Senin, 01 Juli 2013

Nasionalisme yang Terkikis dalam Lampuki

Riki Utomi *
Riau Pos, 5 Mei 2013

NASIONALISME sangat penting dalam kehidupan bernegara. Sebuah bangsa yang besar akan memiliki ketahanan nasional secara utuh dari segenap rakyatnya yang berdiam dan berhimpun dalam tiap wilayahnya. Maka keberadaan untuk tetap setia pada negara itulah merupakan hal yang urgen sebagai kesadaran akan bela negara. Tapi bagaimana kalau suatu negara ada sebagian kecil rakyatnya enggan untuk menghargai negaranya sendiri dan lebih jauh ingin menunjukkan eksistensinya sebagai figur yang kuat untuk menentang negaranya sendiri? Hal itu tentu membuat rasa nasionalismenya telah berkurang dan terkikis sedikit demi sedikit, yang lambat laun akan dapat berubah menjadi anarkis dan juga pembangkang yang besar kepada negara.

Dalam novel Lampuki karya Arafat Nur, lebih jauh meneropong liku-liku kehidupan masyarakat Aceh. Mengisahkan situasi Aceh yang telah beralih menjadi Daerah Operasi Mililiter (DOM) karena adanya gerakan-gerakan bawah tanah yang cukup membahayakan bagi kelangsungan nasib kota Serambi Mekah itu. Dalam hal inisecara tak langsungGAM (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi tolok ukur dalam masalah-masalah yang dicertakan. Akibat hal-hal itu, Aceh menjadi daerah yang penuh kontroversi, daerah rawan konflik dan sensitif. Tidak tampak lagi kelangsungan dalam kehidupan masyarakatnya yang sehari-hari ramah dan tenggang rasa. Tapi berubah mencekam dan selalu awas dengan bahaya teror-teror yang tanpa sadar akan datang menghampiri.

Berkisah tentang tokoh sentral Aku yang menceritakan tentang sosok Ahmadi yang bergelar Si Kumis Tebal. Sosok lelaki jangkung kurus ini memiliki nyali besar untuk membentuk gerakan-gerakan pemberontakan yang tentu secara sembunyi-sembunyi dalam aktifitasnya. Ahmadi menjadi lambang sikap pemberani bagi masyarakatnya di desa Lampuki. Dia (Ahmadi) kerap memberikan pandangan kepada masyarakat tentang kesadaran untuk ikut berjuang membentuk laskar menentang pemerintahan. Baginya pemerintah adalah penjajah yang harus dilawan dengan kekuatan senjata.

Meski begitu, banyak juga masyarakat yang enggan dan tidak menyukainya. Tidak suka akan sikap dan sifatnya yang selalu congkak, sombong, dan kadang sok berani, karena secara tak langsung, gara-gara Ahmadi-lah ada sebagaian warga masyarakat ditangkap dan disekap para tentara yang mengadakan patroli keliling kampung karena untuk menciduk anak-anak buah Ahmadi yang dicurigai sebagai pemberontak. Oleh sebab itu, masyarakat menjadi resah, gundah, dan ketakutan untuk beraktifitas di kampungnya sendiri. Sedang Ahmadi dan anak buahnya yang berasil dirayunya itu asik bersembunyi di dalam hutanyang katanya sering digunakan untuk latihan menembak. Untuk itulah masyarakat tidak tertarik pada Ahmadi karena sikapnya yang hanya dapat membuat masalah di kampung Lampuki yang membuat masyarakat jadi repot. Tapi Ahmadi tetap congkak dan menganggap dirinya sebagai pahlawan yang membela kebenaran. Tampak sikap Ahmadi yang benci kepada pemerintah pusat yang dikatakannya sebagai penjajah.

‘’Kita sekalian wajib berperang melawan kaum perusak yang sudah menginjak-injak tanah ini. Mereka betul-betul tidak tahu diri, biadab, dan kejam! Tiada pantas lagi bagi kita memberi hati atas kejahatan mereka yang tiada berperi, kalau tidak, betapa hinanya kita ini, bangsa yang merupakan keturunan baeradab dan pembernai, bisa diperbudah oleh kaum lamit yang pernah dijajah berkali-kali. Terkutuklah anjing-anjing penjajah!’’ teriak Ahmadi dengan kumis bergetaran. (Lampuki, hlm: 31)

Ahmadi di mata masyarakat memang memiliki nyali besar. Barangkali hal itu karena dulu dia sebagai bekas berandal. Tapi karena akibat konflik yang terus berlangsung di Lampuki dia tergerak untuk mengikuti jejak langkah pendahulunya yang mengangkat senjata untuk melawan kaum penjajah (pusat). Pribadinya semakin menaruh kebencian kepada hal-hal yang berbau pemerintah pusat.

‘’Ahmadi pernah berkata bahwa kebanyakan dari pemimpin kami dahulu -dan juga sekarang ini- adalah kawanan berandal. Dan mereka yang berjabatan paling tinggi sampai yang paling rendah, terus saja bertikai dan memelihara permusuhan; saling menyikat, menyepak, dan menerjang demi kepentingan dan keuntungan diri mereka sendiri, tanpa mereka pernah menghiraukan nasib rakyat. Mereka tidak pernah merasa rugi ataupun berdosa bila negeri ini hancur dan binasa di tangan mereka, padahal mereka itu sebagai pemangku amanah, pemikul tanggung jawab, dan penentu nasib kami semua.’’ (Lampuki, hlm: 4)

Semakin bencilah Ahmadi kepada hal-hal yang bersifat dari pusat. Dia terus menanamkan kebencian itu di dalam hati. Baginya angkat senjata adalah perkara yang harus dilakukan tanpa memandang lagi hal-hal yang lain dan pemikirannya yang lepas itu membuatnya semakin mantap untuk melawan. Dia seperti tidak memandang lagi dimana dia masih berada, dan dia juga tidak lagi mau menyikapi tentang rasa nasionalismenya sebagai warga negara Indonesia. Dia seperti berada di awang-awang.

Karya sastra merupakan hasil ‘perkawinan’ dunia fiksi dan realita dengan sendirinya akan mewarisi sifat-sifat dasar dari kedua induknya. Dalam karya sastra, ditemukan pelukisan suasana, tempat, dan tokoh-tokoh dan peristiwa. Sastrawan yang melahirkan karya tersebut merupakan anggota masyarakat sebagai pengejawantahan homo homini lupus (manusia sebagai makhluk sosial). Oleh karena itu, dalam karya sastra, tergambar jelas kondisi sosial masyarkat sebagai cermin keadaan masyarakat ketika karya itu diciptakan. (Sudjarwoko: 213).

Arafat Nur, sang pengarang Lampuki, yang memenangkan Sayembara Penulisan Novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) 2010 ini begitu cermat menyoroti lekuk-liku ‘tubuh’ Aceh. Sebagai putra Aceh sejati Arafat meresapi segala problematika Aceh yang penuh gejolak itu. Dalam Lampuki, gambaran buram tentang Aceh banyak terungkap. Kita sebagai pembaca dapat menyaksikan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, seperti tidak adanya keharmonisan antara rakyat Aceh sebagiannya dengan pemerintah Indonesia, antara masyarakat dengan pihak keamanan (tentara) yang telah lama menduduki tanah rencong itu dengan dalih menjaga keamanan dari gembong-gembong pemberontakan, atau bahkan tidak adanya keharmonisan antara sesama masyarakat karena sesama masyarakatpun telah saling curiga sebagai orang yang ikut terlibat dalam gerakan pemberontakan yang berakibat ditangkap pihak militer dengan risiko tragis diinterogasi dengan disiksa bahkan sampai mengakibatkan kematian.

Hal yang kacau itu dapat mengakibatkan dilema psikologi bagi tiap masyarakat. Masyarakat menjadi antipati pada siapapun, tak terkecuali kepada pemerintah, karena dalam hal ini, pemerintah yang seharusnya sebagai pelindung rakyatnya kini tak ubah sebagai macan yang menerkam anaknya sendiri. Hal ini menjadi paradikma besar yang mengikis sikap-sikap manusia sehingga dapat menimbulkan chaos dalam tiap diri manusia itu yang semakin lama mengikis rasa nasionalismenya yang dapat menjurus kepada tidak ada lagi rasa percaya kepada pemerintah (negara).

‘’Setiap terjadi penyerangan pemberontak, mereka selalu saja memukuli orang-orang dan membakar pula rumah mereka. Budak-budak itu mempersalahkan setiap menyerangan kepada mereka yang tinggal di sekitar tempat kejadian. Karena itulah setiap terjadi kekacauan penduduklah yang menanggung akibatnya. Mereka kerap kena hantam dan kehilangan tempat tinggal.’’ (Lampuki, hlm: 417)

Rasa nasionalisme; sikap setia dan berbakti kepada negara adalah kewajiban bagi tiap warga negara. Hal itulah yang menjadi kekuatan bagi bangsa untuk mempertahankan negaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal yang penuh ketimpangan dalam kisah-kisah Lampuki dapat menjadi cerminan bahwa kita harus menyikapi dengan baik segala langkah ke depan (apalagi sebagai pemimpin). Berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kisah-kisah Lampuki ini adalah gambaran tumpang tindih dalam kebijakan permintah terhadap daerah yang dikuasainya. Dari satu sisi, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam kekuasaan pemerintah pusat juga sebagai masalah besar yang tentu membuat warga masyarakat yang tertindas itu tidak senang. Bukankah banyak daerah lain yang juga hampir memiliki karakter permasalahan yang sama?

Pergulatan batin tokoh Ahmadi satu sisi dikatakan baik karena dia -apakah dengan kesadarannya atau pula karena semata kebenciannya pada aparat-aparat negara- mau membela dan menegakkan marwah. Tapi dari sisi lain, dia tidak menimbang rasa akan keberadaannya yang masih juga bergantung dari hasil kekayaan negaranya sendiri. Dia tumbuh dan berkembang dalam didikan tanah arinya Indonesia sejak kecil, tapi mengapa harus membangkang dan menentang negaranya sendiri? Yang kemudian turut menghasut masyarakat agar turut mengikuti jejaknya berjuang menentang negaranya sendiri, yang akhirnya meracuni pikiran masyarakat dan mengikis rasa nasionalismenya. ***

Telukbelitung, 24 Maret 2013

*) Riki Utomi, peminat dan penikmat sastra. Pernah berproses di FLP Riau. Menulis sajak, cerpen, esai, juga sesekali naskah drama. Sejumlah tulisan dimuat dalam Suara Merdeka, Lampung Post, Padang Ekspres, Sabili, Haluan Kepri, Haluan Riau, Jawa Pos, Batam Pos, Riau Pos, Sagang dan terangkum dalam sejumlah antologi bersama. Diundang dalam helat baca sajak Penyair Jemputan Serumpun 2012 oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Bergiat di Rumahsunyi. Bermastautin di Selatpanjang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/05/nasionalisme-yang-terkikis-dalam-lampuki.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito