Minggu, 26 September 2010

Sang penyair dan sang panglima [W.S. Rendra]

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

PADA suatu malam Agustus 1970 W.S. Rendra ditahan. Ia, bersama 10 orang lain, bersemadi di petak rumput di tengah Jalan Thamrin, Jakarta. Malam itu beberapa ratus mahasiswa menyiapkan secara massal aksi “Malam Tirakatan”, sementara gabungan pasukan bersenjata bermaksud menggagalkannya. Bentrokan kekerasan dikhawatirkan.

Rendra dan yang lain-lain telah berhasil membujuk para mahasiswa (di pimpin Arief Budiman) untuk mundur saja, dan sebagai ganti menawarkan diri untuk melakukan semadi dan tirakatan di tempat yang telah ditetapkan.

Fihak penguasa agaknya menyangka Rendra dkk sebagai demonstran yang bandel, dan ia ditahan 20 jam. Walaupun dalam interogasi yang dilakukan malam itu seorang tahanan menamakan tindakan mereka sebagai “tumbal” buat mencegah terjadinya bentrokan antara mahasiswa dan tentara, sedikit sekali difahami motif Rendra dkk malam itu.

Dalam suasana bertentangan, orang yang tak mengabungkan diri memang sering sulit direngerti. Apalagi oleh mereka yang fanatik. Dan cerita Mastodon & Burung Khondor adalah tentang semua itu.

Ada militer yang berkuasa dan melaksanakan pembangunan, ada mahasiswa yang melakukan perlawanan revolusioner dan ada seorang penyair yang menentang kedua hal itu sekaligus.

Ditaruh dalam latar nun jauh di Amerika Latin, cerita bikinan Yogya ini dengan sangat efektif sebenarnya berbicara tentang Indonesia. Atau mungkin lebih tepat: tentang pandangan Rendra mengenai sekitarnya dan dirinya.

Tokoh Jose Karosta, sang penyair, tidak silap lagi adalah semacam potret-diri. Kata “semacam” perlu dicantumkan di situ, jika kita terbiasa mengartikan potret-diri adalah seperti yang dibikin Affandi. Sebab bila Affandi mendramatiskan ketidak-elokan paras, Rendra memproyeksikan sebuah ideal dalam diri Jose Karosta. Bila Affandi tak tertarik untuk kontur, dalam tokohnya Rendra justru seperti membubuhkan aureole.

Jose adalah penyair yang dikagumi dan dikitari orang banyak, suka gadis semampai, suka eksperimen kesenian, pembaca sajak yang merangsang urat syaraf”, radikal dan suka mempertanyakan, “tidak memerlukan lembaga” dan boleh dibilang anti-politik dan anti revolusi tapi merupakan musuh bagi yang berkuasa dan menindas.

Terkadang terlintas gambaran yang nyaris kenabian dalam tokoh ini: dalam Bab V, Jose Karosta berada di atas bukit membacakan doa puitis, dikelilingi oleh para pengikutnya, sementara orang-orang yang ditindas dan dihinakan datang mengadu.

J.K. hampir berarti Jesus Kristus. Buat membangkitkan perlawanan rakyat kepada pemerintah kaum revolusioner bahkan menganggap penting untuk mengusahakan agar Karosta ditangkap. Mungkin di sini paralelisme antara Kristus dan Karosta tak terlalu kentara, walaupun bila kita mendasarkan perbandingannya dengan drama penyaliban yang pernah disusun Rendra di tahun 1963, Cinta Dalam Luka.

Tapi setidaknya sang penyair begitu penting, hingga di bagian akhir drama ini ia bisa mengancam kaum pemberontak: “Kalau sesuatu terjadi pada diri saya, barisan revolusi akan terpecah dua”. Katolik.

Sebenarnya tak perlu terlalu jauh untuk meninjau bayang-bayang kekristenan lakon ini. Pun tak teramat relevan buat mencoba mempertalikannya dengan lakon Paraguay Tercinta yang dipentaskan Rendra di tahun 1961 — juga tentang cita-cita keadilan & kemerdekaan, revolusi, dan kekuasaan kelembagaan (agama) di Amerika Latin.

Tapi yang patut dicatat ialah bahwa bagaimanapun Rendra kini tak lagi Katolik, ia masih bisa terus dengan imaji dan lambang pemikiran religius yang tumbuh melalui artikulasi Katolik. Ia tak bisa lain apabila ia hendak otentik, jujur dengan dirinya sendiri. Latarbelakang Katoliknya telah membantunya menciptakan sajak-sajak yang bagus.

Dan tak seorang penyairpun dapat begitu saja menanggalkan mithos-mithos yang menemaninya sejak kecil dalam pertumbuhan dirinya. Dunia kanak yang penuh dongeng dan amsal yang indah adalah perbendaharaan yang sah. Demikianlah kita lihat dalam Mastodon Rendra, dengan latarbelakang Katoliknya — apalagi Katolik Jawa bisa menampilkan fikirannya tentang dialektik antara badan dan roh, dengan tegas, yakin, wajar.

Dan lewat tokoh Jose Karosta jelas luka di mana Rendra berdiri: ia menghargai badan, tapi ia memihak roh, tak memilih lembaga dan kekuasaan. Dalam bahasa Injil, hal-hal terakhir itu milik Caesar. Mungkin karena perbendaharaan pengalamannya dengan agama Kaolik pula maka pilihan latar Amerika Latin untuk lakonnya ini merupakan pilihan yang lumrah bagi Rendra. Seperti halnya pilihan latar India dalam lakon Manusia Baru bagi Sanusi Pane yang menganut theosofi.

Tapi tentu tidak itu saja. Ada satu hal yang lebih penting: masalah Indonesia di tahun 1930-an memang mirip dengan masalah India pada saat itu, ketika lakon Manusia baru diciptakan. Masalah Indonesia di tahun 1970-an lebih mirip dengan masalah Amerika Latin, katakanlah Brazilia, ketika Mastodon digubah.

Tak mengherankan bila perbandingan antara Indonesia dengan Brazilia oleh seorang sastrawan lain pernah pula dilakukan Beb Vuyk mengemukakan itu dengan pandangan lain dalam bukunya yang mutakhir, Een Broet in Brazil.

Tapi bagi saya karya Rendra lebih menarik, karena seraya tak menyebut apa-apa tentang Indonesia, ia telah merumuskan masalah kita yang aktuil. Di satu fihak ada pertumbuhan ekonomi yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Tapi di lain fihak penderitaan rakyat kecil tak berubah, bahkan memburuk.

Kata-kata Jose Karosta bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metafor, tapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial:

“Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran”, katanya Dan:

“Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan” Rakyat. Para gajah itulah yang kemudian dibayangkannya akan jadi mastodon-mastodon, yang akan “memusnahkan alam secara lahap”.

Dan siapakah burung khondor? Burung itu adalah lambang rakyat, juga diri penyair sendiri dan kawan-kawannya — atau lebih tepat: sukma mereka. “Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah. Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung khondor”.

Meskipun tak selamanya jelas, Rendra - seperti dalam sajak-sajaknya yang dulu — menggunakan imaji “burung” untuk sesuatu yang bebas, dekat dengan alam, penuh mimpi, dan heroik.

“Beribu-ribu burung khondor, berjuta-juta burung khondor gumpalan-gumpalan awan burung khondor, bergerak menuju ke puncak gunung yang tinggi. Dan di sana mendapat hiburan dari sepi, karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan sakit hati”.

Sepi, dan bukan revolusi. Yang membedakan pandangan Rendra dengan kaum Marxis atau Kiri Baru ialah bahwa sang penyair tidak mempercayai revolusi.

“Aku percaya pada jalarnya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu”.

Apalagi bila kaum revolusioner menang, dalam lakon ini dipimpin oleh kaum mahasiswa, mereka akan jadi diktator dan rakyat tetap menderita.

Tak mengherankan bila Rendra pernah dikutip mengatakan lakonnya ini “anti-Revolusi”. Ia nampaknya kembali pada cerita Zeus dan Prometheus dalam mithologi Yunani: mereka berdua menumbangkan tirani, tapi kemudian Zeus menjadi tiran dan Prometheus yang membela kemerdekaan menjadi hukuman.

Sang penyair, sang intelektuil, dan pembela kehidupan rohani adalah Prometheus. Setelah kaum revolusioner hampir menang, Jose Karosta yang meskipun merupakan musuh rezim militer justru dibuang ke luar negeri. Kaum revolusioner telah jadi Zeus.

Di sini Rendra mengingatkan kita kembali pada pemikiran yang hidup di kalangan seniman dan cendekiawan penandatangan Manifes Kebudayaan di tahun 1963, yang menentang utopisme dari revolusi, menentang Politik Sebagai Panglima dan memandang komitmen kaum seniman kepada masyarakatnya sebagai yang dirumuskan Herbert Read: “the politics of the unpolitical” atau “politik” tanpa pamrih kekuasaan.

Mereka ingin selalu berada di luar kekuasaan sebagai salah satu pengontrolnya. Bagi mereka inilah peran dan tugas intelektuil. Fikiran-fikiran Arief Budiman, salah satu perumus Manifes, dengan jelas berpola pada sikap itu, berdasarkan dialektik badan dan roh yang serupa.

Rendra, yang selalu dengan rendah-hati mengatakan bahwa ia banyak dipengaruhi tulisan Arief, kini mengungkapkannya lewat Mastodon. Sukadji. Belum bisa dikatakan di sini bahwa lakon ini merupakan karya yang gemilang.

Rendra mungkin bisa dianggap melakukan “kesalahan” Albert Camus dalam Les Justes (diterjemahkan Arief Budiman sebagai Teotis) yang pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu juga tentang konflik antara pilihan kekerasan dengan tanpa-kekerasan di kalangan pejoang keadilan.

Maksud saya: peran-peran lebih menarik sebagai penubuhan ide-ide daripada sebagai watak-watak yang berkembang. Tapi harus selalu diingat bahwa teater Rendra harus dinilai setelah dipentaskan - sebab dia adalah seorang maestto di situ.

Tapi setidaknya dari naskah saja sudah bisa dinilai bahwa ini merupakan langkah Rendra yang penting, bukan untuk riwayatnya sendiri setelah teater minikata, tapi untuk riwayat teater Indonesia dalam masyarakatnya.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa teater kita akan mendapatkan tempat yang lebih penting dalam kehidupan publik dibandingkan dengan novel, berdasarkan kenyataan kebudayaan Indonesia sendiri.

Apalagi bila dalam teater itu pula publik menemukan dan menjadi lebih peka terhadap dunia mereka yang intim. Untunglah, bahwa Mastodon pada akhirnya tak jadi korban larangan Kepolisian Yogya dan korban alasan “proseduril” dari Rektor UGAMA Prof.

Sukadji ketika hendak dipentaskan di kampus. Untunglah, bahwa Pangkopkamtib sendiri, Jend. Sumitro, dan Kol. Leo Ngali dari Kodam VII, mengijinkan Rendra untuk terus.

Hanya kenyataan bahwa sebuah lakon teater perlu diputuskan nasibnya oleh seorang Panglima dari Pemerintah Pusat, dan seorang pemimpin universitas menunjukkan ketidak-pastian sikap menghadapi perkara itu, pada hemat saya bukanlah kenyataan yang sedap.

Saya menyenangi fikiran-fikiran Prof. Sukadji. Mudah-mudahan dalam soal Mastodon orang akan memanfaatkannya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito