Selasa, 27 Juli 2010

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA (II)

Catatan Kecil untuk Gagasan Besar
Maman S.Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk indeks)

Kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Inilah pertanyaan yang diajukan Ajip Rosidi yang kemudian dijadikan judul bukunya. Sesungguhnya, pertanyaan Ajip Rosidi itu tidaklah datang secara serta-merta. Ada persoalan yang melatarbelakanginya dan persoalan itu berkutat di seputar batas awal munculnya karya-karya sastra Indonesia yang memperlihatkan ciri-ciri kemodernan. Umar Junus, mengatakan bahwa sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928. Alasannya, bahwa “sastra ada sesudah bahasa ada” maka kehadiran sastra Indonesia ditandai dengan kelahiran bahasa Indonesia, yaitu ketika Kongres Pemuda kedua yang menghasilkan kesepakatan untuk mengakui “bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” yang lalu lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Sementara itu, A. Teeuw, menempatkan kelahiran sastra Indonesia sekitar tahun 1920. Alasannya, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat masyarakat setempat yang tradisional dan mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan…. Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia.” Lantaran adanya perbedaan itulah, boleh jadi, maka Ajip Rosidi menyodorkan gagasan lain yang berbeda dengan Umar Junus dan Teeuw. Lalu, bagaimana dengan gagasan Ajip Rosidi sendiri? Menurutnya, masalah kesadaran kebangsaan yang seharusnya dijadikan patokan. Dengan patokan ini maka lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah awal tahun 1920-an. Alasannya, pada tahun-tahun itulah para pemuda Indonesia, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, dan Sanusi Pane, mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra. Demikian juga, kumpulan sajak Muhammad Yamin, berjudul Tanah Air terbit pula pada tahun 1922.

Semua pendapat itu, belakangan ini, digugat kembali. Apa yang dilontarkan Umar Junus, Teeuw, dan Ajip Rosidi, sesungguhnya menafikan keberadaan sastra yang muncul di media massa atau yang belum tercetak dalam bentuk buku. Akibatnya, sastra yang secara sosiologis hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sebagaimana yang dapat kita cermati dari karya-karya yang dimuat di berbagai media massa yang terbit akhir abad XIX dan awal abad XX, luput dari catatan sejarah. Bahkan, lebih dari itu, sejumlah nama yang secara signifikan memberi kontribusi bagi pertumbuhan kesusastraan Indonesia, ikut pula ditenggelamkan. Kondisi inilah yang secara tragis menimpa kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh para sastrawan peranakan Tionghoa dan sastrawan “kiri” yang karya-karyanya diterbitkan penerbit swasta. Karya-karya mereka secara sepihak dikategorikan sebagai karya-karya sastra Melayu rendah atau yang oleh pihak pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai “bacaan liar”.

Lalu, apa pula kaitannya masalah tersebut di atas di dalam konteks buku yang disusun Kratz ini? Justru dalam hal itulah, masalah yang segera muncul ketika kita mencermati buku ini adalah penempatan artikel pertama. Meskipun Kratz beralasan bahwa esai yang dipilihnya “bukanlah karya-karya yang melibatkan diri, misalnya, dalam diskusi tentang tanggal lahir sastra Indonesia …” lalu mengapa ia mengawali himpunan artikel dalam buku ini dengan “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda dan bukan hasil kongres Budi Utomo atau artikel lain yang pernah muncul dalam media massa awal abad XX? Demikian juga, penjelasan mengenai Sumpah Pemuda yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Jamin, mengindikasikan pilihan Kratz yang terkesan hendak menempatkan bahwa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, penempatan kedua artikel itu di awal, niscaya bukan tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, kita boleh berasumsi bahwa secara tersirat, gagasan Kratz patut dicurigai sejalan dengan gagasan Umar Junus dan belakangan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Padahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan majalah akhir abad XIX dan awal abad XX, sebagaimana yang sudah disinggung tadi, merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah tersebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan, pemikiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkembang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.

Demikianlah, penempatan kedua artikel itu saja sudah mengundang masalah. Jika memang Kratz hendak memilih sejumlah sumber sejarah sastra Indonesia abad XX, maka setidak-tidaknya ia mesti menampilkan artikel lain yang muncul awal abad XX, dan itu tidak susah dicari, karena memang bertebaran dalam surat kabar atau majalah waktu itu.
***

Di luar persoalan itu, secara keseluruhan buku ini, harus diakui, laksana sebuah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah panorama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia dalam rentang waktu hampir satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pemikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya.

Dalam “Kata Pengantar”, E. Ulrich Kratz mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadapan dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Ke-97 tulisan yang dihimpun dalam buku ini, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi (buku, majalah, surat kabar, kertas kerja atau makalah) dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang mengangkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebut artikel-ertikel itu sebagai Sumber Terpilih.

Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz tampak melakukannya secara sangat hati-hati. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting itu, berhasil dibentangkan secara tematis. Ia berusaha menjaga benang merahnya, meski di sana-sini tampak sistematikanya tak begitu lempang.

Lazimnya menghimpun tulisan-tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.

Setelah pemuatan artikel pertama dan kedua yang mengangkat ihwal Sumpah Pemuda, misalnya, Kratz memasukkan tulisan Nur Sutan Iskandar, “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia.” Sebuah artikel yang pernah dimuat dalam Pustaka dan Budaya, No. 8, Th. II, 1960. Jika hendak mengangkat konteks Balai Pustaka, mengapa tulisan K.A.H. Hidding mengenai Balai Pustaka, dilupakan. Jika alasannya karena penulisnya bukan orang Indonesia, tulisan K. St. Pamuntjak (?), Balai Pustaka Sewadjarnja (1948), jauh lebih menggambarkan peran Balai Pustaka dalam penerbitan majalah, buku sastra, termasuk terjemahan, dan terutama dalam melahirkan sastrawan kita.

Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe. Tulisan Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemilihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesasteraan I-IV” atau empat artikel Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baroe I–IV” yang dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan?

Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesusastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan tanah luar, meskipun yang dimaksud dengan tanah luar itu adalah kesusastraan Timur. “Kesoesasteraan Indonesia ini banjak dipengaroehi oleh kesoesasteraan tanah loear, tanah jang hampir dengan kepoelauan Indonesia. Tambahan poela tanah jang mengelilingi kepoelauan Indonesia ini kaja dalam ilmoe sastra.” Begitu pula artikel Alisjahbana, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia juga bersambungan dengan artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Alisjahbana itu disisihkan?

Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Susunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan Prospectus dalam buku yang disusun C. Hooykaas (1947). Jika itu pilihan Kratz, mestinya ada penjelasan serba sedikit mengenai perbedaan antara artikel yang dimuat Poedjangga Baroe dengan Prospectus yang terdapat dalam buku Hooykaas.

Mengherankan, Kratz tidak tegas menjelaskan kriteria pemilihan sejumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan “Pendahuluan” dalam buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43) yang pertanggungjawabannya begitu meyakinkan. Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang bertebaran dengan rentang waktu yang sangat panjang itu. Secara keseluruhan, masalah inilah yang menjadi titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertanggungjawaban merupakan hal penting, meski penyusun punya hak penuh atas pilihannya. Jika Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihimpunnya, termasuk urutan pemuatannya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.

Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kontribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Hamka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusastraan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.

Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboedajaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih mewakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.

Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayangnya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Dalam artikel itu, Chairil menegaskan, antara lain, “Angkatan 1945 harus merapatkan barisannja dan berusaha sekeras2nja untuk menegakkan selfrespect dan melaksanakan selfhelp. Pertjaja pada diri sendiri dan berusaha meneguhkan ikatan-sosial dikalangan bangsa Indonesia.” Jadi, artikel ini sedikitnya memberi penegasan pada sikap Chairil Anwar dalam melihat semangat Angkatan 45. Mengingat Chairil Anwar termasuk salah satu tokoh kunci Angkatan 45, maka amat disayangkan jika sikap dan pandangannya mengenai angkatan 45 yang menjadi tonggak penting dalam perjalanan (kebudayaan dan kesusastraan) bangsa ini, dilewatkan begitu saja.

Meskipun begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Salah satu artikel penting dalam pembicaraan Angkatan 45 adalah tulisan Rosihan Anwar, “Angkatan 1945 buat Martabat Kemanusiaan” yang dimuat Siasat, 2, 1948. Penting lantaran menurut banyak sumber, Rosihan Anwar yang pertama melansir penamaan Angkatan 45. Di sana juga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).

Beberapa artikel lain mengenai Angkatan 45 sampai ke tulisan Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Jika ditarik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan belakangan “Manifes Kebudayaan”.

Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masalah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, jika memang Kratz hendak membuat sumber terpilih sejarah sastra Indonesia abad XX, artikel dari golongan Lekra yang pernah dimuat dalam media-media massa itu sangat penting untuk melihat sikap dan pandangan ideologis sastrawan Lekra yang kemudian menjadi alat ukur mereka untuk mendengungkan gagasan realisme sosialisnya.

Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan buku-buku yang dilakukan pemerintah. Tetapi belakangan, ketika Pramoedya memperoleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Jika kemudian muncul tanggapan pro dan kontra mengenai kepatutan atau ketidakpatutan Pramudya memperoleh hadiah itu, masing-masing mempunyai argumennya sendiri. Secara tersirat, kontroversi itu merupakan pertanda bahwa konflik ideologi yang terjadi tahun 1965-an antara para penanda tangan Manifes Kebudayaan dengan golongan sastrawan Lekra, belumlah berakhir. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu sampai ke persoalan Pram tadi.
***

Beberapa catatan tadi tentu saja tidak mengurangi kontribusi buku ini sebagai sumber penting dalam penelusuran berbagai gagasan yang pernah mewarnai dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, sungguh Sumber Terpilih yang disu-sun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menyemarakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.
—————-

Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Gunung Agung, 1985).

Umar Junus, “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’,” Medan Ilmu Pengetahuan, Juli 1960; 245–260.

A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1. (Ende: Nusa Indah, 1980), hlm. 15–18.

Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta:Gunung Agung, 1985; hlm. 6

Periksa Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa, (Jakarta: Gunung Agung, 1962); Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985); Leo Suryadinata (Peny.), Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 1996); Marcus A.S. dan Pax Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000). Nama-nama Semaun, Mas Marco, atau Tirto Adhi Soerjo, juga tenggelam dalam catatan sejarah sastra Indonesia.

Periksa sejumlah artikel dalam Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (terbit di Surabaya, edisi pertama, 12 Januari 1856); Bientang Timoor (terbit pertama kali di Surabaya, 4 Januari 1865; 3 Januari 1866 ejaan nama majalah itu diganti menjadi Bintang Timor); Pembrita-Bahroe (1881–1896); Harian Tjahaja Moelia (1883–1884), serta sejumlah surat kabar lain yang terbit akhir abad XIX; Lihat juga Suripan Sadi Hutomo, Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856–1994, (Surabaya: Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadi Hutomo, 1995), hlm. 10–28.

Dalam konteks urutan pemuatan berbagai tulisan itu, kesan yang segera muncul adalah bahwa artikel-artikel itu disusun secara kronologis. Secara garis besar, sesuai dengan judul buku ini, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, urutannya adalah sebagai berikut: Tahun 20-an, Zaman Pujangga Baru, Zaman Jepang, Angkatan 45, Tahun 1950-an, Angkatan 66, Tahun 1970-an, dan Tahun 1980-an. Dalam kenyataannya, ada sejumlah artikel yang disusun secara tidak kronologis, sebagaimana yang akan kita lihat dalam pembicaraan berikutnya.

Tulisan-tulisan lain mengenai Balai Pustaka, periksa B.Th. Brondgeest, G.W.J. Drewes, T.J. Lekkerkerker, Bureau voor de Volkslectuur. The Bureau of Popular Literature of Netherlands India. What it is, and What it does. Batavia: Balai Pustaka, 1930 (?); “Apakah Balai Pustaka?: Kitab Peringatan Timbang Terima Pimpinan Balai Pustaka 12 Maart 1927”; “Apakah Balai Poestaka” (Pengantar bagi lid-lid Congres Bestuur Boemipoetera jang ke III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka (1930).

Tulisan Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” dimuat secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 1 (Juli), 2 (Agustus), 3 (September), 4 (Oktober), Th. I, 1933.

Dimuat bersambung secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 12 (Juni) Th. I, 1933, No. 13 (Juli), 14 (Agustus), 15 (September), Th. II, 1934.

Dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 14 (Agustus), No. 15 (September), 17 (November), 18 (Desember), Th. II, 1934.

Ada kesan Kratz hendak mengurutkan pemuatan esai atau artikel dalam buku ini secara tematik kronologis, dimulai dengan “Sumpah Pemuda” dan diakhir dengan artikel Putu Wijaya (1997) “Pram” yang mengangkat seputar kontroversi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Tetapi ternyata urutannya tidaklah seperti itu. Dalam hal ini Kratz tidak konsisten. Periksa misalnya artikel 7 (“Persatuan Indonesia” karya Sanusi Pane) dan 8 (“Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” karya Sutan Takdir Alisjahbana). Tulisan Sanusi Pane justru dalam konteks memberi tanggapan atas tulisan Alisjahbana. Jadi, mestinya tulisan Sanusi Pane diurutkan setelah tulisan Alisjahbana, bukan malah sebaliknya. Kasus serupa terjadi juga pada pemuatan artikel 89 (“Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” karya Korrie Layun Rampan) dan artikel 90 (“Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia” karya Abdul Hadi WM). Atas dasar apa artikel Korrie ditempatkan lebih awal dari artikel Abdul Hadi? Tak ada penjelasannya mengenai itu.

H.B. Jassin, “Kesusasteraan dimasa Djepang,” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 74–85. Artikel ini bertarikh 31 Juli 1946. Jadi, sangat mungkin artikel ini ditulis Jassin pada tanggal itu, mengingat artikel yang sama dengan penambahan mengenai Chairil Anwar dijadikan sebagai “Pendahuluan” buku Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang, (Djakarta: Balai Pustaka, 1948: Cet. II, 1954), hlm. 1–27. Dengan demikian, untuk memberi “potret” kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang, artikel Jassin itu mestinya menjadi bahan pertimbangan betul.

Chairil Anwar, ”Angkatan 45,” Siasat, Gelanggang, 6 November 1949. Jika benar artikel ini tulisan Chairil Anwar, maka inilah karya terakhir Chairil Anwar dan pemuatannya justru setelah tujuh bulan Chairil meninggal, 28 April 1949.

H.B. Jassin, “Angkatan 45” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189. Tulisan Jassin ini mula-mula dimuat dalam majalah Zenith, 3, 15 Maret 1951. Para pengamat umumnya mengutip artikel Jassin yang dimuat dalam buku yang terbit tahun 1954. Mereka yang mengutip artikel Jassin itu, antara lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, Ende: Nusa Indah, 1980; hlm. 169), Keith Foulcher, Angkatan 45: Sastra Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1994). Tulisan ini dengan perubahan di sana-sini, termasuk judulnya menjadi “Angkatan ‘45 dan Warisannya: Seniman Indonesia sebagai Warga Masya-rakat Dunia” kemudian dimuat dalam Asrul Sani 70 Tahun (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), hlm. 85–114. Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 20. Semua sumber itu menyebutkan bahwa penamaan Angkatan yang mula dilansir Rosihan Anwar itu dimuat dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949. Sementara Ajip Rosidi menyebutkan bahwa penamaan yang dilakukan Rosihan Anwar pertama kali pada tahun 1948. Dengan adanya artikel Rosihan Anwar itu, maka sangat mungkin justru dalam artikel inilah penyebutan Angkatan 45 dilakukan Rosihan Anwar, yaitu yang dimuat majalah Siasat, 2, 1948, dan bukan tahun 1949 sebagaimana yang dinyatakan dalam sumber-sumber di atas, termasuk yang dikemukakan H.B. Jassin.

Sejumlah nama yang diusulkan waktu itu, antara lain, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Generasi Gelanggang, dan Angkatan Pembebasan. Yang kemudian diterima adalah penamaan Angkatan 45.

Kratz mengurutkan teks-teks itu sebagai berikut: “Surat Kepercayaan Gelanggang” (artikel ke-27), “Mukadimah Lekra” (artikel ke-49), dan artikel ke-64, 65, dan 66 adalah “Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan”, “Penjelasan Manifes Kebudayaan” dan “Manifes Kebudayaan”. Sesungguhnya, publikasi Mukadimah Lekra (Agustus 1950) mendahului publikasi “Surat Kepercayaan Gelanggang” (bertarikh 18 Februari 1950, tetapi baru dipublikasikan dalam Siasat, 22 Oktober 1950. Jadi atas dasar apa Surat Kepercayaan Gelanggang ditempatkan lebih awal daripada Mukadimah Lekra. Kemudian mengenai Manifes Kebudayaan, mengapa pula sejarah dan penjelasannya harus ditempatkan lebih dahulu dari Manifes Kebudayaan itu sendiri? Kratz tidak menjelaskan masalah ini.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito