Dian
Dentuman meriam tak lagi membuatku gentar. Suara senapan sangat akrab ku dengar. Ya...seperti suara semilir angin bagi mereka yang hidup di bukit-bukit sejuk. Sampai sekarang belum kutemukan cara untuk mengatakan mauku kepada mereka, orang-orang tak tahu diri itu. Aku mau mereka pergi dari tanahku ini.
Para tetangga dan saudara-saudaraku mengatakan bahwa aku tidak jantan. Sebabnya sepele saja, menurutku. Kerjaku sehari-hari hanya merenung, selebihnya aku bekerja sebagai pengantar bambu, dari rumah juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara, bambu-bambu ku antar ke markas tentara untuk dijadikan bambu runcing. Aku belum pernah diberi tempat dalam keperwiraan karena fisikku yang berbeda. Telingaku kurang berfungsi dan mata kiriku tak begitu tajam rupanya. Jadi memang, aku tak dapat mendengar suara meriam. Sudah ribuan kali ku ucapkan hasratku untuk beradu kejantanan dengan Belanda tak tahu diri itu, namun komandan Sunarya hanya tersenyum, tersunyum bijak jika boleh kuartikan dengan analisa kesoktahuanku. Dan lagi-lagi ribuan kali pula aku berusaha katakan pada diri ini, bahwa tempatku berjuang memang bukan di sana, tapi...di tempat lain, seperti nasihat komandan Sunarya, sebenarnya aku juga harus tahu diri.
****
Seeesssssstttttt...deeeuuuummmm...... Seeesssssstttttt...deeeuuuummmm......aku dengar suara itu, tapi sangat lemah, aku hampir tak mendengarnya. Mungkin itu meriam. Aku lihat Pakde dan Bude lari ke arahku, tanpa babibu mereka menarik lenganku, aku masih bingung. Orang-orang kampung semua berlari ke arah barat dengan wajah panik. Ada apa. Tak berapa lama kemudian mereka tiarap dan aku ikut saja tanpa mengerti. Aku hanya mengira-ngira, mungkin tuan mister datang. Ya, benar. Badanku masih telungkup, ku lirikkan mataku ke kanan, kulihat kepulan asap hitam, kuartikan kampungku terbakar. Aku, Pakde, dan Bude masih tiarap. Kami pura-pura pingsan. Aku lihat ada pesawat terbang mendarat di padang rumput sebelah timur laut kampung ini, membuat jantungku semakin cepat detaknya. Darahku berdesir. Entahlah, mungkin aku tak kuat nyali...atau malah darah juangku mulai berkobar. Aku masih bingung.
Kupicingkan mataku untuk memendang lebih jauh. Di sana rumah juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara, bambu-bambu berserakan, air mataku menetes pelan...dan semakin menderas. Membasahi tanah yang selalu basah darah dan air mata. Ku gigit bibirku yang kering dan sudah pecah-pecah sariawan. Hidungku panas.
Keadaan seperti ini sudah sering aku rasakan. Setelah ini aku akan kumpulkan bambu-bambu yang berserakan itu. Ku antar ke markas tentara dan hanya itu yang bisa ku lakukan. Sampai saat ini.
****
Ya Allah...apakah aku benar-benar dungu...di mana letak kelaki-lakianku sebagai bangsa ini. Bangsa yang terjajah. Malam ini aku benar-benar memohon, buatlah sedikit perubahan pada garis nasibku. Buatlah sedikiiiit...saja alasan buatku bisa berjuang selayaknya mereka. Terbitkan secuil harapan untukku.
Pagi-pagi sekali aku berangkat ke rumah juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara bermaksud memunguti bambu-bambu yang kemarin sore porak poranda oleh serangan tuan mister. Dari kejauhan kulihat di sana ada sesuatu yang membuatku mengurungkan niat, tuan Van Moor ada di sana, yah...orang Belanda yang aneh. Dia selalu membawa kaca bundar bertangkai di tangan kirinya. Yang jika ku perhatikan kaca itu ia gunakan untuk alat bantu melihat. Sewaktu aku bekerja sebagai kurir di kantor pabrik teh milik juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara di sana banyak orang berkaca mata, itu yang kutahu jika ada gangguan penglihatan. Tapi jika kuperhatikan, tuan Van Moor tidak mungkin pakai kaca mata, daun telingan kirinya tidak ada. Haa...ha...aku ingin tertawa. Aku mengintip dari balik semak. Aku lihat tuan Van Moor berpamitan, namun sebelum pergi didekatkannya kepala berambut pirang itu ke telinga juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara, sepertinya ada yang dikatakannya dan sedikit rahasia. Aku penasaran. Sang juragan manggut-manggut, mereka berdua tersenyum-senyum dan saling melambaikan tangan.
Tuan Van Moor membalikkan badan, hampir saja pengintaianku tertangkap penglihatannya yang kabur. Dia berjalan melenggang ditemani 2 bawahannya. Berjalan tepat di depan tempatku bersembunyi di balik semak. Dan...klotakk!!!! kaca bundar bertangkai-yang entah apa itu namanya-jatuh di depan kaki kiriku. Aku ingin mengambil dan mengembalikannya, namun aku buru-buru ingat bahwa aku sedang mengintai. Ku tunggu saja dia berlalu dan ku ambil kaca itu. Ku sembunyikan di balik celana goni warisan mbah kakung. Bergegas menghampiri juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara yang sudah masuk rumah.
***
Aku tidak akan pernah terima dengan semua ini, aku akan buat perhitungan dengan si Belanda tua itu.
Seharian aku merenung, cara apa yang harus ditempuh demi membebaskan bangsa ini dari belenggu ketertindasan. Hatiku yang terbakar semangat merdeka bagai bara dalam sekam. Jika aku belum bisa porak-porandakan pasukan tentara kolonial di Batavia setidaknya aku harus berbuat sesuatu di sini, ya, di sini. Tapi..apa yang bisa ku lakukan, secuil moncong senapan saja aku tak punya.
***
Kaca bundar cembung bertangkai ku selipkan begitu saja di gedeg bilik rumah Pakde, dengan posisi tangkai terselip dan kepala kaca tersembul seluruhnya pada celah lebar yang ku anggap jendela. Rumah Pakde menghadap ke selatan ’jendela’ itu menghadap ke timur. Tepat di bawah jendela itu adalah tempat tidurku. Di sana ada tikar dan satu-satunya bantal yang ku punya, seingatku sejak aku bisa membuka mata. Si bundar bertangkai ku tinggalkan saja di sana. Kutinggal bekerja di rumah juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara.
Namun sorenya sepulangku, Bude marah-marah dan mengusirku. Alasannya, aku anak tak tahu terima kasih. Beliau menuduhku mencuri rokok di rumah juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara. Pasalnya bantal yang biasa ku pakai muncul lubang seperti bekas sudutan rokok dan membuat Bude geram, beliau tak mau dengar alasanku. Walau jujur saja, aku tak tahu apa yang membuatnya berlubang. Aku diusir.
***
”Ngun, Yune arep nyang nggone ndara Van Moor. Kowe jaga omah, aja nyandi-nyandi”
”Ana apa mbak yu? Kok njanur gunung, sampeyan apa arep diwenehi gawean?”
”Iya, wis aja takon wae, Yune budal disik”
Kira-kira itu percakapanku sebulan yang lalu dengan Yu Surti, kakak perempuanku yang kini menghilang. Aku sempat bertamu ke rumah Van Moor, si Belanda tua itu, untuk menanyakan keadaan Yu Surti, tapi bukan sambutan baik yang aku terima, malah anjingnya yang hitam melonglong sangat memekakkan telinga normal. Aku lari tunggang langgang demi menyelamatkan diri dari kejarannya. Aku berlari sekencangnya, entah sampai di mana aku lari. Saking kencangnya lariku, tiba-tiba....aduh!!! kakiku terantuk sesuatu. Lututku berdarah, sakit sekali, aku ingin menangis. Tanpa sadar aku tiba di suatu pekarangan dengan pintu rumah tertutup rapat. Tak peduli. Dengan tertatih-tatih ku berjalan mendekati samping rumah itu, ku sandarkan punggung kurusku di dindingnya.
Aku menangis, lapar, lututku perih. Masih bersandar di tembok. Aku dengar sayup-sayup suara di dalam rumah itu. Suara pria dan wanita. Tak salah lagi, itu suara Yu Surti. Darahku mendidih sesaat menyadari semua ini. Yu Surti dijadikan wanita penghibur di rumah bordil itu. Aku tak terima. Hatiku begolak panas, gigiku gemelrtuk menahan amarah, jantungku mau pecah, otot-ototku mengeras.
Tak perlu lama berfikir. Ku masukkan tangkai si bundar pada vas pemberian bude, aku naik ke pohon dan aku ikat di sana, ku atur letaknya agar menghasilkan efek seperti yang ku mau. Aku turun dan mengamati dari kejauhan. Hasilnya bukan main. Atap sirap itu mulai berasap. Bukan sekedar meninggalkan bekas sudutan rokok seperti di bantal tempo hari, tapi rumah bordil itu benas-benar terbakar.
Aku menari kegirangan goyang pinggul tak karuan khas orang tak berpendidikan. Sedangakan si Belanda tua itu lari tunggang langgang menabrak ini itu. Kulihat tangan kiri juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara menarik lengan Yu Surti yang meronta-ronta sedari tadi. Kepanikan itu aku manfaatkan untuk merebut Yu Surti dari tangan mereka. Kami-pun berlari hingga sangat kelelahan. Kami berhenti di pinggir pasar Kliwon.
”Le..” Yu Surti memanggilku lembut, aku menoleh tanpa sepatah katapun.
”Aku merasa baru kali ini aku melihatmu gagah bukan main” aku tersenyum bingung, aku me rasa ada yang aneh.
”Le, aku ingin kau menikahiku” sepontan aku menatap matanya tajam, mungkin Yu Surti mabuk dicekoki arak oleh Belanda tua itu. Namun aku tetap tak berucap. Aku tetap menatap matanya. Dia tersipu.
” Aku bukan saudara kandungmu, kita sama-sama anak pungut. Saat itu usiaku sekitar 5 tahun, kau masih bayi. Ada kebakaran besar di desa kita. Orang tuaku meninggal, orang tuamu hilang. Kita diasuh oleh orang baik yang selama ini kita sebut budhe. Le..baru hari ini, aku mulai mencintaimu. Kang Parmun sudah lama meninggal. Aku lama menjanda” Aku mengangguk mantap.
***
Beberapa kali aku bergerilya bersama Dik Surti-ku. Kami bakar markas-markas Belanda beserta rumah-rumah bordilnya. Tak ketinggalan rumah juragan Branta Nugraha Mangkuraharja Natanegara juga kami bakar, setelah hartanya habis dia malah jadi entek Belanda seutuhnya. Dia khianati ibu pertiwi dengan caranya, dan aku membalasnya dengan caraku. Ya..baru itu yang bisa ku lakukan untuk tanah ini...sesuatu yang memang tidak jantan[.]
Malang, april 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar