Kamis, 30 Oktober 2008

MEMOAR

Imamuddin SA

“A … a … a … tida …k! Ini tidak mungkin! Bagaimana semua ini bisa terjadi? Sungguh aku tidak percaya. Semuanya terasa begitu cepat. Baru kemarin aku melihat matahari masih terbit dari timur, namun sekarang? Ia telah terbit dari barat!”. Gemuruh batin Fatikh terasa menyesak dada. Ia bingung akan kejadian pagi itu. Begitu juga dengan orang-orang yang ada disekelilingnya. Mereka berlari-larian kian ke sana dan ke mari. Mencari jawaban yang pasti.

“Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi hari ini? Apa yang mesti aku lakukan?”. Fatikh takut. Ia berlari kencang ke selatan. Menghampiri sebuah pohon besar seraya mencari perlindungan.

Di sisi lain, orang-orang banyak yang bergelimpangan. Jatuh dan bangun lagi. Bertabrakan satu sama lain sebab kepanikan yang semakin berpilin. Goresan luka tak dapat dicegah. Darah mengucur dari kening, tangan, kaki, dan bagian tubuh yang lain. Namun semuanya tak dirasa. Hanya keselamatan nyawa yang menjadi tujuannya.

Jerit histeris terdengar di mana-mana. Satu persatu nyawa melayang tergilas kaki-kaki sesamanya. Yang terjatuh dan tak mampu bangkit, kematian pasti menghampirinya. Terik matahari semakin lama bertambah menyengat. Jaraknya hanya tinggal sehasta. Orang-orang semakin bingung di buatnya.

“Mungkinkah kita akan mati semua? Tuhan ……” teriak seorang lelaki dari kejauhan.
“Aku tidak ingin mati seperti ini! Tolong ……” teriak seorang gadis yang berambut ikal.
“Panas ……”.
“Ini kiamat ……Kiamat telah datang ……”.
“Tidak ……ini bukan kiamat. Ini hanya bencana alam biasa.”.

Mereka tidak tahu lagi akan apa yang harus dilakukannya. Mereka hanya mampu berlari dan berteriak histeris menghadapi keadaan yang begitu pelik. Sementara itu, Fatikh masih berada di bawah pohon besar. Berdiri dengan pandangan mata yang kosong. Menatap pesona yang begitu merong-rong. Tiba-tiba pohon itu daun-daunnya terbakar. Merambat pada ranting dan dahannya. Batangnya pun akhirnya pecah dan terjatuh.

“A ……a ……a ……” Fatikh menjerit. Berlari menjauh dari pohon itu.
“Ya Allah, mengapa bumi jadi begini? Mungkinkah ini akibat ulah tangan kami? Tolong hentikanlah semua ini. Jangan biarkan bumi hancur tak terkendali. Berikanlah kami kesempatan taubat sekali ini. Ya Allah. Kepada siapa lagi kami mengharap pertolongan diri, selain kepada-Mulah Dzat yang menguasai.” puji Fatikh disela nafasnya yang kian tersengal-sengal. Ia masih saja berlari. Menghampiri satu tempat ke tempat yang lain. Namun tak ada satu pun yang mampu memberinya perlindungan. Kini, hanya sebatas alunan tasbih yang bisa dikumandangkan. Ia larut dalam prahara zaman.
* * *

Fatikh terlihat gelisah. Tubuhnya berkeringat dingin. Dan nafasnya tersengal-sengal. Raut wajahnya bak bulan kesiangan. Tampaknya ada sedikit rasa tertahan.
“Ah ……h ……h ……”. Fatikh menghentakkan suaranya keras-keras. Ia terbangun dari tidurnya. Masih dalam pandangan hampa. Keseimbangan jiwanya belum juga sempurna. Ia duduk melongo mencoba menyetabilkan irama nafasnya. Sedikit berfikir akan kejadian yang sempat dialaminya.

Saat itu, malam masih bercumbu. Mendekap jasad dengan sayap-sayap dingin merayu. Fatikh masih bercanda dalam kehampaan jiwa dan kesunyian ruang itu. Pengap tanpa seberkas lampu.

Lirih lambaian angin bersalam. Mengantar qasidah adzan menyapa gendang pendengaran. Namun ini bukanlah adzan subuh. Ini adzan qobla subuh. Tepatnya kira-kira pukul 2.30 dini hari. Sayu, Fatikh mendengar lantunan andzan itu. Lahan perlahan keseimbangan jiwanya kembali utuh. Ia bangkit dari duduknya. Berjalan sedikit gontai ke arah meja. Mengambil sebatang lilin dan menyalakannya.

Sedikit demi sedikit ruangan itu bertambah terang seiring keseimbangan jiwa Fatikh yang semakin gemilang. Ia menunggingkan lilin itu. Dan melelehlah. Tetes demi tetes lelehan itu jatuh di hamparan meja dekat tempat tidurnya. Lelehan lilin itu laksana deru jantung Fatikh yang kian mereda. Ia lalu menegakkan lilin itu di atas lelehan tadi. Di atas meja. Begitu pun ia juga menegakkan hatinya yang beberapa saat lalu sempat gundah. Oleng akan sebuah peristiwa.

Fatikh berjalan kembali ke tempat tidurnya. Duduk menghadap pintu. Ia mencoba merenungkan kembali, mimpi yang telah dialami.

“Mengapa aku bisa bermimpi seperti itu? Apa yang akan terjadi pada diriku di hari akhir esok? Akan selamatkah aku saat hari itu tiba? Apa yang akan terjadi dengan kehidupan ini? Bagaiman nasib bumi di kemudian hari? Benarkah kiamat itu demikian? Orang-orang sama-sama sibuk dengan urusannya sendiri. Mencari perlindungan dan keselamatan diri. Tanpa memandang siapa yang ada di sisi. Entah sanak, saudara, dan bahkan keluarga.”.

Seribu pertanyaan berjubal menumpuk dalam pikiran Fatikh. Ia galau setelah mendapat mimpi seperti itu. Pandangannya masih tertuju ke pintu yang sedikiti mengatup. Pintu itu tiba-tiba lirih terbelai angin. Sedikit mengembang. Dan lumayan terbuka melebar.

“Adakah semua ini kan menjadi pembuka pintu hatiku yang selama ini masih rapat terkunci? Megantar aku agar semakin mendekatkan diri pada Dia yang Maha Suci nan Sejati! Sungguh aku tak mau dalam kepayahan diri seperti mimpi yang telah terlukis ini!”.

Fatikh menghempaskan nafas keras-keras. Seraya melepaskan segala beban yang menggumpal di dadanya. Sekarang ia sedikit lega. Sejenak ia menolehkan kepalanya ke samping kanan. Dalam pandangan matannya, ia menangkap seberkas cahaya lilin yang berkobar menyala-nyala. Berklebat menyambar-nyambar mengarah angkasa.

“Apakah mimpiku tadi adalah seberkas sinar pencerahan? Meskipun hanya kecil, namun sudah cukup memberi petunjuk jalan. Menerangi hatiku yang pekat kelam. Mungkinkah ini ……?” Fatih tiba-tiba terdiam. Membekukan gumamannya.

Suasana saat itu memang benar-benar sunyi. Membawa keheningan dan kejernihan hati. Mungkin sebab itulah Rasulullah dulu menyaran kepada umatnya agar berkenan melakukan shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Saat itulah, dimana akan tercipta satu kedekatan batin antara Sang Khaliq dengan hambannya. Apa lagi di sepertiga malam terakhir. Dan konon dikisahkan bahwa sesungguhnya setiap malam, di sepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia. Allah menawarkan kepada siapa saja yang pada saat itu bermunajat kepadan-Nya. Allah berseru dan memanggil mereka. Adakah yang bisa aku Bantu? Adakah yang bisa aku Bantu? Namun semua itu bukan berarti Allah benar-benar turun dan menghampiri manusia, melainkan berkah dan rahmat-Nnyalah yang diturunkan-Nya.

“Ya Allah, apa arti semua mimpiku ini? Sungguh, aku begitu takut akan segala apa yang akan terjadi menimpaku kelak. Aku tak kuasa dan tak kuat jika itu menimpaku. Aku tak ingin semua mimpiku benar-benar menjadi nyata. Aku berharap kepada-Mu ya Allah dengan segenap puja-pujiku.”.

Fatikh khusuk dalam renungannya. Tak terasa derai air mata mengalir lewat kedua sudut kembarnya. Pipi yang tadinya kering kini telah terlihat basah. Fatikh sesekali merebahkan tubuhnya. Menerawang jauh ke angkasa. Ia teringat akan semua perbuatannya.

Pernah ia menikam perasaan ibunya dengan pisau kata-kata. Saat itu, Fatikh sedang asyik melihat tayangan televisi dan ibunya memanggil-manggil, meminta tolong kepadanya agar mengisi kola musholah. Menimbakan air dari sumur yang ada di sampingnya. Tapi, ia menolaknya. Ia tidak mau diganggu sebab lagi ada siaran langsung pertandingan sepak bola.

Yang sangat di sesalkan, Fatikh menolaknya dengan ungkapan yang sedikit menggigit hati ibunya. Apa lagi saat ibunya datang di hadapannya. Ia justru membentak-bentak hingga mata ibunya sempat berkaca-kaca. Sementara itu ia masih asyik melihat tayangan televisi tersebut. Dan malah mengeraskan suara televisinya. Ibunya terpukul lalu mengundurkan diri dari hadapannya.

“Apa ibu tidak dengar? Saya bilang nanti, ya nanti. Tunggu sebentar saja tidak bisa. Sabaran dikit apa tidak bisa. Pertandingan lagi seru-serunya kok bisanya ganggu saja. Kalau ingin cepat ya isi saja sendiri. Lagian orang-orang bisa mengambil air wudlu di rumahnya masing-masing. Ibu ngerti sedikit sama Fatikh dong!” seru Fatikh dengan nada sedikit membentak.

“………” Ibunya hanya terdiam. Menjatuhkan embun air mata dari bening sinar matanya.
Kejadian itu begitu membekas di hati dan pikiran Fatikh. Sehingga ia menghubungkannya dengan mimpinya barusan. Kini kejadian itu ditangkapnya laksana penjaga gawang yang menangkap bola pengalaman. Dipegang dan digenggam erat untuk direnungkan. Dijadikan sinar pencerahan demi suatu hikmah kehidupan.

Dalam hatinya, kini Fatikh pun beri’tikad kuat mempertahankan mahmudah sikapnya agar tidak sampai kebobolan lagi oleh serangan nafsu sesaat yang membabi buta. Membendung dan menghalau jauh-jauh bola permasalahan yang ada. Ia laksana pemain belakang dalam permainan sepak bola. Ia juga berusaha melakukan perlawanan dan penyerangan terhadap kemungkaran yang selalu menyugesti pribadinya. Berusaha mengobrak-abrik dan mengalahkannya. Ia layaknya striker yang tak kenal lelah dalam permainan denyut batinnya. Mencari cela kosong kesadaran untuk menumbangkan nafsu angkara murka.

Di hening sunyi malam itu, Fatikh sadar akan keseimbangan hidupnya. Ia merasa butuh mengatur keseimbangkan diri dalam membendung dan menyerang segala hal yang memicu kemungkaran pribadinya. Entah yang dipicu oleh kehendak pribadinya maupun orang lain. Ia mencoba mengatur irama pemainan hidupnya.

Dalam kamar itu pikiran Fatikh menerawang jauh entah ke mana. Percik perenungan diri seolah terus mengalir laksana mata air pegunungan yang tak berkesudahan. Ia bahkan gemetaran tatkala mimpi itu terus menimbulkan seribu pertanyaan akan jejak akhlaknya yang sungsang. Ia hanyut dalam lambaian lilin oleh lirih angin yang berpilin.

“Ibu, maafkan aku. Sungguh besar dosa yang kuperbuat untukmu hingga sampai medapat peringatan seperti ini. Ya Allah, ampunilah dosaku atas kelalaianku. Sungguh aku tak mau mengantongi kesusahpayahan di esok hari.”.

“Bu, berapa banyak tetes keringat yang kau tumpahkan untukku! Sejak kepergian mendiang ayah waktu itu, kau telah berjuang sendirian. Menumpahkan kasih sayang yang tak berkesudahan. Namun apa yang kau dapatkan dariku Bu? Sakit hati yang telah aku persembahkan kepadamu. Luka yang telah aku tanam di hatimu.”.

“Bu, aku tahu betapa besar harapan Ibu kepadaku. Kau beri aku nama Fatikh sebab kau ingin diriku berhiaskan kebajikan. Menyuarakan kandungan al-Quran. Tapi apa yang sekarang bersarang dalam diriku? Sungguh Bu, sekarang ini aku tak pantas menyandang nama Fatikh. Apa yang aku lakukan terlalu menyimpang jauh dari hakikat nama itu. Ya Allah, mungkinkah aku tak kuat menyandang nama seagung itu hingga aku berpaling dari hakikat namaku sendiri? Dan ketika aku perhatikan, setiap ada nama agung semacam itu kebanyakan perilakuku manusianya bertolak belakang dengan hakikan namanya. Apakah ini sudah menjadi kodrat? Atau hanya sekedar isyarat? Sungguh, ampunilah aku Ya Allah atas segala dosa-dosaku.”.

Meski tanpa suara yang terisak-isak, linangan air mata Fatikh kian menggerimis. Satu persatu butiranya jatuh di pangkuannya. Membasah kain sarung yang dipakainya. Ia merasa begitu berat beban dosa yang dipanggulnya.

“Fatikh, Fatikh, bangun Nak. Sudah jam tiga.”. Lirih suara Ibu Fatikh terdengar di telinga.

Suara itu memecah keheningan jiwa Fatikh yang larut dalam perenungan. Namun Fatikh masih khusuk dalam keheningannya. Justru dengan suara itu, pesona batin Fatikh semakin bergelora. Ia bertambah haru akan ungkapan cinta kasih yang diberikan ibunya. Samudra penyesalan kini membuncah. Menghantamkan tangan-tangan ombak pada karang hati yang mulai luluh oleh suasana.

“Tikh, apa kamu sudah bangun ya? Kalau sudah, lekas kemari. Ibu sudah persiapkan semuanya. Tapi kamu cuci muka dulu ya.”

Terdengar suara gaduh di ruang makan. Suara piring yang bersinggungan dengan sendok dan meja makan. Tampaknya Ibu Fatikh telah selesai mempersiapkan makanan sahur untuk hari itu. Tidak lama kemudian suara jam dinding berdenting tiga kali dengan kerasnya. Pertanda waktu sudah menunjukkan tepat pukul tiga dini hari.

Makan sahur merupakan sebuah rutinitas yang bersifat sunnah sebelum melakukan ibadah puasa di kala waktu fajar tiba hingga terbenanmnya matahari. Konon dikisahkan bahwa waktu yang paling afdhol malakukan makan sahur adalah menjelang imsak. Jadi, ini sudah menjadi kebiasaan jika seseorang mengakhirkan makan sahurnya. Kalau boleh diperkirakan ya, kira-kira lima belas menit sebelum imsak tiba. Saat itulah seseorang harus melakukan makan sahur. Semuanya itu demi mendapatkan keafdholannya.

Waktu telah menunjukkan tepat pukul tiga. Sementara itu, imsak jatuh kira-kira pukul empat kurang lima belas menit. Jadi, harus menunggu setengah jam lagi Fatikh dan Ibunya agar mendapatkan keafdholan dari makan sahurnya.

“Iya Bu, Fatikh sudah bangun”.
“Lekas kemari Nak, nanti makanannya keburu dingin”.
“Sebentar lagi Bu”.
“Ya sudah. Ibu tunggu ya”.
“………” Fatikh berdiam diri. Kesunyian malam kembali melingkupi.
“Ya Allah, hanya kepada-Mulah, aku menyembah dan mengharap pengampunan. Kaulah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Bijak Sana. Pada bulan yang mulia ini, limpahkanlah rahmat dan pengampunanmu atas diriku yang telah lalai.” Puji Fatikh lewat geming kecil bibirnya.
“………” Fatikh sejenak terdiam. Dan kembali terbersit sebaris pertanyaan dalam benaknya. Ia gamang akan puja-pujinya.
“Namun bagaimana aku bisa mendapatkan ampunan-Mu, sementara aku belum mendapatkan ampunan dari sesamaku? Aku belum minta maaf kepada ibuku atas kekhilafan dan kedurhakaanku? Apakah saat ini juga aku harus minta maaf kepada ibuku?”
“………Ah tidak, lain kali saja. Sebentar lagi kan lebaran! Aku totalan dosa waktu itu saja. Lagian hanya tinggal beberapa hari saja. Tidak lebih dari dua minggu lagi.”
“………Tapi, bagaimana jika ajalku telah medahuluinya? Aku mati sebelum minta maaf kepada ibuku! Aku pasti akan membawa beban dosa yang begitu berat ke akhirat sana. Bagaimana dengan nasibku saat hari kiamat tiba? Dalam mimpiku saja sudah sebegitu payahnya, apalagi dalam kenyataannya. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Aku tak kuat. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan saat ini? Sementara, saat ini aku masih malu-malu mengakui kasalahan dan meminta maaf kepada ibuku!”

Waktu telah hampir menunjukkan tepat pukul tiga lebih tiga puluh menit. Fatikh masih berjibaku dengan serpihan-serpihan pertanyaan yang kian menggumpal dalam benaknya. Sementara itu ibunya masih setia menunggunya di meja makan tanpa seorang kawan. Ia pikir, Fatikh tertidur lagi. Jadi, ia terpaksa mengulangi seruannya sekali lagi kepada Fatikh.

“Nak, kamu tidar lagi ya? Lekas kemari! Sudah hampir imsak nih. Nanti kamu tidak kuat loh puasannya. Apa mesti harus ibu susul dulu?”
Mendengar serua itu, dengan sesegera mungkin Fatikh menyahutnya. “Tidak perlu Bu. Fatikh akan bergegas ke Ibu.”

Fatikh pun bangkit dari duduknya. Sejengkal demi sejengkal mengayunkan langkah. Ia terlihat sedikit gontai dalam berjalan. Kakinya sedikit kesemutan. Bersama keteguhan hati yang masih lunglai dan keseimbangan jiwa yang masih terhuyung-huyung oleh ombak perdebatan, ia mencoba memenuhi seruan ibunya. Ia harus berperang dengan dirinya sendiri untuk sebuah keputusan yang pasti. Kini pun ia harus bersahur. Untuk perjalanan esok yang lebih luhur. Berpuasa, bukan sekedar menahan haus dan lapar, namun membendung segala kemungkaran insaniah. Belajar mati dalam kehidupan. Membutakan pandangan. Menulikan pendengaran. Membisukan lisan. Dan bahkan mendiamkan denyut nafsu yang terdalam. Berkiblat pada satu tujuan. Keridloan Tuhan.[]

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito