Minggu, 23 November 2008

MANUSIA PASCATRADISIONAL MARHALIM ZAINI

Catatan atas Antologi Langgam Negeri Puisi
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Antologi Langgam Negeri Puisi (LNP) (Dewan Kesenian Bengkalis, 2004, 84 halaman) karya Marhalim Zaini (MZ) berisi 69 puisi. Kata Pengantar Taufik Ikram Jamil membantu kita menemukan semacam pintu masuk dari sejumlah pintu lain yang disediakan penyairnya. Seperti lazimnya hampir semua kata pengantar, ia cenderung menggiring kita (: pembaca) memasuki wilayah apresiasinya. Mungkin menggoda atau malah membuat kita malas. Jika kita menerimanya, kita harus juga mempertanyakan kembali secara kritis. Maka, bijaksanalah kita memasuki LNP melalui pintu lain yang belum terbuka, dan sekalian melakukan identifikasi.

Pengucapan MZ dan tema yang diusungnya dalam LNP agak berbeda dengan sejumlah penyair Riau lain. Sebutlah Taufik Ikram Jamil. Pengucapannya cenderung obsesif terhadap dunia Melayu; Syaukani Al Karim –yang dikatakan Tommy Awuy sebagai penyair Riau garda depan, lantang berteriak atas luka sejarah puaknya; Hoesnizar Hoed yang pembacaannya mengingatkan kita pada gaya Sutardji Calzoum Bachri, gelisah atas pengurasan kekayaan tanahnya; Abdul Kadir Ibrahim yang coba mentransformasi bentuk pantun; Junewal Muchtar yang mempermainkan ujaran lisan, atau Hang Kafrawi yang berkutat mencari identitas. Kultur Melayu dengan luka sejarah masa lalu, dianggap sebagai kecelakaan dengan akibat dan kepahitannya menjadi beban generasi sekarang.

Dalam wilayah keindonesiaan, problem sosial itu tidak jarang ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan sentralitas hubungan Jakarta—Daerah yang secara faktual malah memarjinalkan puaknya. Dominasi Jakarta, dirasakan sebagai monster. Akibatnya, kehidupan masyarakat persekitaran yang penuh koyak-moyak luka itu jadi pemandangan yang menggelisahkan. Dari sanalah tuntutan untuk bersuara nyaring hadir tidak sekadar sebagai tanggung jawab sosialnya, tetapi juga sebagai sebuah perjuangan sosio-kultural.

Kesadaran kultural, sikap kebertanggungjawaban sosial, dan ingatan kolektif atas sejarah masa lalu tentang puak Melayu telah menjadi semangat, elan yang mengerucut pada sebuah gerakan yang dikatakan Taufik Ikram Jamil sebagai Mazhab Riau. Sastra (: puisi) menjadi wilayah alternatif. Ia memperlihatkan semangat dan cita-cita yang sama. Maka, mungkin saja puisi yang dilahirkannya menyerupai potret sosial, romantisisme atas kebesaran marwah Melayu, gerakan melepaskan diri dari dominasi pusat (: Jakarta) atau usaha merumuskan kembali identitas yang lepas dari hegemoni pusat. Di sana, tak dapat disembunyikan adanya semangat menggelegak dari perasaan kolektif luka yang terkoyak.

MZ seperti begerak dengan caranya sendiri. Secara tematik, ia begitu bebas mengangkat latar tempat di mana pun, tanpa harus terus menerus mengusung problem puaknya. Dengan cara demikian, ia bisa memotret Kintamani, Selat Sunda atau wilayah mana pun di luar puaknya, tanpa mesti dibebani ideologi tertentu. Akibatnya, MZ seperti berada dalam dua dunia. Satu kakinya berada di masa lalu dan menyeretnya merasakan luka yang sama tentang alam dan masyarakatnya. MZ bukan tak ikut merasakan luka itu. Yang dilakukannya, sekadar menjadi penonton lantaran menyadari keterbatasannya, atau melepaskan kepedihan itu sebagai sejarah masa lalu dan kemudian menatap ke dunia lain. Maka, kerinduan terhadap tanah leluhur, cenderung sebagai ungkapan romantik yang disadari sebagai keasingan, kekosongan, ketercerabutan dari akar atau ketercampakan oleh perjalanan waktu dan tuntutan zaman. Sebelah kakinya lagi berusaha untuk keluar dari keterkungkungan masa lalu dan tanah leluhur.

Dalam posisi kedua kakinya yang seperti itu, yang tampak kemudian adalah hasrat hendak melepaskan diri dari kungkungan tradisi dan masa lalu, tetapi sekaligus ia sadar bahwa tradisi dan masa lalu yang hendak dilepaskannya itu, kerap menjelma sebuah sihir yang pesonanya tak gampang dibenamkan. Ia terjerat sihir itu, karena identitasnya adalah bagian dari sihir itu juga. Itulah yang dikatakan Anthony Gidden, guru besar sosiologi dari Cambridge University, sebagai manusia pascatradisional.
***

Tak begitu jelas, mengapa ke-69 puisi dalam LNP dipilah ke dalam tiga bagian: “Tersebab Laut” (27 puisi), “Nocturno Burung Api” (20 puisi), dan “Surat Cinta Beracun” (22 puisi). Dilihat dari style, pengucapan, majas yang digunakan dan tema-tema yang diusungnya, tak ada perbedaan signifikan yang menyertai alasan khas atas pembagian itu. Sejumlah kata tertentu yang berulang kali digunakan erat berkaitan dengan tema. Kata-kata itu dapat dijadikan titik berangkat untuk melakukan identifikasi.

Secara umum kata-kata kunci itu dapat dikelompokkan dalam empat ranah; laut (pantai, teluk, ombak, pulau, samudera), waktu (pagi, senja, malam, sejarah), hujan (air, gerimis, angin) dan bahasa (puisi, sajak). Pengulangan kata-kata itu signifikan mengingat kata-kata itu meluncur begitu saja, dan seperti sengaja dihadirkan untuk mewakili simbol dan makna tertentu. Di sinilah, gagasan Christopher Bollas –seorang Freudian terkemuka dewasa ini— tentang asosiasi bebas, relevan untuk mengungkapkan naluri ketaksadaran MZ dalam merepresentasikan kegelisahannya.

Mencermati keseluruhan puisi dalam LNP, agaknya kita mesti percaya bahwa sastra (: puisi) dapat ditempatkan tak hanya sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya, tetapi juga sebagai potret diri sastrawan bersangkutan. Sastra dipakai sebagai refleksi evaluatif atas problem sosial dan lingkungan sekitar tempat sastrawan bersangkutan lahir dan dibesarkan. Di sana akan hadir catatan, perenungan, obsesi, kegelisahan dan harapan. Melalui bahasa sebagai medianya, sastra secara keseluruhan memantulkan wajah dan identitas penyairnya. Meskipun kita tidak harus serta-merta percaya pada pernyataan bahwa … bahasa menjadi serupa cermin yang memantulkan wajah jiwa dalam barisan kata-kata, setidaknya pernyataan itu merupakan refleksi kegelisahan penyair mengenai berbagai problem yang hadir dari pengalaman hidupnya.
***

Ada tiga dasar pemikiran yang menjadi alasan pemikiran itu. Pertama, merujuk pernyataan Grebstein, kritikus sosio-kultural, bahwa pemahaman terhadap sastra hanya mungkin dapat dilakukan selengkapnya jika kita tidak melepaskan diri dari latar belakang sosio-budaya pengarangnya. Dengan demikian, menerjemahkan sebuah teks sastra lewat kajian sosio-budaya, tidak dapat lain, kecuali mencoba menelusuri lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkan pengarang yang bersangkutan.

Kedua, setiap karya sastra pada hakikatnya unik. Maka, pendekatan terhadap teks MZ dalam LNP dan mencoba memahami konteksnya belum tentu dapat dilakukan pada teks lain dari pengarang yang lain. Artinya, MZ menggunakan caranya sendiri dan dengan menelusuri cara MZ itulah, kita melakukan penafsiran atas teks yang dihasilkannya.

Ketiga, jika bahasa –secara kolektif—mencerminkan bangsa, maka bahasa dalam karya sastra –secara individual—mencerminkan individu atau pribadi pengarangnya. Mengingat ada sejumlah kosa kata tertentu yang berulang kali digunakan MZ, maka melalui kosa kata itulah, kita mencoba menelusuri latar belakang sosial-budaya pengarangnya. Kosa kata itulah yang digunakan sebagai pintu masuk mengungkapkan identitas seorang MZ.

Pertanyaannya, mengapa kosa kata dari empat ranah itu kerap muncul dalam puisi-puisi MZ? Apakah ia tidak punya kata lain, sehingga dalam konteks apapun, kata-kata itu seperti muncul dari luar kesadarannya. Itulah yang dimaksud Christopher Bollas sebagai asosiasi bebas yang nongol dan mencolot begitu saja dari ruang ketidaksadaran individu. Ketidaksadaran itu tidak terlepas dari masa lalu. MZ tak dapat melepaskan diri dari masa lalu, dari sebuah tradisi besar yang telah membentuk ruh dan sikap kulturalnya. Maka, asosiasi bebas seorang MZ akan berbeda dengan sastrawan dari kultur yang lain. Di sana ada problem kultur yang di dalamnya tradisi menjadi bagian penting. Tradisi adalah sebuah orientasi ke masa lalu yang sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku masa kini. Edward Said mengatakan, meski tradisi selalu berubah-ubah, ia tetap memiliki daya tahan sebagai alat penentang desakan perubahan. Selalu ada jejak-jejak yang melekat dalam ingatan individu yang dalam konteks masyarakat menjadi ingatan kolektif. “Tradisi terkait dengan memori kolektif yang kemudian memancar dalam memori individu,” begitu keyakinan Anthony Giddens. Dalam hal itulah, puisi-puisi MZ punya cantelan kultural.
***

Yang menarik dari citraan yang dikembangkan MZ adalah keterikatannya pada laut sebagai medan kehidupan, waktu sebagai sebuah perjalanan yang terikat masa lalu dan harapan masa depan, dan sajak sebagai keputusan, sikap, atau alat perjuangan yang dalam banyak puisinya diposisikan dalam keadaan kalah, sia-sia, dan pesimis. Jika ada nada optimis, MZ menghadirkannya lewat pengandaian, seolah-olah harapan itu sia-sia belaka. Lihat nada optimistik yang dihadirkan di sana: Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.// Andai perjuangan itu dilandasi cinta dalam setiap geraknya, maka hidup bisa lebih bermakna daripada kesia-siaan atau prahara. Mengapa optimisme itu harus dalam pengandaian? Atau, ia sendiri tak cukup yakin dengan langkah yang diperjuangkannya.

Pesimisme, kesepian, keterasingan, kesangsian, dan segala kemuraman dihadirkan MZ dalam hampir semua puisinya. Maka LNP laksana serangkaian gumam sebuah suara yang datang dari dunia yang serba gelap. Lalu padam. Peti mati inilah rumah kita./Jagat yang legam, dan waktu tak bersisa// (Nocturno ‘Malam’ hlm. 67). Jika ditarik garis linier, LNP seperti mewartakan sebuah perjalanan anak manusia yang di belakangnya terbentang luka sejarah, di sekeliling bermunculan kegetiran, dan di hadapannya masa depan seperti lorong panjang yang gelap. Itulah tema-tema yang diusung MZ dalam LNP.

Begitulah, di mana pun ia berada, ia seperti berhadapan dengan sebuah paradoks. Masa lalu yang mengganggu yang ingin dikuburnya, tetapi sekaligus muncul begitu saja sebagai bagian dari masa kini dalam memandang masa depan. Yang muncul adalah kesepian, keterasingan, dan ketidakpercayaan pada masa depannya sendiri. Itulah langgam MZ: puisi sebagai representasi tarik-menarik antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kebanggaan atas masa lalu, dirasakan tak menyelesaikan masalah, sementara pandangannya terhadap masa depan, juga penuh dengan pesimisme. Maka, yang dapat dilakukan adalah memotret apa saja, di mana saja, sebagai tindak konkret keinginannya untuk berbuat. Puisilah yang kemudian menjadi pilihan. Dapat dipahami jika MZ menempatkan puisi sebagai suara jiwa, representasi perjalanan hidup yang dialaminya. Sebuah bangunan beragam peristiwa yang menjelma dalam puisi. Itulah ciri, corak, gaya dan kecenderungan yang menurut versi MZ sebagai langgam.

Asosiasi bebasnya membawa kita ke berbagai tempat, peristiwa, dan perkara, bergantung dari perspektif mana kita memasukinya. Dalam konteks kepenyairan Riau, MZ seperti melenggang sendiri, tak terpengaruh oleh tarikan kekuatan penyair sekitarnya. Meski begitu, sebagai makhluk sosial yang lahir dari sebuah tradisi besar puak Melayu, ia terus-menerus dibayangi masa lalu yang disadari tak kuasa ditinggalkan. Sebuah problem psikis manakala ia berada di luar puaknya. Tradisi dan masa lalu seperti telah menyatu dengan masa kini dan masa depan. MZ telah menjelma menjadi manusia pascatradisional.

Dengan permainan enjambemen yang memenggal kalimat demi kepentingan persajakan atau keindahan bunyi, MZ tidak hanya berhasil membangun kekompakan dalam setiap larik puisinya, tetapi juga dapat mempererat hubungan makna secara keseluruhan. Kekayaan penciptaan metafora, paradoks atau majas yang lain, tidak hanya memancarkan keindahan puitik, tetapi juga menghadirkan apa yang disebut sebagai mukjizat komunikasi. Demikian juga citraan yang dibangunnya, terasa segar dan khas. Sekadar contoh, sebutlah, menyiangi usia, kabut mencuri angin, sekuntum sunyi, sejengkal lagi kekal, diam berarti terbenam. Bukankah pola-pola itu jauh dari klise dan MZ berhasil memanfaatkannya secara optimal. Satu usaha yang menunjukkan keseriusan penyairnya dalam menempatkan puisi sebagai salah satu alat perjuangan budaya.

(Maman S. Mahayana, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito