suarakarya-online.com
Sebagian pengamat dan peneliti mancanegara menyatakan bahwa korupsi di beberapa negara berkembang tidak selalu bermakna negatif. Seperti penelitian di beberapa negara Eropa Timur pascapemisahan Uni Soviet, juga di negara-negara berkembang Afrika maupun di Indonesia, menyatakan bahwa korupsi telah meningkatkan penerimaan sistem pemerintahan yang, bahkan, otoriter di hati masyarakat. Uang pelicin sebagai salah satu manifestasi korupsi, misalnya, terbukti telah memperlancar sistem birokrasi yang sesungguhnya macet dan mampet.
Dengan birokrasi yang dirasa “lancar” itu, masyarakat pun memiliki penerimaan yang cukup tinggi pada sistem pemerintahan yang eksis saat ini. Lain hal, korupsi pun menjadi salah satu jalur yang mampu mendistribusikan uang negara yang dikuasai atau dikangkangi oleh segolongan elite penguasa kepada pihak swasta. Dengan demikian, uang negara pun menjadi lebih hidup dan produktif.
Masih banyak penelitian lain yang menunjukkan BAHWA korupsi bukan saja memberi dampak positif, tetapi juga memiliki keterikatan kuat dengan tradisi atau sistem pemerintahan lokal dari berbagai negara. Karena itu, sesungguhnya menurut banyak pengamat itu, tidak ada pendekatan yang universal terhadap korupsi – termasuk usaha-usaha untuk mengurangi bahkan melenyapkannya. Tiap kepala, tiap isi kepalanya. Tiap bangsa, tiap karakteristik korupsi.
Lanjutan dari cara berfikir itu, sampai pada satu logika yang menyatakan, korupsi dengan model pemahaman, pendekatan, dan metode negasi yang kita fahami sekarang ini adalah sebuah kenaifan cara berpikir. Bahkan di banyak kasus menjadi semacam kemustahilan dalam praksis penangkalannya. Di Indonesia, umpama, beberapa praktik korupsi bukan saja telah diterima sebagai bagian adab bermasyarakat kita, menjadi kelumrahan keseharian, bahkan selalu dirujuk pada tradisi lokal yang sudah ada selama ratusan tahun.
Logika lain menyatakan dengan tegas, korupsi tak akan mungkin dihapuskan di banyak bagian di bumi ini karena dia sudah menjadi bagian yang integral sistem ekonomi global. Lanjutannya juga menyatakan, “Bagaimana korupsi dapat dihapuskan jika sistem ekonomi yang berlaku sudah mencerminkan ketidakadilan.” Pendek kata, semua pendapat itu seperti mengulang pemahaman paling purba, korupsi sebagaimana perjudian, pelacuran, percanduan, dan dunia-dunia negatif atau hitam lain adalah juga buah peradaban yang eternal. Sebagian memaksa kita berambisi menghapuskannya, sebagian berniat menguranginya, sebagian mencoba merelatifisasi atau merasionalisasinya, dan sebagian lagi menerimanya dengan berbagai argumentasi.
Jika dunia dari negeri-negeri berkembang (bahkan maju sekali pun) dilihat dengan cara seperti ini, satu logika akan mencuat mengenai hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) – yang telah diratifikasi oleh pemerintah kita tahun lalu – menjadi terasa terlalu sumir dan kabur. Kenapa? Karena korupsi secara rasional merupakan penghalang permanen bagi pelaksanaan hak-hak tersebut. Karena itu, berlangsungnya korupsi secara permanen meniscayakan tidak berlangsungnya secara sempurna hak-hak tersebut juga secara permanen. Dengan lain istilah: hak itu batal secara formal.
***
Di Indonesia, sebagai misal dari logika ini, sungguh merupakan contoh yang menarik bahkan mungkin sempurna. Kita lihat saja, kebijakan-kebijakan mutakhir pemerintahan atau kabinet yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak awal pemerintahannya, rakyat negeri yang cukup porak-poranda dalam kerusuhan reformasi, kejatuhan pemerintahan berulang kali, kericuhan demonstrasi, kekejaman aksi-aksi separatis, ancaman dan rasa ngeri terorisme, perilaku elite yang tak tahu hati, dan sebagainya, masih harus pula digempur dengan kebijakan-kebijakan harga, pajak – misalnya – yang sungguh menghancurkan batas kemampuan atau survival mereka.
Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL), yang bahkan bisa mencapai seratus persen bagi industri, sungguh memperlihatkan ketakpedulian tak terperi pemerintahan sekarang ini terhadap rakyat yang menjadi majikannya sendiri. Protes, keluhan, permintaan, dan penolakan seakan hanya menjadi sekepulan asap di ujung cerutu di bibir-bibir tebal para penguasa. Bahkan secara sinistik, salah satu menteri yang tergolong “madam defisit”, menyatakan bahwa soal efisiensi itu urusan pengusaha – bukan pemerintah. Sebuah pernyataan yang kembali membuktikan ketidakpedulian dan betapa alieanatifnya pemerintah di hadapan rakyat.
Sebagaimana logika di atas, korupsi tentu saja menghalangi pemenuhan hak ekonomi rakyat. Hal yang sama bisa dilihat pada kasus-kasus lain, seperti kenaikan harga BBM, kenaikan pajak, kenaikan harga barang konsumsi, kenaikan tarif tol, sampai pada rencana kenaikan tarif pulsa Telkom. Semua hal itu, saya kira, telah menaikkan beban hidup semesta rakyat, hampir di luar jangkauan toleransi atau kemampuan rakyat mengatasinya. Korupsi sebagai salah satu penyebab adalah juga sumber yang membuat hak ekosob rakyat Indonesia terbatalkan.
Dalam arti lain, pemerintah secara logis-formal pun telah gagal, bahkan sejak awal kovenan itu diratifikasi.
***
Batalnya hak dan gagalnya pemerintah memenuhi hak ekonomi di atas tentu saja menjadi musabab logis bagi tidak mungkinnya hak sosial-budaya diselenggarakan. Bagaimana seseorang yang tak berdaya bahkan untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari dapat mengakses, menjalankan, atau mengapresiasi kebutuhannya akan hidup sosial dan hidup budayanya? Jika untuk makan hari ini, untuk pergi sekolah hari ini, bahkan untuk berlindung dari hujan atau banjir saja seseorang tak mampu, apa dapat dia menikmati puisi, berkunjung ke bioskop, atau sekadar bersilaturahmi?
Tentu sebuah kemewahan luar biasa bagi siapa saja saat ini yang masih mendatangi panggung teater, nonton konser musik internasional, atau duduk tertib mencermati diskusi rumit tentang HAM, misalnya. Bisa dipastikan, mereka yang datang ke tempat-tempat itu sudah tak memiliki masalah primer atau sekunder. Mereka survive, mapan, established. Mereka elite. Jika bukan, bisa dipastikan mereka agak “tidak normal”, bisa luarrr biasa (orang “gila” atau eksentrik macam seniman, mungkin masuk di golongan ini).
Tak bisa lain, saya kira, kita harus merumuskan kembali terma “hak” dalam pemahaman kita. Apakah dia sebagaimana yang didefinisikan PBB, atau dalam berbagai referensi global lain? Atau sebagaimana korupsi, dia pun harus mendapatkan konteks, pembumitanahan, atau pelokalan, yang membuat definisi itu hidup dan berakar dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hak ekosob kita, bisa jadi, bukan sekadar pemenuhan hasrat manusia akan ekspresi estetik, gairah bermasyarakat, atau pemenuhan standar konsumsi mal, plaza, dan hypermarket. Mungkin sekedar ruang yang memungkinkan sebuah keluarga, misalnya, terbebas dari tekanan atau himpitan kuat yang datang dari dunia eksternal mereka. Dari pemerintah, misalnya. Dari militer, serbuan Hollywood, iklan televisi, dan sebagainya.
Bagaimana persisnya? Di tangan kita semua dia berada. Untuk itu, tidak cukup dengan seminar atau aksi menggoyang pagar halaman. Tapi juga melawan hegemoni pengertian, hegemoni paradigma berpikir (termasuk yang dilansir PBB). Satu perlawanan yang membutuhkan keberanian tersendiri. Bukan begitu?
***
*) Pekerja sastra dan teater, dosen pascasarjana Universitas Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2010/11/hak-yang-batal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar