutra yang merupakan pasukan klasik India. Asmaradana dipenggal dari ajaran Asmarandana Yadnyatanti dalam ujaran Dwipara Patayadnya Puranasangka yang dalam dasar-dasar poligami yang teratur ini maka orang pun terpacu dalam perimbangan sebagai berikut:

Utara: Devatalistu – maka garwa padmi atau permaisuri dominan tetapi para selir hendaknya bertindak sebagai pelayan. Di sini aroma biologis menjadi pedoman bertindak riil.

Timur: Pradiptamani – maka peranan selir pertama dari para selir diunggulkan, sedang permaisuri jangan terlibat dalam pemainan kamasutra-asmaragama tersebut. Maka, senioritas memegang peranan pada laku-laku.

Selatan: Jalanidiksetra – maka selir kedua dan ketiga mendapat peluang sebagai kreator dalam seni senggama, pria hanya menurut. Harus ada apresiasi dalam melaksanakan kiprah cinta sejati.

Barat: Indivatidevi: selir-selir saling bergantian melayani pria sebagai sentranya.
Sedangkan mengikuti: barat laut (paranidenta), timurlaut (ulayuwideha), barat daya (citraprajeki) dan tenggara (winantuwarih) masih terikat poros unggulan semesta yang disebut: widhisutra wiwaha.

Keyakinan tentang indogami dan eksogami adalah ditentukan oleh nilai-nilai paternalistik Sang Raden – yang kemudian bergelar Tumenggung, Adipati, pangeran dan Susuhunan. Bahwa Selir dan tragedi perseliran sifatnya tantramuni-anjali, bahwa siapa calon istri utama (garwa padmi) siapa selir (ampeyan) itu hak sepenuhnya dan mutlak di tangan pria yang identik dengan Dewa Kama Rajamandala.

Sedang dalam dua buku bergengsi Over de Oorsprong van hey Javaansche Toneel dan Panji, The Cultural Hero, A structuralstudy of Religion in Java, William Huibert Rassers, menegaskan: bahwa selain masalah selir berdasarkan konsep negararatuweni, yakni bahwa potensi dari akar problema kerumahtanggaan berdasarkan pepakem alur-winih-jalanti yang dipetik dari dasar pemikiran sedari zaman Kediri dan Jenggalamanik yang kemudian dileluri oleh Singasari dan Majapahit.

Alur-winih-jalanti tadi termaktub dalam Anglur Estri Wijayanti, yang dasarnya adalah stri-Nareswari yang telah ditulis oleh Raja Erlangga sendiri (948-1003) yang dibantu Mpu Bharada. Pada zaman ketika Jayanegara hendak wafat 9 tahun 1292) maka ia mengirim ekspedisi Pamalyu ke negeri sekitar Selat Malaka dam Lautan Hindia dan kitab “Hariharandaru-murti” telah disebarkan luas antara lain mengatur perkawinan raja-raja Jawa dan Melayu, kepahlawanan Panji dilukiskan saat Raja Kediri Kameswara bertahta, maka Permaisuri bernama Dewi Sekartaji (Kirana Ratu) dan di samping itu terdapat sejumlah istri: Angreni, Waragamit, Tulungtaris dan lain-lain.

Sex Para Selir: Kesepakatan yang diterima oleh para putri yang diatur agar posisi mereka harmonis dan stabil, maka perantara itu bernama: Hannuradikawineya-matik-pranantitis atau bagaimana raja perwira sanggup menempatkan tata letak yang harmonis para istri, dan bagaimana semua itu menjadi hambangun-turut susilastuti adiwiwaha.

Sementara itu di Tanah Jawa yang semula terangkum dalam Javantara, Jambudipa, Swarnadwipa (Sumatra) dan Lokandayawerti (daerah luar jawa) maka kita melihat konsep selir cenderung pada nilai-nilai demokratis yang saling membutuhkan demi terselenggaranya asmaragama (hubungan seksual).

Apabila di atas tersingkap wawasan Douwes Dekker yang melihat bahwa konsep perkawinan (di mana selir-menyelir tak bisa ditinggalkan) maka nilai-nilai kepuasan personal menjadi suatu harapan total dan prinsip buat awetnya program tata sastra yang harus berlangsung secara sempurna.

Dengan demikian, adanya komposisi-komposisi kepuasan hati, kegembiraan sukma dan bukan hanya kenikmatan seksual sudah barang tentu mengikuti bagaimana wacana spiritual haruslah lebih berbobot ketimbang hasrat birahi, hasrat tubuh daging semata. Dengan demikian dikehendaki adanya keselarasan dari sukma, olah tubuh, rasa rindu, regenerasi utuh, otot yang tentunya dapat mengarut arah lajunya poligami ini. Aktivitas apa pun yang didorong oleh sebuah kemuliaan prima insani lebih menonjol, ketimbang hanya persepsi sensasional yang naif semata.

Melayu, Puisi, Mantra

Jamal D Rahman*
http://cetak.kompas.com/

Usaha merevitalisasi kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung cukup marak, terutama di Riau. Berbagai kegiatan berkaitan dengan usaha menghidupkan atau menyemarakkan kembali kebudayaan Melayu kerap dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan kepada individu-individu yang memainkan peran tertentu dalam memajukan kebudayaan Melayu.

Semua itu jelas menunjukkan adanya kesadaran generasi Melayu kini akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkan juga memajukannya sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa silam.

Salah satu unsur penting dari kebudayaan Melayu tentu saja bahasa Melayu. Ini bukan saja karena bahasa Melayu sejak berabad-abad silam merupakan lingua franca di kawasan Nusantara, melainkan terutama juga karena corak atau watak yang memang inheren dalam bahasa Melayu itu sendiri. Dengan wataknya yang unik, bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi dalam pergaulan sehari-hari di dunia Melayu dan kawasan Nusantara, tetapi juga berkembang menjadi bahasa yang kokoh sebagai alat ekspresi spiritual dan intelektual sehingga lingkup pengaruhnya melampaui wilayah geografis dunia Melayu itu sendiri.

Watak bahasa Melayu adalah terbuka, egaliter, dan praktis atau mudah digunakan. Tiga hal itu sangat cocok dengan kecenderungan atau orientasi masyarakat modern. Kemodernan adalah keterbukaan, kesamaan, dan kepraktisan. Keterbukaan bahasa Melayu menjadikan bahasa ini berkembang begitu kaya dan kokoh: ia menyerap berbagai bahasa asing berikut konsep-konsep modern dalam berbagai aspek kehidupan. Kiranya ia juga mendorong masyarakat menuju masyarakat terbuka dan toleran. Sementara itu, kesamaan atau egaliterianisme bahasa Melayu pastilah turut mendorong masyarakat berkembang menjadi masyarakat egaliter dan demokratis, baik menyangkut hak-hak ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam pada itu, kepraktisan bahasa Melayu membuat bahasa ini memiliki daya guna maksimal, baik secara sosial, sastra, maupun keilmuan.

Dalam proses panjang pembentukan bahasa dan kebudayaan Melayu yang berlangsung khususnya sejak abad ke-17, Islam jelas memainkan peran sangat penting. Seiring dengan islamisasi yang berlangsung sangat efektif di kawasan ini, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk kebudayaan Melayu, yang tentu saja turut memperkaya khazanah kebudayaan setempat. Di samping bentuk puisi khas Melayu, seperti pantun, terus berkembang, kebudayaan Melayu selanjutnya diperkaya oleh bentuk puisi Arab yang kemudian dikenal dengan syair. Sementara itu, pemikiran Islam—bahkan sampai bentuknya yang paling muskil, spekulatif, dan kontroversial, seperti faham wahdatul wujud—mewarnai dunia intelektual Melayu setidaknya sejak abad ke-17. Transmisi ajaran dan pemikiran Islam serta berbagai polemik yang menyertainya, yang sangat marak di dunia Melayu sejak abad itu menunjukkan intensitas pergaulan intelektual dunia Melayu dengan dunia Islam secara luas. Dalam arti itulah Islam secara umum memberi isi pada kebudayaan Melayu. Dan, dengan cara itu, kebudayaan Melayu mewujud sebagai sebuah entitas kebudayaan yang kokoh.

Jika inti atau substansi dari agama adalah aspek kerohaniannya, Islam benar-benar diterima bukan saja pada aras formalnya, melainkan juga pada aras substansialnya, yakni aspek moral dan kerohaniannya. Demikianlah misalnya pemikiran atau ajaran Islam ditransmisi dan diajarkan kepada masyarakat luas, dan bersamaan dengan itu pemikiran dan praktik tarekat-kesufian dikembangkan pula di tengah masyarakat luas. Kita tahu, Raja Ali Haji, ulama dan pujangga kenamaan itu, adalah pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di Pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu pada abad ke-19. Melihat begitu maraknya kehidupan intelektual dan praktik kerohanian Islam di dunia Melayu, sumsum kebudayaan Melayu pada dasarnya adalah moralitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, yang antara lain—karena kuatnya pengaruh Islam di kawasan ini—secara formal terlembaga melalui praktik kesufian kelompok tarekat.

Turut memperkaya

Uraian di atas sama sekali tidak bermaksud menafikan sumber-sumber lain dalam proses pengayaan kebudayaan Melayu. Harus dikatakan bahwa beberapa kebudayaan dan agama lain juga hidup di kawasan Melayu dan tentulah turut memperkaya kebudayaan Melayu itu sendiri, seperti China, India, dan Persia. Dengan demikian, kebudayaan Melayu pada dasarnya bersifat jamak, dengan Islam sebagai arus utama yang sekaligus merupakan orientasi umum kebudayaannya. Hal ini merupakan konsekuensi yang wajar belaka dari pergaulan yang intens dan berlangsung lama antara dunia Melayu dan dunia Arab-Islam.

Ketika bahasa Melayu diterima sebagai bahasa Indonesia, ia telah mencapai tingkat kematangan yang cukup mengesankan. Ditambah dengan keinginan melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa pada awal abad ke-20 dan kemudian hasrat menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa modern pada paruh kedua abad itu, bahasa Indonesia adalah alat yang amat sejalan dengan semangat modernitas. Modernisasi Indonesia dengan demikian didukung oleh bahasa nasionalnya yang memang berwatak modern. Membawa serta watak bahasa Melayu yang terbuka, egaliter, dan praktis tidaklah mengherankan bahwa bahasa Indonesia dengan cepat berkembang menjadi bahasa modern. Ia segera menyerap bahasa etnis-etnis lain, menyerap juga bahasa negara-negara lain sehingga ia benar-benar mampu menjadi alat artikulasi modern.

Di bidang sastra kita tahu lahirlah sastra Indonesia modern, yang berbeda, baik bentuk maupun isinya dari sastra Melayu-Indonesia lama. Jika kemodernan adalah semangat melakukan pembaruan, modernisasi sastra Indonesia berlangsung dengan amat baiknya. Sastra Indonesia modern membebaskan diri dari belenggu atau kungkungan masa silamnya dan mencoba menerobos batas-batas bentuk dan isi konvensionalnya. Dirumuskan secara konsisten dengan watak bahasa Melayu yang terbuka, sastra Indonesia modern pun terbuka menerima bentuk-bentuk sastra asing, seperti roman, soneta, dan puisi bebas, sama seperti kebudayaan Melayu dulu terbuka terhadap bentuk syair dan bahasa asing. Sastra Indonesia modern diperkaya oleh pergaulannya secara terbuka dengan sastra belahan dunia lain.

Dalam pada itu, pengarang-pengarang modern kita dari dunia Melayu tetap berusaha berdiri kokoh dan menggali akar kebudayaan mereka sendiri. Itu merefleksikan betapa mereka menyadari sekaligus percaya diri bahwa mereka lahir dari kebudayaan besar mereka sendiri. Dalam konteks terakhir inilah mereka turut merayakan dan mengarnavalkan bahasa dan sastra Indonesia.

Salah satu sumbangan penting yang telah mereka berikan pada sastra Indonesia modern adalah elaborasi mantra dan memaknainya secara baru yang kemudian diturunkan ke dalam puisi Indonesia modern. Penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah adalah tokoh paling penting dalam hal ini. Puisi-puisi Sutardji, seperti diakuinya sendiri, adalah usaha mengembalikan bahasa pada mantra, di mana kata-kata dibebaskan dari beban makna. Mantra konon memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Melayu Riau sehingga usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.

Diteruskan

Usaha mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu Riau untuk menciptakan puisi diteruskan oleh penyair yang lebih muda, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib, seperti tampak misalnya dalam buku puisinya Negeri Airmata (2004). Sapardi Djoko Damono membicarakan pengaruh mantra dalam puisi-puisi Akib dalam diskusi buku itu di Taman Ismail Jakarta, 2004. Akib sendiri mengakui itu, seraya menekankan bahwa mantra merupakan tradisi Melayu Riau.

Sehubungan dengan pengaruh mantra Melayu Riau dalam puisi Indonesia modern, pada hemat saya, ada yang perlu dipertimbangkan. Mantra jelas bukanlah tradisi khas Melayu. Mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain, fungsi dan kedudukan mantra pada hemat saya sama di mana-mana. Sehubungan dengan puisi Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan Melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, dalam khazanah kebudayaan Melayu yang sangat kaya dengan capaiannya yang begitu cemerlang, terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, pada hemat saya, mantra hanyalah ”tradisi kecil”. Dalam kebudayaan Melayu, mantra bukan ”tradisi besar”. Dilihat dari kacamata hubungan pusat-pinggiran, mantra hanyalah ”tradisi pinggiran” dalam kebudayaan besar Melayu, bahkan mungkin merupakan tradisi yang sesungguhnya cenderung dihindari atau kurang diinginkan.

Dilihat dari konteks ini, mantra dalam kebudayaan Melayu menjadi penting bukan karena kedudukannya yang begitu penting dalam kebudayaan Melayu itu sendiri, melainkan karena ia mengilhami penyair untuk melahirkan karya baru dalam puisi Indonesia modern—dan penyair itu berasal dari Melayu Riau.

Namun, pada hemat saya, tidak seharusnya kenyataan itu lantas mendudukkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam struktur kebudayaan Melayu. Menempatkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam kebudayaan Melayu, pada hemat saya, hanya akan membuat ”tradisi kecil” ini mengaburkan atau bahkan menutupi sama sekali ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Orang jadi silau pada ”tradisi kecil” dan sementara itu dia lupa pada ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu yang agung. Bagi saya, sesungguhnya agak mengherankan bahwa generasi Melayu kini lebih mewarisi ”tradisi kecil” mereka tinimbang mewarisi secara sungguh-sungguh ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Penyair Melayu kini, demikianlah saya berharap, sejatinya mewarisi ”tradisi besar” mereka setidaknya dengan cara yang sama kreatif dan produktifnya dengan cara mereka mewarisi ”tradisi kecil” kebudayaan Melayu.

Apa ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu itu? Bagi saya, tak lain adalah moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang. Inilah sumsum kebudayaan Melayu, yang telah dicapai dengan gemilang dan diwariskan antara lain oleh Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji. Jika mantra mengilhami penyair untuk bereksperimen dalam puisi, bagaimana pula Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji tidak mengilhaminya bereksperimen dalam puisi? Jika penyair berfilsafat dengan mantra, bagaimana pula penyair tidak berfilsafat dengan Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji?

Inilah satu eksemplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison

SERAT KALATIDHA Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita


http://www.sastra-indonesia.com/
Dan diterjemahkan oleh Puji Santosa

1. Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi.
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.

2. Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.

3. Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.

4. Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

5. Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.

6. Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.

7. Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.

8. Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.

9. Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.

10. Sakadare linakonan
mung tumindak mara ati
angger tan dadi prakara
karana wirayat muni
ikhtiyar iku yekti
pamilihe reh rahayu
sinambi budi daya
kanthi awas lawan eling
kang kaesthi antuka parmaning Suksma.

11. Ya Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.

12. Sageda sabar santosa
mati sajroning ngaurip
kalis ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.



Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:

ZAMAN RUSAK
Raden Ngabehi Ranggawarsita

1. Sekarang derajat negara
terlihat telah suram
pelaksanaan undang-undang sudah rusak
karena tanpa teladan.
Kini, Sang Pujangga
hatinya diliputi rasa sedih, prihatin
tampak jelas kehina-dinannya
amat suram tanda-tanda kehidupan
akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.

2. Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama
perdana menterinya pun seorang yang terpilih
para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat
pegawai aparatnya pun baik-baik,
meski demikian tidak menjadi
penolak atas zaman terkutuk ini,
malahan keadaan semakin menjadi-jadi
berbagai rintangan yang mengganggu
berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.

3. Daripada menangis sedih, bangkitlah
wahai Sang Pujangga
meski diliputi penuh duka cita
mendapatkan rasa malu
atas berbagai fitnahan orang.
Mereka yang mendekatimu bergaul,
menghibur, seolah membuat enak hatimu,
padahal bermaksud memperoleh keuntungan,
sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.

4. Dasarnya terbetik berbagai berita,
kabar angin yang berujar munafik
Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka,
akhirnya malahan berada di belakang.
Apabila dipikir-pikir dengan benar
berfaedah apa berada di muka?
Menanam benih-benih kesalahan
disirami oleh air kelupaan
apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.

5. Menurut buku Panitisastra
memberi ajaran dan peringatan
di dalam zaman yang penuh bencana
bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang.
Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman.
Apakah gunanya kita percaya
pada berita-berita kosong
justru terasa semakin menyakitkan hati
lebih baik menulis cerita-cerita kuna.

6. Hal itu dapat digunakan sebagai teladan
untuk membandingkan hal buruk dan baik.
Tentunya banyak juga
lakuan-lakuan yang menjadi contoh
tentang masalah-masalah hidup
hingga akhirnya ditemukannya,
keadaan tawakal (narima),
menyadari akan ketentuan takdir Tuhan,
bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.

7. Menghadapi zaman edan
keadaan menjadi serba sulit
turut serta edan tidak tahan
apabila tidak turut serta melakukan
tidak mendapatkan bagian
akhirnya menderita kelaparan.
Sudah kehendak Tuhan Allah
betapun bahagianya orang yang lupa
lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.

8. Demikianlah perumpamaannya
padahal mereka menginginkan,
bukankah demikian Paman Doplang?
Benar juga yang menyangkanya,
namun di dalam batin
sesungguhnya hal itu masih jauh.
Sudah tua mau apalagi,
sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi
supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.

9. Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
betapapun tingkah laku perbuatannya
tidak susah untuk mendapatkan penghasilan
oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan
Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan
jalannya melalui sesama makhluk
berupa segala sesuatu yang bermanfaat.
Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.

10. Sekadar menjalani hidup
hanya semata bertindak mengenakan hati
asalkan tidak menjadi suatu masalah
dengan memperhatikan petuah orang tua
bahwa ikhtiar itu sesungguhnya
memilih jalan agar selamat
sambil terus berusaha
disertai dengan awas dan sadar
yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.

11. Ya Allah, ya Rasulullah
yang bersifat pemurah dan pengasih
semoga berkenan melimpahkan
pertolongan yang menyelamatkan
di dunia hingga ke akhirat
tempat hidup hamba
padahal sekarang (hamba) sudah tua
pada akhirnya nanti bagaimana (terserah),
maka semoga ada pertolongan Tuhan.

12. Semoga dapat sabar sentausa
laksana mati di dalam hidup
terbebas dari segala kerusuhan,
angkara murka, tamak, loba menyingkir semua
tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan
senantiasa melatih hatinya patuh
agar dapat mengurungkan kutukan
sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya
berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.

(Teks asli bahasa Jawa diambil dari Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa. Terjemahan bahasa Indonesia dilakukan oleh Puji Santosa).

[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa. Naskah ini dimuat dalam Kakilangit 161/Mei 2010, halaman 1—13; Sisipan Majalah Sastra Horison Tahun XLIV, Nomor 5/2010. Mei 2010).http://www.facebook.com/topic.php?uid=151560011581&topic=16181

Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa

Katrin Bandel*
http://beritaseni.wordpress.com/

Akhir tahun 2007 novel Saman karya Ayu Utami diterbitkan dalam terjemahan bahasa Jerman oleh penerbit Horlemann. Tentu saja penerbitan Saman tersebut bukanlah sebuah peristiwa besar, sebab Horlemann hanya penerbit kecil dan nama Ayu Utami hanya dikenal segelintir orang di Jerman. Namun meskipun begitu, peristiwa penerbitan novel itu, seperti hampir setiap penerbitan buku baru, direspon dalam bentuk resensi di beberapa media, dan buku itu diiklankan oleh penerbitnya.

Wacana seputar Ayu Utami dalam bahasa Jerman itu ingin saya bicarakan di sini karena saya merasa terganggu dengan representasi Ayu Utami (dan khususnya novel Saman) yang sangat tidak tepat, dalam arti tidak sesuai dengan apa yang saya ketahui tentang (peran) Ayu Utami di Indonesia, teks novel Saman, dan reaksi pembaca terhadapnya di Indonesia. Rasa terganggu tersebut saya anggap relevan dibagi dengan masyarakat sastra di Indonesia, bukan hanya karena resepsi karya sastra Indonesia di luar negeri menarik untuk diikuti oleh orang Indonesia sendiri, tapi lebih-lebih karena tampaknya representasi Ayu Utami yang sangat tendensius dan “melenceng” itu bisa terjadi bukan hanya karena ketidaktahuan atau kesalahpahaman penerbit, peresensi dan pembaca Jerman tentang Indonesia dan dunia sastranya atau pada strategi pemasaran penerbit Horlemann, tapi juga karena politik sastra yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, yaitu khususnya Komunitas Utan Kayu [KUK].

Saya ingin memulai dengan membahas sebuah laporan wawancara dengan Ayu Utami oleh Katrin Figge dari Goethe Institut Jakarta. Laporan singkat yang diterbitkan di majalah sastra berbahasa Jerman LiteraturNachrichten (Nr. 94, musim gugur 2007) itu diberi judul “Wilde Ehe, Bier und Pornographie” (“Perkawinan Liar, Bir dan Pornografi”). Pada awal tulisan tersebut Katrin Figge menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Ayu Utami di café KUK untuk melakukan wawancara, sesuai dengan janji yang dibuat sebelumnya. Namun ketika mereka bertemu, Ayu lalu mengusulkan agar wawancara dilakukan di rumahnya saja karena di café KUK “terlalu bising”. Sebelum berangkat, dengan suara lantang Ayu memesan empat botol bir untuk dibawa pulang. Katrin Figge berkomentar:

“In vielen Ländern wäre dies wohl nichts Besonderes, auch wenn die Uhr erst halb zwölf am Mittag anzeigt. Doch wir sind in Indonesien, im Land mit der größten muslimischen Bevölkerung der Welt. Bier trinkende Frauen existieren nicht, jedenfalls nicht in der Öffentlichkeit. Da spielt es auch keine Rolle, dass Ayu Utami keine Muslimin, sondern Katholikin ist. Ein Lächeln huscht über ihr Gesicht, als sie die Plastiktüte mit den Flaschen in Empfang nimmt. Die erstaunten Blicke der anderen Café-Besucher stören sie nicht im Geringsten.”

[“Di banyak negara lain hal itu tidak akan dianggap istimewa, meskipun baru jam 12 siang. Tapi kita berada di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Di sini tidak ada perempuan yang minum bir, paling tidak di ruang publik. Dalam konteks itu tidak penting bahwa Ayu Utami bukan orang Muslim, tapi Katolik. Dia tersenyum simpul ketika menerima tas plastik yang berisi botol bir. Pandangan mata heran dari pengunjung café yang lain tidak mengusiknya sedikit pun.”]

Sudah jelas pesan apa yang ingin disampaikan Figge lewat penilaian stereotipikalnya tentang bir, perempuan dan agama dalam masyarakat Indonesia itu: bahwa Ayu Utami merupakan perempuan yang luar biasa berani – seorang pemberontak sejati. Dengan nada yang sama Figge membicarakan keputusan Ayu Utami untuk hidup serumah dengan pasangannya tanpa menikah yang konon sangat sulit diterima masyarakat Indonesia, dan pandangan Ayu mengenai RUU-APP.

Lebih jauh lagi, Ayu Utami digambarkannya bukan hanya sebagai pemberontak terhadap nilai-nilai moral yang “kolot”, tapi juga sebagai bagian dari gerakan perlawanan di dunia politik, khususnya sebelum jatuhnya Soeharto. Figge melaporkan keterlibatan Ayu Utami di Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dengan keterangan bahwa disebabkan oleh keterlibatan tersebut Ayu Utami “kehilangan pekerjaannya di majalah Matra dan selanjutnya terpaksa menerbitkan artikel dan eseinya di majalah-majalah underground.”

Tentang isi novel Saman Figge hanya memberi komentar singkat, yaitu bahwa novel tersebut membicarakan “penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan pemerintah, konflik etnis, minoritas agama – dan seks”, dan bahwa banyak penganut “Islam konservatif” kaget dan tidak bisa menerima novel yang “terlalu terbuka” itu.

Pesan yang serupa tentang novel Saman sebagai sebuah pemberontakan dan perlawanan yang luar biasa berani kita temukan pada “ringkasan” novel di website penerbit Horlemann, antara lain lewat klaim berikut:

“Der Debütroman „Saman“ wurde in Indonesien als literarische Sensation gefeiert: Er erschien kurz vor der Entmachtung General Suhartos, gleichsam als Vorbote des politischen Wandels. Der offene Umgang mit gesellschaftlichen Tabus stellt einen Bruch mit der bisherigen indonesischen Literatur dar.”

[“Novel pertamanya “Saman” dirayakan sebagai sensasi literer di Indonesia: Novel itu terbit tidak lama sebelum jatuhnya Jenderal Suharto, seakan-akan menjadi pertanda perubahan politis. Novel itu mempersoalkan tabu-tabu masyarakat dengan terbuka, seperti yang belum pernah dilakukan dalam sastra Indonesia sampai saat itu.”]

Konon, begitu keterangan selanjutnya, dalam novel Saman Ayu Utami “membicarakan seksualitas dengan terbuka, dan mempersoalkan relasi yang problematis antara orang Muslim dan orang Kristen dan kebencian pada minoritas Tionghoa”.

Bagi saya – dan saya yakin juga bagi sebagian besar pembaca Indonesia – imaji Ayu Utami dan novelnya Saman yang disampaikan lewat kedua teks Jerman tersebut terasa sangat ganjil. Bagaimana mungkin pengarang yang kita kenal sebagai bagian dari mainstream sastra saat ini dan sebagai anggota komunitas sastra yang dominan, tiba-tiba seakan-akan menjadi pemberontak yang subversif? Dan mengapa tema-tema seperti relasi antar-agama dan minoritas Tionghoa yang tidak dipersoalkan atau hanya disinggung sekilas dalam novel Saman, tiba-tiba seakan-akan menjadi tema utamanya?

Apakah pencitraan Ayu Utami yang ganjil tersebut merupakan sesuatu yang baru, mungkin image yang sengaja diciptakan oleh Horlemann sebagai bagian dari strategi pemasaran novel Saman? Ternyata tidak. Di dua sumber berbahasa Jerman yang berasal dari beberapa tahun sebelum novel Saman terbit di Jerman saya menemukan keterangan yang hampir sama. Sumber pertama adalah website Internationales Literaturfestival Berlin (Festival Sastra International Berlin) yang memperkenalkan Ayu Utami sebagai salah satu pengarang yang diundang ke festival sastra tersebut pada tahun 2004. Keterangan tentang isi novel Saman di situ hampir sepenuhnya sama dengan keterangan dari penerbit Horlemann yang saya kutip di atas. Keterlibatannya di AJI dan kegiatan jurnalistiknya yang “terpaksa dilanjutkannya di bawah tanah” pun disebut, dengan tambahan bahwa di masa Orde Baru Ayu Utami pernah menulis buku anonim tentang korupsi rejim Soeharto. Mungkin tambahan itu dirasakan perlu karena selain membaca dari novelnya, di Berlin Ayu Utami juga dijadikan pembicara di sebuah forum diskusi berjudul “Was ist Korruption?” [“Apa itu Korupsi?”].

Sumber kedua lebih tua lagi. Pada tahun 2002 Ayu Utami menjadi salah satu pengajar di sebuah program pelajaran mengarang on-line di Vienna, Austria (schule für dichtung/vienna poetry school), dengan latihan mengarang cerita masokis mengomentari seri-foto tentang permainan sado-masokis (dengan Ayu Utami sendiri dalam peran penyiksa). Selain foto tersebut dan sebuah tulisan Ayu Utami tentang masokisme, website itu memuat dua teks lain sebagai informasi latar belakang tentang Ayu Utami, yaitu tulisan Peter Sternagel (penerjemah Saman) dan Martin Amanshauser (pengarang Austria). Semua teks itu singkat saja, yaitu 2-3 halaman. Tulisan Sternagel merupakan ringkasan Saman, sekaligus pujian terhadap novel itu yang jelas-jelas ditulis antara lain dalam rangka menemukan penerbit untuk buku yang sedang diterjemahkannya tersebut (rupanya Sternagel dan Ayu Utami awalnya berharap menemukan penerbit yang lebih “bergengsi” daripada Horlemann, tapi tidak berhasil). Antara lain dia mengatakan bahwa Ayu Utami “memperlihatkan struktur penindasan politis di negaranya, mengungkapkan pendapatnya, menuntut tanggung jawab etis dan moral”. Entah di mana semua itu dilakukan Ayu – jawabannya pun tidak saya temukan dalam tulisan Sternagel tersebut.

Tulisan Amanshauser pun penuh pujian gombal yang membosankan terhadap Ayu Utami, tapi sambil lalu dia memberi informasi yang sangat menarik. Dua kali Amanshauser mengutip sebuah teks yang dijadikannya rujukan untuk “membuktikan” kehebatan Ayu Utami, yaitu pidato yang disampaikan pada saat Ayu Utami menerima penghargaan Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000. Pidato tersebut ditulis oleh seseorang yang namanya tentu tidak asing lagi bagi kita: Goenawan Mohamad.

Berikut salah satu dari kedua kutipan tersebut:

“the novel is a new departure from the tradition of indonesian prose writing also in its treatment of god, politics and sexuality. underlying its lyricism is an urge to discover freedom at each stage of writing and reading. one can see the novel as a story of liberation in which the words are no longer sacrificial horses – as if to anticipate the historical moment of 1998, when suharto’s dictatorship collapsed.” [pemakaian huruf kecil adalah bagian dari gaya sok eksentrik Amanshauser.]

Sudah jelaslah sekarang dari mana asal klaim tentang Saman sebagai pertanda perubahan politis dan gagasan bahwa Saman sama sekali berbeda dari karya-karya sastra Indonesia sebelumnya!

Setelah menemukan kutipan tersebut, saya berusaha mencari keseluruhan pidato Goenawan Mohamad tersebut lewat internet, tapi tidak berhasil menemukannya. Di website Prince Claus Fund saya hanya menemukan penjelasan yang sangat singkat tentang alasan kemenangan Ayu Utami. Bahwa Goenawan Mohamad terlibat pembuatan pidato pemberian penghargaan sama sekali tidak disebut-sebut. Entah kegagalan saya mencari informasi dan mencari teks pidato tersebut disebabkan oleh kekurangtelitian saya dalam pencarian, atau pidato itu memang sengaja disembunyikan dari kita agar kita tidak sadar akan keterlibatan Goenawan Mohamad dalam pemberian Prince Claus Award pada Ayu Utami, sejarah nanti yang akan membuktikannya.

Kutipan dari Goenawan Mohamad yang kedua lebih pendek, menceritakan peristiwa Ayu Utami kehilangan pekerjaan karena keterlibatannya di AJI.

Berkaitan dengan kegiatan Ayu Utami sebelum Saman terbit, disamping pekerjaannya sebagai wartawan, Amanshauser menyebut bahwa “di masa perjuangannya sebagai disiden tersebut dia menulis beberapa novel yang semuanya ditolak oleh penerbit”.

Sejauh mana Ayu Utami memang mengalami pemecatan dan pencekalan akibat tandatangannya di deklarasi Sirnagalih (pembentukan AJI) tidak bisa saya nilai – mungkin hal semacam itu lebih tepat dilakukan wartawan Indonesia yang bergelut di dunia jurnalistik pada masa itu. Tapi terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang diberikan seputar hal itu, saya rasa menarik untuk direnungkan mengapa kegiatan tulis-menulis Ayu Utami di masa Orde Baru begitu banyak disebut-sebut dalam teks-teks berbahasa Jerman itu. Dalam keterangan tentang penulis di edisi Saman berbahasa Indonesia yang saya miliki [cetakan ke-15, Agustus 2000] hanya dikatakan bahwa:

“Sekitar tahun 1991 menulis kolom mingguan Sketsa di Berita Buana edisi Minggu. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di Matra, Forum Keadilan dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik tahun 1994, Ayu ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen [AJI] yang memprotes pembredelan, dan setahun kemudian dipecat dari Forum Keadilan sehubungan dengan itu.”

Mengapa di Jerman dan Austria tambahan mengenai artikel dan esei “di media underground”, buku anonim tentang rejim Soeharto dan novel-novel yang tidak pernah diterbitkan (bertentangan dengan keterangan dalam edisi Indonesia bahwa Ayu Utami “jarang menulis fiksi”) dirasakan perlu? Sepertinya kesan yang ingin ditimbulkan adalah bahwa sejak dulu Ayu Utami sudah giat menulis, tapi karena tulisan dan kegiatan lainnya terlalu “subversif”, dia baru dapat menampakkan bakatnya secara terbuka setelah Orde Baru tumbang. Mungkin keterangan-keterangan itu dirasakan perlu untuk menjustifikasi apresiasi yang diberikan padanya, antara lain pemberian penghargaan Prince Claus, yang akan terasa janggal kalau dipertimbangkan bahwa Ayu Utami saat itu baru menerbitkan satu novel saja dan namanya pun tidak dikenal secara luas sebelumnya. (Dan akan terkesan lebih janggal lagi kalau kita mengetahui bahwa terjemahan ke dalam bahasa Belanda belum selesai pada waktu Ayu Utami memenangkan Prince Claus Award, dan versi bahasa Inggrisnya pun belum ada.)

Mengapa di Indonesia sendiri tulisan-tulisan “bawah tanah” Ayu Utami itu jarang atau tidak pernah disebut? Saya tidak tahu jawabannya. Tapi saya yakin bahwa seandainya tulisan-tulisan itu disebut, pasti publik Indonesia, khususnya orang yang punya kepedulian terhadap sastra Indonesia, akan bertanya: di manakah tulisan yang begitu banyak dan beragam itu? Di media “underground” mana Ayu Utami menulis, di mana buku anonim tentang korupsi rejim Soeharto itu, di mana novel-novel yang ditolak penerbit itu? Saya rasa bukan tidak mungkin bahwa tulisan-tulisan “bawah tanah” itu sengaja tidak disebut di Indonesia karena Ayu Utami tidak siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu!

Dengan latar belakang informasi tentang politik pencitraan Ayu Utami sebagai pemberontak yang subversif di atas bisa dipahami mengapa novel Saman bisa muncul di sebuah website yang menurut pandangan saya sama sekali bukan tempatnya, yaitu website amnesty international. Buku Saman dengan keterangan singkat mengenai isinya saya temukan di website kelompok “Verfolgte AutorInnen und JournalistInnen” (pengarang dan wartawan yang dicekal/terancam secara politis, atau “persecuted writers and jounalists” dalam bahasa Inggris) yang menjadi bagian dari amnesty international Jerman. Ayu Utami sebagai pengarang yang terancam secara politis? Sebagai pengarang yang berhak dan perlu dibela amnesty international? Bukan main!

Kasus amnesty international itu menunjukkan betapa jauh pengaruh politik sastra KUK. Saya tidak tahu atas usul siapa Saman dimasukkan ke website tersebut, dan saya tidak bermaksud menuduh Ayu Utami, KUK atau penerbit Horlemann melakukan rekayasa agar Saman dimasukkan. Tapi masuknya Ayu Utami ke dalam daftar buku di halaman website amnesty international itu tentu tidak bisa dilepaskan dari politik pencitraan dirinya sebagai “disiden” dan “pemberontak” yang saya bicarakan di atas. Dan dengan adanya pidato Goenawan Mohamad yang saya sebut di atas, semakin nyata bahwa citra itu tidak timbul begitu saja, atau hanya diciptakan penerbit dan penerjemahnya, tapi bahwa KUK pun mendukung dan dengan aktif dan sengaja mengarahkan pencitraan Ayu Utami yang demikian rupa di luar Indonesia.

Pencitraan Ayu Utami tersebut menyebabkan terciptanya reputasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak adil bagi sastra Indonesia secara umum – bukankah banyak pengarang Indonesia lain yang juga (atau malah lebih) layak mendapat perhatian? Lebih jauh lagi, pencitraan itu juga menjadi bagian dari representasi Indonesia di mata orang asing yang cenderung sangat negatif. Mari kita kembali sejenak pada laporan wawancara Katrin Frigge yang sudah saya bicarakan di awal tulisan ini. Figge membuka laporannya dengan kedua kalimat berikut:

“Ayu Utami kommt zu spät. Eine typisch indonesische Angewohnheit – aber wohl ihre einzige.”

[“Ayu Utami datang terlambat. Kebiasaan yang khas Indonesia - tapi sepertinya satu-satunya kebiasaannya yang khas Indonesia.”]

Bukankah penggambaran ini luar biasa rasis? Keterlambatan Ayu Utami dalam memenuhi janjinya dengan Figge itu merupakan satu-satunya hal negatif yang dilaporkan, sebelum Figge kemudian mulai memuji keberanian Ayu sebagai pemberontak. Dan keterlambatan itulah yang diakuinya sebagai satu-satunya ciri Ayu Utami yang “Indonesia”! Berarti semua sikap Ayu Utami yang dipujinya sebagai sikap yang “maju”, “berani”, “pemberontak” atau “feminis” merupakan sesuatu yang “bukan Indonesia”! Laporan mengenai bir, “perkawinan liar” dan pornografi yang sudah saya kutip sebagian di atas pun kemudian mengukuhkan imaji stereotipikal Indonesia sebagai negara (bermayoritas) Muslim yang kolot, restriktif, patriarkal dan tertinggal.

Kasus ini menunjukkan betapa pencitraan Ayu Utami sebagai pemberontak dan disiden tidak bisa dilepaskan dari pencitraan Indonesia sebagai negara kolot dan tertutup. Hanya kalau Indonesia digambarkan sebagai negara di mana “tidak ada perempuan yang minum bir”, misalnya, maka aksi demonstratif Ayu Utami memesan bir dengan suara lantang di café KUK bisa diinterpretasi sebagai sebuah perlawanan. (Dan di sini kita belum lagi mempertanyakan apakah memang tepat tindakan minum bir dihubungkan dengan kemajuan dan keterbukaan.) Maka kalau kita pertimbangkan bahwa Ayu Utami (dan KUK pada umumnya) tampaknya dengan sengaja menimbulkan dan menjaga reputasi semacam itu, saya rasa kata “antek-antek imperialis” yang digunakan jurnal sastra boemipoetra untuk mendeskripsikan KUK tidak terlalu berlebihan.

Kelihatannya Ayu Utami adalah anggota KUK yang paling “laku” dipasarkan sebagai “pengarang” di luar negeri, dibandingkan misalnya dengan Goenawan Mohamad atau Sitok Srengenge. Saya rasa wajar demikian: Dapat dibayangkan betapa cerita tentang seorang pengarang “perempuan muda” dari negara “Dunia Ketiga” yang “berani” menulis tentang hal-hal yang “tabu” namun sulit diterima masyarakat negaranya yang “kolot”, “patriarkis” dan “tertinggal”, akan dengan sangat mudah mengundang simpati. Informasi bahwa Ayu Utami banyak dikritik di Indonesia dalam konteks itu umumnya bukan membuat pembaca waspada dan kritis, tapi justru memancing simpati. Martin Amanshauser, misalnya, dengan sangat emosional berkomentar tentang “spekulasi kotor media-media skandal” yang meragukan kepengarangan Ayu Utami “sebab bagi masyarakat Indonesia yang didominasi laki-laki hampir tidak terbayangkan bahwa seorang perempuan, apalagi perempuan muda, mampu menulis buku sehebat Saman dan Larung”!

Meskipun demikian bukan berarti bahwa hanya karya Ayu Utami saja yang mewakili KUK di luar negeri. Citra KUK sendiri sebagai komunitas dan sebagai tempat pun cukup berhasil dikonstruksi sesuai dengan kepentingan komunitas itu sendiri. Di website Prince Claus Fund saya menemukan keterangan bahwa Komunitas Utan Kayu menjadi Network Partner Prince Claus Fund dari tahun 2004 sampai 2007, dan menerima dana sebesar 163.746 Euro selama 3 tahun tersebut. Sebagai alasan mengapa KUK dianggap pantas didukung serupa itu, antara lain dijelaskan:

“Komunitas Utan Kayu operates in a newly democratic Indonesia where freedom of thought has not been fully accepted. Therefore, its political concerns involve combating narrow-mindedness along with its mission to promote quality in the arts. However, even with the changing political landscape it has detected a level of intolerance amongst civil groups that prevents the development of free thought. Most of the recent cases of intolerance are based on the manipulation of religious identity.”

Seperti Ayu Utami, Komunitas Utan Kayu direpresentasikan sebagai perkecualian dalam masyarakat Indonesia: Masyarakat Indonesia konon belum mampu hidup demokratis, tidak bisa menerima “kebebasan berpikir” dan bersifat intoleran, sehingga membutuhkan KUK sebagai contoh kemajuan, demokrasi dan toleransi!

Klaim sejenis yang lebih mencolok lagi kebohongannya muncul di sebuah artikel majalah mingguan Jerman Der Spiegel edisi 23 Desember 2005. Setelah mengunjungi KUK dan berbincang dengan Ayu Utami (lagi!), wartawan Jürgen Kremb menulis:

“Hier sind vor noch nicht allzu langer Zeit die Grundlagen für das moderne Indonesien gelegt worden. Im Sommer 1994, als Suharto drei Nachrichtenmagazine verbieten ließ, kauften Journalisten und Schriftsteller die heruntergekommenen Häuser mit der Adresse Utan Kayu 68 H und trotzten der Diktatur mit einem Buchverlag. Eine linksalternative Szene entstand, und 1998 nahmen die Massendemonstrationen, die zum Sturz des Diktators führten, von diesem Ort ihren Ausgang.”

[“Di tempat ini [i.e. di KUK] dasar-dasar Indonesia modern diletakkan beberapa waktu yang lalu. Pada musim panas 1994 ketika atas perintah Suharto tiga majalah berita dibredel, sekelompok wartawan dan pengarang membeli rumah yang tidak terawat dengan alamat Utan Kayu 68 H dan melawan rejim diktator dengan mendirikan sebuah penerbit. Kelompok alternatif kiri terbentuk, dan demonstrasi massal 1998 yang menyebabkan jatuhnya sang diktator dimulai dari sini.”]

Kalau kita melihat betapa Ayu Utami dan KUK direpresentasikan dengan cara yang begitu tendensius dan menyesatkan di beberapa media di Jerman dan negara lain di Eropa, wajar kalau kemudian timbul sebuah pertanyaan: Apakah pembaca Eropa memang begitu mudah tertipu? Dalam kasus representasi KUK di website Prince Claus Fund dan di Der Spiegel saya rasa pembaca awam hampir tidak mungkin memeriksa kebenaran informasi yang diberikan. Prince Claus Fund dan Der Spiegel yang seharusnya lebih bertanggungjawab dalam melakukan riset. Dan tentu KUK pun seharusnya bertanggung jawab dalam memberi keterangan mengenai dirinya.

Tapi bagaimana dalam kasus Saman? Bukankah pembaca Jerman bebas membentuk pendapatnya sendiri dengan membaca novel itu secara langsung? Saya rasa memang demikian, tapi kebebasan itu ada batasnya bagi pembaca Jerman yang tidak mengenal dunia sastra Indonesia. Contoh yang menarik adalah resensi Birgit Koß di radio Jerman Deutschlandradio (17 Desember 2007). Koß membandingkan Saman dengan sebuah puzzle yang tidak berhasil diselesaikan sehingga gambar yang utuh dan dapat dipahami tidak terbentuk. Dengan kata lain, Koß bingung, apa sebetulnya yang ingin disampaikan Saman. Namun kebingungan itu tidak membuatnya menyimpulkan bahwa novel itu kurang berhasil, tapi justru dipahaminya sebagai bagian dari pengalaman baca “sebagai pembaca Barat” yang berhadapan dengan karya sastra asing. Mungkin memang begitulah cara bercerita khas Indonesia, spekulasinya.

Saya yakin bahwa serupa dengan Koß, sebagian pembaca Jerman yang membeli buku terjemahan sejenis Saman membacanya dengan kesiapan untuk menghormati perbedaan tradisi sastra sehingga mereka cenderung menerima hal-hal yang terasa janggal sebagai kekhasan lokal yang tidak bisa sepenuhnya mereka pahami. Maka kalau Saman yang dipilih di antara sekian banyak karya sastra Indonesia untuk disuguhkan kepada pembaca Jerman, wajar kalau cara bercerita ala Samanlah yang akan dianggap pembaca Jerman sebagai cara bercerita “khas Indonesia”. Menurut pandangan saya, penilaian terhadap karya terjemahan itu tidak bisa sepenuhnya dipercayakan atau dibebankan kepada pembaca Jerman. Karena penilaian mereka sejak awal sudah diarahkan, lewat pilihan karya yang dianggap pantas diterjemahkan, kemudian diarahkan lebih lanjut lewat informasi yang diberikan kepada mereka mengenai pengarang dan latar belakang karya. Maka institusi dan orang-orang yang terlibat dalam proses pemilihan karya tersebut memiliki tanggung jawab yang tidak kecil. Dalam kasus Saman, menurut pengamatan saya, tanggung jawab tersebut sudah diselewengkan.[]

*Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta. Tulisan ini sendiri pernah dipresentasikan di Meja Budaya PDS HB Jassin, TIM, pada Jumat 24 Maret 2008. http://beritaseni.wordpress.com/2008/03/28/saman-dalam-kebohongan-politik-sastra/

Kegetiran di Balik Peristiwa 1965

Judul: Mati Baik-baik, Kawan
Pengarang: Martin Aleida
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta
Edisi: Pertama, Maret 2009
Tebal: 144 halaman
Peresensi: M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
http://www.ruangbaca.com/

Saya benar-benar tercenung dan terseret dalam sayatan perih sejauh menyelami sembilan “cerita pendek” dalam buku mungil ini. Bahkan untuk mengatakan bahwa potongan-potongan kisah yang dituturkan Martin Aleida dalam buku ini sebagai “cerita pendek”, bagi saya itu tidaklah mencukupi. Martin Aleida, sang pengarang paruh baya yang helaian rambutnya kini kian memutih, dalam kumpulan cerpen ini sungguh merobek dinding nurani kala menarasikan memoar kelamnya yang masih membekas ihwal prahara politik 1965.

Terlebih lagi, terasa betul “hasrat” Martin Aleida dalam merangkai kata demi kata dengan bahasa yang lugas serta gaya realis (realisme sosial) yang memikat. Keterpikatan itu mulai bergerak membuncah sejak menyelami kisah yang pertama, “Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh”, sampai rampung pada kisah kesembilan, “Ratusan Mata di Mana-mana”.

Menariknya, andai pembaca mau menelisik jejak kehidupan sang pengarang, agaknya bakal sulit mengelak bahwa keseluruhan peristiwa yang berserak di sembilan judul cerpen Martin dalam buku ini adalah murni fiksi. Dan, saya yakin kecurigaan itu segera kian menguat usai kita menyimak persepsi Martin ihwal “cerita” berikut ini. “Cerita adalah pengaduan kepada dunia di luar diri kita tentang apa yang ingin kita katakan mengenai hidup yang diberikan kepada kita untuk diperjuangkan,” begitulah sudut pandang Martin.

Nah, sebagaimana karya yang sudah terlebih dulu terbit, dalam Mati Baik-baik, Kawan ini, Martin masih bergerak di seputar kisah kematian dan dendam. Hanya saja, dalam kumpulan cerita pendek kali ini, ia lebih mengkhususkan diri pada tema prahara politik 1965. Salah satu titik kelam sejarah yang melumpuhkan akal sehat bangsa itu memang tak henti-hentinya dieksplorasi (bukan dieksploitasi) Martin, seperti tampak dari cerita-cerita pendek dan novelnya, Jamangilak Tak Pernah Menangis (2004). Yang pasti, “semua itu bukan sekadar obsesi, melainkan bertolak dari pengalaman empiris pengarang.” (hlm. 5)

Tepat, persis di titik itulah sebenarnya landasan moral Martin beralas terkait sebutan sikap kepengarangannya sebagai “sastra kesaksian”. Istilah “sastra kesaksian” itu dilafalkan sendiri oleh Martin dalam pengantar kumpulan cerpennya yang berjudul Leontin Dewangga (2003). Ya, “kesaksian”, sebentuk pendeklarasian yang jauh dari kesan radikal. Jadi, meski dalam buku ini sang pengarang duduk di sisi korban sejarah, tak sekalipun ia berpretensi menghakimi si pelaku atau menjadikan korban sebagai objek penderita.

Paling tidak, definisi sikap itu tersirat dalam tiga cerpennya yang diambil dari kumpulan cerpen Leontin Dewangga, yakni “Malam Kelabu”, “Leontin Dewangga”, dan “Ode untuk Selembar KTP”.

Dari cerita pertama, ditambah ketiga cerpen yang diambil dari Leontin Dewangga tersebut, terasa benar bahwa “fiksi” ala Martin Aleida adalah “pengaduan kepada dunia di luar diri kita”. Dalam “Malam Kelabu”, misalnya, kita seketika akan terbawa pada peristiwa saat Martin ditangkap dan diusung ke Markas Komando Distrik Militer 0501 di kawasan Thamrin di awal tahun 1966. Tepat pada momen penangkapan itulah beberapa pucuk surat cinta dari dan untuk Sri Sulasmi (kemudian menjadi istri Martin) masih terlipat di saku celananya. Dan dari sepucuk surat pulalah cinta yang getir dalam “Malam Kelabu” mengalir.

Masih pada momen di titik penangkapan itu, dalam cerpen “Leontin Dewangga”, fragmen kehidupan Martin kembali dituliskan. Cerpen itu mengisahkan seorang pemuda Aceh, Abdullah, yang ditangkap pasca-peristiwa 1965 karena terlibat sebagai anggota Serikat Buruh Perfilman, suatu perkumpulan di bawah pengaruh komunis. Kala itu, di saku Abdullah tersimpan surat sang ayah yang mengabarkan bahwa kedua orang tuanya akan naik haji dengan menumpang kapal laut. Beruntung, berkat surat itu, Abdullah diizinkan keluar, meski tiap sepekan tetap diharuskan melapor. Uniknya, Martin pun ditangkap bersama sehelai surat wasiat dari kedua orang tuanya yang tengah naik haji.

Tetu saja, seorang bekas tahanan politik (tapol) seperti Martin dipastikan “sesak bernapas”, walau ia tak lagi mendekam dalam kamar penjara. Karena di luar bekapan teralis sekalipun, sebagai warga negara statusnya tetap terdiskriminasi. Dalam cerpen “Ode untuk Selembar KTP”, dikisahkan betapa kegetiran akan identitas eks-tapol sungguh sulit ditepis. Selain stigmatisasi sebagai komunis, lebel TP (tahanan politik) atau ETP (eks tahanan politik) pada selembar KTP adalah tindakan pelabelan oleh “negara” yang semena-mena.

Tekanan psikologis dan sosial yang terus mendera para korban 1965 kian gamblang terlukis dalam “Bertungkus Lumus” dan “Salawat untuk Pendakwah Kami”. Sementara itu, dalam dua judul lainnya, “Tanpa Pelayat dan Mawar Duka” serta “Dendang

Perempuan Pendendam”, kita dapat mencerap satu perspektif yang realistis perihal upaya berdamai alias “rekonsiliasi sejarah”. Nah, karena pengaruh represif Orde Baru dalam kesusastraan kita, Martin baru leluasa menulis soal peristiwa 1965 pada era reformasi kini.

Di luar semua itu, bagi saya, Martin juga tegas dalam hal pelurusan sejarah. Katrin Bandel, dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam penutup buku menyediakan satu ulasan yang tajam. Dalam tinjauan yang berjudul “Martin Aleida dan Sejarah”, Katrin sedikit membandingkan karakter cerpen Martin Aleida dengan beberapa karya sastra Indonesia. Semisal, dengan nada kritis dia munulis, “Bagi saya sangat mengecewakan bahwa dalam salah satu novel pasca-Orde Baru yang banyak mendapat pujian, yakni novel Larung karya Ayu Utami, yang terbit pada tahun 2001, peristiwa 65 dipersoalkan dengan cara yang tidak lebih radikal dan lebih tegas daripada yang sudah dilakukan di masa Orde Baru.” (hlm. 134)

Selebihnya, Katrin tak mengulas aspek intrinsik karya sastra dari kesembilan cerpen Martin Aleida. Tentu saja, hal itu bukan tak penting. Namun, barangkali sejak awal tercetus ide menerbitkan cerpen-cerpen Martin yang bertema prahara politik 1965, titik tekan penerbit buku ini adalah secara tematis.

Unsur pelurusan sejarah yang berbeda dari perspektif “formal” Orde Baru menjadikan sosok Martin dapat dikatakan berani mengisahkan sejumlah “fakta (sejarah) yang lebih faktual”. Hal itulah yang mendasari Katrin memilih judul ulasannya dengan

“Martin Aleida dan Sejarah”, walaupun tulisan tersebut sudah banyak tersebar di Internet dan dari segi judul pun secara pribadi ditolak oleh Martin. Itu memang amat heroik, tetapi Martin tak hendak berlagak selayaknya pahlawan kesiangan.

Demikianlah, percik-percik kesaksian dalam buku ini seakan “memaksa” saya untuk tak sekalipun melupakan prahara politik 1965 yang traumatik. Hingga pada suatu titik terdalam saya memahami, “Martin bukan sekadar menceritakan peristiwa 1965 dari perspektif yang berbeda, tapi ia punya misi untuk melawan pemalsuan sejarah dengan mengisahkan sejumlah fakta yang teramat lama tak diketahui secara umum oleh masyarakat Indonesia.”

*) Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM Yogyakarta.

Marco Ketua DKJ Mengusir Saut Situmorang dkk

Saut Situmorang*
http://sautsitumorang.multiply.com/

Jumat 19 Desember 2008 kira-kira jam 2 siang lebih. Saya Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo dan Viddy A Daery masuk ke sebuah ruangan tempat diadakannya “mukernas” dewan kesenian se-Indonesia di hotel Sheraton Media Jakarta. Saya mendapat info bahwa mukernas tersebut akan membahas soal “dewan kesenian Indonesia” yang beberapa waktu dulu ide pembentukannya mendapat tentangan keras dari banyak seniman. Ide awal pembentukan dewan kesenian Indonesia tersebut, kata orang, berasal dari Ratna Sarumpaet dan dia hari itu akan memberikan pidato tanggapan atas idenya yang mungkin dia rasa dicuri orang itu. Sebuah acara menarik untuk ditonton, bukan? Di pintu masuk ruangan mukernas itu saya sempat disapa oleh seorang cewek yang bekerja untuk Dewan Kesenian Jakarta alias DKJ, yang merupakan tuan rumah mukernas. Di pintu masuk saya tidak melihat ada pengumuman “YANG TIDAK DIUNDANG DILARANG MASUK!”.

Setelah berada di dalam ruangan saya dipanggil oleh Iyut Fitrah kawan penyair dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia minta saya duduk dekatnya. Saya pun pergi ke arahnya dan duduk di sebuah kursi di dekatnya. Begitu pula Wowok dan Viddy. Sambil ngomong-ngomong, saya bagikan jurnal keren “boemipoetra” yang segera saja beredar ke meja-meja para peserta mukernas. Saya juga melihat bekas adik kelas saya di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dulu, Jabatin, duduk di meja dekat saya itu dan saya pun menyapanya. Wowok kemudian berdiri dan mulai membagikan “boemipoetra” ke meja-meja di sudut lain ruangan. Saat itu Ratna Sarumpaet sudah berdiri di podium setelah diundang untuk memberikan pidatonya.

Pada waktu itulah tiba-tiba saja terdengar suara seseorang berteriak membentak, “Wowok, keluar!!! Anda tidak diundang, keluar!!!” Begitulah kira-kira bunyi teriakan tersebut yang ternyata berasal dari mulut seseorang bernama Marco yang adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta. Wowok merespon dengan mengatakan bahwa dia “diundang” oleh Ratna Sarumpaet. Ratna membenarkan waktu Sang Marco mengkonfirmasikannya ke dia. Tentu saja peristiwa itu menciptakan suasana tegang. Para peserta pun nampak kaget heran kebingungan penasaran. What the fuck is going on? Saya yakin begitulah yang mereka gumamkan dalam gumaman mereka. Lalu tiba-tiba lagi suara tadi berteriak membentak lagi, “Saut, keluar!!! Saya tidak mengundang Anda, keluar!!!” Saya nyaris gemetaran mendengar bentakan yang kayaknya dikeluarkan pakek sinkang ala ilmu Auman Singa Kim-mo Say-ong Cia Sun dari kitab “Ie Thian To Liong” karya Chin Yung itu! Kemudian Sang Pangcu DKJ itu melambai-lambaikan jurnal “boemipoetra” ke udara sambil berkata sesuatu seperti “Dilarang membagikan ‘boemipoetra’ di sini. Ini cuma berisi fitnah!”. Untunglah berkat latihan Kiuyang Sinkang yang saya pelajari dari Bu Kie saya cepat memperolah ketenangan saya kembali dan segera menjawab Sang Pangcu DKJ itu, “Kalau benar jurnal ‘boemipoetra’ adalah fitnah, silahkan bawa kami ke pengadilan!” Di tengah-tengah keributan itu saya mendengar Ratna Sarumpaet berkata sesuatu seperti kenapa acara kesenian bisa jadi sekaku ini, atau yang mirip-mirip itu maksudnya. Lalu, entah dari mana nongolnya, seorang laki-laki bertampang sangar kayak “bouncer bar” di Selandia Baru sana mulai juga berteriak-teriak sambil berpidato di tengah ruangan bahwa dia akan membubarkan acara tersebut! Pokoknya penuh otoritas macam itulah. Saya gak kenal makhluk aneh ini tapi Wowok kemudian di taxi mengatakan dia itu orang DKJ juga. Karena bosan mendengar retorika kekuasaannya itu saya berdiri dan mengajak Wowok dan Viddy untuk keluar saja dari hiruk-pikuk drama kekuasaan Dewan Kesenian Jakarta tersebut. Banyak juga ternyata peserta dari dewan kesenian se-Indonesia di situ yang keluar ruangan. Waktu saya mulai beranjak dari tempat duduk saya itulah Sang Marco, sambil tetap teriak-teriak, mendatangai saya dan tiba-tiba saja memegang lengan kiri saya. Tentu saja secara spontan ilmu Kiankun Taylo-ie Sinkang dari Bengkaw yang juga saya warisi dari suhu Bu Kie bereaksi cepat dan saya tampar tangan jahat yang penuh racun itu! Dia nampak kaget jugak rupanya, hahaha… Tapi dia tidak melakukan apa-apa lagi dan kami bertiga pun keluar dari ruangan pibu itu dengan penuh kemenangan.

Di luar, seorang kawan dari Jawa Tengah yang juga salah seorang peserta mukernas tersebut menghampiri dan menyalami kami. Oiya, di luar itu saya juga tidak melihat ada pengumuman, “DILARANG MEMBAGIKAN ‘BOEMIPOETRA’ DI DALAM RUANGAN!”

Bagaimana ya seandainya yang kami bagikan itu adalah majalah “Kalam” milik Teater Utan Kayu? Apa kami akan mendapat perlakuan yang sangat premanis, ketimbang Pramis, begitu? Siapa sebenarnya yang direpresentasikan Marco dan Dewan Kesenian Jakarta-nya di acara dewan kesenian se-Indonesia tersebut? Lucunya lagi, waktu dia membuat kericuhan di acara dewan kesenian se-Indonesia itu, tidak pernah sekalipun dia menanyakan pendapat para peserta mukernas soal “kehadiran” kami, apa mereka keberatan atau tidak! Menurut SMS seorang kawan yang juga peserta “diundang” acara, setelah kami bertiga keluar ruangan, para peserta dipaksa untuk “mengembalikan” kepada DKJ jurnal “boemipoetra” yang sedang dibaca para peserta tersebut! Banyak juga, kata kawan tersebut, yang tidak bersedia “mengembalikan” jurnal keren kami itu, hahaha…

Oiya, ada yang bilang (saya tidak tahu benar atau salah karena saya sendiri tidak diundang juga, hehehe…) ada yang bilang bahwa para peserta mukernas dewan kesenian se-Indonesia itu dibawa Marco dan DKJ-nya makan malam di Salihara, hahaha…

Dari Sastra ke Rupa ke Sastra

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Seni rupa dan sastra bergulat mengemukakan pemaknaannya atas perang.
Perang menjadi titik perjalinan antara puisi, lukisan, dan instalasi dalam pameran Festival Salihara tahun ini. Pameran yang bertajuk Perang, Kata, dan Rupa ini memilih beberapa karya teks puisi dengan tema “perang” sebagai pusat perbincangannya. “Perang” ini akan dimulai dari pertempuran dalam makna sebenarnya hingga perang yang memuat pertikaian dengan diri sendiri. Seperti yang diutarakan penyair kenamaan Chairil Anwar dalam puisinya, Malam.

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
(Zaman Baru, No. 11-12, 20-30 Agustus 1957)

Perupa Putu Sutawijaya mereinterpretasi puisi ini sebagai bentuk sisi peperangan Chairil melawan sisi gelap ke-preman-annya. Putu menganggap bahwa peperangan selalu terjadi pada diri setiap orang. Energi peperangan pribadi inilah yang diangkatnya dengan menggunakan idiom Chairil Anwar walaupun dengan lukisan potret yang tidak mirip.

“Saya menggeser peperangan dalam jiwa Chairil ke dalam karakter orang lain. Malam yang identik dengan segala sesuatu yang negatif, saya jadikan pondasi untuk eksplorasi membangun karakter preman ini. Makanya gaya merokoknya pun berbeda, lebih menunjukkan mata yang penuh perlawanan yang saya tambahkan coretan beberapa bait puisi Malam,” kata Putu dalam pembukaan pameran di Salihara, Kamis (16/7).

Pameran yang dibuka oleh calon wakil presiden Boediono ini memang dimaksudkan untuk mengungkap perang sebagai hal yang lebih luas dari sekadar pertikaian fisik, kecamuk senjata, dan kekacauan suasana, tapi juga beragam pernyataan dan ekspresi estetik dalam memperjuangkan kebebasan.

“Seni rupa tidak bisa mencegah perang, tetapi mungkin bisa mengubah pandangan kita tentang itu. Pameran di Galeri Salihara kali ini memilih tema perang bukan untuk merekam sebuah peperangan yang terjadi. Tema ini dipilih untuk melihat respons seni rupa terhadap sebuah keadaan dahsyat, namun sampai ke dalam hidup kita dengan perantara kata dan rupa,” kata penyair Sitok Srengenge yang karyanya juga ditafsirkan dalam pameran ini.

Pameran seni rupa Perang, Kata, dan Rupa menampilkan lukisan dan instalasi karya perupa Aminudin T H Siregar, Chandra Johan, Jopram, Jumaadi, Mujahidin Nurrahman, Putu Sutawijaya, R E Hartanto, Jompet Kuswidananto, Teguh Ostenrik, Ugo Untoro, Wayan Suja, Wilman Hermana, dan Yustoni Volunteero. Ketigabelas perupa ini akan menafsirkan puisi karya Acep Zamzam Noor, Agam Wispi, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Iswandi, Nirwan Dewanto, Rivai Apin, Sitok Srengenge, Subagyo Sastrowardoyo, Toto Sudarto Bachtiar, dan Triyanto Triwikromo.

Menyertakan sastra dalam memaknai perang adalah kekayaan dari pameran ini. Putu melihat pertautan antara bahasa seni dan rupa bukannya tanpa “pertikaian”. Malah perlu ada proses bergumul dalam batin agar kemudian muncul dalam bentuk karya lukisnya tersebut. “Perlu waktu untuk memvisualkannya karena tidak mudah membaca isi sebuah puisi,” kata Putu.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Sitok yang ia lontarkan dalam pengantar pameran ini, “Memang kata, rupa, bahkan seluruh bentuk ekspresi karya, ternyata tak pernah cukup untuk mengusung secara utuh -seluruh kehendak dan pemahaman kita tentang yang nyata dan yang maya. Sebab itu dalam komunikasi selalu ada beda dan selisih faham, dalam interaksi bisa terjadi perang. Dengan itu kita dapat menemukan keasyikan sebuah karya seni.”

Pameran ini melingkupi aspek yang luas terkait tema perang. Perang dalam arti yang sebenarnya tentu juga dipertontonkan dalam lukisan dan instalasi yang kuat dengan unsur estetika visual. Sebut saja instalasi topi, genderang, dan boots perang prajurit yang tergantung seolah dipakai oleh tubuh yang tak kelihatan. Instalasi ini dilengkapi audio yang berbunyi secara otomatis memperdengarkan suara tabuhan siap perang dan derap langkah yang mengingatkan akan suasana perang yang “horor”. Suara-suara teror yang otomatis “menghidupkan” tulisan Acep Zamzam Noor pada dinding galeri:

Buat Padwa Tuqan

Semuanya belum juga menepi, tongkang-tongkang sepanjang kanal
Kapal-kapal sepanjang lautan, panser-panser sepanjang jalan
Sepanjang medan pertikaian. Dan abad-abad yang bergulir
Tahun-tahun yang mengalir, musim-musim yang anyir
Entah kapan berakhir. “Dilarang kencing di sini!” seekor anjing
Menyalak pada dunia. Langit nampak masih membara
Hujan bom di mana-mana. Terdengar tangis bayi
Jerit para pengungsi. Tak henti-henti-
Bukankah seratus hadiah Nobel telah diobral
Dan seribu perundingan digelar? Tapi di manakah
Perdamaian? Masih adakah perdamaian itu? Semuanya
Belum mau menepi, belum mau melabuhkan diri

Sebagaimana puisi Acep Zamzam Noor juga mengangkat realitas situasi perang, beberapa karya lukis juga berusaha mengungkapnya dalam pilihan artistik beragam. Misalnya karya perupa Mujahidin yang menggambarkan pesawat pengebom Hiroshima dan Nagasaki dalam visual yang ia katakan merupakan stimulasi bentuk dengan menghindari ilustrasi. Mujahidin membuat karyanya dengan terlebih dulu membuat sketsa.

“Saya tidak mereinterpretasi puisi, tapi seperti diingatkan oleh puisi Acep bahwa banyak orang berkoar menolak perang, tapi tetap dilakukan,” kata perupa asal ITB yang sudah sejak lama mengekplorasi tema militer dalam pencarian bentuk visual yang terus dikembangkannya. Untuk pameran itu, Mujahidin memamerkan karya yang salah satunya dijuduli Enola Gay.

Yustoni Volunteero juga banyak mengangkat soal perang sebagai pertempuran, hanya saja ia melibatkan sudut pandang yang lebih meluas. “Saya mengangkat masalah pertempuran dan reformasi bangsa ini. Dalam berkarya, saya sudah berperang dalam setiap sapuan kuasnya yang meluapkan semua perasaan saya mengenai apa yang saya maknai dari karya sastranya. Saya lalu membuat puisi kembali dari lukisan saya,” kata Yustoni yang menghabiskan satu bulan dalam membuat lukisannya untuk pameran ini.

Bisa jadi pameran yang akan berlangsung hingga 15 Agustus ini akan mengantarkan siapa pun yang datang untuk mendekati berbagai dimensi perang melalui media kata dan rupa. Termasuk untuk merenungi kembali peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriott & The Ritz Carlton yang terjadi keesokan hari setelah pembukaan pameran ini. Seperti kata Acep, Nobel perdamaian sudah diumbar, sebagaimana perjanjian damai diselenggarakan, tapi mengapa perdamaian tak kunjung tiba.

Puisi Harus Memberontak

Ibnu Rusydi
http://www.tempointeraktif.com/

TEMPO Interaktif, Jakarta: Kebenaran puisi dengan kebenaran agama tak akan pernah bertemu. Wahyu Islam adalah jawaban. Sedangkan puisi, yang ilhamnya hadir bagaikan dibisikkan jin, adalah pertanyaan-pertanyaan. Puisi adalah pintu kejelekan. Kata-kata itu meluncur dari penyair Suriah, Adonis, di Komunitas Salihara, Jakarta, Senin malam lalu.

Di salah satu ruang di komunitas itu, di bawah sorot lampu, dalam balutan jas kelabu, penyair bernama asli Ali Ahmad Said Asbar itu menyampaikan ceramah bertajuk "Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama". Audiens tekun mendengar.

Ceramah tertulis itu melirik ke masa sebelum wahyu agama (Islam) turun, saat puisi tak sekadar seni bahasa. Puisi adalah pengetahuan supranatural yang bersumber dari alam gaib yang tak diketahui. Maka sering dikatakan puisi "diturunkan" kepada penyair.

Wahyu agama kemudian membatalkan "wahyu" puisi, dengan bahasa puisi sendiri, yakni bahasa Arab. Puisi pun tersingkir oleh wahyu agama dengan risalah Ilahi terakhir bagi manusia. Rasul-Nya adalah penutup para nabi.

Lalu bagaimana kebenaran dalam puisi bisa dihidupkan? Menurut Adonis, puisi harus memberontak. Puisi bisa hidup dalam kondisi yang terpisah dari wahyu agama. Sekularisme yang menumbuhkan pembaruan, sementara pembaruan tidak didorong oleh karakter asli agama--wahyu yang final.

Padahal akal manusia selalu menginginkan pembaruan melalui pertanyaan, keraguan, penciptaan, penolakan, terobosan, dan kebebasan. Maka, "Akal tidak akan mampu melakukan pembaruan kecuali terbebas dari perintah dan larangan agama," kata Adonis.

Menjawab pertanyaan hadirin, Adonis mengatakan tak pernah menyesal dilahirkan sebagai muslim. Dia mencintai Islam, maka ia mengkritik pemahaman terhadap Islam. Dia menegaskan, dirinya tak setitik pun ragu terhadap otentisitas teks wahyu Al-Quran.

Namun, seagung apa pun teks itu, akan menjadi kecil ketika melalui akal yang sempit. "Persoalannya, nalar muslim tak standar seperti teksnya (yang Agung)."

Adonis lahir di Al-Qassabin, Suriah, pada 1930. Sejak usia muda ia bertani. Ayahnya mengajar mengingat sejumlah puisi. Dia lalu mulai mengarang puisinya sendiri. Pada 1947, dia membaca puisi di hadapan Presiden Suriah Syukri al-Kuwatli. Ini mengantarnya meraih sejumlah beasiswa, yang berujung pada gelar sarjana filsafat pada 1954.

Ia sempat mencicipi penjara setahun karena terlibat dalam gerakan politik. Setelah bebas pada 1956, dia pindah ke Beirut, Libanon. Pada 1960-1961, dia mendapat beasiswa ke Paris. Setelah mengajar di Universitas Libanon dan Universitas Damaskus, Adonis hijrah ke Paris pada 1980, mengajar di Universitas Sorbonne. Saat itu Libanon terjerumus dalam kancah perang sipil.

Sudah lebih dari 30 puisi dan prosa ia lahirkan. Buku-buku itu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Beberapa kali namanya disebut sebagai calon kuat penerima Hadiah Nobel Sastra, yakni pada 2005, 2006, dan 2007.

Dalam waktu dekat, salah satu kumpulan puisi Adonis akan terbit dalam bahasa Indonesia: Nyanyian Mihyar dari Damaskus. Buku terbitan Durakindo Publishing ini diterjemahkan Ahmad Mulyadi dari edisi dwibahasa Jerman-Arab. Versi aslinya terbit pada 1961. Budayawan Goenawan Mohamad menulis kata pengantarnya di edisi terjemahan itu.

Siti Sulami, Pelajar Novelis asal Desa Terpencil di Jombang

Berharap Lanjutkan Kuliah dari Hasil Menulis
Rojiful Mamduh
http://www.jawapos.co.id/

Jangan pernah mengartikan bahwa cobaan adalah akhir sebuah cerita. Artikanlah ia sebagai sebuah episode baru kehidupan, dimana episode-episode berikutnya adalah jalan cerita menuju kebahagiaan

DUA kalimat tersebut menutup novel berjudul Fatikah Cinta. Satu-satunya buah karya Siti Sulami, yang telah diterbitkan Pustaka Ilalang Lamongan. Dua novel lainnya rencananya segera menyusul untuk diterbitkan. Masing-masing dengan judul Ketika Maut Ikut Bermimpi serta Cinta dan Kehidupan.

”Keduanya masih dalam tahap penyelesaian,” ujar siswi kelas XII/IPS MAN Genukwatu ini. Salah satu sekolah yang terletak di arah barat daya Kecamatan Ngoro, Jombang. Berjarak 20 kilometer dari pusat Kota Jombang. Sekaligus menjadi salah satu wilayah perbatasan antara Jombang dan Kediri.

Nuansa pedesaan masih sangat kental di lingkungan sekolah tersebut. Lebih dari 80 persen penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Dan lebih dari 60 persen luas lahan yang ada masih berupa areal persawahan. Termasuk yang mengelilingi bangunan sekolah tersebut.

Sulami sendiri sehari-hari tinggal di Dusun Sumbersari, Desa Genukwatu. Tepat di samping lokasi penggalian sirtu. Yang hanya berjarak dua kilometer dari sekolah. Namun jalan desa yang harus dilalui cukup sulit. Lantaran masih berupa tanah liat berbatu, yang menjadi sangat becek saat penghujan dan berdebu tebal saat kemarau. ”Kalau ke sekolah naik sepeda angin paling cuma 15 menit,” ucapnya polos.

Bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Subandi dan Sulasiyah ini memang nampak cerdas. Di tengah keseriusan wawancara, dirinya masih sempat beberapa kali menyelipkan gurauan. ”Rumah saya memang di bawah ”bar”, barongan (rerimbunan pohon bambu, Red),” ucapnya terkekeh.

Dara kelahiran 22 Juli 1990 ini mengaku mulai menulis sejak di bangku kelas XI. Setelah mendapat bimbingan dari guru ektrakurikulir kelompok ilmiah remaja (KIR). ”Mulanya sama Pak Faqih diajari dan diminta membuat karya tulis ilmiah,” terangnya. Namun tak lama berselang, dirinya mulai diminta untuk menulis fiksi semisal cerpen. Setelah diberi bimbingan dan beberapa koleksi buku cerpen dan novel.

Sejak itu semangat menulisnya semakin tumbuh. Seiring besarnya minat baca yang dimiliki. Sampai-sampai, dia rela mengumpulkan uang sakunya hanya untuk membeli buku, selain pinjam buku dari sana-sini. Lantaran buku fiksi yang tersedia di kampus, telah habis dilahapnya.

”Saya juga selalu termotivasi untuk bisa seperti beberapa penulis cilik lainnya,” terangnya. Diantaranya Fina Af’idatussofa, 17, siswi sekolah alternatif Qoryah Toyyibah Salatiga Jawa Tengah yang telah menulis sejumlah buku. Diantaranya Sebatas Angan Rindu, Lebih Asyik Tanpa UN, Just For you, Ustadz dan Gus Yahya Bukan Cinta Biasa.

”Saya juga idola Zizi,” terangnya. Yakni Azizah Hefni, yang saat lulus dari bangku MAK Bahrul Ulum Tambakberas tahun 2004 telah menelorkan sejumlah antologi cerpen semisal Pertemuan di Rintik Hujan. Hingga kini, mahasiswi UIN Malang tersebut aktif menulis di berbagai media. ”Saya ingin terus menulis untuk biaya kuliah,” terangnya.

Lantaran orang tuanya sudah secara terang-terangan menyatakan tidak mampu membiayai studi di perguruan tinggi. Selain sudah beranjak tua, usaha yang mereka geluti juga semakin sepi. ”Bapak sudah tua, sekarang jual buah pakai motor juga sering dirazia trantib,” paparnya.

Sehingga kini sang bapak kian jarang berjualan. Karena itu pula, dari enam saudaranya, tidak ada satupun yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi. ”Rata-rata hanya lulus SMP, yang SMA cuma dua,” terangnya.

Padahal tekadnya untuk melanjutkan studi sangat tinggi. ”Saya ingin kuliah di jurusan Sastra,” terangnya. Agar dapat terus mengembangkan bakat menulisnya. ”Karena itu saya terus berusaha dan berdoa. Kalau Andrea Hirata bisa, saya yakin orang lain juga bisa,” ujarnya sembari mengaku sudah membaca tiga bagian dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yakni Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor. ”Jika sukses, kelak saya ingin menulis memoar seperti dia,” ucapnya ringan. (yr)

METODE PEMBELAJARAN SASTRA, MISKIN KREATIVITAS

Agus Sulton
Radar Mojokerto 26 Sep 2010

Salah satu kendala mutu dari suatu pendidikan adalah rendahnya tingkat literacy atau keagiatan membaca dan menulis baik dari kalangan mahasiswa, guru, dan dosen. Hal ini ditandai dengan rendahnya kreativitas dan produktivitas dosen dalam menulis suatu gagasan yang inovatif untuk dipublikasikan sebagai hasil prestasi terhadap kemampuan yang digelutinya. Paling tidak sebagai bukti bahwa dosen merupakan agen pengetahuan, ilmuwan, atau akademikus yang benar-benar pengabdian atas dasar profesi, bukan pekerja—layaknya manol dipasar-pasar, tidak sekedar srobot sana srobot sini (ngompreng mengajar) demi keuntungan finansial, akhirnya rebutan jabatan struktural untuk meraih ongkos yang lebih menjanjikan.

Perkara semacam itu bukan istilah baru, bahkan sudah menjadi budaya postingan oleh para dosen yang mutu pembelajaran sastranya ”ala kadar” dan kualifikasi atau kredibilitas sang dosen perlu dipertanyakan?. Kondisi itu diperparah dengan minimnya tingkat membaca para dosen, sehingga berdampak pada mutu dari metode pembelajaran yang disampaikan (out of date dan monoton), akhirnya menstimulasi sebuah pembelajaran yang begitu kering—tanpa ada sugestif untuk memberikan nilai protein dari proses menguyah akan suatu makna (nilai).

Membaca setidaknya bisa dijadikan representasi untuk kunci keberhasilan, semacam minimalisir politik ilaterasi dengan memperkaya kreativitas dalam suatu kegiatan pembelajaran. Karena dengan membaca, kecenderungan seorang dosen akan lebih menggigit dan memunculkan gagasan-gasan baru untuk dikembangkan dalam bentuk tulisan. Kegiatan membaca bukanlah suatu paksaan, tetapi menjadi sangat lucu (memalukan) apabila ada seorang sekaliber dosen bidang sastra yang tidak bisa menulis fiksi atau non fiksi, padahal bagi orang berlatar belakang sastra; cerpen, puisi, dan novel merupakan menu utama dalam kegiatan belajar-pembelajaran, baik dalam bentuk apresiasi atau sekedar komentar. Ini masalah kecil, tetapi harus diperhitungkan dan perlu dipikir ulang. Ibarat dosen atau mahasiswa seni lukis, tetapi tidak bisa melukis, sungguh teror yang menghantui kepincangan pendidikan berlabel Indonesia.

Betapa menyedihkan jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, seorang dosen seharusnya mampu mengubah pola berfikir revisibilitas dan meningkatkan gairah peserta didik dalam berolah sastra. Yakni, perubahan kecakapan dan kreativitas menuju life competence. Karena, belajar sastra tidak hanya sebatas membaca sinopsis, potongan cerita, dan membaca puisi dengan istilah ”sepi ala SMA”. Dosen dan mahasiswa harus ada hubungan struktural fungsional. Keduanya saling simbiosis mutualistis dengan langkah konkrit penuh reaksi kreatif ke dalam kubangan sastra secara natural. Paling tidak metode pembelajaran sastra dalam kelas—lebih menambah gairah dan berdaya saing antar pihak.

Pembelajaran sastra dan keterampilan menulis adalah diferensial dari pernikahan sah, sebagai embrional pola berfikir lebih kritis dan analitis (critikal thinking and analytical thinking). Bayangkan betapa hancur dan babak belur kalau ada seorang dosen menjadi pembimbing dalam penulisan karya ilmiah (skripsi), padahal bobot berfikirnya dangkal dan mengambang (floating thinking), sementara sang dosen itu sendiri—tidak sama sekali membiasakan untuk menulis ilmiah. Pasti akan sangat kacau, karya ilmiah tidak berbobot, dan bernasib sampah, selanjutnya karya-karya ilmiah tersebut diberi tanda ”R” berarti ”racun” dan diberi label tengkorak—yang terpajang di sebuah etalase perpustakaan, bagi siapa yang memegangnya akan terinfeksi rasa sesak dan tersesatkan. Fenomena ini menandakan betapa miskinnya mutu dan kualitas sistem kampus beserta kroni-kroninya. Beberapa komponen harus segera mungkin untuk direformasi atau dikudeta agar keberhasilan proses pengajaran bisa terinovasi dan bernutrisi.

Sejuta permasalahan yang melilit sistem pengajaran sastra tetap harus disikapi secara wajar dan dewasa. Begitu juga masalah perikrutan dosen yang kebanyakan terkesan kegenitan krisis figur, terkesan asal-asalan, asal kenal sanak keluarga yayasan. Indikasinya, racun urat nadi pengajaran sastra tetap mengubur daya nalar mahasiswa. Suwardi Endraswara (2005) menyebutnya sebagai sistem membusukkan daging-daging pengajaran, kemudian merapuhkan tulang-tulang sastra, dan kalau tak segera diamputasi, maka virus-virus tadi akan menyublin diperedaran darah sastra—tinggal menunggu waktu, cidera selamanya. Pengajaran sastra akan membusuk, pasiennya sudah mati dan hanya tunggu dikremasi.

Kesalahan seperti ini akan terus menghantui kita yang tersadarkan. Pertama, melihat sosok dosen yang terjerat terali phobia masa kecilnya (sikap malas dan ingusan), akhirnya menjadikan pemikiran atau penalaran yang mengalami kepincangan secara frontal dan pembelajaran sastra yang dirundung duka. Kedua, manageman sistem pendidikan kampus (otonomi kampus) yang lebih mengutamakan penumpukan aset mahasiswa dan bisnis pendidikan, diduga sebagai sumber keuntungan menjanjikan secara finansial (material), berakibat pada bertumbuhnya generasi sarjana, begitu juga dosen yang ”multi-karbitan”, konsumtif dan miskin kreativitas, menjadikan intelektual absurditas tanpa ada surplus akomodatif yang mampu memberikan kontribusi yang cukup bagi dunia pendidikan.

Jika dicermati, pengajaran sastra kita cukup aneh. Pembelajaran sastra sekedar menyampaikan informasi dan mengemukakan fakta-fakta mati. Apalagi dibarengi dengan subjek didik yang per-kelasnya mencapai 50-70 mahasiswa, antara kelas B diomprengkan ke kelas A—membuat proses belajar mengajar terkesan membohongi dan feodalitas pengajaran. Sebaliknya, subjek didik harus bertaqlid buta. Sebuah kelas yang sesak dan pengap terhadap pengkondisian hegomoni badut-badut pembisnis pendidik yang nota bene-nya bergelar doktor secara ”karbitan”. Virus pengajaran sastra seperi ini malah berakibat pada dungu terhadap karya sastra, tidak mampu berfikir tentang hidup, menghayati kehidupan, memahami diri secara individu maupun kelompok, dan mempertajam informasi-informasi baru.

Hal semacam itu, akan berdampak pada psikologi diri mahasiswa. Yakni, pergi kuliah dengan tubuh dipenuh assesoris, tangan lebih senang meggenggam ponsel Black Barry dari pada buku bacaan sastra yang berkualitas. Kemudian berjalan-jalan di depan kampus ”ala karakter SMA”, berdialog dengan bahasa cengeng dan terkesan kemanja-manjaan. Kondisi seperti ini, sangat berbanding terbalik dengan pernyataan Paulo Freire yang memberikan istilah, bahwa mahasiswa sudah mencapai tahapan kesadaran kritis. Mampu melakukan kerja penyadaran kepada semua orang, terutama rakyat Indonesia yang saat ini masih berkubang pada tahap kesadaran magis dan naif.

Indikasi ini setidaknya bisa kita jadikan langkah simplifikasi untuk menciptakan inovasi baru menuju kompetensi pembelajaran sastra yang syarat akan kreativias dan stimulasi-gairah pada ilmu pengetahuan, update dengan problematika, dinamika dan perkembangan intelektualitas di era kekinian. Konsekuensinya, dosen pun tentu harus menampilkan hasil karya kreatifnya sebagai support environment dan bukti idealisme hasil bernalar (intelektual organik), tidak semata-mata apologi tanpa ada pilar follow-up yang bikin greget. Mari kita renungkan dan saling preventif !

*) Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Tinggal dan berkarya di Ngoro Jombang Jawa Timur

Minggu, 26 September 2010

Claude Debussy (1962-1918)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=494


Pada buku “Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle” yang disusun Bernard Dorléans menyebutkan, di dalam catatannya Debussy menuliskan: “Jika anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, anda harus mengakui ialah musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling.”

Dan menurut profesor lajang sampai akhir hayatnya, Gertrudes Johan Resink (1911-1997), berkabar bahwa komponis Prancis, Claude Debussy memperkenalkan nada musik Jawa ke dalam komposisi musiknya. Ini tampak terdengar jelas atas karyanya yang bertitel “La cathédrale engloutie.” Di mana nada-nada gemelan menyusup ke rulung jiwa, sedari pantulan pekerti jiwa Jawa seraya.

Seringkali aku dengar gending-gending Jawa seperti menyaksikan lembah pesawahan di tanah Dwipa, bencah subur menandai jiwa lestari para pengolanya, meski harga pupuk tak sedap dirasa, oleh pemerintahan hanya mementingkan perutnya saja; gaji tinggi namun masih korupsi, kolusi dan sebangsatnya.

Aku simak petikan “La cathédrale engloutie” lewat youtube dengan perasaan merinding, digetarkan dadaku. Jantungku bak melepuh, terangkat sukmaku diterbangkan alunan komposisinya. Aku yang hendak menyelam, ternyata sudah tenggelam dalam, meringkuk di kedalamannya, merasuki pusaran henang-hening-henung suwong, terkubur lama di lumpur ketenangan.

Kembali kuterangkat semata air mengaliri hijaunya pesawahan lereng bukit, ondak-ondakan menandai tetingkatan kesabaran petani, tekun menandaskan kasih sayang bunda pertiwi. Pada pribadi tanggung menggadaikan pula menjual ladangnya demi pernik-pernik mewah yang hanya mengenyangkan mata telinga ragawi, terhisap puting keluguannya oleh penampakan gemerlap urbani.

Maka dengarlah musik bathinmu, meski terperoleh dari jauh. Adakah merasa kehilangan, ketika nada jiwamu tak lagi merdu? Kala keseharianmu diringkus intrik hara-huru? Berbaliklah, kembali fitri sedenyut air menyusup di sela-sela tanah liat menjamah tubuh. Kau akan terpancari kecantikan yang tak menarikmu membeli bedak pula gincu. Datanglah bersama suara Debussy.

J. Van Ackere pada buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie, berujar:

“Orang mengatakan Debussy menjadi pendahulu dari musik impressionisme. Seperti juga ismen lainnya, kata inipun sukar untuk menentukannya. Memang sudah pasti saja, bahwa bahasa dan teknik Debussy, ada persamaan dengan pelukis-pelukis impressionis. Ia memberikan kesan yang sambil lalu, dan impressif, ia lebih menyukai warna daripada garis, dan nuanse daripada warna, perasaan hanya samar-samar pun sedikit, pula sering diucapkan simbolis. Romantik penderitaan serta kekerasannya sudah dilupakan. Pakaian-pakaian lama telah ditinggalkan.”

Lelangkah kaki Debussy seakan berjalan di bencah sawah, musiknya mengajak istirah di bawah pohon menikmati semilir bayu tropis, menggantungkan bunga-bunga awan putih. Ada ketenangan damai tak hendak lenyapkan cerita, membuka lelembaran kemungkinan lewat hadirnya nuase indah:

Itu pekabutan pagi, gadis-gadis desa bangun dari tidurnya, para pejaka mempercayai nasib seruncing tombak di atas kesungguhan bekerja. Seusapan lembut bidadari cahaya mentari; sepyuran bintik berwarna pelangi, menembusi rindangnya daun-daun pepohonan turi, yang berjajar di pematang.

Dan di bawah pohon gempol membersihkan jemari tangan di sungai mengalir jernih, sebelum merasai nasi serta lauk-pauk kiriman dari desa purbawi, yang memakmurkan warisan para leluhur, moyang mengabdikan diri, demi anak-anak kehidupan meraup tirta sejati.

Achille-Claude Debussy lahir 22 Agustus 1862, meninggal 25 Maret 1918 ialah komponis berkebangsaan Perancis. Musiknya dianggap peralihan zaman romantik ke modern awal abad XX. Bersama Maurice Ravel, merupakan figur utama bidang musik impressionis, walaupun ia kurang menyukai pemberian nama aliran tersebut.

Ia yang diberkahi ketenangan alam, menebarkan benang-benang halus ditariknya kelembutan puitik, serupa bola-bola mata jelita menghujami kenangan insani, memandangi sorot tajamnya. Cahaya itu melesatnya pulung membuyar menerangi uwung-uwung rumah, menentramkan para penghuninya di malam-malam sunyi diruapi keyakinan. Doa-doa diterbangkan iman, memecahkan kebisuan melalui denting air ke batu-batu kepasrahan, adanya terpantul dari sana, gema keseriusan seluas cakrawala kalbu di pucuk gunung ketinggian kehidupan.

Musik Debussy mengungkapkan rahasia hayati diri, hati yang dipetik laksana untaian senar dengan getarannya menggugah keinginan, kepaduan nada para peri bermandian di sendang pancuran, membangkitkan pesona dari dalam. Bukanlah serupa yang ditandai Wagner pada percintaan maut, tetapi kehalusan budhi selepas membaca kekalutan hidup, yang tak pernah pudar membelenggu kaki-kaki manusiawi.

Getarannya menuntun jauh melebihi lorong-lorong romantik, keajaiban ialah bahasanya. Anak panah terapung di udara atas ketinggian drajat penciptaan mencapai sasaran kodrati. Atau pun gelembung udara di permukaan telaga, yang menggoda burung-burung meneguk nikmati canda dalam luapan guyub persahabatan di perkampungan, dan menurunkan nadanya ke dalam mimpi-mimpi.

Ialah kesamaran musiknya mempunyai bunyi-bunyian tak wujud, seharum kembang terpancar dari guratan lukisan kelas impressif, seolah arkeolog menjelajahi masa silam memasuki sunyi riuh penelitian. Ia mereguk batu-batu berbicara dalam kehati-hatian, seembun membunting di ujung daun masih enggan jatuhkan kecupan.

Serasa detik-detik akhir tak mau segera tamat, para pencari terus saja menemukan keheningan berbeda, kesepian ganjil menghantari tanya, dengan ucapan paling lembut yang lemas mencair. Debussy membukakan pepintu rahasia keharmonisan dunia, yang kerap dilupakan perubahan masa, nan ditindih tampakan terang di depan mata.

Musiknya mengajak pejamkan indra, meraba kalbu masing-masing, yang hakikatnya kesendirian itu seirama berjalin komposisi lain. Begitulah angin berbahasa, denyutan air berucap kata mesra pada bibir-bibir batu, lantas sejarah terlihat sebening keasliannya. Demikian nalar seimbangkan data berketepatan masa-masa, yang terkandung di dalamnya.

Lamongan- Lirboyo.

Sang penyair dan sang panglima [W.S. Rendra]

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

PADA suatu malam Agustus 1970 W.S. Rendra ditahan. Ia, bersama 10 orang lain, bersemadi di petak rumput di tengah Jalan Thamrin, Jakarta. Malam itu beberapa ratus mahasiswa menyiapkan secara massal aksi “Malam Tirakatan”, sementara gabungan pasukan bersenjata bermaksud menggagalkannya. Bentrokan kekerasan dikhawatirkan.

Rendra dan yang lain-lain telah berhasil membujuk para mahasiswa (di pimpin Arief Budiman) untuk mundur saja, dan sebagai ganti menawarkan diri untuk melakukan semadi dan tirakatan di tempat yang telah ditetapkan.

Fihak penguasa agaknya menyangka Rendra dkk sebagai demonstran yang bandel, dan ia ditahan 20 jam. Walaupun dalam interogasi yang dilakukan malam itu seorang tahanan menamakan tindakan mereka sebagai “tumbal” buat mencegah terjadinya bentrokan antara mahasiswa dan tentara, sedikit sekali difahami motif Rendra dkk malam itu.

Dalam suasana bertentangan, orang yang tak mengabungkan diri memang sering sulit direngerti. Apalagi oleh mereka yang fanatik. Dan cerita Mastodon & Burung Khondor adalah tentang semua itu.

Ada militer yang berkuasa dan melaksanakan pembangunan, ada mahasiswa yang melakukan perlawanan revolusioner dan ada seorang penyair yang menentang kedua hal itu sekaligus.

Ditaruh dalam latar nun jauh di Amerika Latin, cerita bikinan Yogya ini dengan sangat efektif sebenarnya berbicara tentang Indonesia. Atau mungkin lebih tepat: tentang pandangan Rendra mengenai sekitarnya dan dirinya.

Tokoh Jose Karosta, sang penyair, tidak silap lagi adalah semacam potret-diri. Kata “semacam” perlu dicantumkan di situ, jika kita terbiasa mengartikan potret-diri adalah seperti yang dibikin Affandi. Sebab bila Affandi mendramatiskan ketidak-elokan paras, Rendra memproyeksikan sebuah ideal dalam diri Jose Karosta. Bila Affandi tak tertarik untuk kontur, dalam tokohnya Rendra justru seperti membubuhkan aureole.

Jose adalah penyair yang dikagumi dan dikitari orang banyak, suka gadis semampai, suka eksperimen kesenian, pembaca sajak yang merangsang urat syaraf”, radikal dan suka mempertanyakan, “tidak memerlukan lembaga” dan boleh dibilang anti-politik dan anti revolusi tapi merupakan musuh bagi yang berkuasa dan menindas.

Terkadang terlintas gambaran yang nyaris kenabian dalam tokoh ini: dalam Bab V, Jose Karosta berada di atas bukit membacakan doa puitis, dikelilingi oleh para pengikutnya, sementara orang-orang yang ditindas dan dihinakan datang mengadu.

J.K. hampir berarti Jesus Kristus. Buat membangkitkan perlawanan rakyat kepada pemerintah kaum revolusioner bahkan menganggap penting untuk mengusahakan agar Karosta ditangkap. Mungkin di sini paralelisme antara Kristus dan Karosta tak terlalu kentara, walaupun bila kita mendasarkan perbandingannya dengan drama penyaliban yang pernah disusun Rendra di tahun 1963, Cinta Dalam Luka.

Tapi setidaknya sang penyair begitu penting, hingga di bagian akhir drama ini ia bisa mengancam kaum pemberontak: “Kalau sesuatu terjadi pada diri saya, barisan revolusi akan terpecah dua”. Katolik.

Sebenarnya tak perlu terlalu jauh untuk meninjau bayang-bayang kekristenan lakon ini. Pun tak teramat relevan buat mencoba mempertalikannya dengan lakon Paraguay Tercinta yang dipentaskan Rendra di tahun 1961 — juga tentang cita-cita keadilan & kemerdekaan, revolusi, dan kekuasaan kelembagaan (agama) di Amerika Latin.

Tapi yang patut dicatat ialah bahwa bagaimanapun Rendra kini tak lagi Katolik, ia masih bisa terus dengan imaji dan lambang pemikiran religius yang tumbuh melalui artikulasi Katolik. Ia tak bisa lain apabila ia hendak otentik, jujur dengan dirinya sendiri. Latarbelakang Katoliknya telah membantunya menciptakan sajak-sajak yang bagus.

Dan tak seorang penyairpun dapat begitu saja menanggalkan mithos-mithos yang menemaninya sejak kecil dalam pertumbuhan dirinya. Dunia kanak yang penuh dongeng dan amsal yang indah adalah perbendaharaan yang sah. Demikianlah kita lihat dalam Mastodon Rendra, dengan latarbelakang Katoliknya — apalagi Katolik Jawa bisa menampilkan fikirannya tentang dialektik antara badan dan roh, dengan tegas, yakin, wajar.

Dan lewat tokoh Jose Karosta jelas luka di mana Rendra berdiri: ia menghargai badan, tapi ia memihak roh, tak memilih lembaga dan kekuasaan. Dalam bahasa Injil, hal-hal terakhir itu milik Caesar. Mungkin karena perbendaharaan pengalamannya dengan agama Kaolik pula maka pilihan latar Amerika Latin untuk lakonnya ini merupakan pilihan yang lumrah bagi Rendra. Seperti halnya pilihan latar India dalam lakon Manusia Baru bagi Sanusi Pane yang menganut theosofi.

Tapi tentu tidak itu saja. Ada satu hal yang lebih penting: masalah Indonesia di tahun 1930-an memang mirip dengan masalah India pada saat itu, ketika lakon Manusia baru diciptakan. Masalah Indonesia di tahun 1970-an lebih mirip dengan masalah Amerika Latin, katakanlah Brazilia, ketika Mastodon digubah.

Tak mengherankan bila perbandingan antara Indonesia dengan Brazilia oleh seorang sastrawan lain pernah pula dilakukan Beb Vuyk mengemukakan itu dengan pandangan lain dalam bukunya yang mutakhir, Een Broet in Brazil.

Tapi bagi saya karya Rendra lebih menarik, karena seraya tak menyebut apa-apa tentang Indonesia, ia telah merumuskan masalah kita yang aktuil. Di satu fihak ada pertumbuhan ekonomi yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Tapi di lain fihak penderitaan rakyat kecil tak berubah, bahkan memburuk.

Kata-kata Jose Karosta bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metafor, tapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial:

“Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran”, katanya Dan:

“Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan” Rakyat. Para gajah itulah yang kemudian dibayangkannya akan jadi mastodon-mastodon, yang akan “memusnahkan alam secara lahap”.

Dan siapakah burung khondor? Burung itu adalah lambang rakyat, juga diri penyair sendiri dan kawan-kawannya — atau lebih tepat: sukma mereka. “Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah. Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung khondor”.

Meskipun tak selamanya jelas, Rendra - seperti dalam sajak-sajaknya yang dulu — menggunakan imaji “burung” untuk sesuatu yang bebas, dekat dengan alam, penuh mimpi, dan heroik.

“Beribu-ribu burung khondor, berjuta-juta burung khondor gumpalan-gumpalan awan burung khondor, bergerak menuju ke puncak gunung yang tinggi. Dan di sana mendapat hiburan dari sepi, karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan sakit hati”.

Sepi, dan bukan revolusi. Yang membedakan pandangan Rendra dengan kaum Marxis atau Kiri Baru ialah bahwa sang penyair tidak mempercayai revolusi.

“Aku percaya pada jalarnya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu”.

Apalagi bila kaum revolusioner menang, dalam lakon ini dipimpin oleh kaum mahasiswa, mereka akan jadi diktator dan rakyat tetap menderita.

Tak mengherankan bila Rendra pernah dikutip mengatakan lakonnya ini “anti-Revolusi”. Ia nampaknya kembali pada cerita Zeus dan Prometheus dalam mithologi Yunani: mereka berdua menumbangkan tirani, tapi kemudian Zeus menjadi tiran dan Prometheus yang membela kemerdekaan menjadi hukuman.

Sang penyair, sang intelektuil, dan pembela kehidupan rohani adalah Prometheus. Setelah kaum revolusioner hampir menang, Jose Karosta yang meskipun merupakan musuh rezim militer justru dibuang ke luar negeri. Kaum revolusioner telah jadi Zeus.

Di sini Rendra mengingatkan kita kembali pada pemikiran yang hidup di kalangan seniman dan cendekiawan penandatangan Manifes Kebudayaan di tahun 1963, yang menentang utopisme dari revolusi, menentang Politik Sebagai Panglima dan memandang komitmen kaum seniman kepada masyarakatnya sebagai yang dirumuskan Herbert Read: “the politics of the unpolitical” atau “politik” tanpa pamrih kekuasaan.

Mereka ingin selalu berada di luar kekuasaan sebagai salah satu pengontrolnya. Bagi mereka inilah peran dan tugas intelektuil. Fikiran-fikiran Arief Budiman, salah satu perumus Manifes, dengan jelas berpola pada sikap itu, berdasarkan dialektik badan dan roh yang serupa.

Rendra, yang selalu dengan rendah-hati mengatakan bahwa ia banyak dipengaruhi tulisan Arief, kini mengungkapkannya lewat Mastodon. Sukadji. Belum bisa dikatakan di sini bahwa lakon ini merupakan karya yang gemilang.

Rendra mungkin bisa dianggap melakukan “kesalahan” Albert Camus dalam Les Justes (diterjemahkan Arief Budiman sebagai Teotis) yang pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu juga tentang konflik antara pilihan kekerasan dengan tanpa-kekerasan di kalangan pejoang keadilan.

Maksud saya: peran-peran lebih menarik sebagai penubuhan ide-ide daripada sebagai watak-watak yang berkembang. Tapi harus selalu diingat bahwa teater Rendra harus dinilai setelah dipentaskan - sebab dia adalah seorang maestto di situ.

Tapi setidaknya dari naskah saja sudah bisa dinilai bahwa ini merupakan langkah Rendra yang penting, bukan untuk riwayatnya sendiri setelah teater minikata, tapi untuk riwayat teater Indonesia dalam masyarakatnya.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa teater kita akan mendapatkan tempat yang lebih penting dalam kehidupan publik dibandingkan dengan novel, berdasarkan kenyataan kebudayaan Indonesia sendiri.

Apalagi bila dalam teater itu pula publik menemukan dan menjadi lebih peka terhadap dunia mereka yang intim. Untunglah, bahwa Mastodon pada akhirnya tak jadi korban larangan Kepolisian Yogya dan korban alasan “proseduril” dari Rektor UGAMA Prof.

Sukadji ketika hendak dipentaskan di kampus. Untunglah, bahwa Pangkopkamtib sendiri, Jend. Sumitro, dan Kol. Leo Ngali dari Kodam VII, mengijinkan Rendra untuk terus.

Hanya kenyataan bahwa sebuah lakon teater perlu diputuskan nasibnya oleh seorang Panglima dari Pemerintah Pusat, dan seorang pemimpin universitas menunjukkan ketidak-pastian sikap menghadapi perkara itu, pada hemat saya bukanlah kenyataan yang sedap.

Saya menyenangi fikiran-fikiran Prof. Sukadji. Mudah-mudahan dalam soal Mastodon orang akan memanfaatkannya.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito