Haris del Hakim
Purwani menjatuhkan dua butir jagung di atas tanah yang telah di-cebloki. Angin sawah musim kemarau yang panas menembus kain bajunya. Keringat menetes dari dahinya. Kulitnya yang sawo matang tampak semakin gelap mendapatkan sinar pantulan dari tanah yang coklat. Sementara itu, suaminya terus menjatuhkan batang kayu yang berfungsi untuk membuat lubang di atas tanah. Pandangan matanya terus ke bawah.
Mereka menikah dua bulan yang lalu. Bagi mereka bulan madu hanya berumur seminggu dan selebihnya adalah kembali bekerja, memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Tidak ada yang luar biasa dalam pernikahan. Seperti sendawa. Nafas berhenti sejenak kemudian mengalir kembali.
Sejak pagi mereka telah bekerja dan baru separuh lahan yang tertanami. Mereka seperti sengaja menentang panasnya matahari dan menakar kekuatan kulit kakinya. Kaki-kaki mereka yang telanjang terus melangkah.
“Ndalu, aku lelah,” ujar Purwani menyeka keringat di dahinya.
Pandalu menoleh ke belakang dan melihat keringat yang berjatuhan dari dahi istrinya. “Istirahatlah!”
“Tapi, kita belum selesai menaburkan benih ini.”
“Istirahatlah sebentar dan nanti lanjutkan kembali. Biarkan aku nyebloki guludan ini sampai selesai dan kubantu menanam.”
Purwani memberi tanda batas tanah yang telah ditanaminya dengan tonggak jagung yang masih tersisa dari panen sebelumnya. Ia melangkah ke pematang, di bawah rimbun pohon pisang. Didudukkannya tubuhnya yang ramping. Ia memandang suaminya, mengikuti irama langkah kaki dan batang ceblok yang jatuh. Satu dua. Satu dua.
Perempuan muda itu pun membuka kain penutup makanan yang dibawanya dari rumah. “Ndalu, kita makan dulu,” teriaknya.
Pandalu menjawab dengan pandangan yang terus ke bawah, seakan takut jatuhnya kayu di genggaman tangannya tidak tepat di atas kowakan. Sedangkan istrinya telah memasukkan nasi jagung ke dalam mulutnya. Sayur lodeh dan ikan asin terasa nikmat di mulutnya, apalagi angin yang berubah semilir begitu bersentuhan dengan pepohonan pisang.
Beberapa saat kemudian, Pandalu merasa lelah dan menyusul istrinya untuk istirahat. Ia beranjak ke tempat istrinya. Dibiarkan saja istrinya yang bersandar di batang pohon pisang. Ia pandangi wajah manis yang dipujanya sejak setahun lalu. Masa-masa bunga bersemi ketika jatuh cinta telah menjelma keberanian dan membuat mereka harus menjalani kenyataan. Kehidupan suami istri seperti penyerbukan putik dan kembangsari yang dihembus oleh angin. Terkadang hanya sejumput yang didapatkan dan berbuah bogang, namun tidak ada yang berharap seperti itu. Semua petani berharap bahwa tanamannya harus tumbuh dengan subur dan berisi.
Pandalu tidak mau membangunkan istrinya. Ia membuka sendiri kain penutup makanan dan mulai memasukkan nasi jagung itu ke mulutnya. Decak-decak pelan terdengar, mengiringi gerakan bibirnya yang terbuka saat melahap makanan.
Nasi jagung dalam bakul itu pun tinggal separuh. Ia mengakhiri makan dan matanya mencari-cari botol air minum kemasan yang telah diisi dengan air tanakan istrinya. Ia bersedah-sedah merasakan pedas sayur lodeh.
Ia bertanya pada istrinya, “Wan, di mana minumnya.”
Purwani tidak memberikan jawaban. Angin yang berhembus seperti membuatnya semakin menikmati keadaannya. Pandalu coba berdiri dan melengok ke sana kemari, mencari air. Tetapi, air yang dicarinya seakan sengaja sembunyi begitu tahu ia diperlukan.
“Wan, di mana air minumnya,” tanya Pandalu kembali.
Tetapi, tetap saja tidak ada jawaban. Pandalu coba menyentuh tangan istrinya. Lemas. Perempuan yang dicintainya tidak memberikan tanggapan apa pun. Dingin. Pandalu coba menggoyang bahu istrinya dengan tangan kiri, tapi perempuan itu tidak juga membuka matanya. Pandalu semakin gelisah. Ia letakkan piring ke tanah kemudian membersihkan tangannya yang kotor dengan mengusapkan ke batang pohon pisang.
Lelaki berkulit coklat itu menggoyang-goyang tubuh istrinya lebih kuat dengan kedua tangannya. Perempuan itu belum juga bergeming. Benak Pandalu penuh dengan bayangan-bayangan yang menakutkan. Perpisahan sepanajng kehidupan yang akan dijalaninya. Betapa menyakitkan. Putik akan terbang sesuka hati menuruti ke mana arah angin, tanpa keyakinan sebonggol jagung yang ranum setia menunggunya. Pandalu meraba hidung istrinya, mencari udara yang keluar masuk sebagai tanda kehidupan. Aliran udara itu begitu lemah, seperti angin yang terhadang rerimbun dedaunan.
“Wan, bangun!” jerit Pandalu.
Seperti isyarat yang diterimanya begitu saja, ia mendekap tubuh istrinya. Tetes air mata mulai membasahi kelopak matanya dan jatuh ke dada istrinya. Tetesan itu semakin lama kian deras dan tidak terbendung lagi. Tangis yang perlahan berubah menjadi sesenggukan.
“Wan, bangun!”
Entah kepada siapa kata itu ditujukan. Sebujur tubuh yang didekapnya benar-benar tidak menghirup udara. Perempuan yang bersedia setia menjadi istrinya hanya menjadi tubuh yang lemas dan perlahan mulai memucat. Burung kutilang yang berkicau seakan telah menyanyikan lagu duka.
“Wani, mengapa kamu tinggalkan aku sendirian.”
Gairah yang semula penuh gelisah dan cemas telah berubah menjadi ratapan. Ia hendak mengutuk waktu yang tidak mau bersekutu dengannya untuk menikmati kebahagiaan. Seperti masih tidak percaya, ia memandang wajah istrinya. Bibir coklat tua itu tersenyum dan mengenangkan kalimat yang pernah dikatakannya saat mereka berjanji untuk mengikat kasih cinta.
“Wani, kamu harus berjanji untuk tidak menangis. Walau seberat apa pun cobaan yang akan menghadang kita, kita harus tersenyum.”
Dan perempuan yang berada di dekapannya itu yang memberikan jawaban, “Ya, kamu juga tidak boleh meneteskan air mata atas apa pun yang menimpa kita.”
Saat kembang cinta bersemi tentu jauh dari musim gugur. Ia mencubit pipi istrinya dan berkata, “Tidak! Aku tidak akan menangis, karena yang kupuja telah kutanam dalam hatiku.”
Kemudian mereka tertawa bersama.
Pandalu tersenyum getir. Betapa pahit rasanya menahan air mata dari dada yang bergemuruh. “Aku tidak akan menangis, Wani.”
Ladang-ladang senyap tanpa manusia. Panas matahari telah menyuruh petani-petani tua yang mudah lelah agar segera pulang. Petani-petani muda hanyalah nama yang tidak dapat membuat seseorang bangga kepada temannya. Lagipula, tanah-tanah sudah tidak berharga dan mendapatkan air mesti bersusah payah dengan biaya yang tidak sedikit, sementara panen bukan harapan yang menyenangkan. Hanya keyakinan bahwa alam pun tidak sudi hanya sekedar sebagai tempat berpijak bagi cakar-cakar beton, yang membuat Pandalu dan Purwani mempertaruhkan hidupnya. Hanya kekuatan cinta yang mengajari mereka cara menanam dengan indah, seperti pula tanaman yang mengajari mereka cinta yang tulus.
Pandalu membujurkan tubuh istrinya. Disedekapkannya kedua belah tangan. Matanya terjenak pada butir-butir kecil warna merah di sela jari tangan kanan istrinya. Ia menatap tidak percaya dengan mendekatkan tangan itu lekat ke depan matanya. Nafasnya begitu berat ditarik dan dihembuskan. Setets air matanya jatuh dan selagi masih mengalir di pipinya segera diseka dengan bahunya yang hitam kekar.
“Mengapa kamu tidak mencuci tanganmu, Wan?” bisik lirih Pandalu. “Benarkah perutmu sudah sangat lapar, sehingga kamu lupa racun itu akan membunuhmu perlahan-lahan?”
Ia seperti berbicara pada angin dan tak pernah ada jawaban. Ia menyesal, mengapa tidak menyuruh istrinya untuk mencuci tangan, karena fungisida yang ditaburkan pada benih jagung bukan hanya untuk membunuh tikus, namun juga makhluk hidup. Perlahan-lahan sekali.
Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.
Pandalu menyedekapkan tangan istrinya dan menutupinya dengan sarung. Tubuh itu telah bersentuhan erat dengan tanah dan ia di ambang bimbang antara menunggu hingga seseorang datang dan memberitahukan kematian istrinya ke rumah atau pulang dan membiarkan tubuh istrinya dirayapi oleh semut-semut.
“Aku akan setia di sini sampai senja sekalipun, sebab aku percaya petani pun setia mengunjungi ladangnya di waktu senja.”
Ia duduk di samping istrinya, tepat di sebelah kanan kepalanya. Doa-doa dilantunkan. Mohon ampun dipanjatkan. Segala khilaf kiranya lumrah. Manusia tidak lebih sehelai rambut yang kerap goyah dihembus angin.
Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani. Apalah doa bila hanya ratapan.
Pandalu bergegas meninggalkan istrinya kemudian mengambil wadah benih dan melanjutkan sampai di mana istrinya tadi menanam. Batinnya terbentang lapang seluas padang Kurusetra, medan pertempuran Pandawa dan Kurawa. Dia bukan Pandawa atau Kurawa. Dia adalah Kurusetra yang tidak hendak berpihak kepada yang kalah dan menang. Dia hanyalah saksi.
Sebelum genap ia menjatuhkan jagung di atas ceblokan yang dibuatnya, Pandalu menumpahkan bulir benih di wadah dan menimbunnya di dalam tanah. Kemudian ia pergi ke arah istrinya.
“Wani, aku sudah membuang benih beracun itu. Kalau nanti benih yang kamu tanam telah tumbuh, maafkan aku bila harus membabatnya. Bukan karena aku tidak ingin kenangan darimu, tetapi aku tidak mau kematianmu akan disusul oleh kematian-kematian yang lain.”
Pandalu mengangkat tubuh istrinya dan membawanya pulang.
Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.
Kediri, 29 Agustus 2005.
• Ceblok adalah batang kayu yang ujungnya dilancipi dan berfungsi untuk membuat lubang di dalam tanah sebagai tempat taburan benih. Sementara ceblokan adalah lubang yang dihasilkan oleh ceblok.
• Guludan merupakan gundukan tanah di tengah ladang sebagai tempat kowakan, cerungan di atas guludan yang biasanya sebesar cangkul.
Haris Del Hakim, penulis novel dan cerpen.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar