Imamuddin SA
“A … a … a … tida …k! Ini tidak mungkin! Bagaimana semua ini bisa terjadi? Sungguh aku tidak percaya. Semuanya terasa begitu cepat. Baru kemarin aku melihat matahari masih terbit dari timur, namun sekarang? Ia telah terbit dari barat!”. Gemuruh batin Fatikh terasa menyesak dada. Ia bingung akan kejadian pagi itu. Begitu juga dengan orang-orang yang ada disekelilingnya. Mereka berlari-larian kian ke sana dan ke mari. Mencari jawaban yang pasti.
“Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi hari ini? Apa yang mesti aku lakukan?”. Fatikh takut. Ia berlari kencang ke selatan. Menghampiri sebuah pohon besar seraya mencari perlindungan.
Di sisi lain, orang-orang banyak yang bergelimpangan. Jatuh dan bangun lagi. Bertabrakan satu sama lain sebab kepanikan yang semakin berpilin. Goresan luka tak dapat dicegah. Darah mengucur dari kening, tangan, kaki, dan bagian tubuh yang lain. Namun semuanya tak dirasa. Hanya keselamatan nyawa yang menjadi tujuannya.
Jerit histeris terdengar di mana-mana. Satu persatu nyawa melayang tergilas kaki-kaki sesamanya. Yang terjatuh dan tak mampu bangkit, kematian pasti menghampirinya. Terik matahari semakin lama bertambah menyengat. Jaraknya hanya tinggal sehasta. Orang-orang semakin bingung di buatnya.
“Mungkinkah kita akan mati semua? Tuhan ……” teriak seorang lelaki dari kejauhan.
“Aku tidak ingin mati seperti ini! Tolong ……” teriak seorang gadis yang berambut ikal.
“Panas ……”.
“Ini kiamat ……Kiamat telah datang ……”.
“Tidak ……ini bukan kiamat. Ini hanya bencana alam biasa.”.
Mereka tidak tahu lagi akan apa yang harus dilakukannya. Mereka hanya mampu berlari dan berteriak histeris menghadapi keadaan yang begitu pelik. Sementara itu, Fatikh masih berada di bawah pohon besar. Berdiri dengan pandangan mata yang kosong. Menatap pesona yang begitu merong-rong. Tiba-tiba pohon itu daun-daunnya terbakar. Merambat pada ranting dan dahannya. Batangnya pun akhirnya pecah dan terjatuh.
“A ……a ……a ……” Fatikh menjerit. Berlari menjauh dari pohon itu.
“Ya Allah, mengapa bumi jadi begini? Mungkinkah ini akibat ulah tangan kami? Tolong hentikanlah semua ini. Jangan biarkan bumi hancur tak terkendali. Berikanlah kami kesempatan taubat sekali ini. Ya Allah. Kepada siapa lagi kami mengharap pertolongan diri, selain kepada-Mulah Dzat yang menguasai.” puji Fatikh disela nafasnya yang kian tersengal-sengal. Ia masih saja berlari. Menghampiri satu tempat ke tempat yang lain. Namun tak ada satu pun yang mampu memberinya perlindungan. Kini, hanya sebatas alunan tasbih yang bisa dikumandangkan. Ia larut dalam prahara zaman.
* * *
Fatikh terlihat gelisah. Tubuhnya berkeringat dingin. Dan nafasnya tersengal-sengal. Raut wajahnya bak bulan kesiangan. Tampaknya ada sedikit rasa tertahan.
“Ah ……h ……h ……”. Fatikh menghentakkan suaranya keras-keras. Ia terbangun dari tidurnya. Masih dalam pandangan hampa. Keseimbangan jiwanya belum juga sempurna. Ia duduk melongo mencoba menyetabilkan irama nafasnya. Sedikit berfikir akan kejadian yang sempat dialaminya.
Saat itu, malam masih bercumbu. Mendekap jasad dengan sayap-sayap dingin merayu. Fatikh masih bercanda dalam kehampaan jiwa dan kesunyian ruang itu. Pengap tanpa seberkas lampu.
Lirih lambaian angin bersalam. Mengantar qasidah adzan menyapa gendang pendengaran. Namun ini bukanlah adzan subuh. Ini adzan qobla subuh. Tepatnya kira-kira pukul 2.30 dini hari. Sayu, Fatikh mendengar lantunan andzan itu. Lahan perlahan keseimbangan jiwanya kembali utuh. Ia bangkit dari duduknya. Berjalan sedikit gontai ke arah meja. Mengambil sebatang lilin dan menyalakannya.
Sedikit demi sedikit ruangan itu bertambah terang seiring keseimbangan jiwa Fatikh yang semakin gemilang. Ia menunggingkan lilin itu. Dan melelehlah. Tetes demi tetes lelehan itu jatuh di hamparan meja dekat tempat tidurnya. Lelehan lilin itu laksana deru jantung Fatikh yang kian mereda. Ia lalu menegakkan lilin itu di atas lelehan tadi. Di atas meja. Begitu pun ia juga menegakkan hatinya yang beberapa saat lalu sempat gundah. Oleng akan sebuah peristiwa.
Fatikh berjalan kembali ke tempat tidurnya. Duduk menghadap pintu. Ia mencoba merenungkan kembali, mimpi yang telah dialami.
“Mengapa aku bisa bermimpi seperti itu? Apa yang akan terjadi pada diriku di hari akhir esok? Akan selamatkah aku saat hari itu tiba? Apa yang akan terjadi dengan kehidupan ini? Bagaiman nasib bumi di kemudian hari? Benarkah kiamat itu demikian? Orang-orang sama-sama sibuk dengan urusannya sendiri. Mencari perlindungan dan keselamatan diri. Tanpa memandang siapa yang ada di sisi. Entah sanak, saudara, dan bahkan keluarga.”.
Seribu pertanyaan berjubal menumpuk dalam pikiran Fatikh. Ia galau setelah mendapat mimpi seperti itu. Pandangannya masih tertuju ke pintu yang sedikiti mengatup. Pintu itu tiba-tiba lirih terbelai angin. Sedikit mengembang. Dan lumayan terbuka melebar.
“Adakah semua ini kan menjadi pembuka pintu hatiku yang selama ini masih rapat terkunci? Megantar aku agar semakin mendekatkan diri pada Dia yang Maha Suci nan Sejati! Sungguh aku tak mau dalam kepayahan diri seperti mimpi yang telah terlukis ini!”.
Fatikh menghempaskan nafas keras-keras. Seraya melepaskan segala beban yang menggumpal di dadanya. Sekarang ia sedikit lega. Sejenak ia menolehkan kepalanya ke samping kanan. Dalam pandangan matannya, ia menangkap seberkas cahaya lilin yang berkobar menyala-nyala. Berklebat menyambar-nyambar mengarah angkasa.
“Apakah mimpiku tadi adalah seberkas sinar pencerahan? Meskipun hanya kecil, namun sudah cukup memberi petunjuk jalan. Menerangi hatiku yang pekat kelam. Mungkinkah ini ……?” Fatih tiba-tiba terdiam. Membekukan gumamannya.
Suasana saat itu memang benar-benar sunyi. Membawa keheningan dan kejernihan hati. Mungkin sebab itulah Rasulullah dulu menyaran kepada umatnya agar berkenan melakukan shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Saat itulah, dimana akan tercipta satu kedekatan batin antara Sang Khaliq dengan hambannya. Apa lagi di sepertiga malam terakhir. Dan konon dikisahkan bahwa sesungguhnya setiap malam, di sepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia. Allah menawarkan kepada siapa saja yang pada saat itu bermunajat kepadan-Nya. Allah berseru dan memanggil mereka. Adakah yang bisa aku Bantu? Adakah yang bisa aku Bantu? Namun semua itu bukan berarti Allah benar-benar turun dan menghampiri manusia, melainkan berkah dan rahmat-Nnyalah yang diturunkan-Nya.
“Ya Allah, apa arti semua mimpiku ini? Sungguh, aku begitu takut akan segala apa yang akan terjadi menimpaku kelak. Aku tak kuasa dan tak kuat jika itu menimpaku. Aku tak ingin semua mimpiku benar-benar menjadi nyata. Aku berharap kepada-Mu ya Allah dengan segenap puja-pujiku.”.
Fatikh khusuk dalam renungannya. Tak terasa derai air mata mengalir lewat kedua sudut kembarnya. Pipi yang tadinya kering kini telah terlihat basah. Fatikh sesekali merebahkan tubuhnya. Menerawang jauh ke angkasa. Ia teringat akan semua perbuatannya.
Pernah ia menikam perasaan ibunya dengan pisau kata-kata. Saat itu, Fatikh sedang asyik melihat tayangan televisi dan ibunya memanggil-manggil, meminta tolong kepadanya agar mengisi kola musholah. Menimbakan air dari sumur yang ada di sampingnya. Tapi, ia menolaknya. Ia tidak mau diganggu sebab lagi ada siaran langsung pertandingan sepak bola.
Yang sangat di sesalkan, Fatikh menolaknya dengan ungkapan yang sedikit menggigit hati ibunya. Apa lagi saat ibunya datang di hadapannya. Ia justru membentak-bentak hingga mata ibunya sempat berkaca-kaca. Sementara itu ia masih asyik melihat tayangan televisi tersebut. Dan malah mengeraskan suara televisinya. Ibunya terpukul lalu mengundurkan diri dari hadapannya.
“Apa ibu tidak dengar? Saya bilang nanti, ya nanti. Tunggu sebentar saja tidak bisa. Sabaran dikit apa tidak bisa. Pertandingan lagi seru-serunya kok bisanya ganggu saja. Kalau ingin cepat ya isi saja sendiri. Lagian orang-orang bisa mengambil air wudlu di rumahnya masing-masing. Ibu ngerti sedikit sama Fatikh dong!” seru Fatikh dengan nada sedikit membentak.
“………” Ibunya hanya terdiam. Menjatuhkan embun air mata dari bening sinar matanya.
Kejadian itu begitu membekas di hati dan pikiran Fatikh. Sehingga ia menghubungkannya dengan mimpinya barusan. Kini kejadian itu ditangkapnya laksana penjaga gawang yang menangkap bola pengalaman. Dipegang dan digenggam erat untuk direnungkan. Dijadikan sinar pencerahan demi suatu hikmah kehidupan.
Dalam hatinya, kini Fatikh pun beri’tikad kuat mempertahankan mahmudah sikapnya agar tidak sampai kebobolan lagi oleh serangan nafsu sesaat yang membabi buta. Membendung dan menghalau jauh-jauh bola permasalahan yang ada. Ia laksana pemain belakang dalam permainan sepak bola. Ia juga berusaha melakukan perlawanan dan penyerangan terhadap kemungkaran yang selalu menyugesti pribadinya. Berusaha mengobrak-abrik dan mengalahkannya. Ia layaknya striker yang tak kenal lelah dalam permainan denyut batinnya. Mencari cela kosong kesadaran untuk menumbangkan nafsu angkara murka.
Di hening sunyi malam itu, Fatikh sadar akan keseimbangan hidupnya. Ia merasa butuh mengatur keseimbangkan diri dalam membendung dan menyerang segala hal yang memicu kemungkaran pribadinya. Entah yang dipicu oleh kehendak pribadinya maupun orang lain. Ia mencoba mengatur irama pemainan hidupnya.
Dalam kamar itu pikiran Fatikh menerawang jauh entah ke mana. Percik perenungan diri seolah terus mengalir laksana mata air pegunungan yang tak berkesudahan. Ia bahkan gemetaran tatkala mimpi itu terus menimbulkan seribu pertanyaan akan jejak akhlaknya yang sungsang. Ia hanyut dalam lambaian lilin oleh lirih angin yang berpilin.
“Ibu, maafkan aku. Sungguh besar dosa yang kuperbuat untukmu hingga sampai medapat peringatan seperti ini. Ya Allah, ampunilah dosaku atas kelalaianku. Sungguh aku tak mau mengantongi kesusahpayahan di esok hari.”.
“Bu, berapa banyak tetes keringat yang kau tumpahkan untukku! Sejak kepergian mendiang ayah waktu itu, kau telah berjuang sendirian. Menumpahkan kasih sayang yang tak berkesudahan. Namun apa yang kau dapatkan dariku Bu? Sakit hati yang telah aku persembahkan kepadamu. Luka yang telah aku tanam di hatimu.”.
“Bu, aku tahu betapa besar harapan Ibu kepadaku. Kau beri aku nama Fatikh sebab kau ingin diriku berhiaskan kebajikan. Menyuarakan kandungan al-Quran. Tapi apa yang sekarang bersarang dalam diriku? Sungguh Bu, sekarang ini aku tak pantas menyandang nama Fatikh. Apa yang aku lakukan terlalu menyimpang jauh dari hakikat nama itu. Ya Allah, mungkinkah aku tak kuat menyandang nama seagung itu hingga aku berpaling dari hakikat namaku sendiri? Dan ketika aku perhatikan, setiap ada nama agung semacam itu kebanyakan perilakuku manusianya bertolak belakang dengan hakikan namanya. Apakah ini sudah menjadi kodrat? Atau hanya sekedar isyarat? Sungguh, ampunilah aku Ya Allah atas segala dosa-dosaku.”.
Meski tanpa suara yang terisak-isak, linangan air mata Fatikh kian menggerimis. Satu persatu butiranya jatuh di pangkuannya. Membasah kain sarung yang dipakainya. Ia merasa begitu berat beban dosa yang dipanggulnya.
“Fatikh, Fatikh, bangun Nak. Sudah jam tiga.”. Lirih suara Ibu Fatikh terdengar di telinga.
Suara itu memecah keheningan jiwa Fatikh yang larut dalam perenungan. Namun Fatikh masih khusuk dalam keheningannya. Justru dengan suara itu, pesona batin Fatikh semakin bergelora. Ia bertambah haru akan ungkapan cinta kasih yang diberikan ibunya. Samudra penyesalan kini membuncah. Menghantamkan tangan-tangan ombak pada karang hati yang mulai luluh oleh suasana.
“Tikh, apa kamu sudah bangun ya? Kalau sudah, lekas kemari. Ibu sudah persiapkan semuanya. Tapi kamu cuci muka dulu ya.”
Terdengar suara gaduh di ruang makan. Suara piring yang bersinggungan dengan sendok dan meja makan. Tampaknya Ibu Fatikh telah selesai mempersiapkan makanan sahur untuk hari itu. Tidak lama kemudian suara jam dinding berdenting tiga kali dengan kerasnya. Pertanda waktu sudah menunjukkan tepat pukul tiga dini hari.
Makan sahur merupakan sebuah rutinitas yang bersifat sunnah sebelum melakukan ibadah puasa di kala waktu fajar tiba hingga terbenanmnya matahari. Konon dikisahkan bahwa waktu yang paling afdhol malakukan makan sahur adalah menjelang imsak. Jadi, ini sudah menjadi kebiasaan jika seseorang mengakhirkan makan sahurnya. Kalau boleh diperkirakan ya, kira-kira lima belas menit sebelum imsak tiba. Saat itulah seseorang harus melakukan makan sahur. Semuanya itu demi mendapatkan keafdholannya.
Waktu telah menunjukkan tepat pukul tiga. Sementara itu, imsak jatuh kira-kira pukul empat kurang lima belas menit. Jadi, harus menunggu setengah jam lagi Fatikh dan Ibunya agar mendapatkan keafdholan dari makan sahurnya.
“Iya Bu, Fatikh sudah bangun”.
“Lekas kemari Nak, nanti makanannya keburu dingin”.
“Sebentar lagi Bu”.
“Ya sudah. Ibu tunggu ya”.
“………” Fatikh berdiam diri. Kesunyian malam kembali melingkupi.
“Ya Allah, hanya kepada-Mulah, aku menyembah dan mengharap pengampunan. Kaulah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Bijak Sana. Pada bulan yang mulia ini, limpahkanlah rahmat dan pengampunanmu atas diriku yang telah lalai.” Puji Fatikh lewat geming kecil bibirnya.
“………” Fatikh sejenak terdiam. Dan kembali terbersit sebaris pertanyaan dalam benaknya. Ia gamang akan puja-pujinya.
“Namun bagaimana aku bisa mendapatkan ampunan-Mu, sementara aku belum mendapatkan ampunan dari sesamaku? Aku belum minta maaf kepada ibuku atas kekhilafan dan kedurhakaanku? Apakah saat ini juga aku harus minta maaf kepada ibuku?”
“………Ah tidak, lain kali saja. Sebentar lagi kan lebaran! Aku totalan dosa waktu itu saja. Lagian hanya tinggal beberapa hari saja. Tidak lebih dari dua minggu lagi.”
“………Tapi, bagaimana jika ajalku telah medahuluinya? Aku mati sebelum minta maaf kepada ibuku! Aku pasti akan membawa beban dosa yang begitu berat ke akhirat sana. Bagaimana dengan nasibku saat hari kiamat tiba? Dalam mimpiku saja sudah sebegitu payahnya, apalagi dalam kenyataannya. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Aku tak kuat. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan saat ini? Sementara, saat ini aku masih malu-malu mengakui kasalahan dan meminta maaf kepada ibuku!”
Waktu telah hampir menunjukkan tepat pukul tiga lebih tiga puluh menit. Fatikh masih berjibaku dengan serpihan-serpihan pertanyaan yang kian menggumpal dalam benaknya. Sementara itu ibunya masih setia menunggunya di meja makan tanpa seorang kawan. Ia pikir, Fatikh tertidur lagi. Jadi, ia terpaksa mengulangi seruannya sekali lagi kepada Fatikh.
“Nak, kamu tidar lagi ya? Lekas kemari! Sudah hampir imsak nih. Nanti kamu tidak kuat loh puasannya. Apa mesti harus ibu susul dulu?”
Mendengar serua itu, dengan sesegera mungkin Fatikh menyahutnya. “Tidak perlu Bu. Fatikh akan bergegas ke Ibu.”
Fatikh pun bangkit dari duduknya. Sejengkal demi sejengkal mengayunkan langkah. Ia terlihat sedikit gontai dalam berjalan. Kakinya sedikit kesemutan. Bersama keteguhan hati yang masih lunglai dan keseimbangan jiwa yang masih terhuyung-huyung oleh ombak perdebatan, ia mencoba memenuhi seruan ibunya. Ia harus berperang dengan dirinya sendiri untuk sebuah keputusan yang pasti. Kini pun ia harus bersahur. Untuk perjalanan esok yang lebih luhur. Berpuasa, bukan sekedar menahan haus dan lapar, namun membendung segala kemungkaran insaniah. Belajar mati dalam kehidupan. Membutakan pandangan. Menulikan pendengaran. Membisukan lisan. Dan bahkan mendiamkan denyut nafsu yang terdalam. Berkiblat pada satu tujuan. Keridloan Tuhan.[]
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar