Imamuddin SA
Memang benar jika sebuah karya ditentukan oleh zaman. Siapa yang suntuk dengan karya, dialah yang kelak tercatat dalam buku besar kesusastraan dan melegenda. Dan penyair besar itu tidaklah sebuah proses yang dadakan layaknya undian tabanas. Atau sekadar audisi. Tapi mereka yang benar-benar menyuntuki karyalah yang kelak bakal menemukan nama besarnya. Mereka senantiasa berproses untuk mencapai kekentalan tertentu dalam karya. Membubuhkan puitika dalam ruang kosong yang masih tersedia.
Saya kira mereka juga pasti tidak sekedar iseng menggurat karya. Apalagi hanya merajut kata dalam keindahan akustik. Mereka pasti menggali kedalaman makna dalam simbol-simbol yang tengah disematkan. Mereka sadar betul kalau sebuah karya itu diharapkan mampu memberikan pencerahan bagi tiap pembacanya. Setiap pembaca setelah menikmati karya akan berkesan dan bahkan mampu mengubah sikapnya. Itulah hakekat sastra yang bersifat mendidik.
Sebab-sebab itulah yang pada muaranya akan menjadikan seorang penyair diakui mobilitas karyanya dalam khasanah kesusastraan nasional bahkan internasional. Karyanya mendunia dan dijadikan rujukan elemen masyarakat. Namun bukan sebatas itu, mungkin usaha tersebut sudah cukup untuk mendapat pengakuan secara nasional. Akan tetapi belum tentu mendapat pengakuan di mata dunia. Ada satu usaha yang harus ditempuh seorang penyair. Yaitu penerjemahan ke dalam bahasa internasioal atau bahasa asing (disesuaikan dengan daerah yang bakal dijadikan objek penyebaran karya). Dan karya-karya itu disebarkan pula ke negara-negara lain. Dengan tindakan semacam itu, saya kira sebuah karya akan banyak dikenal dalam khalayak internasional.
Sekarang marilah menengok mobilitas sastra di negeri kita ini, Indonesia, berapa banyak karya-karya penyair besarnya yang tengah diterjemahkan, cukup minim bukan! Barangkali faktor inilah yang menjadi kendala kurang dikenalnya karya pribumi di mancanegara. Karya-karya dari sastrawan Indonesia kurang mendapat perhatian dari masyarakat mancanegara. Jangankan diperhatikan, dikenal saja tidak!
Fenomena yang cukup menarik, seandainya sudah ada bentuk penerjemahan karya ke dalam bahasa internasional, yang patut dipertanyakan masalah mutu penerjemahannya sendiri. Jangan-jangan dengan penerjemahan itu, mutu karya menjadi menurun. Namun sangat beruntung jika terjadi peningkatan mutu karya dengan adanya pen-translit-an tersebut. Ini mampu mengangkat kredebilitas penyair dan negara asal penyair di mata dunia. Jadi, harus benar-benar selektif dalam memilih pe-translit. Jangan asal comot. Yang penting ada orang yang mau me-translit, karya langsung diberikan begitu saja.
Ada satu tindakan yang sangat fantastis dalam dewasa ini. Ini kabar yang cukup menggembirakan. Sebagian kelompok ada yang tengah berkenan menyuarakan kesusastraan Indonesia di kanca internasional. Mereka membuat strategi, bagaimana agar kesusastraan Indonesia eksis di luar negeri. Strategi itu ditempuh melalui pembuatan antologi puisi tiga negara. Indonesia, Portugal, dan Malaysia. Antologi ini diterbitkan PT. Gramedia dengan tebal 424 halaman. Judulnya Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia: Antologi de Poeticas. Dengan 118 puisi di dalamnya. Isinya dikemas dalam bentuk bahasa portugis yang dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia. Dengan demikian, paling tidak kesusastraan (puisi) Indonesia akan dikenal masyarakat Malaysia dan masyarakat Portugal (sebab pe-translit-annya dalam bahasa Portugis). Minimal para penyair kedua negara tersebut.
Antologi ini cukup banyak diisi karya-karya penyair ternama dari ketiga negara tersebut. Dari Portugal misalnya. Ada Dom Dinis, Joao Garcia de Guilhade, Sa de Miranda, Bernardim Ribeiro, Luis Vaz de Camoes, Almeida Gerret, Manuel Maria Barbosa du Bocage, Antero de Quental, Cesario Verde, Camillo Pessanha, Antonio Nobre, Florbela Espanca, Fernando Pessoa, Ricardo Reis, Alberto Caerio, Alvaro de Campos, Mario de Sa-Carneiro, Almada Negreiros, Jose Regio, Miguel Torga, Jorge de Sena, Sophia de Mello Breyner Andresen, Carlos de Oliveira, Eugenio de Andrade, Alexandre O’neill, Sebastiao da Gama, David Mourao-Ferreira, Antonio Ramos Rosa, Raul de Carvalho, Herberto Helder, Luiza Neto Jorge, Ruy Belo, Natalia Correia, Nuno Judice, Joaquim Manuel Magalhaes, Alberto, Manuel Gusmao, Ana Luisa Amaral, Fiama Hasse Pais Brandao, Jose Tolentino Mendonca, dan Jose Luis Peixoto. Dari Indonesia ada Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Muhammad Yamin, Roestam Effendi, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Asrul Sani, Subagio Sastrowardoyo, Ramadhan KH, Toto Sudarto Bachtiar, Toeti Heraty Noerhadi, Taufiq Ismail, Rendra, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Ibrahim Sattah, D. Zawawi Imron, Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Suminto A. Sayuti, Afrizal Malna, Isbedy Stiawan, Fakhrunnas MA Jabbar, Acep Zamzam Noor, Zeffry J. Alkatiri, Joko Pinurbo, Agus R. Sarjono, Soni Farid Maulana, Taufik Ikram Jamil, Dorothea Rosa Herliany, Radhar Panca Dahana, Warih Wisatsana, Gus TF Sakai, D. Kemalawati, Ulfatin C. H, Fika W. Eda, Jamal T. Suryanata, Cecep Syamsul Hari, Jamal D. Rahman, Aslan A. Abidin, Asrizal Nur, Moh. Wan Anwar, Taufik Wijaya, Amien Wangsitalaja, Rieke Diah Pitaloka, Sutardji Calzoum Bahchri, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, dan Fatin Hamama. Dari Malaysia ada A. Samad Said, Usman Awang, Firdaus Abdullah, Kemala, Baha Zein, Muhammad Haji Saleh, Latiff Mohidin, Abdul Ghafar Ibrahim, Siti Zainon, Moechtar Awang, Lim Swee Tin, Kassim Ahmad, Zaen Kasturi, Marsli, Hasyuda Abadi, dan Rahmidin Azhari. Nama-nama penyair yang tengah termaktub dalam antologi ini memiliki kontribusi yang tinggi dalam dunia kesusastraan di negaranya masing-masing. Karya ini memuat penyair yang bereksistensi pada abad tigabelasan Masehi hingga kiprah penyair dewasa ini. Sungguh, hadirnya buku ini benar-benar fantastis bagi masyarakat pecinta sastra dan umumnya bagi elemen masyarakat yang ada.
Melihat dari sosok penyair yang diturutsertakan dalam antologi ini, sudah barang tentu buku ini sangat bermutu tinggi. Kary-karya yang ada pasti mengandung nilai-nilai yang patut untuk diteladani. Ambil saja karya Dom Dinis penyair asal Portugal. Dalam sajak yang berjudul Ai Flores, Ai Flores do Verde Pino (Wahai Bunga, Bunga Pinus Hijau) ada nilai kesetiaan yang begitu tinggi. Si aku dalam sajak ini selalu mencari-cari keberadaan kekasih dan kawannya yang tengah berpisah dengannya. Si aku ingin merajut kebersamaan kembali. Meski ia tengah banyak dihianati dan didustai.
Tahukah engkau kabar kawanku,
ia yang mendustai janjinya padaku!
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia?
Tahukah engkau kabar kekasihku,
ia yang mendustai sumpahnya padaku
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia? (hal: 5, bait 3 dan 4).
Seperti itulah gambaran hidup yang semestinya. Ketika seseorang pernah didustai sesamanya, ia sesegera mungkin menghapus kedongkolan hatinya. Entah itu dilakukan oleh seorang kekasih ataupun seorang kawan. Sebab tak ada seorang pun yang tak luka tatkala penghianatan melingkupi pribadinya. Yang benar, bagaimana usaha dalam menyurutkannya. Akhirnya menghapusnya. Mengharapkan kebersamaan selalu menjadi payung dalam menyisir perjalanan hidup. Menganggap kedustaan tak pernah ada. Itulah cinta dan persahabatan yang sejati. Dan kelak bakal abadi.
Beda lagi dengan Joao Ruize de Castelo Branco. Peraih Nobel tahun 1998 ini dalam sajaknya Cantiga, Partindo-Se (Syair, Pergi Sendiri) memberikan penekanan pada aspek penyelaman diri terhadap orang lain. Ia seolah menyaran akan betapa pentingnya sorot mata dalam melukiskan batiniah seorang manusia. Melalui mata, seseorang mampu menangkap gambaran dan suasana batin seseorang yang berkecamuk. Mata, jendela bagi jiwa. Duka-derita, kesediha-kepiluan, kemarahan-kedengkian, sepi-rindu, kebahagiaan-ketenangan memiliki media khusus sebagai bentuk ekspresinya. Dialah mata. Cukup dengan meneropong pancaran sinarnya, seseorang mampu membongkar gejolak batin sesamanya. Namun ini menuntut kejelian tertentu dari kita agar benar-benar mendapatkan kevalidan ekspresinya.
Mata ini lebih baik mati, // dari pada hidup seratus ribu kali. // Mata sedih ini beranjak penuh kesedihan, // Jauh dari sebuah harapan yang indah, // Anda tak pernah menatap mata // Yang lebih sedih dari siapapun. (Hal: 11, bait 2)
Penyair tampaknya menggunakan majas sinekdoke pars prototo. Ia memakai kata sebagian untuk keseluruhan. Kata mata mewakili keadaan jiwa dan raga seorang penyair secara keseluruhan. Ia saat itu benar-benar dalam keadaan yang kalut dalam sedih. Ia sedih dan rindu sebab terjadi perpisahan dengan kekasihnya.
Setiap penyair memiliki gaya dan ciri khas masing-masing. Itu tidak lepas dari kedekatan psikologi serta kultur sosial masyarakat yang berkembang saat itu. Zaman pulalah yang juga turut berperanserta dalam membentuk karakter karya seorang penyair. Karena ada hubungan sebab akibat antara seorang manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Coba tengok sajak Hamzah Fansuri, Rubayat. Di dalamnya terlukis kental bahwa antara lingkungan sekitar dengan seseorang itu terjadi hubungan sebab-akibat yang kuat. Dalam sajak tersebut menyaran pada keberadaan Hamzah saat ada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Konon dalam legitimasi masyarakat, orang yang pergi haji merupakan orang yang tengah pergi ke rumah Tuhan. Berarti ia pergi untuk menghadap Tuhan.
Orang yang menghadap, diindikasikan pasti terjadi pertemuan. Tapi tidak semua penghadapan diri itu terjadi pertemuan. Adakalanya orang yang menghadap itu harus pulang dengan tangan hampa. Hamzah Fansuri ternyata dalam ibadah hajinya, ia tidak menemukan keberadaan Tuhannya di sana. Dari kota asalnya, Barus ke tanah suci Makkah ia hanya menemukan kehampaan akan keberadaan Tuhan. Ibadah yang dilakukannya hanya sebatas syariaat semata. Itu adalah pintu gerbang untuk menggapai hakikat dan kesejatian. Segala yang ada di tanah suci tersebut hanyalah berorientasikan pada simbol-simbol religius yang mesti digali maknannya. Atas beningnya hati dan niat yang tumbuh dalam dirinya, Hamzah akhirnya menemukan jawaban akan keberadaan Tuhan yang hakiki. Ternyata Tuhan ada dalam rumahnya (dirinya) sendiri.
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah (bait 1, hal:165).
Persepsi semacam itu didasari akan sebuah hadits yang artinya barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher manusia sendiri. Itulah dasar-dasar yang kiranya melandasi pernyataan Hamzah bahwa Tuhan ada dalam dirinya. Sebab raga manusia merupakan rumah bagi batinnya. Jika seseorang telah mengenal Tuhan, sudah barang tentu ia akan mudah menjalin pertemuanatau orang dekat. Sebagai amsal, ketika seseorang telah akrab kenal dengan pimpinan perkantoran, ia sebenarnya telah memiliki modal untuk mengatur pertemuan. Bisa sedikit leluasa keluar masuk perkantoran itu. Ibarat ia telah memiliki orang dalam. Namun jangan sekali-kali disamakan antara pertemuan manusia-Tuhan dengan manusia-manusia. Harus ada hijab yang menjadi pemilahnya. Apabila sebuah pertemuan telah berlansung, diindikasikan akan tercipta suatu dialog. Memadukan sesama kehendak. Baru kemudian terbentuklah Kun.
Agar seseorang dekat dengan Tuhannya, istilahnya dikasihi Tuhan, itu berbeda jauh dengan cara mendekatkan diri kepada sesama manusia. Kalau kepada sesama manusia, orang yang ingin mendekatinya harus memiliki modal yang lebih. Boleh dibilang, kalau ingin dekat dengan pengacara, minimal harus bermodalkan uang yang cukup lumayn banyak. Kalau ingin didekati gadis atau perjaka, minimal bermodalkan ketampanan. Atau bahkan uang juga. Tapi berbeda dengan pendekatn diri kepada Tuhan. Seorang manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan atau ingin dicintai Tuhan, ia tidak dituntut untuk mengeluarkan modal yang lebih. Bahkan tidak sama sekali. Ia cukup bermodalkan kepolosan, keikhlasan, dan keridlaan terhadap segala yang telah diperkenankan Tuhan kepadanya. Cukup itu, tidak perlu membawa apa-apa lagi.
Hamzah miskin orang uryani
Seperti Ismail menjadi qurbani
Bukannya Ajami lagi Arabi
Senantiasa wasil dengan Yang Baqi (bait 2, hal:165)
Hamzah saat itu benar-benar pasrah, polos, ikhlas, dan ridla terhadap ketentuan yang telah Tuhan berikan kepadanya. Ia mencitrakan dirinya sama seperti keridlaan Ismail AS saat Ibrahim AS hendak mengurbankannya. Dengan jalan itulah ia kemudian merasa dekat dengan Tuhan. Dekat dengan kekekalan.
Puisi Rubayat ini, merupakan cermin keadaan pribadi seorang Hamzah Fansuri dalam tahap pengenalan jati dirinya. Ia berusaha mengekspresikan secara total gemuruh batin yang begitu memekat. Ia memberikan tuntunan-tuntunan yang luhur bagi kita semua, terutama diri pribadinya yang dalam pencarian kesejatian. Bahkan dalam bait terakhir puisi tersebut merupakan pernyataan yang tegas akan status dirinya dalam kehidupan ini. Ia menegaskan bahwa setelah kesanggupan diri untuk ridla, menjauhkan diri dari kezaliman, serta mengenal sifat-sifat Tuhan yang ada dalam dirinya, maka ia pun menjadi pemimpin kedua dalam alam ini setelah Tuhan Yang Esa. Ia memiliki kewenangan untuk mengatur segala hiruk-pikuk yang berkecamuk dalam alam kebendaan ini. Khalifah fil ardli.
Hamzah Fansuri terlalu karam
Di dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombak pun padam
Menjelma sultan kedua alam (bait 8, hal:166)
Suasana religiusitas juga diciptakan oleh Raja Ali Haji dalam sajaknya Gurindam Dua Belas. Kereligiusitasannya kental. Bahkan nilai-nilai sosial juga kuat. Apalagi semuanya disandarkan pada pribadi kita. Ia memberikan tuntunan dalam hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal manusia dengan sesamnya. Ini berorientasi terhadap sikap dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang berorientasi pada tindak pengenalan jati diri, zakat, kejujuran, bertutur kata, dermawan, perilaku, ilmu, kesabaran, pengendalian diri, dan lain-lain.
Pesona religius tampak kentara dalam ungkapan berikut; barang siapa mengenal Allah // suruh dan tegahnya tiada ia menyalah // barang siapa mengenal diri // maka telah mengenal akan tuhan yang bahari // barang siapa meninggalkan zakat // tiada hartanya beroleh berkat (bait 1-3, hal 169). Pernyataan ini memberikat isyarat bahwa tindak atau usaha pengenalan diri terhadap Tuhan merupakan hal yang tak dapat dipersalahkan. Dan proses pengenalan itu dicapai lebih awal dari tindak pengenalan diri sendiri. Pengenalan itu tidak hanya sebatas bertumpu pada sifat dan karakter pribadi kita, melainkan berorientasi pada hakekat kita ada di dunia ini. Tujuan kita hidup di alam ini juga harus kita kenali. Ini gerbang utama sebelum masuk pada pengenalan terhadap asma dan sifat Tuhan yang telah tersemat dalam diri kita dan menyamudra di dalamnya.
Pengenalan tersebut juga dapat mencakup pada karunia Tuhan yang tengah diberikan kepada kita. Baik berupa kesehatan dan kesempurnaan jasad serta kepribadian, maupun harta benda kita. Tindakan ini dapat diaplikasikan dalam bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Rasa syukur itu tidak sekedar diucapkan dengan ungkapan alhamdulillah saja, melainkan dalam perilaku keseharian. Semisal; kita dikaruniai lisan, cara penyukurannya semestinya dengan bertutur kata yang baik serta tidak dipergunakan untuk mengumpat orang lain. Lisan dapat lebih terjaga dan tak menggelincirkan kita dalam fitnah. Ini dapat masuk dalam kriteria zakatal fil lisani.
apabila terpelihara lidah // niscaya dapat daripadanya faedah (bait 4, hal 170)
mengumpat dan memuji hendaklah pikir // disitulah banyak orang yang tergelincir (bait 6, hal 170)
Kalau dari sisi harta, kita harus menafkahkannya dengan baik dan benar. Memberikan sebagian haknya untuk fakir-miskin. Bersedekah dan zakat. Sikap ini berkonotasi pada tindak untuk menghilangkan sifat bakhil dalam diri kita. Sebab dengan sifat bakhil, rasa toleransi dan solidaritas dengan sesama akan sirnah. Dan mampu mengarahkan kita pada sikap kikir. Melupakan diri dari hakekat harta yang telah dimiliki. Bakhil laksana perompak yang mesti dilawan dengan pedang kemurahan hati. Hal itu dilakukan agar semua karunia Tuhan yang tengah diperuntukkan bagi kita berolehkan berkah yang melimpah-ruah. Menjadikan hidup kita lebih bermakna.
barang siapa meninggalkan zakat // tiada hartanya beroleh berkat (bait 3, hal 169)
bakhil jangan diberi singgah // itulah perompak yang sangat gagah (bait 8, hal 170)
Coba tengok kembali pada puisi Firdaus Abdullah yang berjudul Dilema. Penyair asal Malaysia ini menyuarakan tentang kerukunan antas sesama. Toleransi dan persatuan. Terutama bangsa dan negara. Ia tidak menghendaki adanya peperangan. Baginya peperangan itu sebuah kerugian yang sangat besar. Tak ada sebuah kemenangan dalam peperangan. Kemenangan hanya bersifat fatamorgana. Sebab dalam peperangan ada yang mesti dipertaruhkan. Sama-sama mengalami kerugian, baik yang kalah atau yang menang. Yang kalah jadi abu. Yang menang jadi arang.
Antara harapan // yang tak mungkin // dan kemungkinan yang diabaikan // setimbun sesal yang pahit // dan serentetan nostalgia yang manis // berperang // dalam satu pertempuran // di mana kemenangan mutlak mustahil bertapak // karena // kalau tidak hancur jadi abu // maka terpangganglah jadi arang (hal 320).
Sungguh fenomena sajak yang benar-benar dilematis. Pernyataan yang dianggap sebagai tindak memakan buah simalakama. Itulah realitas dalam berperang. Harapan yang indah dan besar memiliki relatifitas kemungkinan yang cukup kecil. Dan bahkan kemungkinan tersebut kerap terabaikan. Pada akhirnya sebuah perang akan menghasilkan penyesalan yang begitu pahit dan keindahan hanya menjadi kenangan yang terus membayang dalam jiwa-angan.
Lebih lanjut fenomena kehidupan bernegara juga diungkap oleh Marsli N.O. Ia menggambarkan bagaimana jalannya pemerintahan. Penyair asal Malaysia ini dengan sajaknya yang berjudul Tanpa Kepala melukiskan kepincangan yang terjadi dalam realitas sebuah pemerintahan negara.
Tanpa kepala mereka berjalan // Tanpa kepala // Mereka khasanahkan segala indra // Hidungnya dipinggul // Matanya di dada // Telinganya di pusar // Mulutnya di perut // dan otaknya di lutut // Tanpa kepala mereka berjalan // Tanpa kepala mereka berbicara // Tanpa kepala mereka berfikir // Untuk sebuah wilayah // Bernama negara (hal 354).
Dalam puisi tersebut, begitu jelas terlihat kesungsangan dalam praktik pemerintahan negara. Ini juga dapat merujuk pada tidak adanya wewenang oleh seorang pemimpin negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. Keputusan dan peraturan serta undang-undang yang tengah dirumuskan tak diindahkan dan diabaikan. Dianggap sebagai sampah rongsokan. Sistem pemerintahan tidak berjalan dengan semestinya. Hal itu tidak sejalur dengan rel yang ada. Dapat dikatakan anggota parlemen berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kehendak pribadinya. Padahal di dalamnya masih ada pemimpin yang berkompeten memberikan kebijakan-kebijakan tertentu. Sistem pemerintahan jadi serba terbalik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar