Jumat, 07 November 2008

Nyanyian Penyambut Malam

Naqib Najah*
http://www.lampungpost.com/

Kalau kau buta, mudah saja mengetahui kapan senja hendak rebah kemudian datanglah malam. Senja hendak rebah, terdengarlah nyanyian perempuan dengan suara miris seperti orang tercekik. Ia bernyanyi menelusuri jalan setapak. Sesekali saja ia berhenti, memetik kelopak tetumbuhan merambat, atau kuntum enceng gondok yang terdampar di tepi jalan itu.

***

Aku yang pernah terkagetkan oleh suara piring jatuh membentur tembikar, tak pernah mendengar suara atau nyanyian yang lebih menyayat ketimbang nyanyian perempuan yang kukenal pendiam itu. Nyanyian perempuan itu, betapa lantangnya. Menyebar ke segala sudut. Bahkan bisa dipastikan, liang-liang ular di bawah rimbunan ilalang itu pun ikut gaduh.

Dan dengan nyanyian inilah malam terjemput penuh syahdu. Gugusan-gugusan bintang sembunyi di balik mendung, rembulan gelisah, angin menyerbu pelan-pelan sekitar pemakaman. Runtuhlah daun-daun pohon itu, melenggang-lenggang lantas hinggap di rambut perempuan itu. Kerah bajunya yang ikut dimasuki dedaunan, membuatnya menggerak-gerakkan tangannya sedikit risih.

Perempuan itu akan terus mengembarakan suaranya. Sampai gelap merata, ketika bayi yang ia gendong mulai merasa dingin. Bernyanyilah perempuan itu, beradu dengan tangis bayi. Dan suara perempuan itu, tangis bayi itu, tak layaknya suara yang keluar dari kerongkong manusia. "Terompet Isrofil," begitu aku menyebutnya.

"Salam hormat untuk kakanda, panglima terjantan sejagat." Seraya mengangkat lengan memberi hormat, perempuan itu mengucap salam. Ia sudah sampai pada tempat yang amat tersembunyi. Berkerubung ilalang-ilalang panjang, hampir seukuran tubuh perempuan itu. Beratapkan lubuh-lubuh serta ranting-ranting pohon besar yang sangatlah rindang. Di sinilah seorang yang ia sebut "panglima" merebahkan tubuh selama-lamanya. Makam seorang suami yang jangan kau gugat seberapa mulyanya ia di hadapan perempuan itu.

"Salam hormat kedua kalinya, perwakilan bayi laki-lakimu yang tak henti menangis," kemudian ia menurunkan lengan tangan kanannya, lantas memegang lengan si bayi, dan menyentuhkannya pada nisan. Bayi yang ia gendong semakin menangis, kedua kakinya menendang-nendang perut perempuan itu.

"Panglima, kapan kau sudi mengajari bayimu ini arti kejantanan. Dia tak seperti dirimu, panglima. Kejantananmu, ah, siapa yang bisa menandingi."

Daun-daun luruh. Angin bertiup namun tak mengamuk, dan anjing-anjing lapar tak melolong melempari malam. Hanya saja, siapa yang sanggup menahan tangis bayi itu. Searah daun-daun kering yang luruh, air mata bayi menitik membasah di pipinya.

"Bayimu ini laki-laki. Tapi tangisnya... Apa benar dia hasil dari benih yang panglima tanam di rahimku. Pagi, siang, malam, bayimu ini tak henti menangis. Mirip orang yang tak mempunyai kejantanan saja, panglima!"

Bila kau menganggap perempuan itu sinting, cepat-cepatlah menyesal dengan ungkapanmu itu.

Ia masih mampu membedakan air dengan minyak, hitam dengan kelabu, pasir dengan debu, laut dengan sungai. Bahkan membedakan rayuan dengan ajakan yang memang tulus, ia pun sanggup. Perempuan yang boleh ditaksir masih berumur tiga puluh tahun, (usia seorang ibu muda) boleh dikata masih cantik, seumpama saja rambut kumalnya dipotong cesual dan diberi pelembab setelahnya. Tak merugi suaminya yang ia panggil "panglima" meminangnya ketika paras wajahnya masih menyimpan aura penuh pesona.

"Panglima, hidup ini hikayat neraka."

Membayangkan perjalanan hidup, tak semudah menebak habisnya ajal sebatang lilin. Sebatang lilin di waktu gelap, ah, kau sanggup menebaknya kapan sumbu itu habis. Kau bisa mempersiapkan sebatang yang baru sebelum lima atau enam jam lilin itu padam. Namun hidup ini, keputusan yang dituliskan Tuhan seperti tersembunyi jauh di langit sana, atau bahkan lebih jauh dari itu.

"Panglima, hidup ini hikayat neraka."

Nyanyiannya mengalun lebih keras dibanding ketika ia baru datang di pemakaman. Perempuan itu mengayun-ayunkan badannya, menepuk-nepuk pantat si bayi, dan kedua matanya berbinar-binar memandang nisan bertuliskan, "PANGLIMA HARDANI"

Bentuk tulisan yang amat samar. Tak tertulis dengan cat, namun hanyalah goresan-goresan benda tajam seolah tertulis alakadarnya.

"Panglima, hidup ini hikayat neraka!" tanpa jenuh ia mengulangi kalimat tersebut. Dengan suara parau, layaknya seorang istri yang mengadu kepada suaminya. Tapi, ia memang sedang mengadu, bukan?! Air matanya tergerai, ia sedang berkeluh kepada suami yang ia sebut "panglima" itu.

Apakah setiap kali perempuan itu datang ke pemakaman "panglima", Tuhan tak sudi mengulurkan tangan suci-Nya guna menebarkan ketenangan di benak perempuan itu, bayi itu. Sehingga ia selalu merasakan desakan-desakan luar biasa setibanya di pemakan suami yang ia sebut panglima.

***

Mengenang gemericik kehidupan perempuan itu, "Ketika bersuami lelaki yang sangat dicintai, yang sebulan setelah pernikahan sudah mampu membuat perut perempuan itu mual-mual, ia muntah." Lantas berujarlah bahwa," benih yang kau masukkan, panglima, sebentar lagi akan menjelma panglima kecil. Kau akan semakin paham seberapa ringannya tangan Tuhan untuk membolak-balikkan kehidupan manusia. Menumpahkan kebahagiaan dan menggantikannya dengan nestapa yang tak berujung. Membuang kekayaan yang sudah menggunung menjadi kelaparan yang mengimpit. Tangan Tuhan sungguh kuasa, janganlah kau berbangga hati bila Tuhan sekarang menampakkan di hadapanmu sekarung emas. Sekarung kebahagiaan yang dulu perempuan itu rasakan, sirnalah sudah."

Namun tak usah kau suruh bumi berhenti berputar, dan memerintahkan Tuhan untuk mengulang putaran hari-hari perempuan itu. Perempuan itu tak butuh dikembalikan kepada waktu-waktu yang indah, sekali pun hidup ini hikayat neraka. Di dalam jiwanya ia masih menyimpan hati yang sangat mencintai "panglima", yang kadang-kadang bila perempuan itu melihat lukisan pernikahannya ia mendadak tertawa beriak-riak, kemudian berjalanlah ia menelusuri jalan setapak itu seraya bernyanyi.

***

Mengapa angin berhenti bertiup. Daun-daun tak lagi luruh, dan lolongan anjing menyemarakkan malam. Apakah tangan Tuhan benar terulur di dekat helai-helai rambut perempuan itu, mengelus pipi bayi itu, lalu berseraklah benih-benih kebahagiaan di batin perempuan itu. Benarkah.

Tidak-tidak. Tidak! Tuhan belum mengulurkan tangan-Nya. Angin bertiup lagi dan tidak mengamuk, daun-daun luruh, anjing-anjing liar berhenti melolong melempari malam. Dengarlah bayi itu menagis. Perempuan itu bernyanyi membelah malam, menembus ilalang.

"Kejantananmu, panglima, siapa lelaki yang sanggup mengimbangi. Dengan maksud tak mau bertindak curang, kau berucap terang-terang di hadapanku bahwa hatimu sedang tergila-gila oleh perempuan lain. Kau bilang, tak bisa lagi menahan rasa yang menggebu-gebu itu. Sesuatu yang mendidihkan hatimu, membuatmu gelisah, dan kau ucapkan permintaan secara jantan di hadapanku. Kau sungguh jantan, melontarkan kalimat permohonan supaya aku sudi memberikan izin agar kau tak mati terikat cinta, yang lagi-lagi katamu tak bisa ditahan-tahan." Selesai ia berkata. Badannya kembali bergoyang-goyang, terdengarlah nyanyian itu.

Ketika memandang lengan kirinya, didapatinya sunggingan bekas luka, lurus, tak sebegitu tebal. Namun bekas luka itu sangatlah jelas. Timbul di atas kulitnya yang putih.

"Panglima, maafkan istrimu yang ceroboh ini. Maafkan, panglima!" air matanya tergerai, merangkak di kedua pipinya, mengendap sebentar di bibir, lantas jatuh persis di dahi bayi itu. Kedua matanya yang tengadah memandang daun-daun yang masih berjatuhan.

"Panglima, aku tak bermaksud membunuhmu. Kau lelaki jujur, penghormat wanita. Kedua tanganmu suka mengelus-elus rambutku, mencumbuku. Bahkan ayunan di pertamanan itu, aku masih ingat ketika kedua tanganmu memain-mainkan rantainya, ayunan bergoyang, kau buai aku penuh kasih, panglima!

Namun malam itu, PYARR, kau pecahkan cermin almari, kau suruh aku menusukkan pecahan cermin tersebut. Sehabis mulutmu meminta izin guna bercinta dengan perempuan yang kau gila-gilai, kedua bibirmu bergetar berucap, "Tusukkan cermin itu di dadaku, istriku. Aku ini lelaki bodoh. Bunuh saja diriku, istriku!"

Ah, terlalu jantan dirimu, panglima. Bahkan untuk menebus "kesalahanmu" yang telah berani jatuh hati kepada perempuan lain, kau rela tertusuk.

Aku ambil pecahan cermin. Dirimu yang bersandar di tembok dekat dipan, kupandang sebentar dengan mata tajam. Aku berdiri, dan pecahan kaca itu sudah ada di tanganku. SYRRIIT. Darah mengalir di lenganku. Kuiriskan pecahan kaca itu tepat di lenganku. Ya, di lenganku, panglima.

Setelah kulihat pecahan kaca itu berlumur darah, lekas-lekas kutusukkan pecahan kaca itu di dadamu, di dadamu! Tubuhmu berdarah, ya, dan kau...”

Perempuan itu berdiri. Di hapusnya air mata yang masih menetes di dahi bayi. Ia mendekati rimbunan ilalang. Angin memainkan helai rambutnya. Jemari tangannya yang lentik memetik kelopak enceng gondok, memenuhi genggaman lantas berlutut lagi di samping pemakaman.

"Panglima, aku yakin kau tahu perasaanku. Panglima tahu apa yang sebenarnya aku kehendaki. Ya, aku hanya bermaksud menyatukan darahku dengan darahmu, panglima. Oleh sebab itulah, kulumuri pecahan kaca itu dengan darahku sebelum kutusukkan di dadamu. Supaya darah lenganku itu masuk di dadamu. Agar kau tak lagi gelisah, dan abadilah kebahagiaan kita.

Namun. Namun, apalah daya, panglima. Aku terlalu tajam menusukkan pecahan kaca itu. Ketika itu, hatiku terlampau penuh akan emosi. Dan aku yakin kau tahu, panglima, bagaimana seorang wanita apabila mendengar lelakinya mencintai wanita lain. Dan jam yang berlalu seperti pisau berterjangan mencium luka.1) Angin menebarkan bau anyir, seperti ada darah yang menggenang, tercecer-cecer, melekat di setiap sudut.

Anjing-anjing itu, kini melolong melempari malam. Langit tumpahkan tangis.

***

Lamongan, 11 Mei 2008

1) Sajak Iyut Fitra, Lingkaran (3).

*Naqib Najah: cerpenis, esais, penyair yang mendedikasikan kehidupannya untuk mencari kebahagiaan. Pernah bergabung dengan komunitas religius Lamongan, dan menjabat di sana sebagai editor buletin pengembangan jiwa remaja, Muslim Muda. Kini bermukim dengan sanggar Lesehan Sastra, Pesantren Hasyim Asy'ari, Bantul, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito