Kamis, 24 Juni 2010

Puisi dan Anak-anak Sejarah Zainal Arifin Thoha

Pengantar Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PuJa (PUstaka puJAngga) 2010
Fahrudin Nasrulloh*
http://www.sastra-indonesia.com/

Suatu hari, sekisar pertengahan tahun 2007, saya berjumpa dengan Gus Zainal Arifin Thoha di Pesantren Tebuireng, Jombang. Hari itu diadakan pertemuan alumni. Beberapa teman dan kiai yang saya kenal juga tampak hadir. Salah satunya adalah penyair dari Jeruk Macan, Mojokerto, Kiai Khamim Khohari. Pondok semakin ramai. Dari pintu gerbang terlihat orang-orang hilir-mudik. Kebetulan saja saya menyambangi perpustakaan Wahid Hasyim. Mas Tamrin, penjaga perpus, memberitahu saya bahwa di ruangan tingkat atas barat makam pondok dilangsungkan semacam diskusi di mana salah pembicaranya adalah Gus Zainal. Saya pun menghikmati diskusi itu.

Usai diskusi, kami ngobrol-ngobrol bersama beberapa sejawat. Ia bercerita banyak hal. Tentang perkembangan dunia menulis dan penerbitan di Jogja. Tentang anak-anak asuhnya di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang ia dirikan dan kegiatan apa saja yang bergeliat di sana. Tak luput ia menunjukkan karya terbitannya: Aku Menulis, Maka Aku Ada. Buku ini menarik, setidaknya mampu menggebuk gairah penulis pemula. ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” saya teringat maqolah ini dari Sayidina Ali. Dan itulah kiranya yang dihisap penuh-seluruh oleh Gus Zainal. Lalu kami turun. Saya berjalan keluar menuju gerbang pondok. Tampak dua pemuda krempeng berwajah kusut menggelar jualan buku dengan beralaskan koran. Aroma ketiak gembel Jogja terasa. Lima kardus bertumpuk di sisi kanan-kiri mereka. Puluhan buku-buku itu rata-rata terbitan penerbit Jogja. Ada belasan judul dari penerbitan Gus Zainal. Sosok ini terbilang unik: kiai muda, punya pesantren, sastrawan, bos penerbit, dan tak jarang menjadi rujukan spiritual sejumlah penulis yang merasa rapuh hidupnya.

Sejak beberapa bulan sebelumnya, saya telah mendengar Pondok Mahasiswa Hasyim Asy’ari asuhan Gus Zainal itu. Sempat sekian kali saya mengunjungi kontrakannya bersama Aziz Sukarno. Lalu bertandang ke Mas Joni, dan darinya saya mendengar banyak hal tentang kiprah Gus Zainal dan pesantrennya. Ada Amrin, Alfian, Bernando, yang saat itu sempat saya kenal dan menjumpai tulisan-tulisannya di beberapa media. Mereka tampak getol berkarya dan mendiskusikan ihwal sastra dan pergaulan antar penulis. Semua punya mimpi. Harapan. Gemuruh untuk menggali potendi diri sebaik mungkin. Sangat jarang ada kiai yang juga penyair seperti Gus Zainal menyerahkan sebagian hajat hidupnya demi anak-anak muda yang rata-rata tujuan mereka mondok di sini adalah untuk belajar menulis, selebihnya ada yang berkuliah, bekerja serabutan, ngawulo, dan macam-macam itu kayaknya sebagai ritual kecil semata. Misalnya Alfian, saya mengenalnya hanya beberapa bulan, ketika ia sering dolan dan ngobrol-ngobrol di kontrakan kami, di penerbit Sadasiva (almarhum), di jalan Permadi, Tamsis. Terkadang ia jalan dari Krapyak malam-malam ke Tamsis. Lama-lama saya kasihan juga, saya bilang padanya bawalah pit onthel saya jika mau. Ia gembira mendengarnya. Dan beberapa bulan kemudian saat terjadi gempa Jogja 2006, saya tak lagi tahu kabarnya, juga dengan kawan-kawan lain di Komunitas Kutub hingga detik-detik terakhir kala Gus Zainal berpulang.

Ada hutang rasanya, yang tak bisa dibayar dan tak tergantikan, bagi mereka murid-muridnya, atau siapa pun yang mengenalnya, akan kebaikan Gus Zainal. Meski saya tidak punya ikatan apa-apa. Tapi saya merasakan itu. Berkarya, tak malas membaca, telaten ngaji dari yang dhahir sampai yang bathin, menyerap ajaran tasawuf dari beberapa guru yang didatangkan, mengongkosi kebutuhan sehari-hari dari menulis, dan Gus Zainal hanya menyediakan pondokan tanpa pungutan, bahkan rumah yang ditempati bersama keluarganya pun masih mengontrak saat itu: dan bagi saya, hal demikian merupakan ”amal kebudayaan” yang akan mendapatkan balasan tersendiri dari Allah dan kelak murid-muridnya diharapkan mampu menjadi penulis-penulis yang berbakat. Barangkali bagi Gus Zainal, ”Pesantren tanpa menghasilkan penulis: ibarat sarang ilmu tanpa laku, sejarah tanpa jejak, atau rumah kosong yang hendak roboh.”

Saya hanya berusaha menilasi jejak ingatan saya itu, dan betapa lamat-lamatnya rekaman itu, saya menyambut antusias rampai puisi Mazhab Kutub yang memuat 14 penyair jebolan dari anak-anak sejarah Gus Zainal ini. Mereka adalah: Matroni El-Moezany, Ahmad Muchlish Amrin, Jufri Zaituna, Mahwi Air Tawar, Ahmad Maltuf Syamsury, Alfian Harfi, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal, Selendang Sulaiman, Ala Roa, Muhammad Alif Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J.Sudjibto, dan Salman Rusydie Anwar. Terkait judul antologi, saya agak terusik tanya, kenapa kumpulan ini dinamai kumpulam puisi Mazhab Kutub? Barangkali ”kandang menulis” milik Gus Zainal ini diniatkan sebagai kawah yang munclak-munclak bagi penulis-penulis muda yang gagal, seperti sitiran pada puisi ”Percakapan” karya Salman. Mungkin juga tidak. Tapi bukankah juga pemberontakan yang bertubi-tubi gagal atas diri kepenyairan dan ke-nggletekan sehari-hari merupakan proses panjang yang tak bertuan. Apa itu ”kegagahan dalam kemiskinan” seperti yang diomongkan Rendra? Sekedar untuk membela para penyair yang kebanyakan hidupnya menggelandang? Mungkin tidak ada muluk-muluk yang tersembunyi di dalamnya, pun cita-cita di sana. Cita-cita hanya milik orang-orang malas dan penurut, dan pembangkangan atas apa pun dalam proses kreatif serta ketumpulan-ketumpulan di dalamnya adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan sebagai kegelisahan berkarya yang jika itu mati, matilah jati dirinya. Ini negeri, yang juga disesaki penyair-penyair bak di panggung ludruk raksasa, penuh dagelan, sok serius, kebanci-bancian, besar kepala, hipokrit, naif, dan penuh adegan perang main-mainan. Tapi di benak masing-masing juga terselip segala ketawa juga gosip dan gerundelan yang menguar dengan sendirinya atas nama puisi yang cuma tak lebih dongeng keabadian atau pelarian atau pencarian yang adalah omong kosong tapi tak kapok terus dimaknai.

Teman-teman Kutub boleh bikin anekdot sendiri dari merek yang bisa menjengkelkan maupun mengerdilkan. Boleh yang serius boleh yang asal-asalan. Tapi puisi mungkin hanyalah dongeng, dan mereka ini telah membuka pintu ”dunia dongeng” itu dengan tolabul ilmi di ”sekolah rakyat”-nya Gus Zainal. Sekolah rakyat dari pletikan kemanusiaan Gus Zainal yang bagi Emha sekolah rakyat yang demikian itu fungsinya, “ikut berproses, diproses dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ‘kekaburan’nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.” (“Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank”, dalam majalah Tempo, 28 Agustus 1982).

Saya kadang berpikir, membikin puisi itu mudah, dengan bekal gairah yang direjang di air yang dididihkan, dengan katakanlah enteng-entengan membaca 50 kumpulan puisi penyair kesohor, dan bla-bla-bla, atau lantaran ditusuk cinta yang tak ketahuan juntrungnya: jadilah puisi, untuk selanjutnya si puisi akan menentukan nasibnya sendiri. Memang lebih kompleks membuat cerpen, esai, atau novel, yang membutuhkan pola berpikir terstruktur, sistemik dalam arti kedisiplinan tertentu yang dilatih secara intensif, perlu strategi teks, pembacaan ”dekat” dan pembacaan ”jauh”, intertekstualitas, dan tuntutan gagasan-gagasan baru agar si karya tidak terjebak pada kopi-paste, pengulangan-pengulangan, dan plagiat. Semua penulis bertarung dan dituntut jeli dalam memilah dan membikin analisis macam itu.

Penyair menghidupi puisi demi puisi itu sendiri. Dan penyair tak perlu menganggap penting apakah dirinya dihidupi atau tersungkur sebab puisi. Di sanalah penyair senantiasa diguyah tanya apalah yang berharga dari menulis puisi dan menulis puisi. Seperti tanpa sadar, segala yang disetiai di dalamnya menjelma ikhtiar meringkus diri untuk tujuan yang semua penyair harapkan demi menggodok proses kreatif itu hingga ke puncak. Bertahan, untuk seorang diri, untuk memilih jalan puisinya sendiri di balik sejarah panjang kesusastraan Indonesia. Seperti lukisan puisi berikut:

jalan-jalan setapak
menjadi jejak dan peta untuk keberangkatan seterusnya
aku kerap tersesat di sini, di pundak puisiku sendiri
(puisi “Malam Ketakutanku”, Bernando J.Sudjibto)

Penggalan puisi Bernando ini menyiratkan jalan panjang itu yang seolah diombang-ambingkan petualangan dalam meyakini puisi sebagai pilihan hidup. Barangkali di negeri inilah yang paling banyak melahirkan penulis puisi. Timbunan angka yang luar biasa kiranya dan itu menjadi pertanyaan besar bagi kita. Apakah mereka begitu menganggap penting memperjuangkan puisi di masa yang tidak berkepastian ini? Sungguh sebuah pilihan yang tak diminati banyak orang. Dan kini semua penyair, jika ingin dianggap dan dikenal, mau tak mau harus bertarung di media massa. Atau menerbitkan karyanya sendiri dengan berkorban menjual sapi atau apalah caranya. Demokratisasi sastra, misalnya wacana sastra koran, telah menjadi bagian sejarah kesusastraan kita yang tidak bisa lagi ditampik keberadaannya. Arus mengalir di sana. Anda bagaimana? Anda siapa dan berada di mana?

Maka, sejenak, lupakan yang tidak jelas, dan sekarang patutlah kita menyambut baik terbitnya kumpulan puisi Mazhab Kutub ini. Gaya puisi yang termuat di dalamnya memiliki daya ungkap masing-masing. Rata-rata bernuansa liris, sebagian deskriptif, dan ada pula yang kontemplatif dan romantis. Ada yang mengolah lokalitas, namun masih dalam upaya pencarian untuk menemukan kekuatan karakter kelokalitasannya. Bagi saya, individualitas dalam berkarya juga penting. Agar terhindar dari keseragaman tematik maupun pilihan estetik. Dan sebagai upaya rekam-jejak, beberapa puisi di kumpulan ini menyiratkan lanskap orang-orang Kutub, sebagai contoh pada beberapa penggalan puisi Muhammad Ali Faqih:

Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub

mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua

mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian

jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing

hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan

Judul kumpulan puisi Mazhab Kutub ini tampak “keren” dan “wah” seperti ingin menggeber mencuatkan diri dalam percaturan perpuisian tanah air masa depan. Menyorong mazhab sendiri, gerombolan sendiri. Seakan-akan menyimpan semboyan dari pepatah suku Indian: “Berharaplah musuhmu bertambah kuat!” Lalu dengan siapa mereka mau berlawan bertanding mengacungkan parang dan senapan? Ah, lelucon apalagi ini. Mungkin saya salah-kaprah menyorotnya. Siapa nyana lelucon bisa menusuk mendobrak apa saja, bahwa kaum muda penyair masa kini sudah saatnnya membikin sejarah sendiri dan tidak terlimbur mengelap-elap kebesaran karya-karya masa lalu namun tetap menyelami renik-intinya. Mereka ini bisa saja memiliki “daya-dinaya” (istilah Nurel Javissyarqi) untuk melakukan sebuah “gerakan militan yang progresif” sebagaimana kaum muda-mudi Lekra dan kebaruan dalam berkarya.

Semoga sangkaan konyol saya ini hanyalah cas-cis-cus, bukan impen-impen Gus Zainal.
Salam.
Tabik!

—–
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito