Selasa, 21 Oktober 2008

MUKJIZAT KOMUNIKASI DALAM ANTOLOGI “TAHI LALAT”

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Salah satu ciri khas puisi adalah hadirnya apa yang disebut mukjizat komunikasi (the miracle of communication), begitu pandangan Cleanth Brooks –salah seorang tokoh penting dalam aliran kritik baru Amerika (the new criticism). Sebuah kekhasan yang ajaib; bagaimana sebuah kata atau serangkaian kata dalam puisi berpotensi menghadirkan sejumlah makna sesuai dengan konteksnya. Melalui konteks itulah, kata-kata dalam lingkaran metafora, simbol, ironi, paradoks atau majas yang lain, seperti didesakpaksa atau dibiarkan bergulir memancarkan berbagai makna. Oleh karena itu, puisi mestilah diperlakukan semata-mata sebagai puisi. Ia lahir dari sebuah sikap yang memperlakukan objek sebagai bagian dari dirinya. Subjektivitas penyair membawa penghayatannya atas objek, masuk, menyatu-padu dalam emosi pribadinya.

Sesungguhnya, Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri” mesti dipahami dalam kerangka menyimpan berbagai potensi makna dan ia sanggup memancarkan beragam makna, dan bukan sebaliknya, menjadi sesuatu yang tak bermakna. Kata atau sejumlah kata yang digunakan penyair mesti diterima dan dicurigai menyimpan kekayaan potensi makna, serangkaian makna, dan siap memancarkan makna-makna baru. Bagaimanapun juga, puisi hadir dalam kapasitasnya sebagai hasil pergulatan kultural –sekaligus intelektual—dari sosok seorang penyair yang tidak pernah berhenti menyimpan kegelisahan atas dunia di sekitarnya.
***

Antologi puisi Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media, 2003) karya Isbedy Stiawan ZS –sebagaimana yang juga terjadi pada puisi penyair lain—terkesan hendak menawarkan berbagai potensi atas kegelisahan emosionalnya. Setiap puisinya seperti memancarkan makna sejalan dengan konteks dan situasi peristiwa yang dihadapi. Maka, ketika ia mewartakan penghayatannya, mengungkapkan emosinya, kita dihadapkan pada sebuah dunia subjektif. Objek yang menjadi pemicu kegelisahannya, digiring dalam subjektivitas penyair. Yang hadir kemudian adalah suasana-suasana batin, monolog yang memantul kembali dalam diri penyair, dan peristiwa yang dihadapi subjek penyair yang tak kuasa menyimpan kegelisahannya.

Gaya kepenyairan model ini, tentu saja bukan satu-satunya –juga bukan yang pertama—dilakukan Isbedy. Di belakang itu, ada nama-nama Dodong Djiwapradja, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, sampai ke nama-nama penyair terkini macam Nanang Suryadi atau Tjahjono Widarmanto. Tetapi, Isbedy berusaha mencari—dan menawarkannya sekaligus—potensi lain yang mungkin. Ia juga mencoba bersiasat melalui beragam majas dan serangkaian enjambemen. Di sinilah, impresinya atas sesuatu memantulkan citraan-citraan yang sesungguhnya merupakan tanggapannya terhadap peristiwa yang sedang dihadapi dan kehidupan yang mengganggu emosinya.

Sebagai contoh kasus, periksa, misalnya, puisinya yang berjudul “Di Pantai”.

dekaplah aku, kata pantai pada laut, tapi,/setelah didekap, pantai pun membiarkan laut/ menjauh kembali, lalu burung-burung camar/hanya memandang sepi ujung bibirmu// Hubungan laut—pantai yang komplementer itu tiba-tiba menjadi sebuah paradoks, karena pantai di satu pihak tak dapat melepaskan dirinya dari kerinduan atas laut, dan di pihak lain, selalu membiarkan laut kembali menjauh. Sebuah pertemuan dan perpisahan yang sepertinya merupakan peristiwa biasa, tetapi justru menyimpan begitu banyak misteri.

Universalitas kehidupan bipolar itu, tentu saja setiap saat bakal kita jumpai dalam kehidupan keseharian. Kita pun sememangnya tak kuasa menolaknya. Tetapi, bagi Isbedy, peristiwa itu digiring ke dalam sebuah paradoks universal yang justru menghadirkan misteri kehidupan. Dan burung-burung camar –manusia atau malaikat sekalipun—hanya dapat memandang, meski ia juga dijerat misteri yang tak berjawab.

Persoalannya ternyata tidak cuma sampai di sana. Kecerdikan Isbedy melakukan siasatnya terjadi pada dua bait terakhir. Bahwa citraan alam yang dibangunnya dalam kerangka hubungan holistik itu, nyatanya harus pula berhadapan dengan kenyataan sosial. Laut dan pantai pada akhirnya bukan lagi sebagai sumber kehidupan manusia –nelayan, Sang Khalifah yang mencari penghidupan dari sana—ketika muncul manusia lain yang membawa permusuhan bagi laut. …laut pun terpana/lantaran maut yang memagut//

Itulah yang dimaksud mukjizat komunikasi! Sangat mungkin Isbedy sendiri sekadar menyampaikan penghayatannya tentang laut dan pantai yang tak bersahabat lagi bagi kehidupan. Boleh jadi ia tergoda untuk mewartakan kerusakan sebuah pantai. Tetapi, kita ternyata menjumpai makna lain yang lebih hakiki, lebih kompleks dan problematik, bersifat holistik, dan bermuatan universal. Di situlah, sebuah puisi –yang baik—tidak hanya menurunkan makna tekstual, melainkan juga makna kontekstual –yang dalam bahasa Cleanth Brooks— menyimpan potensi melahirkan keberagaman makna.
***

Antologi Aku Tandai Tahi Lalatmu ini berisi 78 puisi yang berdasarkan tarikhnya merupakan karya Isbedy yang ditulisnya sejak tahun 1998—2002. Penyusunannya yang kronologis membantu kita melihat perkembangan kepenyairannya selepas Daun-Daun Tadarus (1997). Mencermati antologi ini, kita laksana sedang melihat sebuah potret perjalanan kegelisahan emosional. Sebuah pergulatan emosi yang tak dapat dibendung ketika ia berhadapan dengan berbagai macam problem manusia. Oleh karena itu, tema yang diangkat Isbedy menjadi sangat beragam. Kesepian dan ketersiksaaan ketika sendiri berada di kamar hotel, kerinduan saat ia harus meninggalkan sebuah kota, kegamangan menerima sebuah berita yang mengejutkan, kesadaran introspektif kala berhadapan dengan usianya sendiri, kecemasan atas nasib negeri ini, atau hasrat mengusung problem puak yang makin tersisih.

Secara tekstual, sejumlah simbol dan metafora cenderung memanfaatkan benda-benda alam untuk membangun citraan puitik. Di antara itu, tidak sedikit pula Isbedy mencoba melakukan siasat melalui enjambemen. Kesengajaannya itu ternyata tidak hanya hendak membangun keindahan persajakan (bunyi), tetapi juga memberi tekanan pada tema yang hendak diusungnya. Di sana, enjambemen terkesan menjadi sebuah paradoks, ada ketersendatan komunikasi, kegagalan sesuatu yang mestinya justru tak terjadi. Periksa misalnya, sebuah puisinya yang berjudul “Menjaga Kota”. Hujan mengguyur kota-kota jadi kelam. jalan/basah, pandang mengembun. Tanpa jas hujan aku tembus/pisau air yang panjang. Perih mengguyur tubuhku//

Larik-larik itu –secara sintaksis— mestinya dibaca jalan basah, … aku tembus pisau air … Dengan pemenggalan jalan dan larik berikutnya basah, menempatkan kata jalan menjadi sesuatu yang paradoksal. Jalan yang mestinya memberi kelancaran transportasi (:komunikasi), justru mengalami ketersendatan. Niscaya ada sesuatu yang tak beres di sana. Pemanfaatan enjambemen memberi tekanan pada ketidakberesan itu. Hal yang juga terjadi pada pemenggalan aku tembus, yang memperkuat citraan derasnya hujan. Dan pisau air yang panjang jadinya punya makna lain dari sekadar hujan deras, yaitu musibah. Maka, perih menguyur tubuhku mewartakan sebuah malapetaka yang dahsyat. Pada larik terakhir, ia cukup mengatakannya dengan satu kata : kehancuran …// Dengan demikian, puisi ini menghadirkan sesuatu yang kontradiksi, paradoksal: Judul puisi “Menjaga Kota” justru mewartakan kehancuran sebuah kota. Sebuah pilihan kata yang tampak dipikirkan secara cermat-matang.

Begitulah, sarana persajakan serta berbagai macam diksi, telah dimanfaatkan sedemikian rupa, tidak hanya untuk membangun keindahan persajakan dan citraan yang lebih asosiatif, melainkan juga memberi tekanan pada tema yang hendak diangkatnya. Dalam hal itu pula, sangat penting bagi Isbedy untuk meluaskan kosa kata, mencermati makna-maknanya, dan mengolah repetisi secara lebih segar. Tanpa itu, sangat mungkin ia akan tergelincir pada repetisi basi, diksi yang klise, dan perulangan yang tak perlu. Bahan yang berlimpah, memaksanya harus melebarkan pencarian berbagai kemungkinan baru. Maka, tak terelakkan, Isbedy mesti segera melakukan penciptaan idiom-idiom yang lebih segar, suasana yang tajam-mempesona, dan pengolahan majas dengan siasat yang cerdas.
***

Contoh kasus dua puisi yang dibincangkan sepintas itu, tentu saja tidak mewakili keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini. Apalagi jika kita menghubung-kaitankannya dengan keberagaman tema, kekayaan majas dan pengolahannya yang penuh siasat. Bagaimanapun juga, antologi ini, makin jelas mengukuhkan sosok Isbedy Stiawan ZS sebagai penyair yang makin memperlihatkan kepribadiannya yang kukuh dan kepenyairannya yang matang. Kecenderungan memanfaatkan berbagai diksi dan sarana puitik, tampak diintegrasikan ke dalam jalinan kata yang potensial memancarkan keberagaman makna. Segala sarana puitik itu kelihatan digarap Isbedy secara serius. Di situlah, sosok kepenyairannya makin memperlihatkan kesadarannya bahwa puisi bukan sekadar larik-larik kosong tak bermakna. Di sana, ada sebuah dunia makna yang sangat mungkin berisi ideologi, sikap, wawasan—pengalaman atau intelektualitas.

Menulis puisi ibarat pengejawantahan pergulatan emosi, kesadaran penghayatan atas berbagai problem manusia dan kemanusiaan, dan sekaligus juga pandangan kulturalnya atas sebuah puak. Dengan demikian, setiap kata dalam larik-larik dan setiap larik dalam bait, sangat mungkin sesungguhnya mewartakan banyak hal. Di situ pula, mukjizat komunikasi dalam puisi meneguhkan sosok puisi sebagai salah sebuah ruh kebudayaan. Ia lahir dari sebuah proses panjang pergulatan batin penyairnya.

Terlepas dari persoalan itu, tak berlebihan jika saya menyampaikan tahniah buat Lampung yang telah mengantarkan warganya sebagai penyair yang berpengharapan!

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito