Rabu, 11 Juni 2014

Binhad Nurrohmat dan Kembalinya Unsur Sastra Jahiliyah

Aguk Irawan MN *
Jurnal Kalimah, LESBUMI NU, I/Nov/2007

Di setiap erotisme selalu ada penyimpangan!
- Adonis
Hampir dua tahun yang lalu Marshall Clark (2005), peneliti sastra Indonesia di School of Asian Languages and Studies, University of Tasmania, dalam Konferensi Jurnal Antropologi di Universitas Indonesia menyebut puisi-puisi Binhad dalam Kuda Ranjang sebagai ‘puisi metropolitan’. Alasan Marshall ini tidak saja didasarkan pada puisi Binhad yang memukul pembaca dengan visi seksualnya yang sangat menentang, sangat lugas, dan juga sangat banal. Tetapi juga didasarkan pada kehidupan sang penyair, yang keluar masuk kafé-kafé elit kota Jakarta dan sangat akrab dengan alat-alat kehidupan metropolitan seperti HP, SMS, surat-e, dan entah apa lagi.


Dan kita sebagai pembaca, memang menemukan alasan Marshall itu dalam antologi puisi Binhad, Kuda Ranjang (2004) dan ia baru saja melepas antologi puisi terbarunya, Bau Betina (2007). Setali tiga uang dengan yang pertama, lewat Bau Betina ia masih latah bergunjing perihal ‘dunia basah’, ‘dunia tengah’. Dalam dua buku ini kita bisa menikmati imaji baik-buruknya adegan seks lengkap dengan gaya puitis erotis yang sangat mencengangkan.Tema utama puisi Binhad adalah politik seksual antara laki-laki dan perempuan dan yang sangat menonjol adalah unsur seks atau lebih tepat lagi berbau seks. Tapi kenapa Marshall hanya melulu mengaitkan seks dengan kehidupan metropolitan? Padahal bukankah seks adalah gejalah alamiah dalam hidup ini? Dan ia adalah tema yang purba dan selalu mengiringi sejarah hidup anak manusia. Karena sifat dasar kealamiahan inilah, seks bisa juga dipandang bukan semata-mata hubungan badaniah, yang kotor, berlumur berahi, melainkan ‘aktivitas batin’ yang penuh kearifan dan simbol-simbol filosofis-spritual. Namun, bilamana ‘kearifan’ itu sudah diobral dan diumbar di dalam karya, tempat-tempat pelacuran, panti-panti pijat terselubung, kafe, atau diskotik, maka seketika itu bukankah seks berubah menjadi tak lumrah, tak alamiah, tak lazim dan tercela. Karena itu, maka seks harus dipingit, disembunyikan dalam ruang-ruang yang paling pribadi.

***

Sejak Islam turun di bumi (jazirah) Arab, dan al-Qur’an diturunkan sebagai “penyaing” sastra Jahili. Sikap para penyair jahili terbagi menjadi dua kelompok: pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama yang diakui oleh islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) Islam. Kedua, mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Di dalam literatur kesusastraan Arab dijelaskan, sebagaimana yang direkam oleh Syauqi Dlaif dalam pengantar bukunya “Tarikh al-Adab al-Arabi” (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), atau pengantar tulisan Toha Husain “Fi Syi’ir al-Jahili” (Kairo, Haiatul Masry, 1967) Nabi dan para Khalifanya terus mendorong para penyair Jahili itu terus menulis puisi (hal ini dilakukan setelah mengetahui Penyair Labid bin Rabiah melakukan aksi mogok nulis), asal mereka masih berpegang pada pendirian yang pertama, tetapi Nabi dan Khalifahnya tidak segan-segan untuk ‘menegur’ bahkan menghukum para penyair yang berada dalam kecenderungan kedua. Dan di barisan yang kedua ini, muncullah tokoh penyair besar, yang bernama Imri’ al-Qois.

Tidak diragukan lagi kepiawaian Al-Qois sebagai penyair Jahiliyah, al-Ashama’i mengatakan, bahwa ia adalah pionir bagi para penyair (Lihat, Al-Ashma’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, hal 9 dan 18, 19: Beirut, Dar al-Kitab al-Jadid 1971), bahkan Umar bin Khatab mengatakan, bahwa ia adalah penyair garda depan, ia pencipta mata air puisi untuk para penyair (Lihat, Ibnu Qutaibah, asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara hal, 68-69: Beirut, Dar ats-Tsaqafah 1969). Meskipun kebesaran namanya tak diragukan dalam kepenyairan, di akhir kehidupan al-Qois sungguh sangat mengenaskan, ia menjadi gelandangan yang terlunta, dan meninggal sebagai orang yang terusir. Ibnu Qutaibah mengatakan sebab terusirnya al-Qois dari rumahnya dikarenakan ia melakukan pencabulan dalam puisi, atau dalam bahasa Mariana Amiruddin, karena ia menulis sastra wangi, lembab, dan melulu hanya seputar selangkangan. Qutaibah meriwayatkan bahwa al-Qois diusir oleh orang tuanya pertama kali sejak menulis puisi ayyuhat ath-thalali al-bali (wahai puing-puing usang). Pengusiran ini menunjukkan di zaman jahiliyah pun moral atau etika merupakan hal yang penting dari sebuah karya sastra (dalam hal ini puisi), sebab berbicara sastra tak bisa lepas dari makna atau nilai-nilai, sebagaimana namanya dalam bahasa arab, ‘adab yang selain berarti sastra, juga etika, atau su-sastra yang berarti pesan-pesan (etika) melalui abjad. Demikianlah Imri’al-Qois menyimpang dari nilai-nilai dominan (moralitas Jahiliyah) juga menyebrang nilai (etika) yang dibawa oleh Islam. Penyimpangan ini dijelaskan al-Marzabani dalam dua poin:

Pertama, karena al-Qois menggunakan bahasa tubuh dengan sangat vulgar dan gamblang, sehingga terkesan jorok dan menjijikkan. Al-Marzabani kemudian menyinggung dua bait puisi al-Qois: Aku menyukai orang hamil dan menyusui/bukan anak gadis yang perawan dan ranum/Tiada kupedulikan perut dan anak yang merengek di teteknya/Tatkala Tubuhnya terperangkap di tubuhku.

Dua bait di atas, Ibnu Qutaibah mengatakan tentang Imri al-Qois, bahwa ia dicela banyak masyarakat, karena terang-terang mengatakan zina, dan perlahan-lahan merusak kehormatan perempuan. Sebagaimana puisi tersebut ditulis dalam qashidah-nya qifa nabqi yang ditujukan kepada Fathima (al-Marzabani, al-Muwasyyah, hal 41: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)

Kedua, karena al-Qois menggunakan bahasa yang tidak umum dalam perpuisian. Misalnya menggunakan bahasa “kuda”, sebagai metafor, yang biasa mempunyai makna simbolis, orang pemberani yang tidak pantang mundur dalam berperang: karena sifatnya kuda adalah bergerak cepat, tanpa menunggu digertak dan terbebas dari rasa lelah. Dan al-Qois dalam menggambarkan kuda menyimpang dari gambaran tipologis itu. Ia justru memakai bahasa “kuda” untuk hal yang negatif, yaitu kejantanan pria untuk menaklukan perempuan dalam hal seksual. Seperti puisinya: Aku naiki kuda dalam peperangan/ bagaikan belalang/Lembut gemulai/Jambulnya tergerai menutupi wajahnya.

Bait puisi itu mendapat kritikan, sebab dinilai tidak adanya kesusuain langsung antara “kata” sebagai penanda dengan makna sebagai petanda, atau antara bahasa yang nampak dengan bahasa yang simbolik. Karena ia mengaitkan kata “kuda” dengan “belalang”, dan kuda dengan “lembut”. Bukankah ini merupakan cacat? Karena “Kuda” yang keras itu bertentangan dengan makna “lembut”. Dan dalam perpuisian arab, sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap bait tak boleh ada yang saling bertentangan, tiap kata saling menguatkan, dan menjadi anak kalimat hingga menjadi kesatuan makna yang tak terpisahkan (ia disebut qafiyah). Dan al-Marzabani menunjukkan kecacatan itu. (al-Marzabani, al-Muwasyyah, hal 36: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)

Ketiga, karena Imri’ al-Qois dalam menggunakan kata-kata menyimpang dari makna dasarnya. Ia tidak menyelaraskan antara makna dengan makna tipologisnya, demikian pula ia tidak tidak menyelaraskan antara kata dengan makna yang aslinya. Kerana bukankah sebuah karya puisi merupakan ungkapan tentang struktur pemikiran dengan menggunakan kata-kata yang saling mengikat dan memadai dalam kalimat-kalimat yang masing-masih berdiri sendiri untuk menuju makna yang sesungguhnya. Seperti pada puisinya: wahai malam yang panjang, tidaklah engkau mau pergi/Tuk berganti pagi, tapi pagi tidaklah lebih nikmat dari pada kamu, wahai malam!.

Nampak dalam bait puisi di atas, hanya dibolak-balikkan dan sekedar diperbandingkankan. Ia membuat makna dari jawaban yang ia putar sendiri. Dan ia memutar makna untuk menjawab keresahannya. Perbandingan antara kata “malam” dan “pagi”, mana yang lebih nikmat? Literar puisi itu sendiri yang menjawabnya.

Ketiga kritik diatas itu memang seakan-akan sebagai fakta ilmiah, yang tak terbantahkan dan sudah biasa terjadi dalam dunia perpuisian. tapi justru dari kritik itulah nama al-Qois semakin besar. Sebagaimana al -Ashama’i mengatakan, bahwa kebesaran al-Qois jutsru karena pemberontakan dalam kerangka kepenulisan puisi–dan melakukan penyimpangan dari kebiasaan. Namung sayang kebesaran ini dirusak oleh maknanya yang berbau seks dan selangkangan (al-Ashama’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, hal 10, ungkapan senada juga dikatakan oleh al-Jumahi dalam kitabnya Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hal 16-17: Beirut Dar al-Nahdlah al-Arabiyah 1968). Dan al-Qois tidak sendiri di sana, di barisannya ada penyair Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Dan jika dibandingkan semua sajak-sajak penyair ulung Jahili itu dengan puisi Binhad Nurrohmat akan menemui satu titik temu, yaitu dengan gegap gempita mereka mengekplorasi seks.

***

Sekarang justru persoalannya lain, ketika puisi ditangan penyair Binhad Nurrohmat. Ia dalam semua puisinya justru menampakkan makna seks sebanyak-banyaknya, seliar-liarnya, sebebas-bebasnya, dengan (dan) tanpa diikuti oleh pembaharuan kerangka kepenulisan puisi (sebagaimana yang menjadi penyebab kebesaran al-Qois dalam kesusastraan Arab-Timur Tengah). Tetapi kemiripin al-Qois dan Binhad nampak sama dalam segi pemaknaan, lihat saja pada buku kumpulan puisi Binhad yang pertama. Kuda Ranjang. Bukankah yang dimaksud Binhad kata ‘kuda’ adalah lambang kejantanan, sebagaimana al-Qois menggunakannya di atas. Atau lebih jelasnya -meminjam terminologi Marianna Amiruddin (Media Indonesia, 8/8/04), kuda melambangkan ‘otensitas maskulin’. Lalu, dipertautkan dengan kata ‘ranjang’. Bukankah ranjang adalah sebuah medan penaklukan perempuan? Dengan kata lain, bilamana seorang pejantan sudah berhasil merayu perempuan di atas ranjang, maka pejantan dianggap menang, dan perempuan akan tumbang sebagai pecundang. Kepenyairan Binhad yang menjalankan laku ‘tarekat tubuh’ seperti Pejantan disimbolisasikan dengan Kuda (dalam Kuda Ranjang) dan masih sama dalam antologi keduanya, yaitu Singa (dalam Bau Betina) seperti yang termaktub dalam sajak Hidung Belang, Sex After Lunch, Pengakuan Sepasang Girang, Ulang Tahun Tubuhmu, Malam Janda, Homo Eroticus. Kedua antologi ini mempunyai makna yang sama, yaitu menaklukkan perempuan.

Kuda Ranjang adalah puisi pertama yang muncul sejak Pengakuan Pariyem Linus Suryadi yang begitu berhasrat mengungkapkan pertualangan syahwat baik para pejantan urban maupun kanca ranjangnya. Harus diakui juga bahwa erotisisme yang ada di dalam syair Berak, Ngintip, dan Foreplay Binhad, berbedaa dengan Linus yang menggambarkan aroma seks dengan “rasa” berbunga-bunga. Binhad begitu nyinyir dan liar mengumbar aroma nafsu, bahkan seperti “kalap”, “bringas”, dan terkesan “sadis”, betapa banyak ia mengantongi kata Zakar, Penis, Bokong, Payudara, Syahwat, Telanjang, Cupang dan Sperma dalam sajak-sajaknya, simak saja misal di dalam Berak, Ngintip, dan Foreplay, dan lain sebagainya. Misal kita penggal sajaknya yang berjudul “Lajang”: hujan binal berduyun ke palung jantung/mengguyur mujur bertubi urung/menggigilkan ingatan/cerita payudara pertama dalam rematan. Apa sebenarnya yang hendak dikatakan Binhad dalam bait ini? Tak lain adalah ingatan akan kebinalan terhadap perempuan. Gejala ini hampir nampak pada semua jenis puisinya, meski terlihat seperti ada yang mencoba ditenggelamkan kepada kritik sosial, seperti “Ajal Begundal”: Setelah empatpuluh hari kematian/seluruh kota bernafas lega/tak ingat lagi coretan dinding penuh ancaman/atau erang perkosaan di belakang bioskop murahan. Bahkan gejala ini nampal sangat blak-blakkan dalam salah satu judul puisinya, “Kisah Seekor Yanuba Merah”:”Ibuku angin betina/berleha di sela paha kawanan domba/yang tiba waktu gatal birahi/merayapi kelaminnya.Bapakku topan jantan/mencekam kasur pengantin remaja. Atau lihatlah pada judul pusinya “Cuci Mata”: Sepasang tungkai di warung tak terhingga langsatnya/melenggang anggun bersama rok sebatas dengkul/dan menggelandang berpasang mata tak berdaya/menahan sumuk deru gurun yang kesepian.

Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun percaya diri. Selain ia bersembunyi dibalik makna “kuda”, “Singa” ia juga bersandar di balik makna “domba” Memang tubuh laki-laki tak menjadi “haram” bila dibicarakan dalam konteks kejantanan. Tapi yang terasa membosankan adalah Binhad semakin mengumbar metafora penis dan bokong yang bergelayut dalam bentuk yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Kalau al-Qois hanya melihat dunia dengan tubuhnya, sudah mendapatkan “kecaman” dari masyarakatnya yang jahili, sementara Binhad mempertontonkan tubuh dengan telanjang bulat, apakah memang tak pantas kita merenungkannnya?.

Agak mengejutkan memang, seorang alumnus pesantren Krapyak (Yogyakarta) seperti Binhad memilih jalan dan mengulang kembali unsur ‘jahiliyah’ dengan menulis sajak-sajak bergelimang syahwat. Apakah ia lantaran sudah terjerembab dalam asyik-masyuk dunia malam kota Jakarta yang memang kerap menyesatkan? Dan ini berpengaruh pada proses kepenyairannya, sehingga benar hepotesa Marshall? Padahal lazimnya sebagai mantan santri, Binhad ‘seharusnya’ menulis puisi sufistik sebagaimana Ahmadun Y Herfanda menulis Sembahyang Rumputan (1996) atau mengikuti jejak kepenyairan Mustofa Bisri, Jamal D. Rahman, Acep Zam-Zam Noor, Ahmad Nurullah, Emha Ainun Nadjib dan lain sebagainya, bukan menulis sajak-sajak yang tidak mencerminkan budaya santri! Dan Apakah memang benar kegeilisahan Marshall, bahwa menulis tentang hal-hal yang benar-benar indah–seperti alis cantik, pipi merah, bibir kayak delima, bunga yang enak wanginya, dan seterusnya–kurang cocok pada zaman yang serba metropolit di negeri ini? Dan kini waktunya, kita dipaksa menulis dan membaca “kejahiliyah-an” kembali, seperti tentang hal-hal yang erotis, banal dan menjijikkan, termasuk berak, brewok, jembut, kelangkangan, zakar sekuyu gelambir leher jompo dan seterusnya?

Yogyakarta, 27 Agustus 2007

*) Penulis adalah Penyair, dan Pengamat Sastra-Budaya Arab.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito