A. Rodhi Murtadho
Perempuankah aku? Sementara aku sendiri berpikir, aku bukan perempuan. Mungkin aku seharusnya dilahirkan sebagai laki-laki. Namun alat kelamin laki-laki yang seharusnya kumiliki tertinggal di rahim ibu saat melahirkanku. Perutku tergores pisau bidan saat persalinan ibu. Membentuk tubuh bagian bawah seperi perempuan. Sehingga aku diberi nama perempuan, dirawat dan dibesarkan layaknya anak perempuan.
Erlinda Putri. Nama perempuan yang seharusnya kumiliki. Namun ketika besar, nama itu berubah menjadi Dada Putra. Tak bisa kusalahkan mereka yang mengganti nama dan menyebutnya demikian. Memang dada yang seharusnya tumbuh, jika aku perempuan, tak juga tumbuh. Hanya rambut panjang yang menggambarkan aku perempuan. Memang aneh, tubuh yang kumiliki rata. Tak seperti perempuan seusiaku. Hampir dua puluh tahun umurku. Dada dan pantat seharusnya tumbuh menonjol dan memperlihatkan aku perempuan, tak juga tampak. Seperti laki-laki badanku tumbuh.
“Mau ke mana Dada Putra?” tanya Gugun, teman kuliah satu jurusan tetapi berbeda kelas.
“Mau ke kampus,” jawabku lirih.
Pada hari selasa, tak pernah kulewatkan sapaan Gugun sejak dua tahun silam setiap kali aku berangkat ke kampus. Sapaan dengan pertanyaan yang sama. Seperti dipersiapkan. Di depan kosnya yang berada di depan kampus, duduk sendiri menghadap jalan. Kadang ada temannya yang menemani. Namun lebih sering terlihat sendiri.
Rumah yang agak jauh membuatku harus naik angkutan kota untuk sampai di kampus. Angkutan yang tak bisa mengantar sampai ke dalam lingkungan kampus membuatku harus berjalan. Sekitar seratus meter. Melewati banyak warung dan rumah-rumah. Termasuk kos Gugun. Itu sebabnya Gugun seperti selalu memiliki kesempatan untuk menyapaku.
Kadang lawakan dari teman-temannya mencibir tubuhku. Namun terdengar secepat kilat Gugun menghentikan mereka. Terlihat pelan-pelan mereka. Saling tertawa. Gugun hanya melayangkan sapaan dan senyum seramah-ramahnya.
Bentuk tubuh yang aneh membuat aku minder di hadapan teman-teman. Perempuan sebagai status dan dandanan. Namun laki-laki yang menyelimuti tubuh dan jiwa. Aku semakin aneh dengan namaku. Dada Putra. Seolah aku berubah menjadi laki-laki. Rambut makin hari makin menyusut pendek. Tumbuh kumis di atas bibir. Aku semakin bertingkah menjadi laki-laki. Itu sebabnya teman-teman perempuan enggan mengajakku pergi bersama ke kamar mandi. Kalaupun bertemu di kamar mandi, mereka langsung mengingsutkan badan menghindar dariku.
Semakin berpikir kalau aku ini laki-laki. Aku harus mencari kelaminku yang tertinggal di rahim ibu. Tapi entah bagaimana caranya. Aku jarang sekali bertemu ibu. Aku berangkat kuliah, ibu baru pulang. Kerja katanya. Dan ketika sore hari sepulang dari kampus, ibu pergi. Kerja katanya. Kapan aku bisa merogoh rahim ibu untuk mencari alat kelaminku.
Semakin bingung aku dengan keadaan yang terus berubah. Kadang kulihat tubuh di cermin, sangat mirip laki-laki. Hanya saja tak ada alat kelamin laki-laki sebagai kesempurnaannya.
“Hai, ngelamun ya?” sontak suara Gugun mengagetkanku.
“Nggak…nggak!” spontan aku menimpali.
Kami mengobrol. Tak jelas arahnya. Mendiskusikan masalah yang kadang sudah kami bahas. Seperti memiliki banyak waktu untuk bertukar pikiran. Menumpahkan masalah walaupun kami sesibuk apapun. Tugas kuliah, jadwal kuliah, hobi, keluarga, rencana masa depan, atau hal-hal yang pribadi. Namun obrolan menjelang sore menjadi obrolan yang sangat baru dan mengejutkan.
“Aku suka dan sayang kamu, Da.”
Spontan aku kaget setengah mati. Layaknya badai sunami dicampur gempa tanpa penerangan dari matahari karena terjadi gerhana matahari total. Longsor seketika mental yang aku punya. Banjir tubuh dengan keringat yang mengucur perlahan. Panas dan terbakar wajah. Memerah. Jantung semakin berpacu cepat.
“Kau menghina aku ya, Gun.”
“Bukan. Memang sejak lama aku menyimpan rasa ini dan menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya padamu.”
Semakin besar badai yang datang. Semakin besar kekuatan gempa. Semakin gelap suasana. Semakin panas wajah. Semakin basah baju oleh keringat. Mati rasa tubuh. Nafas pun sudah tak terasa alirannya. Hanya otak yang berpikir keheranan dan syaraf mata yang harus berkedip.
“Aku tak tahu, Gun. Rasanya tak pantas. Kau laki-laki. Sementara keperempuananku hanya status. Orang-orang memanggilku Dada Putra. Pasti mereka menilaiku sebagai laki-laki. Aku juga berpikir kalau aku bukan perempuan. Itu sebabnya aku tak tahu bagaimana aku bersikap dan menjadi perempuan.”
“Kau perempuan bagiku, Linda.”
“Bukan. Aku bukan perempuan. Aku tak tahu bagaimana menjadi perempuan. Mengasihi dan menyayangi layaknya perempuan. Kau tahu sendiri, mengapa orang-orang mengganti dan memanggil namaku dengan Dada Putra. Karena aku memang bukan perempuan.”
Gugun. Tertunduk tersipu. Terdiam dengan raut muka yang menegang. Tak ada sunggingan senyum di wajahnya seperti biasa yang kulihat. Tampak berpikir dan lesu. Aku pun ikut terdiam. Hening suasana. Mengubah keriangan obrolan.
“Linda kau memang perempuan. Rambutmu panjang. Wajahmu mulus dan cantik. Suaramu nyaring menandakan perempuan. Ssetiap kali kulihat kau ke kamar mandi, kau pergi ke kamar mandi perempuan. Mengapa mesti kau ingkari kalau kau perempuan?”
“Itu hanya status, Gun. Perempuan. Hanya menjalankan statusku yang tertulis di akta kelahiranku. Sudah kubilang, aku tak layak menjadi perempuan. Kumisku akan tumbuh. Rambutku sebentar lagi akan pendek. Sementara dadaku tak seperti perempuan kebanyakan. Aku sama seperti kamu.”
“Persetan dengan statusmu yang kau ragukan. Persetan dengan ucapanmu bahwa kau bukan perempuan. Namun, kau tetap perempuan bagiku. Kau layak sebagai perempuan. Penerus Kartini, sebagai perempuan.”
Aku tak tahu yang dipikirkan Gugun. Mungkin semua laki-laki yang sedang kasmaran akan bersikap demikian. Selalu menerima kekurangan orang yang disukainya.
“Benar, Gun. Mungkin yang dimaksud Kartini dengan perempuan sejajar dengan laki-laki itu aku. Perempuan yang tak lagi menjadi perempuan. Aku tumbuh menjadi laki-laki.”
Hari semakin sore. Kami mengakhiri pembicaraan. Aku pulang ke rumah. Begitu juga dengan Gugun. Mungkin pulang ke kos. Aku tak tahu. Gugun mengambil jalan yang tak searah denganku untuk keluar kampus. Tak lagi berjalan bersama seperti biasa. Mengobrol sampai di depan kosnya.
Selama perjalanan, aku selalu terpikir ibu. Andai ibu memiliki waktu untukku, tentu akan kuceritakan kejadian tadi. Namun bagaimana mungkin. Ibu selalu bekerja setiba aku di rumah. Tak pernah aku tanyakan pekerjaanya. Hanya senyum yang tertinggal ketika ibu akan berangkat bekerja. Lesu dan marah ketika pulang. Namun ketika melihatku, ibu berusaha tersenyum. Seperti ada yang terpendam dalam pikiran ibu.
Aku hanya tahu maksud ibu bekerja. Menghidupi dan menyekolahkanku. Tak pernah tahu yang dipikirkan ibu ketika termenung duduk sendiri. Air mata berlinang. Isak tangis yang tertahan. Sering ibu memandang fotoku dan almarhum bapak. Seperti ada yang mau diucapkan tapi tetap tertahan. Ketika aku datang menghampiri, cepat-cepat diseka air matanya. Isak tangis cepat diubahnya menjadi senyum. Belain tangan mulus menyayang. Kadang kecupannya di keningku mampir begitu saja. Cepat-cepat pula ibu berpamit untuk pergi bekerja.
Aku tiba di rumah. Tak seperti biasanya pula terlihat. Ketika memasuki rumah, biasanya kulihat ibu berkemas dan berpamitan. Aneh. Tak kujumpai ibu di persimpanngan pintu rumah. Cemas mulai menghantui. Atau mungkin hanya sekadar cemas yang berlebih karena aku terlambat setengah jam dari biasanya. Kulangkahkah kaki menuju kamar ibu. Kubuka pintu perlahan. Terlihat ibu terbaring di ranjang. Seketika langsung kuhampiri.
“Ibu tidak kerja?” tanyaku membisik.
“Tidak, Ibu capek dan tidak enak badan,” jawab ibu tertatih.
“Badan Ibu panas, ke dokter ya?”
“Tidak usah. Buang-buang uang saja. Mending uangnya kamu pakai untuk biaya kuliah. Nanti juga Ibu sembuh sendiri.”
Tak kusangka perjuangan ibu begitu besar. Tak seperti yang terpikirkan dan terhayalkan. Ibu yang tak punya hati, kejam, tak mau memperhatikan, ternyata salah. Ibu penyayang dan penuh perhatian, penuh pengorbanan. Bahkan, jika pengorbanan itu harus dibayar dengan harus menahan sakit.
Malam bertambah buta. Aku menemani ibu yang terbujur lemas di ranjang. Kutunggui di sampingnya. Mencoba untuk mendekatkan jiwa yang lama terpisah. Pikiran mulai mengarahkan mataku. Menggerakkan tangan. Memfokuskan seluruh tubuh pada rahim ibu. Pikiran yang terus mengatakan kalau alat kelaminku tertinggal di sana dan harus segera kuambil.
“Ibu!” berbisik lirih.
“Ya, Lin. Ada apa?”
“Ibu, aku ini perempuan atau laki-laki?”
“Tentu saja kau perempuan, Lin. Namamu saja Erlinda Putri. Kau adalah putri ibu yang cantik. Aku bangga, Nak. Mestinya kau juga bangga dan bersyukur dengan dirimu.”
“Tapi aku merasa bukan perempuan. Aku tidak punya dada seperti Ibu. Di atas bibirku mulai tumbuh kumis. Banyak orang memanggilku Dada Putra. Pasti aku mestinya terlahir sebagai laki-laki dan alat kelaminku tertinggal di rahim Ibu. Dan pisau bedah milik bidan yang menolong persalinan Ibu menggores perutku.”
Lega rasanya mengungkap uneg-uneg yang lama bersarang di benak. Meski penuh ketakutan karena mungkin bisa saja ibu akan tersinggung. Namun bagaimana lagi aku akan mengungkapkannya. Atau mungkin kapan. Waktu dan kesempatan yang hadir untuk berbagi pikiran tak begitu banyak.
“Mengapa kau berpikir seperti itu, Nak? Kau Linda, putri Ibu. Kau perempuan, Anakku. Yakinlah itu. Dan cobalah untuk bersyukur kepada Tuhan atas dirimu. Cobalah untuk menerima apa adanya segala pemberian Tuhan.”
“Tapi, aku tak yakin, Bu, kalau aku perempuan.”
Sunggingan senyum di paras ibu yang cantik menghibur hati. Meskipun dalam pikiran, aku semakin bingung. Semakin yakin dengan keyakinan bahwa aku lelaki yang kehilangan kelamin saat persalinan. Tak pernah kusalahkan ibu dengan itu semua.
“Aku tak tahu, Bu. Bagaimana mengasihi dan menyayangi orang lain. Seperti Ibu menyayangi dan mengasihi almarhum bapak. Kalau aku perempuan, tentu akan dapat melakukan yang Ibu lakukan kepada Bapak.”
“Kau sedang jatuh hati dengan seseorang ya, Nak?” tanya ibu seraya menyunggingkan senyum lagi di bibirnya. Membuat parasnya makin nampak ayu. Tak heran kalau almarhum bapak sangat menyayangi ibu.
“Ehm tidak, Bu. Mungkin Gugun hanya bergurau. Tak mungkin menyukai diriku yang seperti ini.”
Senyum lebar makin terlihat di wajah ibu. Menampakkan seri wajah indah. Aku kontan merasa malu. Kata-kata yang terlontar, mencuat begitu saja dari bibir. Tak kusangka akan ditanggapi ibu dengan senyum.
“Nak, semua orang bisa mengasihi dan menyayangi. Termasuk kau. Wajar saja kalau Gugun suka dan sayang kepadamu. Sangat wajar jika kau juga jatuh hati dan ingin menyayangi Gugun. Kita memang digariskan untuk saling menyayangi dan mengasihi.”
“Ibu..,” kupeluk ibu dan seperti merengek di pelukannya, “lantas aku harus bagaimana. Aku merasa diriku adalah laki-laki. Sama dengan Gugun. Rasanya tak pantas jika aku…”
“Sudahlah. Gugun menyukaimu karena ada hal dari dirimu yang menarik baginya. Kau cantik. Biarkanlah rasa yang ada itu tumbuh. Sekarang mari kita istirahat. Ibu sudah sangat mengantuk. Kita lanjutkan besok saja. Sepertinya Ibu tidak bekerja lagi besok.”
Sepi tercipta seketika. Aliran nafas pelan dan teratur mengalir terasa. Kamar hangat membuat aliran darah mengalir terasa di pori-pori. Aku tak bisa berhenti berpikir.
Kecamuk semakin menggelora dalam benak. Tekad yang tertanam dan tertunda untuk kubuktikan akan menjadi kenyataan. Jika saja kuungkapkan kalau aku ingin melihat dan mencari sendiri alat kelaminku di rahim ibu. Namun bibir seperti kelu dan dingin. Tak sanggup untuk berucap.
Hari makin larut. Buta dan gelap menggerayangi malam. Mata kami terpejam dengan sendirinya. Tiba-tiba saja mataku terbelalak lebar. Kata maaf lirih terdengar dari mulut untuk ibu. Tangan menggerayang dan merogoh masuk ke dalam rahim ibuku untuk mencari alat kelaminku yang tertinggal. Memang tak salah lagi, alat kelamin laki-laki benar-benar kutemukan di sana. Rasa puas melegakan pikiran. Sekarang aku tahu kalau sebenarnya dan seharusnya aku terlahir sebagai laki-laki. Tetapi, mengapa banyak kutemukan alat kelamin laki-laki di rahim ibu?
Surabaya, 30 November 2004
Selasa, 02 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar