Senin, 09 Februari 2009

Air

A Rodhi Murtadho

Air tergeletak di jalanan. Mengalirkan diri mencari pori tanah. Namun struktur pemukiman mempermainkan. Air hanya mengalir di pinggir-pinggir jalan. Mengisi lubang-lubang beraspal. Atau tergenang di tempat busuk tanpa bisa menghindar. Got-got beralas semen tak terstruktur menurun. Rata. Hanya memenuhi program tata pemukiman.

Air menanti matahari. Ingin segera menguapkan diri. Terkatung-katung tak diperhatikan kadang memuakkan. Apalagi diinjak-injak penuh kotoran. Jiwa ion positif dalam dirinya marah. Keperkasaan telah sirna. Menjadi barang buangan tak bisa menemukan kekasih, jiwa ion negatif. Turun ke bumi. Ingin segera melengkapkan diri bersama kekasih di sela-sela perut bumi.

“Air, aku kehausan!” kataku.

“Minumlah aku. Memang aku tercipta untukmu,” Air membuka mulut. Unjuk bicara. Ramah. Sopan mempersilahkan.

“Bagaimana aku bisa meminummu? Kau tampak kotor dan menjijikkan.”

“Terimalah aku apa adanya. Aku seperti ini juga ulah kalian, manusia. Perlakuan yang seenaknya dari kalian membuatku sakit hati. Aku tak bisa pergi ke tanah menemui kekasihku ion negatif. Tak bisa bercumbu rayu dan membersihkan diri. Tentu, aku merana di pemukiman ini.”

Air berusaha mengendapkan kotoran-kotoran dalam dirinya. Menyediakan diri sebersih mungkin. Tugas dijalani dengan ikhlas tanpa pamrih. Namun kotoran-kotoran seperti telah menyatu. Hanya matahari yang bisa membantu. Penguapan.

Langit masih tampak sayu. Matahari tak begitu mencolok. Keredupan tak melancarkan penguapan air. Tersendat-sendat. Setiap akan merangsek naik, terhalang oleh udara dingin yang menyapu. Mengembun dan turun lagi.

“Tindakan apa dari kami yang membuatmu sakit hati? Bahkan sampai-sampai kau merana? Sepertinya kami wajar-wajar saja memperlakukanmu.”

“Wajar, katamu! Kau bilang kalau mencemariku itu tindakan wajar? Menata pemukiman dengan daerah tanpa kemiringan? Aku bingung mau mengalir ke mana selain menggenang. Bahkan tindakan kalian membuat aku merana. Aku tak bisa bertemu kekasih. Kalian tutup daerah resapan dengan dalih pembangunan. Proyek-proyek ramah lingkungan. Hanya pada tulisan saja. Padahal tak mengindahkan tanah sebagai tujuan resapan. Jalan menemui kekasih.”

Aku bingung dengan penjabaran air yang begitu lengkap. Perbuatan yang tak pernah aku rencanakan. Memang setahuku, tindakan itu dengan dalih pembangunan. Demi kemaslahatan bersama kata para kontraktor. Memang juga sejauh aku berjalan, aku jarang menemukan tanah asli. Semua tertutup aspal atau cor-coran. Jika pun aku temukan dan kubandingkan akan memiliki perbandingan lima banding sembilan puluh lima.

“Iya, kami memang tak pernah memperhatikan itu. Padahal kami memperoleh banyak pertolongan darimu. Sementara kami tak pernah sekalipun memikirkan bagaimana memperlakukanmu layak. Mungkin kami lalai. Maafkan kami.”

“Lalai katamu! Apa hanya itu dalih penutup salah kalian. Siapa yang tak bisa mengatakan itu. Semut pun bisa. Kalau perilaku dan alasanmu seperti itu, aku akan balas dendam pada kalian.”

“Balas dendam!??”

“Ya, aku akan balas dendam. Tentu aku tak akan disalahkan. Yang disalahkan tentu kau yang mengatakan lalai itu sendiri.”

“Apa yang akan kau lakukan pada kami?”

“Aku dalam sekejab bisa memberi kalian wabah. Aku bisa mengundang kuman-kuman untuk melarut dalam diriku. Menularkan penyakit pada tubuh-tubuh manusia. Tentu akan menjadi mudah bagiku. Tubuh kalian sebagian besar tersusun dari diriku.”

“Sebegitu marahkah kau, air? Tak bisakah kau memaafkan kami. Akan aku umumkan di setiap kuping manusia untuk menjagamu. Jangan beri kami wabah yang berat. Untuk hidup saja kami merasa sudah susah.”

Kecipuk air memainkan lidahnya. Tangannya ditepuk-tepukkan ke kepalanya. Mata nyalang merah membangkit gairah dan emosi. Kaki sudah mendagur, mengoyak, dan memuncratkan dirinya. Bogem mentah disiapkan.

Ada air lain yang merembes keluar dari tanah. Pelan tak begitu deras. Namun kontinyu mengalir dari sela aspal yang sedikit berpori. Meluap mendekati air di kubangan yang mengamuk.

“Kekasihku sudah datang. Kau tahu, dia adalah ion negatif. Aku ion positif. Apapun bisa kami lakukan selama kami bersama.”

Tak ada cerucuk kata terlempar dari mulut-mulut kaku. Hanya pemandangan yang akrab. Air bertemu air dan menyatu. Aku lihat mereka bergumul. Menandaskan hasrat kangen yang menderu dalam. Menyatukan kandungan ion dalam tubuh mereka yang memang saling melengkapi. Cumbu rayu dimulai. Keringat deras makin memperbesar volume diri mereka. Kecupan dan tandas kasih mengobral panas meluberkan air kenikmatan.

“Apa yang kalian lakukan? Jangan memberikan pandangan yang bisa membuat aku iri. Aku juga memiliki kekasih namun tak bisa menyalakan api kasih dalam diri kami. Banyak bentangan yang sulit dilewati. Aku benar-benar iri. Hentikanlah.”

“Dengarlah baik-baik. Aku sudah muak dengan janji dan tipu daya manusia. Camkan itu! Aku tidak hanya akan memberikan wabah. Akan lebih dari itu. Camkan!”

“Kau akan melakukan apa lagi? Kau sudah bertemu dengan kekasihmu. Mestinya kau bahagia. Bukan malah mewujudkan dendam dalam dirimu kepada kami.”

“Dendam ini bukan hanya ada dalam diriku. Tetapi ada juga dalam diri kekasihku. Dan kami sudah sepakat akan melancarkan gerakan yang tak terduga bagi kalian, manusia. Tunggulah saatnya nanti.”

Matahari sudah membelalakkan mata. Meradiasi tuntunan sinar panas. Udara juga mempertemukannya kepada air. Hawa yang dibawa radiasi matahari, panas menyala. Seketika, sedikit demi sedikit air melayang bersama udara. Merangsek naik dalam tuturan uap air.

“Kami akan segera kembali. Tunggu saja.”

Ucapan perpisahan dari air semakin menggetarkan. Seluruh rona bulu kuduk berdiri. Ancaman yang belum terbukti namun begitu tandas terasa di depan kenyataan.

Langit hitam, mengetuk kilatan guntur dan sambaran petir. Kutukan air aku rasakan akan menjadi kenyataan. Aku mengumumkan ancaman air. Serius. Dan saling mengumumkan ancaman air sesama manusia. Namun juga saling tak mempercayai. Mereka lebih percaya pada tata ruang pemukiman. Bencana yang dijanjikan air hanya menjadi obrolan ringan di warung. Tata ruang pemukiman akan mengatasi dan menampik bencana yang dijanjikan air.

“Coba kalian dengarkan,” serius, “aku baru saja diberitahu orang yang ada di seberang itu. Katanya, kalau kita diancam air dan akan menurunkan wabah di negeri ini. Kalian tahu, hanya segenang air di trotoar yang mengatakannya ketika kutanya dia. Bukankan itu lucu. Katanya juga, kita telah membuat sengsara air. Menggunakan seenaknya tanpa memperhatikan kelestarian dan siklus air,” kata seseorang.

“Kau ini pandai bercanda, ya! Bagaimana mungkin. Air takkan bisa membunuh kita. Kalau kita memasak dan membuatnya kopi, itu enak. Wong air itu dicipta untuk kita. Terserah kita memperlakukannya seperti apa. Wong ada air kok bisa protes,” sahut seseorang di sebelahnya yang sedang menyerubut kopi di warung pinggir jalan.

Langit semakin gelap. Namun tak segera turun hujan. Angin sudah membias dingin. Ranum di balik hitam mendung. Matahari sudah tak menampakkan sinar lagi. Pagi dan malam tak ada beda. Hanya jam-jam digital menjadi penentu waktu. Patokan pagi, siang, dan malam.

Pohon-pohon menjadi layu. Tak bisa melakukan fotosintesis. Hanya kebutuhan air yang terpenuhi. Tak ada glukosa yang dihasilkan. Respirasi mereka terus saja mengeluarkan karbondioksida. Berebut oksigen dengan manusia-manusia. Lemas membuat manusia enggan bekerja. Lemas kekurangan oksigen. Bahkan sudah ada yang harus opname hanya untuk sekadar mendapat oksigen.

Langit tak menyibakkan mendung kelam. Terus melingkup. Panas matahari benar-benar tak terasa. Wabah kedinginan membuat bakteri-bakteri mencair dalam tubuh manusia. Penyakit-penyakit terus mewabah. Flu, batuk, pilek, demam, dan segala penyakit kambuhan terus meradang. Mengancam.

“Sudah sepuluh hari mendung namun tak turun hujan. Benarkah ini wabah yang dijanjikan air,” gumamku.

Doa-doa mulai disajikan. Kerukunan dijalin manusia. Tak peduli agama. Tak peduli ras. Golongan. Ataupun apapun. Perbedaan disingkirkan. Hanya ada harapan yang sama. Langit mau membukakan dirinya. Menampakkan kembali matahari.

Hari ketiga belas, langit semakin kasar memainkan petir. Rintik hujan mulai turun. Mengguyur seluruh permukaan bumi. Rasa syukur diucap bersama dalam hati, pikiran, dan ucapan. Merasa Tuhan telah mengabulkan permintaan mereka. Masih memihak dan mempercayai manusia untuk menjejakkan kaki di bumi.

Hujan mengguyur berhari-hari. Sudah tak ada yang pergi bekerja. Tak ada aktifitas berarti selain menutup genting-genting yang bocor. Membuat saluran-saluran air dadakan. Volume air terus bertambah. Hujan tak berhenti.

Khawatir kembali dirasa dalam hati, pikiran, dan ucapan. Umpatan-umpatan liar meracau di setiap telinga. Ada beberapa yang tetap melantunkan doa. Namun semua dirasa sia-sia. Volume air terus bertambah. Air mulai memasuki rumah-rumah tanpa permisi. Menggenang dan meluber di kamar-kamar peristirahatan. Tampak keruh dan kotor membawa lumpur dan sampah.

Wabah semakin menjulang tinggi jika digambar dalam grafik. Pernafasan dan kulit sudah terjangkit penyakit. Manusia-manusia sibuk mencari perlindungan dan penampungan. Bertengger di lantai-lantai atas rumah mereka. Bahkan di genting-genting. Untuk makan dan minum sangat susah. Meski air melimpah namun tak sanggup untuk menyantapnya dalam keadaan keruh dan penuh lumpur.

“Hei kau, manusia! Kau sudah tahu kekuatanku sekarang. Aku memenuhi ancamanku padamu. Sekarang apa yang hendak kau katakan padaku. Apa aku disalahkan. Tentu tidak, bukan. Banjir ini adalah ulah manusia, begitu kabar yang tersiar.”

“Ampuni kami, Air. Kami sudah tak tahan dengan berhari-hari kau tutupi matahari dengan dirimu yang menjelma menjadi awan. Kami sudah sakit. Sekarang kau beri kami banjir. Kami tambah sakit. Wabah menyerang kami dan tak tahu apa yang hendak kami lakukan terhadapmu dan diri kami sendiri.”

“Oh, ini belum seberapa. Kau lihat saja. Aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Wabah dan derita ini akan kami tambahkan padamu. Seperti dulu kalian tak memperdulikanku ketika aku kesakitan dan menahan rindu yang teramat dalam.”

“Sudah banyak dari kami yang sakit dan meninggal dunia. Kelaparan merajalela. Kehausan di tengah air yang melimpah. Kami mohon, ampuni kami. Kehormatan dan pengakuan atas dirimu dan kekuatanmu senantiasa akan kami sanjung selalu. Kami akan melestarikan dan menjagamu.”

“Sudah terlambat. Aku sudah terlalu marah dan jengkel melihat ulah kalian.”

Air hanyut tak mengeluarkan omongan lagi. Hanya gemericik dan kecipuk air menderu. Mengalir. Menyatu dengan yang lain. Membuat pusara-pusara tak bertuan. Menjebak manusia yang melewatinya. Memutar dan memelantingkan jatuh. Membanting-banting sampai mati.

Segala yang berharga dari manusia dihanyutkan dan dihancurkan. Rumah-rumah dirobohkan dengan arus deras. Panel-panel listrik dikonsletkan. Saluran telepon dirusak. Tak ada yang disisakan utuh untuk manusia. Lumpur-lumpur diangkat dari sungai menggenangi rumah. Stok makanan dari sawah pun diludeskan tak bersisa. Hanya ada bingung di benak-benak manusia.

Bukit-bukit mulai dirambah air. Dilumerkan dan dilongsorkan. Menguburkan rumah sekaligus penghuninya. Tak ada sumber air jernih sama sekali. Darah-darah dari mayat bercucuran bersama air selain kuman dari sampah yang ditumpuk manusia. Tanggul-tanggul dijebol.

Air sepertinya tak memberi ampunan. Banyak manusia yang diuraikan kembali pada air. Dipukul dan ditendang dengan bogem raksasa. Melucuti kulit manusia sampai keluar seluruh kandungan air dalam diri manusia. Sisanya diserahkan pada binatang tanah.

“Air, bicaralah padaku. Aku mohon. Kami sudah tak sanggup lagi menerima derita yang kau ciptakan. Kami kalah. Apapun boleh kau lakukan.”

“Aku ingin membunuh orang-orang yang terlibat dalam merencanakan dan membangun tata ruang pemukiman yang tak karuan ini. Apa kau sanggup?”

“Aku termasuk menjadi salah satu pembangun tata ruang pemukiman ini yang telah direncanakan para pejabat. Bunuhlah aku yang menyebabkan derita manusia lainnya. Aku sendiri juga sudah tak tahan lagi menanggung derita ini. Lebih baik mati rasanya daripada hidup berkalang derita.”

“Kau mengakui kekalahanmu. Baiklah, aku hanya akan merobek-robek tata ruang pemukiman untuk daerah resapanku. Dan hendaknya kau kabarkan pada semua manusia agar menghormatiku dan menjagaku. Aku tak sudi lagi mendengar janji palsu. Aku ingin kalian benar-benar menjagaku.”

“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Akan kukabarkan pada setiap telinga manusia yang ada di muka bumi ini.”

“Dan perlu kau ingat, jika ulah kalian tetap semena-mena kepadaku, aku tak segan-segan lagi menurunkan derita yang lebih dari ini.”

Pergulatan air semakin mengarus deras. Mencakar-cakar beton yang menutupi tanah. Menghancurkannya sekali putaran. Hujan reda. Banjir surut. Matahari bersinar kembali. Udara sejuk menyapa dentuman paru-paru. Lumpur masih menyisakan warna dan kotoran. Derita masih melekat di jiwa dan benak manusia.

Surabaya, 4 Mei 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito