Imamuddin SA
Denias; seorang anak kecil yang sangat luar biasa. Ia memiliki tekad yang kuat dalam menggapai impian dan cita-citanya. Laksana menerjang badai, ia mencoba mengubah masa depannya. Selain itu juga ingin mengubah image masyarakatnya yang sangat tabu dengan pendidikan formal. Maklum, ia hidup dalam kultur masyarakat suku Boneo yang terdapat di pedalaman Irian Jaya, khususnya daerah Papua.
Pada dasarnya keberadaan suku Boneo cukup banyak. Mereka hidup di berbagai daerah. Ada yang di Amerika, Brunai, Malaisia, Kalimantan, serta Papua. Mereka pasti memiliki kultur kebudayaan yang berbeda-beda pula. Sebab pengaruh lingkungan dan letak geografisnya. Meski keberadaan mereka berbeda-beda, tapi masih memiliki kesamaan, yaitu bagian dari suku Dayak yang hidup di daerah pedalaman.
Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah. Adat istiadatnya dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak begitu ekstrim (Internet, 2008).
Suku ini memiliki kepercayaan terhadap kekuatan alam. Ia beranggapan bahwa gunung memiliki kekuatan jahat. Gunung merupakan pusat kekuatan alam yang jahat. Hal itu terlihat ketika ada satu bentuk keburukan, pasti gunung akan memangsanya. Gunung akan marah dan melenyapkan orang yang berbuat zalim tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan Ibu Denias.
“Gunung akan memakan orang yang nakal.”
Pernyataan itu adalah inti dari kata-kata yang diujarkan Ibu Denias kepada Denias. Ini merupakan sebuah nasehat dari seorang ibu kepada anaknya. Ibu Denias tidak ingin anaknya berbuat nakal dan zalim. Sebab dengan kezaliman yang dilakukan, akan membawa malapetaka tersendiri kepada anaknya. Ia tidak ingin gunung murka kepada anaknya.
Ada satu nasehat yang berorientasi pada pendidikan keluarga lagi. Nasehat itu berupa motivasi dan anjuran agar seorang anak menjadi pandai dan semangat dalam belajar serta menuntut ilmu. Ini juga masih merujuk pada image kepada gunung. Ibu Denias mengatakan bahwa gunung yang jahat akan takut dengan orang yang pandai. Gunung tidak akan berani memakan seseorang jika ia pandai.
“Jika rajin belajar, pintar sekolah, gunung akan takut kau.”
Pendidikan keluarga sangatlah penting. Ini adalah pendidikan utama sebab semua orang itu berangkat belajar dari lingkungan keluarga baru kemudian ke lembaga sekolah. Jadi sebaiknya semua orang tua selalu getol dalam mendidik anaknya. Menanamkan nilai-nilai baik kepada anak-anaknya.
Anggapan gunung adalah kekuatan jahat merupakan sebuah keyakinan yang timbul dalam kultur masyarakat suku Boneo di Papua. Keyakinan adalah keyakinan. Dan itu merupakan hak personal bagi tiap orang. Ini tidak boleh diubah selama orang tersebut tidak sendiri yang mengubahnya.
Denias dalam keluarganya juga diajarkan untuk bersikap berani. Ia harus berikap jantan dan lantang dalam menghadapi segala sesuatu yang ada. Namun keberanian itu harus diiringi dengan kebenaran. Jika dalam posisi benar, seseorang tidak boleh takut akan suatu hal.
“Kalau benar tidak perlu takut”.
Ada satu tradisi yang diterapkan dalam masyarakat suku Boneo tersebut. Ini sebagian dari adat istiadat mereka. Mereka menerapkan sebuah tradisi potong jari pada salah seorang yang anggota keluarganya ada yang meninggal dunia. Bagi realitas sosial pada umumnya, hal ini terlihat konyol. Tapi bagi mereka adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka beranggapan bahwa memotong satu jari adalah sebuah simbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.
Jari adalah simbol kerukunan, kebersatuan, dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Satu sama lain saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satunya hilang, maka hilanglah sudah satu komponen kebersamaan itu. Hanya luka dan darah yang tersisa. Pedih-perih yang meliput suasana. Dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarganya itu baru sembuh jika luka di jari itu sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi.
“Denias, Bapak kehilangan punya jari Denias. Sakit rasanya ditinggal pergi.”
Selain upacara potong jari, ada lagi tradisi yang diterapkan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah mandi lumpur. Mandi lumpur ini dilakukan oleh kelompok atau anggota keluarga. Dalam film ini tidak ditayangkan bagaimana proses pemakaman. Entah dibakar atau dikubur? Kalu ditinjau dari segi upacara mandi lumpur, ini bisa jadi proses pemakamannya dikubur. Sebab mandi lumpur konotasi maknanya adalah bahwa orang yang meninggal dunia itu telah kembali ke alam. Ia berasal dari tanah dan kembali ke tanah pula. Hal ini senada dengan konsep Al-Quran yang artinya; “Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah liat” (QS. Al-Mu’minun:12). Itulah anggapan mereka.
Denias pada dasarnya hidup dalam kultur masyarakat yang terbelakang. Keterbelakangannya bukan disebabkan oleh cacat mental. Kebanyakan mereka tidak mengenyam pendidikan formal. Pada dasarnya mereka memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, namun kurangnya pengasahan intelektual, mereka minim pengetahuan. Selain itu juga dipengaruhi oleh letak geografis daerahnya. Mereka berada di hutan dan di pegunungan. Jadi informasi yang bersifat global sulit diterimanya. Lagipula mereka masih kokoh dengan tradisi lama yang mereka yakini. Yakni percaya dengan mistik, mengutamakan bekerja, dan mengabaikan pendidikan formal.
Tidak perlu kau sekolah. Tugas anak laki-laki adalah membantu bapaknya di rumah.”
Ungkapan itu diujarkan oleh Bapak Denias dengan nada emosional saat Denias bersekolah. Memang benar, dalam bekerjapun terdapat unsur pendidikan sebab dengan bekerja ada satu proses berfikir yang membawa pada kedewasaan seorang individu. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Daradjad (2002:51) bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan pendidik untuk membimbing seseorang yang dididik dalam mencapai tingkat kedewasaan.
Jauh dari pada itu, masih terdapat kriteria lain tentang pendidikan. Jika Denias hanya diporsir dengan bekerja, maka dia akan sama seperti masyarakat kampungnya yang lain. Pola berfikir dan pengetahuannya bersifat statis. Hanya berkisar pada berburu di hutan dan memetik hasil di hutan. Lagipula kerja yang dilakukan masyarakat tersebut hanya itu-itu saja.
Kriteria lain pendidikan menurut Alisyahbana (2002:37) adalah mematangkan perasaan, pikiran, kemauan, dan watak peserta didik. Ini yang harus diperhatikan lebih lanjut. Pendidikan bukan hanya mematangkan satu arah saja, tapi mencakup segala aspek kepribadian manusia. Termasuk juga etika dan kesopan-santunan.
Pada dasarnya masyarakat suku Boneo jika ditinjau dari sudut pandang global, mereka memiliki nilai kesopan-santunan yang masih rendah. Hal itu terlihat dari cara berpakaiannya. Mereka masih enggan memakai pakaian tertutup. Mereka kebanyakan bercawat atau hanya sebatas penutup kemaluannya saja. Jarang yang berkenan memakai pakaian-pakaian tertutup. Itupun hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja.
Berdasar pada fenomena-fenomena di atas, harus ada integritas dan kesempurnaan pribadi tertentu yang mesti dicapai dalam kultur masyarakat suku Boneo. Integritas dan kesempurnaan pribadi ini meliputi integritas jasmaniah, intelektual, emosional, dan spiritual ke dalam diri manusia secara sempurna (Daradjad, 2001:115). Integritas jasmaniah berorientasi pada cara berpakaian, intelektual berfokus pada pola pikir dan kecerdasan, emosional mengarah pada kepekaan hati dan perasaan, spiritual merujuk pada keyakinan dan keimanan mereka.
Dalam film ini terdapat cukup banyak nilai-nilai pendidikan. Entah itu nilai pendidikan yang diberikan melalui lingkungan keluarga, sekolah, maupun yang lainnya. Tampaknya fokus pengejawantahan pendidikan itu hanya tertuju pada seorang Denias saja. Itu sudah wajar, sebab Denias merupakan tokoh utama dalam film ini. Sebagaimana yang dinyatakan Aminuddin (2004:80) bahwa tokoh utama adalah tokoh yang sering muncul, tokoh yang sering dibicarakan oleh pengarangnya, tokoh yang sering diberi komentar.
Dalam pembahasan di atas telah diuraikan bentuk pendidikan yang didapatkan Denias dalam lingkungan keluarganya. Selanjutnya adalah mengarah pada bentuk pendidikan yang didapat Denias dari persahabatannya dengan seorang tentara RI yang bernama Pak Leo (Sebenarnya Maleo. Yaitu suatu nama untuk satu korps pasukan khusus TNI yang di tugaskan di kepulauan Irian Jaya. Pasukan itu terdiri dari cukup banyak orang. Namun yang di tugaskan di daerah Denias hanya satu orang itu saja. Pak Leo adalah pnggilan akrab yng dilakukan Denias). Dari nasehat-nasehat Pak Leo-lah Denias banyak menimba pengetahuannya yang baru.
Pak Leo banyak memberikan didikan tentang bagaimana menghadapi realitas hidup dan kehidupan ini. Saat Denias ditinggal wafat ibunya, dukanya begitu mendalam. Hal itu disebabkan oleh kecintaannya kepada ibunya, apa lagi dalam kematian itu, yang dapat dibilang paling bersalah adalah dia. Karena keteledorannyalah, ibu tercintanya meninggal dunia.
Saat itulah eksistensi Pak Leo sebagai sahabat dekatnya ditunjukkan. Ia memberi motivasi, semangat, dan dorongan hidup kepada Denias. Ia mencoba membangkitkan kembali gairah hidup Denias yang meredup. Ia berkata bahwa setiap manusia pasti tidak lepas dari kesalahan. Itu adalah kodrat kemanusiaan. Jadi tudak perlu lari dari kehidupan ini. Salah itu wajar. Tapi manusia harus hidup.
“Manusia tidak lepas dari kesalahan. Tapi harus hidup”.
Salah itu wajar, sebab manusia adalah tempat sala dan lupa. Tapi jangan salah secara terus menerus. Dalam kesalahan tersebut harus ada satu bentuk penginstropeksian diri agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Paling tidak meminimalisasi kesalahan dalam hidup. Dan seharusnya seorang manusia itu belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya.
Rasa bersalah yang begitu mendalam dalam diri Denias atas kematian ibunya merupakan sebuah masalah yang besar. Ini masalah psikologi Denias. Ia mengalami gencatan batin yang begitu dahsyat. Dan ini merupakan sebuah irama kehidupan yang harus dijalani. Kadang ada duka dan kadang ada tawa. Sebab kehidupan adalah rangkaian masalah yang harus dicari solisinya dan tidak perlu mengeluh tentangnya. Dan solusi yang tepat bagi Denias yaitu menumbuhkan gairah hidupnya.
Problem utama yang dihadapi Denias yaitu ingin ibunya hidup kembali agar bisa melihat dirinya sekolah. Menlihat hal tersebut, Pak Leo dengan sigap dan berwibawah menasehatinya, bahwa Ibu Denias akan selalu hidup selama Denias masih hidup.
“Mama kau akan selalu hidup selama kau masih hidup”.
Konotasi hidup di sini bukan berarti hidup secara fisik. Juga bukan bangkit lagi dari kuburnya dan bersosialisasi seperti sedia kala. Hidup di sini merujuk pada kehidupan dalam batin yang dipicu oleh segala bentuk kenangan jiwa. Jika Denias masi hidup, ia masih bisa membangkitkan kembali kenangan-kenangan yang sempat terukir bersama ibunya. Dengan demikian, ibunya akan selalu ada dalam hati dan pikiran Denias. itu sama halnya dengan hidup kembali.
Denias akhirnya memiliki semangat kembali dalam menjalani realitas kehidupan yang ada. Ia bisa kembali kesekolah dan bergumul dengan teman-temanya lagi. Namun semangat itu hanya sejenak ia kembali dirundung patah semangat. Kali ini ia ditinggal gur sekolahnya pulang kampung ke Jawa sebab istrinya sakit.
Ia merasa terpukul saat itu. Ia seolah tidak punya harapan lagi dalam menggapai impian dan cita-citanya, yaitu ingin bersekolah dan menjadi anak yang pandai. Denias tidak tahu harus kemana lagi dalam mewujudkan impian dan cita-cita tersebut. Ia putus asa. Ia kemudian lari ke Pak Leo (Panggilan Denias kepada seorang dari TNI. Nama aslinya tidak diketahu dengang jelas. Ia hanya tergabung dalam satu korps kelompok khusus yang bernama Maleo) untuk mencurahkan isi hatinya. Pak Leo bukan sekedar sahabat. Ia dapat dikatakan sebagai orang tua kedua dari Denias. Sebab setiap ada problematika, Denias selalu menyandarkannya kepada Pak Leo.
“Belajar itu bisa kapan saja dan di mana saja. Tidak harus menunggu ada guru”.
Pernyataan itu terujar oleh Pak Leo. Ini tampaknya berkonotasi pada sebuah maksud bahwa yang dapat memberi pbimbingan dan pembelajaran bukan hanya guru yang ada di sekolahan saja. Siapapun orangnya dapat dijadikan guru dan sarana dalam menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi.
Belajat dan menuntut ilmu itu tidak hanya di sekolah saja. Di manapun tempatnya dapat dijadikan lingkungan pendidikan. Jadi tidak harus ada bangunan sekolah. Asalkan di tempat itu memungkinkan untuk menimba ilmu, mengapa tidak di tempat itu saja. Tak perduli waktunya kapan. Setiap da kesempatan belajar, maka belajarlah. Tidak harus menunggu besok atau lusa. Maka belajarlah kepada siapapun orangnya, di manapun orang berada, dan kapanpun juga. Sebab belajar itu untuk masa depan.
Denias masih bingung. Ia dibingungkan dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Baginya, orang-orang sekampungnya tidak ada yang cukup bisa mengajarinya tentang sesuatu yang baru. Mereka yang ada di sekelilingnya tidak sanggup mengantarkannya dalam menggapai impian dan cita-cita.
“Tapi tak ada yang mengajari saya.”
Mendengar ungkapan Denias tersebut, Pak Leo hatinya tergugah. Ia kemudian memutuskan diri untuk mengajar Denias dan teman-temannya. Denias kembali bersemangat. Ia merasa bahwa ia kini akan sanggup menggapai impian dan cita-citanya. Ia dan teman-temannya kini bisa belajar kembali.
Namun kegembiraan itu terjadi tak begitu lama. Pak Leo pun pergi meninggalkan kampung itu sebab dipindahtugaskan. Denias kembali terpukul. Ia melinangkan air matanya saat melihat Pak Leo tidak ada lagi di rumahnya yang sekaligus dijadikan tempat sekolah.
Pak Leo saat itu sempat meninggalkan sepucuk surat untuk Denias selaku sahabat terdekatnya dan untuk teman-teman Denias yang lain. Dalam surat itu ia menulis tentang kehidupan. Bahwasanya ada banyak sisi yang dapat dipelajari dalam kehidupan ini. Ada banya cela yang harus dimasuki. Dengan persahabatannya bersama Denias, sebenarnya Pak Leo cukup banyak menggenggam hikmah hidup dan kehidupan. Ia memandang bahwa seseorang hidup itu harus dengan satu tujuan, dengan kebahagiaan, tekad yang kuat, serta tidak berlari dari hidup dan kehidupan meski terdapat masalah yang berkepanjangan.
“Denias dan semua anak-anak yang Pak Leo kasihi. Pak Leo harus pergi, karena Pak Leo harus pindah tugas ke tempat lainnya. Pak Leo sudah banyak ajar kalian. Tapi Pak Leo juga banyak sekali belajar pada kalian. Pak Leo belajar bahwa kita hidup harus dengan satu tujuan. Kita harus hidup dengan tertawa, kita harus hidup dengan tekad. Dan yang terpenting, kita harus hidup, biarpun ada seribu masalah”.
Melihat pesan tersebut, saya teringat dengan pernyataan Milan Kundera. Ia merumuskan tiga konsep kebajikan dalam hidupnya. Salah satu dari ketiga konsep tersebut adalah humor. Humor dan tawa merupakan ungkapan yang seiring-sejalan. Konotasi utamanya adalah kebahagian dan kegembiraan pribadi seseorang. Siapa yang memiliki kebahagiaan, dia pada dasarnya telah memiliki kebajikan. Dan kebajikan yang terbesar adalah sanggup bahagia ketika seribu masalah datang menerpa. Tertawakanlah kesedihan, dan kau akan tertawa dengan baik (Moliere dalam Widada, 2004:123).
Saat kepergian Pak Leo itulah gejolak batin Denias tepat pada klimaksnya. Ia tidak tahu lagi kemana harus menyandarkan cita-cita dan impiannya. Ia terlecut untuk berusaha keras dalam menggapainya. Dan inilah yang merupakan sebuah kebenaran yang dulu sempat disampaikan guru Denias di sekolah. Ia mengatakan bahwa pribadi Denias sama persis dengan Jack dalam cerita Jack dan Kacang Polong. Suatu hari, Jack menanam kacang polong dan di hari esoknya tanaman tersebut tumbuh menembus awan. Jack kemudian menaikinya dengan perlahan-lahan hingga sampai di atasnya.
“Bapak pernah bercerita kepadamu. // Tentang Jack dan kacang polong? // Tentang Jack dan kacang polong. Kamu ingat, ketika Jack menanam benih kacang polong itu, keesokan harinya, benih itu tumbuh. Dan tumbuh menjadi pohon. Menjadi besar. Dan besar. Tinggi. Dan tinggi. Tinggi lagi. Sampai menyentuh awan. Dan Jack mulai naik pohon tersebut. Dia naik dengan bersusah payah. Dia naik dengan semangat penuh. Dia terus naik semakin tinggi. Dan semakin tinggi. Dan akhirnya Jack berada di atas awan. Dan Jack bisa melihat dunia. Semangat itu ada dalam dirimu Denias. Sesuatu yang tersembunyi dalam dirimu yang dihembuskan angin lewat nyanyian yang indah. Nyanyian yang berasal dari balik awan.”
Itulah gambaran perbandingan kepribadian seorang Denias. Ia menanamkan dalam dirinya biji harapan dan cita-cita untuk bersekolah. Dan ia pun meski menempuhnya dengan perlahan serta susah payah. Namun akhirnya ia sanggup merengkuh impian dan cita-cita itu, walau tampaknya terlihat mustahil. Hal itu disebabkan ada tekad dan semangat serta sesuatu yang tersembunyi dalam diri seorang Denias.
Hal itu kini terbukti. Denias pergi ke kota untuk bisa belajar dan bersekolah. Meski itu terasa tidak mungkin. Faktornya cukup banyak. Sekolah tempatnya cukup jauh. Denias harus menempuh dan melewati gunung dan lembah untuk sampai ke kota. Padahal transportasi tidak ada. Meskipun dia sanggup sampai ke kota, ia belum tentu dapat diterima di lembaga pendidikan itu, sebab ia tidak sanggup dalam pembiayaan. Lembaga sekolah itu hanya diperuntukkan bagi mereka anak-anak orang kaya dan berasal dari keluarga terpandang saja. Belum lagi ia yang tidak punya raport. Ini sungguh mustahil bukan untuk bisa digapai Denias!
Berkat tekad dan semangatnya, hal itu pun akhirnya terengkuh juga. Ada pepatah, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Mungkin itu yang cocok bagi Denias. Ia berlari menyisir pegunungan, hutan, lembah dan sungai hingga ia pun tiba di kota. Dan di sana ia diperjuangkan secara gigih oleh seorang guru yang bernama Bu Sam untuk dapat masuk di sekolah tersebut. Namun masih dengan satu syarat, yaitu ia harus membuat catatan baik di sekolah itu. Meski teman-teman di sekitarnya kerap membuat ulah. Ia harus rela mengalah.
“Tapi ingat, kau tidak boleh nakal. Apalagi berkelahi. Dan jangan sampai terpengaruh dengan anak-anak yang tidak baik ya!”
Berkat tekad dan kemauanya yang keras serta teguh dalam menjalankan perintah, Denias akhirnya dapat diterima menjadi murid di sekolah tersebut. Meski itu harus dilalui dengan perlakuan-perlakuan yang kurang baik dari temannya. Meski duka dan derita bersarang dalam pribadinya. Dan inilah kiranya inti dari amanat dalam keseluruhan film ini, yaitu berorientasi motivasi kepada penikmat agar menumbuhkan tekad yang kuat, obsesi, kegigihan dalam menggapai sebuah cita-cita. Selain itu juga harus berpegang teguh pada prinsip dan menepati janji. Sebab di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan dan pasti berpeluang dalam menggapai impian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar