Jumat, 13 Juni 2014

Membaca Bali- “Pada Lingkar Putingmu”

Alfred Tuname
www.weeklyline.net

I

Tulisan ini merupakan sebuah pembacaan ulang atas puisi seorang penyair Bali, Wayan Sunarta (WS). Penyair ini lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Puisinya berjudul “Pada Lingkar Putingmu” menjadi “jingle” ulung yang kemudian menjadi judul buku antologi puisinya. Antologi puisi itu diterbitkan pada tahun 2005.


Puisi “Pada Lingkar Putingmu” tentu saja lahir dari imajinasi seorang penyair modern, WS. Ritus kota yang terus bergerak cepat seakan memaksa penyair menelan remah-remah waktu yang bisa ia telan. Bali yang berbudaya sekaligus berindustri pariwisata ternyata masih menghidupkan penyair dengan segenap kompkleksitasnya. Penyair harus berlama-lama menghindar dari hiruk-pikuk industri pariwisata nan gemerlap.

Di tengah hiruk-pukuk pariwisata Bali, penyair terlibat dalam membentuk identitas Bali. Tentu, ruang yang dipakai penyair adalah ruang budaya. Puisi yang dilahirkan penyair tentu merefleksikan potret budaya sekaligus mengkonstruksi identitas budaya Bali itu sendiri. Di sini, budaya adalah sebuah produksi yang partisipatif dan tak berkesudahan. Puisi itu sendiri merupakan sebuah representasi budaya.

Membaca puisi WS pun tidak lepas dari ruang sosial budaya yang sudah lama terbentuk, Bali. Bali yang religius penuh ritus, philosophis, mistis sekaligus menjunjung nilai kekeluargaan dan keterbukaan (bdk. Hildred Geertz dan Clifford Geertz, 1975), telah berpengaruh besar pada kehidupan penyair. Penyair pun menghidupi nilai-nilai itu dengan sungguh dan penuh khidmad. Nilai keterbukaan itu telah membebaskan penyair untuk mengunakan kata dan menghidupkan kata an sich. Kata itu pun telah membunting puisi.

Pada Lingkar Putingmu

Pada lingkar putingmu
Pada lingkaran tahun batang cendana
Jiwaku berputar-putar di situ
Tak juga kutemukan jalan keluar

Bertahun-tahun aku terjebak
Belantara sabana pangkal pahamu
Apakah telah kutemukan sumber air
Diantara kelopak seroja merah muda?

Aku si pertapa bisu tak lagi letih
Merambah bukit venus
Meraba dengan tongkat kayu tua

Dan kau yang selalu kehilangan siang
Hanya terlentang saja diranjang
Pupur telah lama luntur
Dan wangi tubuhmu masih mengambang
Dikamar beraroma damar

Tapi kita telah dikalahkan hari
Tak mampu lagi menyepi
Atau menari
Dengan lagu sendiri

Pada lingkar putingmu
Aku mengukur umur
Pertemuan kita

Bagi penikmat sastra (puisi) di luar Bali, mungkin puisi di atas tidak lebih dari ekspresi dan eksploitasi seksual semata. Mendengar judulnya saja bisa bikin merinding. Tentu, pembacaan seperti ini justru karena kita keluar dari konteks. Bahwa, selain penciptaan sastra yang kontekstual, pembacaan pun harus kontekstual. Meski makna puisi harus kembali pada pembacanya, tetapi identifikasi imajinari (imaginary identification) harus masuk pada jantung kebudayaan di mana karya itu diproduksi. Dalam hal inilah, konteks Bali tidak bisa terlepas dari pembacaan puisi karya WS.

II

Membaca puisi “pada lingkar putingmu” WS, seakan mengembalikan kita pada suasana Bali sebelum kemerdekaan. Di Balik gemerlap Bali modern sekarang, kedalaman rasa penyair selalu sama mengkhawatirkan Bali. Bali telah lebam oleh pembangunannnya sendiri. Bali yang cantik dan molek justru meninggalkan jiwa-jiwa yang berpilin mencari kebahagiaan paripurna.

Puisi “Oh Bali” yang ditulis oleh penyair Windia pada tahun 1938 (I Nyoman Darma Putra, 2011) mengabarkan cerita yang sama tentang jiwa yang berpilin mencari jalan keluar.

Oh Bali

Oh, Bali pulau yang molek
Letakmu tidak pula jelek
Tanahmu terberita subur
Perihal alam pun masyur

Hidup marhaenmu sederhana
Makan, berpakaian sederhana
Tetapi ta’ terbilang kaya
Sebab kurang daya upaya

Ia bekerja bukan untukmu
Bagi kapitalis sudah tentu
Hanya ada satu yang nyata
Perut gembung itu dicipta

Puisi Windia ini sangat berdekatan dengan irama rasa penyair WS. “Putting” merupakan simbol oedipal yang membahasakan kenikmatan (jouissance) seorang anak yang menyatu dengan ibunya. Kenikmatan itu tidak lepas dari simpul pulau Bali yang molek, indah, subur dan masyur. Nyaris setiap tahun aroma “cendana” Bali itu dibangga-banggakan. Tetapi status Bali itu hanya berhenti di situ. Selebihnya, jiwa dan nilai-nilai budaya Bali semakin hari semakin dipecut kapitalisme industri pariwisata. Geliat kapitalisme industri pariwisata ini menyisakan masyarakat Bali sebagai manusia “kurang daya upaya”. Kapitalisme itu telah mengeksploitasi “puting” keindahan Bali dan melepas masyarakatkan sebagai calo-calo pariwisata. Artinya, industri pariwisata bukan lagi milik masyarakat Bali, malainkan orang asing yang menanamkan modalnya.

Atas refleksinya, penyair tidak bisa tinggal diam dalam ironi sosio-budaya dan politiko-ekonomi lingkungannya. Bali sudah terlepas jauh dari cita-cita dan nilai-nilai luhur budayanya. Inilah sumber air, oase, yang ingin dinikmati kembali oleh sang penyair. Tetapi, penyair nyaris tak lagi menemukannya. Kelana pencariannya justru hanya terjebak dalam “belantara pangkal paha” dengan mekar “kelopak seroja merah muda” di atasnya. Itulah belantara eksplorasi kenikmatan pariwisata Bali dengan gemerlap modernisme bak kelopak seroja merah muda.

Di tengah gemerlap pariwisata Bali, WS merefleksikan dirinya (penyair) dengan metafora seorang pertapa yang mengecil dan lenyap di antara lampu-lampu diksotik, kafe dan hotel berbintang. Tongkat kuasa paternalistik tak lagi mampu mendeterminasi budaya yang kian banal. Bali dengan dunia malam yang binal memaksa tanah Bali hanya sebagai pelayan kasur para pemodal (asing).

Saat itulah pupur wajah Bali yang indah, molek dan masyur bersamaan luntur. Luntur oleh penyakit-penyakit bawaan kapitalisme lama merusak sendi-sendi kehidupan Bali. Aroma budaya dan ritus-ritus religius Bali pun seakan masih mengambang dari otentisitasnya. Seringkali didapati semua itu hanya sekadar tontonan dalam balutan ke-ajeg-kan di ruang (kamar) publik Bali.

Akan tetapi, dunia Bali bukanlah Atlantis yang suram dijelajahi. Penyair sudah lama bersama masyrakat Bali dan hidup di tengah masyarakat Bali. Karena itu, penyair tidak bisa lagi terasing dari dunianya. Bersyair juga bermasyrakat. Karena itu, penyair harus benar-benar berada dalam masyarakat dan sejenak melepas rutinitas (“lagu”) yang sendiri nikmati. Lalu pada lingkar kebersamaan dan kenikamatan tanah Bali, penyair menyadari hidupnya dan menakar kemBali nasipnya sendiri. sebab, “dari” dan “di” tanah Bali-lah sang penyair menemukan hidupnya.

II

Puisi adalah dharma penyair dalam refleksi panjangnya. Dengan permainan simbol, penyair WS telah berhasil membuat refleksi pemberontakan menjadi sedikit sensual. Boleh jadi, simbol sensul itu juga sebuah pemberontakan. Puisi “Pada Lingkar Putingmu” adalah sebuah pemberontakan. Dengan pemberontakan ini, penyair kembali menjadi subyek di tengah realitas kapitalisme pariwisata menjadikan manusia dan alam sebagai obyek eksploitasi. Atas dharma inilah, Albert Camus (1951) dalam bukunya “L’Homme révolté” menulis bahwa “manusia perlu memprotes nasipnya. Bila perlu ia harus memprotes seluruh makhluk dan kehidupan yang ada di dunia ini, sesuai dengan kondisi yang ada”. Sebab, filsuf Friedrich Nietzsche, tokoh idola Albert Camus, pernah menulis, “tiada seniman yang mentolerir realitas”. Pada konteks ini, realitas itu adalah realitas Bali dalam rezim kapitalisme industri pariwisata.

Tentu saja, sisi lain dari pemberontakan itu, ada harapan yang indah untuk Bali yang kembali untuk orang Bali. Bahwa Bali yang indah bukan untuk “dijual” pun dieskplotasi, tetapi untuk dirayakan dalam kebersamaan atas karunia yang terberikan oleh Sang Maha Kuasa.

Djogja, Desember 2013

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito