Ignas Kleden *
jehovahsabaoth.wordpress.com
Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang adalah sebuah prosa liris yang sangat panjang, yang secara tradisional dituturkan secara lisan di antara orang Petalangan, suku asli Riau yang hidup di empat kecamatan di Kabupaten Kampar. Empat kecamatan tersebut adalah Pengkalankuras, Bunut, Langgam, dan Kualakampar.
Panjangnya prosa liris ini dapat dibayangkan setelah direkam oleh Tenas Effendy, dan diterbitkan dalam bentuk buku, hasil kerja sama Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), The Toyota Foundation dan Yayasan Bentang Budaya, tahun 1997. Rekaman diterbitkan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Petalangan dan terjemahan dalam bahasa Indonesia setebal 715 halaman (format 15,5 cm x 24 cm). Jadi naskah aslinya sendiri panjangnya kira-kira 357 halaman, yang secara tradisional dituturkan secara lengkap oleh penutur yang dikenal sebagai pebilang tombo, yang menghafal teks sepanjang itu di luar kepala.
Tombo adalah cerita yang berisikan tradisi suatu suku. Mereka yang tidak mempunyai tombo dianggap tidak jelas asal-usulnya. Di bekas Kerajaan Pelalawan dahulu terdapat 14 suku orang Petalangan yang memiliki tombo, yang dapat berbentuk nyanyian panjang yaitu prosa berirama, atau tombo biasa. Sebaliknya, nyanyian panjang atau prosa liris ini ada yang berisikan tombo dan ada pula yang lebih bervariasi isinya. Naskah yang dikumpulkan oleh Tenas Effendy ini merupakan rekaman nyanyian panjang yang berisi tombo, yang diteliti di dua desa utama, yaitu Desa Betung dan Desa Talau. Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang adalah prosa liris yang berisikan tombo dari suku Monti Raja (atau Sialang Kawan) di Desa Betung, Kecamatan Pengkalankuras, Kabupaten Kampar. Ada beberapa sebab mengapa tombo ini yang dipilih. Pertama, karena Monti Raja dituakan oleh batin-batin (kepala suku) lainnya. Kedua, tombo Monti Raja, menurut pengakuan para tetua adat, dianggap paling lengkap dibandingkan dengan tombo lainnya. Penghormatan kepada tombo ini nyata, antara lain dari digunakannya nama tokoh utama tombo ini yaitu, Bujang Tan Domang Serail, atau dikenal juga sebagai Datuk Demang Serail, sebagai nama Balai Pertemuan di ibu kota Kecamatan Pengkalankuras.
Rekaman seperti ini, dilihat dalam konteks sekarang, mempunyai kepentingan yang jauh lebih luas dari sekadar penelitian filologi. Orang-orang muda yang dapat menghafal tradisi lisan semakin jarang, dan tradisi ini terancam punah kalau tidak segera dilakukan usaha perekaman. Namun, usaha seperti ini jelas bukanlah sekadar ikhtiar melestarikan suatu warisan yang segera hilang, tetapi memberikan berbagai dimensi baru dalam pengertian dan apresiasi tentang apa yang dikenal sebagai kebudayaan tradisional.
Masuknya modernisasi, dan dikotomi yang biasanya dibuat antara modern dan tradisional, menyebabkan penghargaan kepada tradisi jauh dari yang sepantasnya. Bahkan pemikir kebudayaan di Indonesia sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana, pernah menyebut kebudayaan tradisional (dengan Borobudur sebagai contoh yang sering diajukannya) sebagai kebudayaan dari zaman jahiliah. Pernilaian itu, dilihat dalam retrospeksi, lebih menunjukkan kekaguman kepada apa yang dibayangkan sebagai modernitas, dan bukannya suatu pengertian yang memadai tentang kompleksitas dan kekayaan kebudayaan tradisional, yang banyak unsurnya tetap relevan bahkan pada masa yang paling modern pun. Lebih dari itu, semakin disadari bahwa berbagai kontradiksi dalam kebudayaan modern, khususnya dalam kebudayaan industri, telah dipecahkan dengan cara yang relatif memuaskan, justru dengan cara-cara tradisional.
Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang dapat diambil sebagai sebuah kasus yang menarik dan penting untuk soal ini. Prosa liris ini praktis mempunyai tiga fungsi utama untuk masyarakat Petalangan.
Pertama, dia berfungsi sebagai sebuah sumber sejarah buat suatu suku. Tentu saja sejarah di sini tidak patut dipahami sebagai historiografi kritis dan akademis, tetapi sebagai sebuah rujukan yang mencukupi bagi keperluan suatu suku, tentang siapa yang menjadi orang pertama yang datang ke daerah itu dan kemudian menjadi nenek-moyang suatu suku, dari mana asal-usulnya, dan siapa saja yang menjadi keturunannya.
Demikianlah, pemilik tombo ini menganggap diri mereka berasal dari seorang raja di Kerajaan Johor bernama Raja Alam. Sang raja menikah dengan Putri Mayang dan melahirkan dua putri dan seorang putra. Kedua putri bernama Putri Embun Putih dan Putri Lindung Bulan, sedangkan sang putra bernama Bujang Tan Domang. Raja Alam dan permaisurinya dilarikan oleh Raja Garuda ke Kerajaan Langit. Ketiga anak baginda pergi mencari orangtua mereka. Putri Embun Putih kemudian dinikahi oleh Raja Patih. Putri Lindung Bulan diculik oleh Raja Cina. Sementara itu Bujang Tan Domang dalam pengembaraannya berguru dan mencari ilmu kepada segala orang pandai. Dengan kesaktiannya dia berhasil merebut kembali saudarinya, Putri Lindung Bulan dari Cina dan sanggup merebut orangtuanya dari Kerajaan Langit setelah mengalahkan raja Garuda. Setelah itu Bujang Tan Domang melayari Sungai Kampar, mengalahkan beberapa raja yang zalim, mengunjungi makhluk halus yang disebut bunyian, memberi nama kepada beberapa tempat yang akan diserahkan kepada keturunannya, memperistri Putri Sri Gading dan akhirnya menetap di Sialang Kawan dan mendirikan kerajaan baru di tempat itu.
Kedua, tombo ini berfungsi sebagai dokumen hukum. Di dalamnya disebutkan batas-batas tanah, jenis-jenis tanah dan hutan, hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh anggota suku, dan sanksi terhadap berbagai pelanggaran. Adapun hutan-hutan yang ada dibagi ke dalam empat kelompok. Masing-masingnya adalah tanah kampung yang menjadi tempat permukiman, tanah dusun yang menjadi tempat berkebun, khususnya untuk tanaman keras dan tanah cadangan untuk tempat tinggal, tanah peladang yaitu tempat dilakukan perladangan berpindah-pindah, dan rimba larangan yang dalam istilah sekarang dapat disebut hutan lindung, yang tidak boleh digarap. Rimba larangan ini terdiri dari dua jenis, yaitu rimba kepungan sialang yaitu tempat tumbuh pohon sialang tempat lebah bersarang, dan rimba simpanan tempat hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan, yang menjadi sumber utama untuk obat-obatan tradisional. Dalam istilah sekarang tempat ini dijaga dan dirawat sebagai sumber keanekaragaman hayati (biodiversity).
Pedoman-pedoman tentang penggunaan hutan ditetapkan dengan teliti. Tentang menebang pohon diuraikan apa yang boleh ditebang, seberapa banyak, dan apa yang pantang ditebang.
Tebang tidak merusakkan
Tebang tidak membinasakan
Tebang tidak menghabiskan
Tebang menutup aib malu
Tebang membuat rumah tangga
Membuat balai dengan istana
Membuat madrasah dengan alatnya.
Tentang pantangan dalam menebang dikatakan:
Pantang menebang kayu tunggal
Pantang menebang kayu berbunga
Pantang menebang kayu berbuah
Pantang menebang kayu seminai
………………………
Pantang menebang induk gaharu
Pantang menebang induk kemenyan
Pantang menebang induk damar
……………………….
Kalau menebang berhingga-hingga
Kalau saja pemegang HPH sedikit meluangkan waktu membaca tambo ini sebelum memulai usahanya, mereka mungkin tidak akan diyakinkan untuk cukup “menebang berhingga-hingga”, tetapi mereka pasti dapat diyakinkan bahwa penduduk setempat yang sering dianggap bodoh tidaklah sedungu sebagaimana sering diperkirakan, melainkan menyimpan berbagai kebijaksanaan lingkungan yang kemudian dibela oleh para pejuang lingkungan hidup. Prinsip-prinsip yang dirumuskan di Rio atau di mana pun telah beratus tahun dijalankan dengan setia oleh penduduk Petalangan dan mungkin penduduk dalam berbagai komunitas tradisional di tempat lain.
Ketiga, selain sebagai “buku hukum”, tombo juga berfungsi sebagai kumpulan ajaran-ajaran moral yang wajib diikuti oleh anggota suku. Istilah asli untuk code of conduct ini di kalangan orang Petalangan adalah tunjuk ajar. Yang unik di sini ialah bahwa berbagai kelakuan manusia dilukiskan dan diuraikan dalam perbandingan dengan apa yang terdapat dalam alam, yang terlihat pada pohon dan tanaman, atau yang diamati di antara tingkah laku binatang-binatang. Mungkin para pemikir modern akan memandang sebelah mata kepada kode etik seperti ini dan menyebutnya dengan sedikit menghina sebagai suatu naturalisme primitif. Sekalipun demikian, dipandang dari segi lainnya, pandangan ini memberikan suatu alternatif kepada antropologi konvensional yang memberikan tempat yang terlalu utama kepada manusia sebagai makhluk tertinggi dalam alam. Patutlah diingat dalam kaitan ini bahwa evolusi biologis suka membuktikan bahwa dari hewan yang lebih rendah tahap perkembangannya kemudian muncul perkembangan hewan pada tahap yang lebih tinggi, misalnya pada mamalia, dan selanjutnya muncul makhluk yang sekarang dikenal sebagai manusia. Sekalipun demikian, evolusi moral menunjukkan dengan berbagai bukti nyata (perang dunia, genocide, atau pembunuhan dan kekerasan politik seperti halnya di Indonesia sekarang), bahwa manusia lebih sering merosot menjadi lebih rendah daripada hewan dalam tingkah lakunya. Pada titik itulah, lebih bermanfaat melihat manusia dalam solidaritas dengan makhluk-makhluk lainnya di alam ini daripada mengklaim secara angkuh bahwa dialah penguasa yang berhak mengolah dan mengerjakan segala apa yang ada dalam alam ini menurut akal budinya, yang sering ternyata tidak waras. Tombo orang Petalangan dengan baiknya menunjukkan bahwa tanaman dan pepohonan, hewan melata atau hewan berkaki empat, bisa menjadi “guru” yang memberikan tunjuk ajar tentang bagaimana manusia berlaku terhadap sesamanya.
Tengoklah kayu di rimba
Ada yang besar ada yang kecil
Ada yang lurus ada yang bengkok
Ada yang berpilin memanjat kawan
Ada yang dihimpit oleh kayu lain
Ada yang licin ada yang berbongkol
Ada yang tegak ada yang condong
Ada yang hidup ada yang mati
Ada yang berduri ada yang tidak
Ada yang bergetah ada yang tidak
Ada yang berbuah ada yang tidak
………………………….
Beragam-ragam kayu di rimba
Beragam pula hidup manusia
Keserakahan dan keugaharian dalam hidup dapat dipelajari dengan sempurna dari kelakuan burung enggang dan burung pipit.
Makan jangan menghabiskan
Minum jangan mengeringkan
Makanan enggang tak tertelan oleh pipit
Makan pipit jangan dihabiskan enggang
Itulah hidup bertenggangan
Hidup senasib sepenanggungan
Demikian pula watak manusia yang ingat diri atau yang menenggang orang lain dilukiskan dengan plastis dan indah berdasarkan pengamatan terhadap dunia binatang.
Beribu banyak manusia
Beribu pula banyak ragamnya
Begitu pula dengan binatang rimba
Baik juga buat dicontoh
Ada yang garang ada yang penakut
Ada yang memakan emak dan bapak
Ada yang memakan bangkai kawan
Ada yang menggigit ada yang mencatuk
Ada yang mengerkah ada yang membela
Ada yang berkawan ada yang tunggal
…………………………..
Ada yang hidup suka berkubang
Ada pula yang di atas kayu
Ada yang terbang ada yang merangkak
Bermacam pula perangainya
Begitu pula sifat manusia
Ini tidak berarti bahwa dalam tombo tidak ada petunjuk tegas yang langsung ditujukan kepada manusia tanpa rujukan kepada alam. Bila dirasa perlu tombo menampilkan ketegasan moral dengan artikulasi yang jelas, yang tidak memungkinkan ambivalensi atau salah pengertian. Kritik dan peringatan kepada orang berhati culas dan yang hanya ingat dirinya, dikemukan tanpa tedeng aling-aling:
Orang pendengki mati berdiri
Orang khianat mati terlaknat
Orang pembohong mati tercampak
Orang sombong mati gembung
Orang tamak mati bengkak
Sebaliknya, batas antara keberanian dan kecerobohan, ataupun garis antara sikap hati-hati dan sikap penakut, atau perbedaan antara kerendahan hati yang sebenarnya dan kepura-puraan ditetapkan dengan relatif jelas:
Kalau duduk ditepi-tepi
Tapi jangan ke tepi sangat
Nanti tercampak ke pelimbahan
Kalau bercakap di bawah-bawah
Tapi jangan ke bawah sangat
Nanti mati dipijak gajah
Kalau mandi di hilir-hilir
Tetapi jangan ke hilir sangat
Nanti hanyut ditelan gelombang
Seluruh moralitas dan kode etik orang Petalangan ini oleh Tenas Effendy telah diringkas menjadi sepuluh perangkat nilai yang utama.
1. Kerukunan adalah suatu asas dasar. Prinsip ini dirumuskan sebagai pedoman yang, untuk situasi politik Indonesia sekarang, dapat dipegang oleh berbagai golongan di Tanah Air pada saat ini:
Sama saudara pelihara-memelihara
Sama sahabat ingat-mengingat
Sama sesuku bantu-membantu
Sama sebangsa rasa-merasa
2. Mufakat merupakan cara mencapai konsensus secara demokratis.
Kalau tumbuh silang sengketa
Sebelum hukum dijatuhkan
Diusut dahulu baik-baik
Carilah sebab mula asalnya
Tilik duduk dengan tegaknya
Salah besar diperkecil
Salah kecil dihabisi
3. Keadilan dirumuskan sebagai kesanggupan untuk tidak memicingkan mata terhadap kesalahan yang sudah jelas di depan mata.
Menimbang sama beratnya
Menyukat sama takarnya
Mengukur sama panjangnya
4. Memegang adat berarti:
Adat dijunjung lembaga disanjung
Pusaka sama dijaga
………………..
Kalau hidup tidak beradat
Di situlah tanda akan kiamat
(Sampai di sini saya tak dapat menahan diri untuk mengutip adagium dari seorang sejarawan dan sastrawan Inggris abad ke-19, Thomas Carlyle yang berkata: “Swerving from our fathers’ rules is calling our fathers fools“).
5. Gotong royong, yang dilukiskan sebagai suatu partisipasi aktif baik dalam kelebihan maupun kekurangan.
Kalau berlebih beri-memberi
Kalau kurang isi-mengisi
Kalau sempit sama berhimpit
Kalau lapang sama melenggang
6. Kesetiaan, yang menyebabkan seseorang dapat dipegang ucapannya oleh orang lain.
Bercakap jangan mengulum lidah
Berkata jangan bercabang lidah
Pepat di luar pepat di dalam
Runcing di luar runcing di dalam
7. Tahu diri, yaitu kesanggupan untuk menempatkan diri dengan benar dalam hubungan dengan orang lain.
Tahu baik dengan buruk
Tahu hak dengan kewajiban
Tahu beban yang kalian pikul
Tahu beban yang kalian bayar
………………………
Tahu hormat pada yang tua
Tahu sayang pada yang muda
Tahu kasih sama sebaya
8. Sikap tidak mencari musuh, yaitu kesanggupan untuk tidak menjelek-jelekkan orang lain.
Buruk orang jangan dicari
Malu orang jangan disingkap
Aib orang jangan dibuka
Kurang orang jangan dijajakan
9. Kerendahan hati, yaitu kesanggupan untuk melihat kelemahan dan keterbatasan diri, dan berusaha mengatasinya.
Bodoh jangan malu berguru
Sesat jangan malu bertanya
Salah cepat meminta maaf
Berdosa cepat meminta ampun
10. Kesabaran dan percaya diri akan membuat seseorang seimbang dalam segala perilakunya.
Teguh kepada keyakinan awak
Berfikir dengan jernih
Tegak dengan pemandangan jauh
Duduk dengan hati lapang
Beberapa contoh yang diberikan di sini dapat menunjukkan bagaimana suatu suku yang selama Orde Baru, dinyatakan sebagai suku yang amat miskin, mempunyai pedoman kehidupan masyarakat yang demikian rapi, yang secara tradisional, dapat dipastikan, sanggup memberikan kesejahteraan hidup yang relatif merata untuk semua anggota sukunya. Memang, pada tahun 1978 telah dilakukan penelitian tentang Penentuan Lokasi Daerah Miskin di Propinsi Riau oleh Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. Ditemukan antara lain bahwa kehidupan penduduk harus dikategorikan sebagai miskin sekali, dengan pendapatan per kepala Rp 29.683. Dari tanah suku itu seluas 172.475 ha hanya 4.12 ha yang dianggap sebagai tanah dengan kepemilikan sah. Selebihnya dianggap sebagai tanah negara.
Persoalan yang tidak pernah diajukan dengan terus terang ialah mengapa penduduk di sana menjadi demikian miskin? Jawabannya yang bertahun-tahun didiamkan ialah karena mereka dicopot dari sumber kehidupan ekonomi dan sumber kekayaan budayanya yaitu hutan, sungai, bukit dan tanah-tanah mereka yang harus diserahkan kepada pengusaha perkebunan besar dan pemegang HPH. Usaha kelapa sawit yang dikembangkan di daerah itu jelas sukar mengintegrasikan penduduk setempat sebagai tenaga kerja karena secara tradisional mereka tidak mengenal tanaman tersebut. Pemerintah daerah telah mencoba menyelamatkan hutan dan memberi perlindungan kepada alam di sana dengan SI Gubernur Riau No Kpts. 118/IX/1972, pada 18 September 1972, akan tetapi ketetapan itu sama sekali tidak diperhatikan oleh para pengusaha perkebunan.
Akibatnya, penduduk kehilangan hutan mereka, kehilangan kampung mereka, kehilangan tanah dan batas-batas tanah yang untuk mereka sendiri amat jelas selama ratusan tahun. Bukan itu saja, mereka juga kehilangan referensi utama dari kehidupan budaya dan kehidupan moral mereka. Tidak ada lagi pohon-pohon yang selama itu menjadi petunjuk tentang tingkah laku mereka. Tidak ada lagi burung enggang dan pipit yang selalu memperingatkan mereka tentang bahayanya keserakahan dan pentingnya keugaharian dalam hidup bermasyarakat mereka. Terjadi pemelaratan secara ekonomi dan sekaligus pemiskinan secara budaya.
Proses itu menyebabkan pula bahwa perhatian kepada tombo menjadi berkurang. Karena batas-batas tanah dan hutan yang disebut dalam tombo dan nyanyian panjang telah diratakan oleh traktor dan alat-alat berat lainnya. Orang tidak dapat lagi mendengarkan tombo untuk mendapatkan tunjuk ajar karena pohon dan binatang yang menjadi rujukannya sudah kehilangan habitat, mati, atau berpindah ke tempat lainnya.
Di sini kelihatan betapa eratnya kehidupan ekonomi dan budaya, dan kaitan yang organik antara ekologi fisik dan ekologi sosial-budaya. Pohon-pohon yang ditebang menyebabkan merananya puisi dan prosa liris yang bercerita tentangnya, demikian pun hilangnya hutan-hutan menyebabkan kaburnya kode etik yang merujuk kepada hutan itu. Sementara itu, lingkungan hidup yang terpelihara dengan baik selama ratusan tahun, ditebang dengan cara yang “tidak berhingga-hingga”, sehingga sumber-sumber budaya yang selalu merujuk ke hutan itu merana dan kemudian hilang lenyap.
Orang-orang Petalangan memang akhirnya miskin dan melarat karena mereka berada di bawah proses pemiskinan yang keras, justru oleh sesama bangsanya yang menurut ajaran tradisional mereka harusnya “rasa-merasa”. Mereka tentu bingung melihat pohon yang sedang berbunga dan sedang berbuah ditebas tanpa merasa pantangan apa pun. Kadang-kadang kita sebaiknya bertanya lagi kepada orang-orang ini apa pandangan mereka tentang apa yang sering dibayangkan sebagai modernitas. Sekarang ini pertanyaan ini tidak perlu diajukan lagi. Karena jawabannya sudah sangat nyata: KKN yang tetap menggelembung, kekerasan yang berkembang seperti penyakit menular, hilangnya tanggung jawab politisi yang hanya sibuk dengan diri sendiri, dengan ekonomi yang gonjang-ganjing setelah tiga puluh tahun lebih menguras apa yang dipelihara dengan tertib dan sopan dalam lingkungan tradisional.
Orang Petalangan dan suku-suku tradisional barangkali tidak banyak mengenal teori perikemanusiaan dan hak-hak asasi. Tetapi satu hal pasti mereka ketahui dengan yakin: manusia menyimpan potensi besar untuk menjadi tidak manusiawi, seperti halnya hewan yang memakan bangkai binatang lain. Ratusan tahun sastra lisan telah menjaga hidup mereka, dan ratusan tahun sastra telah bertumbuh bersama pohon-pohon di rimba larangan. Herankan kita bahwa pada saat pohon-pohon tidak lagi berbunga dan berbuah, kebudayaan apa pun tidak akan lagi dapat diciptakan oleh orang Petalangan? Tambo mereka dilindas oleh hasrat memburu pertumbuhan eknomi dan keuntungan usaha (halal maupun tidak) dan nyanyian panjang semakin tenggelam ditelan deru mesin pabrik.
*) Dr. Ignas Kleden, M.A. Lahir di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948, adalah sastrawan, sosiolog, cendekiawan, dan kritikus sastra berkebangsaan Indonesia. Dia merupakan salah satu penerima Penghargaan Achmad Bakrie tahun 2003.
Sumber: Jumat, 7 Juli 2000
https://jehovahsabaoth.wordpress.com/2011/09/10/bercermin-pada-tradisi-lisan-tentang-nyanyian-panjang-bujang-tan-domang/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar