Minggu, 06 Juni 2010

Teater dan Pesantren

Fahrudin Nasrulloh *)
http://radarmojokerto.co.id/

Apakah itu teater? Untuk apa manusia membutuhkan teater? Kenapa orang-orang berpeluh tenaga dan keringat bermain teater? Apa ada kebajikan yang dibuahkan dari menggeluti teater? Barangkali demikianlah orang pesantren yang awam atau yang merasa punya riwayat dengan pesantren yang kurang mengenal teater akan bertanya-tanya semacam itu. Jawabannya sederhana: di pesantren nyaris tidak dikenalkan bahkan dikembangkan seni teater yang bagi mereka tidak lebih sebagai produk budaya Eropa-Barat yang hingga kini telah menjadi bagian dari seni pertunjukan moderen di Indonesia dan mendapatkan apresiasi yang luas di seluruh belahan dunia.

Berteater adalah menghirup keseharian, memaknai keberadaan diri atas nama kenyataan, dengan secermat mungkin, dengan yang biasa-biasa saja, merasakan aliran darah mengalir di urat-urat nadi. Menghayati tubuh yang bergerak, pikiran yang berkembara, orang-orang yang berpusaran dalam rutinitas keseharian dengan berbagai macam persoalannya. Dengan kesadaran apakah diri manusia telah kehilangan sesuatu yang paling hakiki atas eksistensinya. Tapi kenapa menjadi penting bahwa keberadaan diri harus dicari di dalam teater, bukan di luar teater? Apakah jika manusia merasa kehilangan diri, hingga sedemikian perlunya berikhtiar untuk menemukan diri? Di situlah teater sebagai sebuah seni menghadir. Seni berpikir, seni bergerak, seni menyikapi kesementaraan hidup, seni: apakah kita mencintai hidup atau membencinya, seni bagaimana Tuhan menciptakan semesta hingga manusia berpikir dengan cara yang bagaimanakah Tuhan menciptakan itu semua.

Teater sebagai seni mengandung nilai, pertama sebagai kekuatan efek dalam setiap adegan yang mengundang penafsiran yang berpijak atas pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, menggelarkan pengalaman batin, tentang pikiran tokoh, kepribadian dan sesuatu dorongan kenapa seseorang bertindak dan menentukan keputusan. Ketiga, teater sebagai seni yang kompleks yang melibatkan sejumlah aktor, penulis naskah, sutradara, asisten sutradara, penata pentas atau busana atau cahaya, koreografer, dan pengolah musik. Dari kompleksitas itulah teater menemukan kekuatannya dalam sebuah kerja sama yang solid dan bertanggungjawab demi suatu penciptaan pelakonan yang tunggal.

Pengalaman manusia, dalam konteks lelaku teater, berusaha merekam pola-ragam pengalaman-pengalaman itu yang di dalamnya berbagai persoalan dapat diungkai, dieksplorasi, dan mengurai sebab-akibat suatu peristiwa. Perspektif sejarah, filsafat, dan disiplin keilmuan lain sangatlah menunjang bagi sejauh mana sebuah pementasan teater disajikan. Walau yang dipentaskan oleh teater adalah art experience (pengalaman seni) bukan life experience (pengalaman hidup), karena itu hakikat teater sebagai bentuk seni menghadirkan yang fiksi dan imajinasi.

Maka hal yang serasa samar-samar menggelayut dalam pola berpikir yang filsafati misalnya akan menemukan fungsinya pada semisal sebuah pemanggungan teater Dinasti dari Jogja yang pada 23 Agustus 2008 menyajikan lakon Tikungan Iblis di Taman Budaya Yogyakarta, dengan sutradara Emha Ainun Nadjib. Pengalaman yang demikian bisa ditemukan dalam adegan demi adegan di mana manusia berhadapan dengan manusia yang berpikir kritis seperti iblis.

Kenapa dengan iblis? Dalam Tikungan Iblis itu diilustrasikan kerusakan di bumi juga disebabkan oleh manusia, bukan iblis yang selama ini dijadikan kambing hitam atas segala keterkutukannya. Apa kira-kira yang perlu didengar dari iblis? Apa manusia telah menyerupai perilaku iblis? Tidak sekedar pesan, tapi ada pemikiran yang mengalir di sana, dalam pementasan itu, yang sesaat, lalu penonton pulang, dengan atau tanpa membawa sesuatu apa. Di dalam peristiwa itulah teater berfungsi sebagai ajang “pertemuan” dalam ruang sosial yang disebut panggung, dengan corak pikiran dan apresiasi penonton yang bermacam-macam.

Kini kita bertanya, bagaimana orang-orang pesantren memahami seni, dalam hal ini teater? Seperti apakah pemahaman mereka? Apakah orang-orang pesantren mempunyai pemikiran tentang kesenian atau kebudayaan? Ya, kita akan teringat sebutan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di tahun 60-an di mana tokoh sastra dan film seperti Asrul Sani dan Usmar Ismail menyokong berdirinya lembaga ini di bawah panji-panji kebesaran NU. Namun kini LESBUMI tidak kedengaran lagi. Namun wacana ini tidak menjadi fokus di sini.

Sastra dan “Teater Pesantren”

Teater dan pementasannya adalah menghadirkan suatu peristiwa. Peristiwa yang bisa disuling dari hal yang nyata maupun yang fiksi. Pementasan teater bisa berdasarkan pada naskah drama, novel, cerpen, suatu peristiwa yang dianggap penting, maupun dari sepotong puisi. Dari naskah drama banyak sekali contohnya, semisal dari naskah-naskah Arifin C. Noer, Putu Wijaya, W.S. Rendra, Heru Kesawamurti, dan lain-lain. Dari novel semisal pementasan Ladang Perminus yang digarap oleh grup MainTeater Bandung yang disutradarai oleh Wawan Sofwan yang penggarapannya didasarkan pada novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH.

Mari kita cuplikkan satu contoh pemanggungan teater yang berdasarkan suatu peristiwa berikut ini:

Nuremberg, Jerman, Mei, tahun 1928, di suatu sore. Seorang lelaki dengan langkah terhuyung-huyung, jatuh dan bangun lagi. Seperti seorang bayi ia merangkak tanpa bisa berkomunikasi. Tak ada yang tahu asal lelaki ini. Satu-satunya petunjuk adalah secarik surat yang dibawanya. Surat tersebut menjelaskan lelaki itu sejak lahir disekap dalam dalam kotak di gudang bawah tanah dan tak pernah melihat matahari terbit.

Berita kemunculan lelaki itu segera membuat geger. Warga Nuremberg menganggap lelaki itu sebagai makhluk liar lalu menggotongnya ke penjara kota. Segeralah diketahui bahwa lelaki itu tidak bisa menggunakan jari-jemarinya, dan tidak bisa membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Ketika disodori kertas dan pensil, ia agak gugup, kemudian dengan susah payah ia menuliskan namanya: “Kaspar Hauser”.

Dokter mengira apa yang dituliskan itu baru dilatihkan oleh seseorang. Dari hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa lelaki itu tidak pernah melihat matahari, tidak pernah melihat orang lain, kecuali orang yang memberinya makan.

Kaspar kemudian disosialisasikan. Ia dijadikan obyek kunjungan dokter, ahli hukum, dan aparat pemerintah dari seluruh Eropa. Teka-teki tentang dirinya belum banyak terpecahkan, dan pada 1933 secara tragis Kaspar ditikam oleh seseorang yang tak dikenal. Penduduk Nuremberg menulis epitafnya: Di sini dikuburkan seorang misterius yang terbunuh secara misterius. (D&R, 1998: 34-35)

Nukilan peristiwa tersebut kemudian oleh novelis Peter Handke dari Austria digarap dalam bentuk sebuah pentas teater berjudul Kaspar. Namun ia garap dengan perspektif lain meski masih menguat karakter si Kasparnya. Peter menyajikan bagaimana kerja para teknokrat, birokrat dan ilmuan dalam membuat keberadaban manusia yang belum dianggap beradab. Naskah eksperimental ini dipanggungkan pada 1967 dan 1968 di Jerman. Kemudian di Indonesia, naskah Kaspar pernah dipentaskan Teater Payung Hitam Bandung pada 1994-2003.

Bagaimanakah dengan naskah-naskah yang bermuatan dengan nilai-nilai keislaman atau kepesantrenan? Naskah Iblis karya Muhammad Diponegoro bisa dijadikan contoh. Atau Tikungan Iblis di atas. Atau yang berdasarkan puisi-puisi Emha Ainun Nadjib yang selanjutnya menghasilkan pementasan Lautan Jilbab. Ataupun cerpennya “Ambang”, dalam kumpulan cerpen Yang Terhormat Nama Saya (Sipress, Yogyakarta: 1992), yang menyoal hubungan eksistensial antara si hamba dan Tuhan. Terkait dengan tematik “iblis”, inspirasi bisa saja muncul untuk menjadikannya sebagai naskah teater. Sebagaimana peristiwa Kaspar Hauser, psikologi sufi yang akrab dengan dunia pesantren bisa saja menjadi pertarungan wacana yang memikat untuk dipentaskan. Seperti cuplikan peristiwa atas sosok sufi Al-Junayd ini dalam pertarungan batiniahnya dengan iblis:

Telah diceritakan bahwa Junayd berkata, “Pada suatu ketika aku sangat ingin bertemu dengan Iblis. Pada suatu hari, aku sedang berdiri di pintu mesjid tatkala seorang tua berjalan ke arahku dari kejauhan. Ketika aku bisa memandangnya dengan jelas, rasa takut tiba-tiba mencekam diriku. Saat dia datang mendekatiku, aku berkata, ‘Siapa engkau wahai orangtua? Mataku tak dapat melihatmu dengan jelas karena rasa tercekam, dan hatiku pun tak dapat memikirkan engkau.’ Dia menjawab, ‘Aku adalah sesuatu yang kau inginkan.’ Aku menyahut, “Wahai Iblis, makhluk terkutuk, apa yang menjadikan engkau bersujud kepada Adam?’ Dia menjawab, ‘Wahai Junayd, apa yang memberimu gagasan bahwa aku akan bersujud kepada yang lain selain pada Allah?’ Junayd merasa terpesona dengan kata-katanya. Lalu muncullah bisikan yang mengiang di telinganya agar menimpali si Iblis dengan kalimat: Engkau berdusta! Jika engkau benar-benar seorang hamba, engkau tentu tak akan pernah melangkahi perintah dan larangan Allah. Iblis mendengar bisikan itu dari hati Junayd lalu sontak berteriak, ‘Engkau telah membuatku terbakar, karena Allah!’ Dan Iblis pun menghilang.”

Pegiat teater yang baik adalah juga pembaca yang baik, lebih-lebih dalam pengayaan membaca buku-buku sastra. Sejumlah cerpen Danarto merefleksikan dunia Islam-kejawen yang mistis, magis, sublim, absurd, dan multi-tafsir telah mengantarkan sosoknya sebagai “penulis sufi” dalam khazanah sastra Indonesia yang cukup diperhitungkan. Banyak hal yang dapat dijadikan inspirasi pengeksplorasian lewat cerpen-cerpen Danarto semisal dalam kumpulan cerpennya Adam Ma’rifat (Balai Pustaka, Jakarta: 1992), Godlob, ataupun Berhala (Pustaka Firdaus, Jakarta: 1996). Pemikiran wahdatul wujud tercermin dalam karya-karyanya. Meski demikian, atmosfir cerita-ceritanya, menurut Umar Kayam, masih tetap dalam rangka bagaimana manusia yang bertuhan memahami sekaligus memuliakan misteri keesaan Sang Pencipta.

Cerpen A.A. Navis Robohnya Surau Kami pernah disebut Gus Dur sebagai representasi sastra kepesantrenan yang menggelontorkan pertarungan batin si kakek dengan tokoh Ajo Sidi tentang hakikat ibadah, sorga, pengabdian tampa pamrih, dan pilihan tokoh si kakek yang putus asa lalu bunuh diri, dan kondisi surau yang perlahan-lahan mau roboh sebab tiada yang merawat setelah peristiwa matinya si kakek.

K.H. Mustofa Bisri dengan cerpen-cerpennya menyorongkan inspirasi yang menarik sebagai bahan pementasan. Kita bisa mencermatinya dalam kumpulan cerpen nya Lukisan Kaligrafi (Kompas, Jakarta: 2003). Cerpen “Gus Jakfar”, “Mubaligh Kondang”, “Ngelmu Sigar Raga” atau “Amplop-amplop Abu-abu” misalnya benar-benar menyuguhkan ilustrasi bagaimana potret riil dan ruang lingkup interaksi sosial di pesantren terhadir begitu mendalam yang tercermin pada tokoh-tokohnya, peristiwanya, suasana yang dibangun Gus Mus. “Gus Jakfar” pertama kali dimuat Kompas pada 23 Juni 2002 yang sontak mendapatkan apresiasi yang luas dari banyak sastrawan, terutama bagi kiai-kiai sejawat Gus Mus. Sejak itu, sastra pesantren mendulang harapan dari pelbagai pihak. Meski kini ia sudah lama absen menulis cerpen.

Novel Khotbah di Atas Bukit (Bentang, Jakarta: 2008) karya Kuntowijoyo menggulirkan sosok Barman tua bersama Popi istrinya yang menyingkir dan mengembara dari keramaian kota menuju sebuah bukit yang sepi untuk menemukan kedamaian hidup. Meski dalam rangka berlibur, mereka banyak menemukan dunia spiritual yang unik. Dan Kuntowijoyo mengisahkannya dengan penuh kelembutan penuh makna, dramatik dalam imajinasi, tanpa berkoar-koar mendesakkan pesan yang artifisial.

Beragam khasanah sastra di atas sekedar gambaran kecil di mana pegiat teater bisa menimba inspirasi untuk pementasan. Tentu masih banyak hal yang dapat digali dari dunia pesantren. Tidak hanya untuk berteater, dunia film juga telah mengangkat sisi-sisi dilematis di wilayah pesantren. Sebut saja film Perempuan Berkalung Sorban yang digarap Hanung Bramantyo dari novel dan dengan judul yang sama karya Abidah El-Khalieqy. Film 3 Doa 3 Cinta yang dibintangi Nicolas Saputra dan Dian Sastrowardoyo yang dibesut Nurman Hakim begitu apik sehingga film ini mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik dalam Jakarta International Film Festival (JiFFest) tahun 2009.

Tak terbantah lagi, pesantren memiliki dimensi sosio-kultural yang unik sekaligus problematik jika ditautkan pada landasan etik-moral Syari’ah-fiqhiyyah maupun aqidah-ubudiyah yang memungkinkan hadirnya “setapak jalan” untuk menjalin nilai-nilai ekspresif seni dan budaya, dalam hal ini teater. Mampukah nilai-nilai tersebut oleh pegiat teater di pesantren dapat ditumbuh-suburkan dan dikembangkan tanpa menggedor subtansi keimanan dan prinsip-prinsip etika Islam dan kepesantrenan?

Walakhir, jika Tuhan dan apa yang diciptakannya adalah dunia yang acak, misterius, dan bak buku terbuka bagi siapa saja, maka tercetusnya seni dan pemikiran manusia tak lain atas sebab-Nya. Lantaran itu, segalanya bakal benderang untuk menuju cahaya-Nya.

Catatan:
Tulisan ini disampaikan pada acara “Orientasi Teater SATU dan Seminar Kekaryaan” yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Bahasa dan Sastra UNIPDU Jombang, pada 24 Desember 2009.

*) Fahrudin Nasrulloh, pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito