Alfred Tuname
www.weeklyline.net
I
Tulisan ini merupakan sebuah pembacaan ulang atas puisi seorang penyair Bali, Wayan Sunarta (WS). Penyair ini lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Puisinya berjudul “Pada Lingkar Putingmu” menjadi “jingle” ulung yang kemudian menjadi judul buku antologi puisinya. Antologi puisi itu diterbitkan pada tahun 2005.
Puisi “Pada Lingkar Putingmu” tentu saja lahir dari imajinasi seorang penyair modern, WS. Ritus kota yang terus bergerak cepat seakan memaksa penyair menelan remah-remah waktu yang bisa ia telan. Bali yang berbudaya sekaligus berindustri pariwisata ternyata masih menghidupkan penyair dengan segenap kompkleksitasnya. Penyair harus berlama-lama menghindar dari hiruk-pikuk industri pariwisata nan gemerlap.
Di tengah hiruk-pukuk pariwisata Bali, penyair terlibat dalam membentuk identitas Bali. Tentu, ruang yang dipakai penyair adalah ruang budaya. Puisi yang dilahirkan penyair tentu merefleksikan potret budaya sekaligus mengkonstruksi identitas budaya Bali itu sendiri. Di sini, budaya adalah sebuah produksi yang partisipatif dan tak berkesudahan. Puisi itu sendiri merupakan sebuah representasi budaya.
Membaca puisi WS pun tidak lepas dari ruang sosial budaya yang sudah lama terbentuk, Bali. Bali yang religius penuh ritus, philosophis, mistis sekaligus menjunjung nilai kekeluargaan dan keterbukaan (bdk. Hildred Geertz dan Clifford Geertz, 1975), telah berpengaruh besar pada kehidupan penyair. Penyair pun menghidupi nilai-nilai itu dengan sungguh dan penuh khidmad. Nilai keterbukaan itu telah membebaskan penyair untuk mengunakan kata dan menghidupkan kata an sich. Kata itu pun telah membunting puisi.
Pada Lingkar Putingmu
Pada lingkar putingmu
Pada lingkaran tahun batang cendana
Jiwaku berputar-putar di situ
Tak juga kutemukan jalan keluar
Bertahun-tahun aku terjebak
Belantara sabana pangkal pahamu
Apakah telah kutemukan sumber air
Diantara kelopak seroja merah muda?
Aku si pertapa bisu tak lagi letih
Merambah bukit venus
Meraba dengan tongkat kayu tua
Dan kau yang selalu kehilangan siang
Hanya terlentang saja diranjang
Pupur telah lama luntur
Dan wangi tubuhmu masih mengambang
Dikamar beraroma damar
Tapi kita telah dikalahkan hari
Tak mampu lagi menyepi
Atau menari
Dengan lagu sendiri
Pada lingkar putingmu
Aku mengukur umur
Pertemuan kita
Bagi penikmat sastra (puisi) di luar Bali, mungkin puisi di atas tidak lebih dari ekspresi dan eksploitasi seksual semata. Mendengar judulnya saja bisa bikin merinding. Tentu, pembacaan seperti ini justru karena kita keluar dari konteks. Bahwa, selain penciptaan sastra yang kontekstual, pembacaan pun harus kontekstual. Meski makna puisi harus kembali pada pembacanya, tetapi identifikasi imajinari (imaginary identification) harus masuk pada jantung kebudayaan di mana karya itu diproduksi. Dalam hal inilah, konteks Bali tidak bisa terlepas dari pembacaan puisi karya WS.
II
Membaca puisi “pada lingkar putingmu” WS, seakan mengembalikan kita pada suasana Bali sebelum kemerdekaan. Di Balik gemerlap Bali modern sekarang, kedalaman rasa penyair selalu sama mengkhawatirkan Bali. Bali telah lebam oleh pembangunannnya sendiri. Bali yang cantik dan molek justru meninggalkan jiwa-jiwa yang berpilin mencari kebahagiaan paripurna.
Puisi “Oh Bali” yang ditulis oleh penyair Windia pada tahun 1938 (I Nyoman Darma Putra, 2011) mengabarkan cerita yang sama tentang jiwa yang berpilin mencari jalan keluar.
Oh Bali
Oh, Bali pulau yang molek
Letakmu tidak pula jelek
Tanahmu terberita subur
Perihal alam pun masyur
Hidup marhaenmu sederhana
Makan, berpakaian sederhana
Tetapi ta’ terbilang kaya
Sebab kurang daya upaya
Ia bekerja bukan untukmu
Bagi kapitalis sudah tentu
Hanya ada satu yang nyata
Perut gembung itu dicipta
Puisi Windia ini sangat berdekatan dengan irama rasa penyair WS. “Putting” merupakan simbol oedipal yang membahasakan kenikmatan (jouissance) seorang anak yang menyatu dengan ibunya. Kenikmatan itu tidak lepas dari simpul pulau Bali yang molek, indah, subur dan masyur. Nyaris setiap tahun aroma “cendana” Bali itu dibangga-banggakan. Tetapi status Bali itu hanya berhenti di situ. Selebihnya, jiwa dan nilai-nilai budaya Bali semakin hari semakin dipecut kapitalisme industri pariwisata. Geliat kapitalisme industri pariwisata ini menyisakan masyarakat Bali sebagai manusia “kurang daya upaya”. Kapitalisme itu telah mengeksploitasi “puting” keindahan Bali dan melepas masyarakatkan sebagai calo-calo pariwisata. Artinya, industri pariwisata bukan lagi milik masyarakat Bali, malainkan orang asing yang menanamkan modalnya.
Atas refleksinya, penyair tidak bisa tinggal diam dalam ironi sosio-budaya dan politiko-ekonomi lingkungannya. Bali sudah terlepas jauh dari cita-cita dan nilai-nilai luhur budayanya. Inilah sumber air, oase, yang ingin dinikmati kembali oleh sang penyair. Tetapi, penyair nyaris tak lagi menemukannya. Kelana pencariannya justru hanya terjebak dalam “belantara pangkal paha” dengan mekar “kelopak seroja merah muda” di atasnya. Itulah belantara eksplorasi kenikmatan pariwisata Bali dengan gemerlap modernisme bak kelopak seroja merah muda.
Di tengah gemerlap pariwisata Bali, WS merefleksikan dirinya (penyair) dengan metafora seorang pertapa yang mengecil dan lenyap di antara lampu-lampu diksotik, kafe dan hotel berbintang. Tongkat kuasa paternalistik tak lagi mampu mendeterminasi budaya yang kian banal. Bali dengan dunia malam yang binal memaksa tanah Bali hanya sebagai pelayan kasur para pemodal (asing).
Saat itulah pupur wajah Bali yang indah, molek dan masyur bersamaan luntur. Luntur oleh penyakit-penyakit bawaan kapitalisme lama merusak sendi-sendi kehidupan Bali. Aroma budaya dan ritus-ritus religius Bali pun seakan masih mengambang dari otentisitasnya. Seringkali didapati semua itu hanya sekadar tontonan dalam balutan ke-ajeg-kan di ruang (kamar) publik Bali.
Akan tetapi, dunia Bali bukanlah Atlantis yang suram dijelajahi. Penyair sudah lama bersama masyrakat Bali dan hidup di tengah masyarakat Bali. Karena itu, penyair tidak bisa lagi terasing dari dunianya. Bersyair juga bermasyrakat. Karena itu, penyair harus benar-benar berada dalam masyarakat dan sejenak melepas rutinitas (“lagu”) yang sendiri nikmati. Lalu pada lingkar kebersamaan dan kenikamatan tanah Bali, penyair menyadari hidupnya dan menakar kemBali nasipnya sendiri. sebab, “dari” dan “di” tanah Bali-lah sang penyair menemukan hidupnya.
II
Puisi adalah dharma penyair dalam refleksi panjangnya. Dengan permainan simbol, penyair WS telah berhasil membuat refleksi pemberontakan menjadi sedikit sensual. Boleh jadi, simbol sensul itu juga sebuah pemberontakan. Puisi “Pada Lingkar Putingmu” adalah sebuah pemberontakan. Dengan pemberontakan ini, penyair kembali menjadi subyek di tengah realitas kapitalisme pariwisata menjadikan manusia dan alam sebagai obyek eksploitasi. Atas dharma inilah, Albert Camus (1951) dalam bukunya “L’Homme révolté” menulis bahwa “manusia perlu memprotes nasipnya. Bila perlu ia harus memprotes seluruh makhluk dan kehidupan yang ada di dunia ini, sesuai dengan kondisi yang ada”. Sebab, filsuf Friedrich Nietzsche, tokoh idola Albert Camus, pernah menulis, “tiada seniman yang mentolerir realitas”. Pada konteks ini, realitas itu adalah realitas Bali dalam rezim kapitalisme industri pariwisata.
Tentu saja, sisi lain dari pemberontakan itu, ada harapan yang indah untuk Bali yang kembali untuk orang Bali. Bahwa Bali yang indah bukan untuk “dijual” pun dieskplotasi, tetapi untuk dirayakan dalam kebersamaan atas karunia yang terberikan oleh Sang Maha Kuasa.
Djogja, Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar