Naqib Najah*
http://www.lampungpost.com/
Kalau kau buta, mudah saja mengetahui kapan senja hendak rebah kemudian datanglah malam. Senja hendak rebah, terdengarlah nyanyian perempuan dengan suara miris seperti orang tercekik. Ia bernyanyi menelusuri jalan setapak. Sesekali saja ia berhenti, memetik kelopak tetumbuhan merambat, atau kuntum enceng gondok yang terdampar di tepi jalan itu.
***
Aku yang pernah terkagetkan oleh suara piring jatuh membentur tembikar, tak pernah mendengar suara atau nyanyian yang lebih menyayat ketimbang nyanyian perempuan yang kukenal pendiam itu. Nyanyian perempuan itu, betapa lantangnya. Menyebar ke segala sudut. Bahkan bisa dipastikan, liang-liang ular di bawah rimbunan ilalang itu pun ikut gaduh.
Dan dengan nyanyian inilah malam terjemput penuh syahdu. Gugusan-gugusan bintang sembunyi di balik mendung, rembulan gelisah, angin menyerbu pelan-pelan sekitar pemakaman. Runtuhlah daun-daun pohon itu, melenggang-lenggang lantas hinggap di rambut perempuan itu. Kerah bajunya yang ikut dimasuki dedaunan, membuatnya menggerak-gerakkan tangannya sedikit risih.
Perempuan itu akan terus mengembarakan suaranya. Sampai gelap merata, ketika bayi yang ia gendong mulai merasa dingin. Bernyanyilah perempuan itu, beradu dengan tangis bayi. Dan suara perempuan itu, tangis bayi itu, tak layaknya suara yang keluar dari kerongkong manusia. "Terompet Isrofil," begitu aku menyebutnya.
"Salam hormat untuk kakanda, panglima terjantan sejagat." Seraya mengangkat lengan memberi hormat, perempuan itu mengucap salam. Ia sudah sampai pada tempat yang amat tersembunyi. Berkerubung ilalang-ilalang panjang, hampir seukuran tubuh perempuan itu. Beratapkan lubuh-lubuh serta ranting-ranting pohon besar yang sangatlah rindang. Di sinilah seorang yang ia sebut "panglima" merebahkan tubuh selama-lamanya. Makam seorang suami yang jangan kau gugat seberapa mulyanya ia di hadapan perempuan itu.
"Salam hormat kedua kalinya, perwakilan bayi laki-lakimu yang tak henti menangis," kemudian ia menurunkan lengan tangan kanannya, lantas memegang lengan si bayi, dan menyentuhkannya pada nisan. Bayi yang ia gendong semakin menangis, kedua kakinya menendang-nendang perut perempuan itu.
"Panglima, kapan kau sudi mengajari bayimu ini arti kejantanan. Dia tak seperti dirimu, panglima. Kejantananmu, ah, siapa yang bisa menandingi."
Daun-daun luruh. Angin bertiup namun tak mengamuk, dan anjing-anjing lapar tak melolong melempari malam. Hanya saja, siapa yang sanggup menahan tangis bayi itu. Searah daun-daun kering yang luruh, air mata bayi menitik membasah di pipinya.
"Bayimu ini laki-laki. Tapi tangisnya... Apa benar dia hasil dari benih yang panglima tanam di rahimku. Pagi, siang, malam, bayimu ini tak henti menangis. Mirip orang yang tak mempunyai kejantanan saja, panglima!"
Bila kau menganggap perempuan itu sinting, cepat-cepatlah menyesal dengan ungkapanmu itu.
Ia masih mampu membedakan air dengan minyak, hitam dengan kelabu, pasir dengan debu, laut dengan sungai. Bahkan membedakan rayuan dengan ajakan yang memang tulus, ia pun sanggup. Perempuan yang boleh ditaksir masih berumur tiga puluh tahun, (usia seorang ibu muda) boleh dikata masih cantik, seumpama saja rambut kumalnya dipotong cesual dan diberi pelembab setelahnya. Tak merugi suaminya yang ia panggil "panglima" meminangnya ketika paras wajahnya masih menyimpan aura penuh pesona.
"Panglima, hidup ini hikayat neraka."
Membayangkan perjalanan hidup, tak semudah menebak habisnya ajal sebatang lilin. Sebatang lilin di waktu gelap, ah, kau sanggup menebaknya kapan sumbu itu habis. Kau bisa mempersiapkan sebatang yang baru sebelum lima atau enam jam lilin itu padam. Namun hidup ini, keputusan yang dituliskan Tuhan seperti tersembunyi jauh di langit sana, atau bahkan lebih jauh dari itu.
"Panglima, hidup ini hikayat neraka."
Nyanyiannya mengalun lebih keras dibanding ketika ia baru datang di pemakaman. Perempuan itu mengayun-ayunkan badannya, menepuk-nepuk pantat si bayi, dan kedua matanya berbinar-binar memandang nisan bertuliskan, "PANGLIMA HARDANI"
Bentuk tulisan yang amat samar. Tak tertulis dengan cat, namun hanyalah goresan-goresan benda tajam seolah tertulis alakadarnya.
"Panglima, hidup ini hikayat neraka!" tanpa jenuh ia mengulangi kalimat tersebut. Dengan suara parau, layaknya seorang istri yang mengadu kepada suaminya. Tapi, ia memang sedang mengadu, bukan?! Air matanya tergerai, ia sedang berkeluh kepada suami yang ia sebut "panglima" itu.
Apakah setiap kali perempuan itu datang ke pemakaman "panglima", Tuhan tak sudi mengulurkan tangan suci-Nya guna menebarkan ketenangan di benak perempuan itu, bayi itu. Sehingga ia selalu merasakan desakan-desakan luar biasa setibanya di pemakan suami yang ia sebut panglima.
***
Mengenang gemericik kehidupan perempuan itu, "Ketika bersuami lelaki yang sangat dicintai, yang sebulan setelah pernikahan sudah mampu membuat perut perempuan itu mual-mual, ia muntah." Lantas berujarlah bahwa," benih yang kau masukkan, panglima, sebentar lagi akan menjelma panglima kecil. Kau akan semakin paham seberapa ringannya tangan Tuhan untuk membolak-balikkan kehidupan manusia. Menumpahkan kebahagiaan dan menggantikannya dengan nestapa yang tak berujung. Membuang kekayaan yang sudah menggunung menjadi kelaparan yang mengimpit. Tangan Tuhan sungguh kuasa, janganlah kau berbangga hati bila Tuhan sekarang menampakkan di hadapanmu sekarung emas. Sekarung kebahagiaan yang dulu perempuan itu rasakan, sirnalah sudah."
Namun tak usah kau suruh bumi berhenti berputar, dan memerintahkan Tuhan untuk mengulang putaran hari-hari perempuan itu. Perempuan itu tak butuh dikembalikan kepada waktu-waktu yang indah, sekali pun hidup ini hikayat neraka. Di dalam jiwanya ia masih menyimpan hati yang sangat mencintai "panglima", yang kadang-kadang bila perempuan itu melihat lukisan pernikahannya ia mendadak tertawa beriak-riak, kemudian berjalanlah ia menelusuri jalan setapak itu seraya bernyanyi.
***
Mengapa angin berhenti bertiup. Daun-daun tak lagi luruh, dan lolongan anjing menyemarakkan malam. Apakah tangan Tuhan benar terulur di dekat helai-helai rambut perempuan itu, mengelus pipi bayi itu, lalu berseraklah benih-benih kebahagiaan di batin perempuan itu. Benarkah.
Tidak-tidak. Tidak! Tuhan belum mengulurkan tangan-Nya. Angin bertiup lagi dan tidak mengamuk, daun-daun luruh, anjing-anjing liar berhenti melolong melempari malam. Dengarlah bayi itu menagis. Perempuan itu bernyanyi membelah malam, menembus ilalang.
"Kejantananmu, panglima, siapa lelaki yang sanggup mengimbangi. Dengan maksud tak mau bertindak curang, kau berucap terang-terang di hadapanku bahwa hatimu sedang tergila-gila oleh perempuan lain. Kau bilang, tak bisa lagi menahan rasa yang menggebu-gebu itu. Sesuatu yang mendidihkan hatimu, membuatmu gelisah, dan kau ucapkan permintaan secara jantan di hadapanku. Kau sungguh jantan, melontarkan kalimat permohonan supaya aku sudi memberikan izin agar kau tak mati terikat cinta, yang lagi-lagi katamu tak bisa ditahan-tahan." Selesai ia berkata. Badannya kembali bergoyang-goyang, terdengarlah nyanyian itu.
Ketika memandang lengan kirinya, didapatinya sunggingan bekas luka, lurus, tak sebegitu tebal. Namun bekas luka itu sangatlah jelas. Timbul di atas kulitnya yang putih.
"Panglima, maafkan istrimu yang ceroboh ini. Maafkan, panglima!" air matanya tergerai, merangkak di kedua pipinya, mengendap sebentar di bibir, lantas jatuh persis di dahi bayi itu. Kedua matanya yang tengadah memandang daun-daun yang masih berjatuhan.
"Panglima, aku tak bermaksud membunuhmu. Kau lelaki jujur, penghormat wanita. Kedua tanganmu suka mengelus-elus rambutku, mencumbuku. Bahkan ayunan di pertamanan itu, aku masih ingat ketika kedua tanganmu memain-mainkan rantainya, ayunan bergoyang, kau buai aku penuh kasih, panglima!
Namun malam itu, PYARR, kau pecahkan cermin almari, kau suruh aku menusukkan pecahan cermin tersebut. Sehabis mulutmu meminta izin guna bercinta dengan perempuan yang kau gila-gilai, kedua bibirmu bergetar berucap, "Tusukkan cermin itu di dadaku, istriku. Aku ini lelaki bodoh. Bunuh saja diriku, istriku!"
Ah, terlalu jantan dirimu, panglima. Bahkan untuk menebus "kesalahanmu" yang telah berani jatuh hati kepada perempuan lain, kau rela tertusuk.
Aku ambil pecahan cermin. Dirimu yang bersandar di tembok dekat dipan, kupandang sebentar dengan mata tajam. Aku berdiri, dan pecahan kaca itu sudah ada di tanganku. SYRRIIT. Darah mengalir di lenganku. Kuiriskan pecahan kaca itu tepat di lenganku. Ya, di lenganku, panglima.
Setelah kulihat pecahan kaca itu berlumur darah, lekas-lekas kutusukkan pecahan kaca itu di dadamu, di dadamu! Tubuhmu berdarah, ya, dan kau...”
Perempuan itu berdiri. Di hapusnya air mata yang masih menetes di dahi bayi. Ia mendekati rimbunan ilalang. Angin memainkan helai rambutnya. Jemari tangannya yang lentik memetik kelopak enceng gondok, memenuhi genggaman lantas berlutut lagi di samping pemakaman.
"Panglima, aku yakin kau tahu perasaanku. Panglima tahu apa yang sebenarnya aku kehendaki. Ya, aku hanya bermaksud menyatukan darahku dengan darahmu, panglima. Oleh sebab itulah, kulumuri pecahan kaca itu dengan darahku sebelum kutusukkan di dadamu. Supaya darah lenganku itu masuk di dadamu. Agar kau tak lagi gelisah, dan abadilah kebahagiaan kita.
Namun. Namun, apalah daya, panglima. Aku terlalu tajam menusukkan pecahan kaca itu. Ketika itu, hatiku terlampau penuh akan emosi. Dan aku yakin kau tahu, panglima, bagaimana seorang wanita apabila mendengar lelakinya mencintai wanita lain. Dan jam yang berlalu seperti pisau berterjangan mencium luka.1) Angin menebarkan bau anyir, seperti ada darah yang menggenang, tercecer-cecer, melekat di setiap sudut.
Anjing-anjing itu, kini melolong melempari malam. Langit tumpahkan tangis.
***
Lamongan, 11 Mei 2008
1) Sajak Iyut Fitra, Lingkaran (3).
*Naqib Najah: cerpenis, esais, penyair yang mendedikasikan kehidupannya untuk mencari kebahagiaan. Pernah bergabung dengan komunitas religius Lamongan, dan menjabat di sana sebagai editor buletin pengembangan jiwa remaja, Muslim Muda. Kini bermukim dengan sanggar Lesehan Sastra, Pesantren Hasyim Asy'ari, Bantul, Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar