Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Salah satu ciri khas puisi adalah hadirnya apa yang disebut mukjizat komunikasi (the miracle of communication), begitu pandangan Cleanth Brooks –salah seorang tokoh penting dalam aliran kritik baru Amerika (the new criticism). Sebuah kekhasan yang ajaib; bagaimana sebuah kata atau serangkaian kata dalam puisi berpotensi menghadirkan sejumlah makna sesuai dengan konteksnya. Melalui konteks itulah, kata-kata dalam lingkaran metafora, simbol, ironi, paradoks atau majas yang lain, seperti didesakpaksa atau dibiarkan bergulir memancarkan berbagai makna. Oleh karena itu, puisi mestilah diperlakukan semata-mata sebagai puisi. Ia lahir dari sebuah sikap yang memperlakukan objek sebagai bagian dari dirinya. Subjektivitas penyair membawa penghayatannya atas objek, masuk, menyatu-padu dalam emosi pribadinya.
Sesungguhnya, Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri” mesti dipahami dalam kerangka menyimpan berbagai potensi makna dan ia sanggup memancarkan beragam makna, dan bukan sebaliknya, menjadi sesuatu yang tak bermakna. Kata atau sejumlah kata yang digunakan penyair mesti diterima dan dicurigai menyimpan kekayaan potensi makna, serangkaian makna, dan siap memancarkan makna-makna baru. Bagaimanapun juga, puisi hadir dalam kapasitasnya sebagai hasil pergulatan kultural –sekaligus intelektual—dari sosok seorang penyair yang tidak pernah berhenti menyimpan kegelisahan atas dunia di sekitarnya.
***
Antologi puisi Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media, 2003) karya Isbedy Stiawan ZS –sebagaimana yang juga terjadi pada puisi penyair lain—terkesan hendak menawarkan berbagai potensi atas kegelisahan emosionalnya. Setiap puisinya seperti memancarkan makna sejalan dengan konteks dan situasi peristiwa yang dihadapi. Maka, ketika ia mewartakan penghayatannya, mengungkapkan emosinya, kita dihadapkan pada sebuah dunia subjektif. Objek yang menjadi pemicu kegelisahannya, digiring dalam subjektivitas penyair. Yang hadir kemudian adalah suasana-suasana batin, monolog yang memantul kembali dalam diri penyair, dan peristiwa yang dihadapi subjek penyair yang tak kuasa menyimpan kegelisahannya.
Gaya kepenyairan model ini, tentu saja bukan satu-satunya –juga bukan yang pertama—dilakukan Isbedy. Di belakang itu, ada nama-nama Dodong Djiwapradja, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, sampai ke nama-nama penyair terkini macam Nanang Suryadi atau Tjahjono Widarmanto. Tetapi, Isbedy berusaha mencari—dan menawarkannya sekaligus—potensi lain yang mungkin. Ia juga mencoba bersiasat melalui beragam majas dan serangkaian enjambemen. Di sinilah, impresinya atas sesuatu memantulkan citraan-citraan yang sesungguhnya merupakan tanggapannya terhadap peristiwa yang sedang dihadapi dan kehidupan yang mengganggu emosinya.
Sebagai contoh kasus, periksa, misalnya, puisinya yang berjudul “Di Pantai”.
dekaplah aku, kata pantai pada laut, tapi,/setelah didekap, pantai pun membiarkan laut/ menjauh kembali, lalu burung-burung camar/hanya memandang sepi ujung bibirmu// Hubungan laut—pantai yang komplementer itu tiba-tiba menjadi sebuah paradoks, karena pantai di satu pihak tak dapat melepaskan dirinya dari kerinduan atas laut, dan di pihak lain, selalu membiarkan laut kembali menjauh. Sebuah pertemuan dan perpisahan yang sepertinya merupakan peristiwa biasa, tetapi justru menyimpan begitu banyak misteri.
Universalitas kehidupan bipolar itu, tentu saja setiap saat bakal kita jumpai dalam kehidupan keseharian. Kita pun sememangnya tak kuasa menolaknya. Tetapi, bagi Isbedy, peristiwa itu digiring ke dalam sebuah paradoks universal yang justru menghadirkan misteri kehidupan. Dan burung-burung camar –manusia atau malaikat sekalipun—hanya dapat memandang, meski ia juga dijerat misteri yang tak berjawab.
Persoalannya ternyata tidak cuma sampai di sana. Kecerdikan Isbedy melakukan siasatnya terjadi pada dua bait terakhir. Bahwa citraan alam yang dibangunnya dalam kerangka hubungan holistik itu, nyatanya harus pula berhadapan dengan kenyataan sosial. Laut dan pantai pada akhirnya bukan lagi sebagai sumber kehidupan manusia –nelayan, Sang Khalifah yang mencari penghidupan dari sana—ketika muncul manusia lain yang membawa permusuhan bagi laut. …laut pun terpana/lantaran maut yang memagut//
Itulah yang dimaksud mukjizat komunikasi! Sangat mungkin Isbedy sendiri sekadar menyampaikan penghayatannya tentang laut dan pantai yang tak bersahabat lagi bagi kehidupan. Boleh jadi ia tergoda untuk mewartakan kerusakan sebuah pantai. Tetapi, kita ternyata menjumpai makna lain yang lebih hakiki, lebih kompleks dan problematik, bersifat holistik, dan bermuatan universal. Di situlah, sebuah puisi –yang baik—tidak hanya menurunkan makna tekstual, melainkan juga makna kontekstual –yang dalam bahasa Cleanth Brooks— menyimpan potensi melahirkan keberagaman makna.
***
Antologi Aku Tandai Tahi Lalatmu ini berisi 78 puisi yang berdasarkan tarikhnya merupakan karya Isbedy yang ditulisnya sejak tahun 1998—2002. Penyusunannya yang kronologis membantu kita melihat perkembangan kepenyairannya selepas Daun-Daun Tadarus (1997). Mencermati antologi ini, kita laksana sedang melihat sebuah potret perjalanan kegelisahan emosional. Sebuah pergulatan emosi yang tak dapat dibendung ketika ia berhadapan dengan berbagai macam problem manusia. Oleh karena itu, tema yang diangkat Isbedy menjadi sangat beragam. Kesepian dan ketersiksaaan ketika sendiri berada di kamar hotel, kerinduan saat ia harus meninggalkan sebuah kota, kegamangan menerima sebuah berita yang mengejutkan, kesadaran introspektif kala berhadapan dengan usianya sendiri, kecemasan atas nasib negeri ini, atau hasrat mengusung problem puak yang makin tersisih.
Secara tekstual, sejumlah simbol dan metafora cenderung memanfaatkan benda-benda alam untuk membangun citraan puitik. Di antara itu, tidak sedikit pula Isbedy mencoba melakukan siasat melalui enjambemen. Kesengajaannya itu ternyata tidak hanya hendak membangun keindahan persajakan (bunyi), tetapi juga memberi tekanan pada tema yang hendak diusungnya. Di sana, enjambemen terkesan menjadi sebuah paradoks, ada ketersendatan komunikasi, kegagalan sesuatu yang mestinya justru tak terjadi. Periksa misalnya, sebuah puisinya yang berjudul “Menjaga Kota”. Hujan mengguyur kota-kota jadi kelam. jalan/basah, pandang mengembun. Tanpa jas hujan aku tembus/pisau air yang panjang. Perih mengguyur tubuhku//
Larik-larik itu –secara sintaksis— mestinya dibaca jalan basah, … aku tembus pisau air … Dengan pemenggalan jalan dan larik berikutnya basah, menempatkan kata jalan menjadi sesuatu yang paradoksal. Jalan yang mestinya memberi kelancaran transportasi (:komunikasi), justru mengalami ketersendatan. Niscaya ada sesuatu yang tak beres di sana. Pemanfaatan enjambemen memberi tekanan pada ketidakberesan itu. Hal yang juga terjadi pada pemenggalan aku tembus, yang memperkuat citraan derasnya hujan. Dan pisau air yang panjang jadinya punya makna lain dari sekadar hujan deras, yaitu musibah. Maka, perih menguyur tubuhku mewartakan sebuah malapetaka yang dahsyat. Pada larik terakhir, ia cukup mengatakannya dengan satu kata : kehancuran …// Dengan demikian, puisi ini menghadirkan sesuatu yang kontradiksi, paradoksal: Judul puisi “Menjaga Kota” justru mewartakan kehancuran sebuah kota. Sebuah pilihan kata yang tampak dipikirkan secara cermat-matang.
Begitulah, sarana persajakan serta berbagai macam diksi, telah dimanfaatkan sedemikian rupa, tidak hanya untuk membangun keindahan persajakan dan citraan yang lebih asosiatif, melainkan juga memberi tekanan pada tema yang hendak diangkatnya. Dalam hal itu pula, sangat penting bagi Isbedy untuk meluaskan kosa kata, mencermati makna-maknanya, dan mengolah repetisi secara lebih segar. Tanpa itu, sangat mungkin ia akan tergelincir pada repetisi basi, diksi yang klise, dan perulangan yang tak perlu. Bahan yang berlimpah, memaksanya harus melebarkan pencarian berbagai kemungkinan baru. Maka, tak terelakkan, Isbedy mesti segera melakukan penciptaan idiom-idiom yang lebih segar, suasana yang tajam-mempesona, dan pengolahan majas dengan siasat yang cerdas.
***
Contoh kasus dua puisi yang dibincangkan sepintas itu, tentu saja tidak mewakili keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini. Apalagi jika kita menghubung-kaitankannya dengan keberagaman tema, kekayaan majas dan pengolahannya yang penuh siasat. Bagaimanapun juga, antologi ini, makin jelas mengukuhkan sosok Isbedy Stiawan ZS sebagai penyair yang makin memperlihatkan kepribadiannya yang kukuh dan kepenyairannya yang matang. Kecenderungan memanfaatkan berbagai diksi dan sarana puitik, tampak diintegrasikan ke dalam jalinan kata yang potensial memancarkan keberagaman makna. Segala sarana puitik itu kelihatan digarap Isbedy secara serius. Di situlah, sosok kepenyairannya makin memperlihatkan kesadarannya bahwa puisi bukan sekadar larik-larik kosong tak bermakna. Di sana, ada sebuah dunia makna yang sangat mungkin berisi ideologi, sikap, wawasan—pengalaman atau intelektualitas.
Menulis puisi ibarat pengejawantahan pergulatan emosi, kesadaran penghayatan atas berbagai problem manusia dan kemanusiaan, dan sekaligus juga pandangan kulturalnya atas sebuah puak. Dengan demikian, setiap kata dalam larik-larik dan setiap larik dalam bait, sangat mungkin sesungguhnya mewartakan banyak hal. Di situ pula, mukjizat komunikasi dalam puisi meneguhkan sosok puisi sebagai salah sebuah ruh kebudayaan. Ia lahir dari sebuah proses panjang pergulatan batin penyairnya.
Terlepas dari persoalan itu, tak berlebihan jika saya menyampaikan tahniah buat Lampung yang telah mengantarkan warganya sebagai penyair yang berpengharapan!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar