Riki Utomi *
Riau Pos, 5 Mei 2013
NASIONALISME sangat penting dalam kehidupan bernegara. Sebuah bangsa yang besar akan memiliki ketahanan nasional secara utuh dari segenap rakyatnya yang berdiam dan berhimpun dalam tiap wilayahnya. Maka keberadaan untuk tetap setia pada negara itulah merupakan hal yang urgen sebagai kesadaran akan bela negara. Tapi bagaimana kalau suatu negara ada sebagian kecil rakyatnya enggan untuk menghargai negaranya sendiri dan lebih jauh ingin menunjukkan eksistensinya sebagai figur yang kuat untuk menentang negaranya sendiri? Hal itu tentu membuat rasa nasionalismenya telah berkurang dan terkikis sedikit demi sedikit, yang lambat laun akan dapat berubah menjadi anarkis dan juga pembangkang yang besar kepada negara.
Dalam novel Lampuki karya Arafat Nur, lebih jauh meneropong liku-liku kehidupan masyarakat Aceh. Mengisahkan situasi Aceh yang telah beralih menjadi Daerah Operasi Mililiter (DOM) karena adanya gerakan-gerakan bawah tanah yang cukup membahayakan bagi kelangsungan nasib kota Serambi Mekah itu. Dalam hal inisecara tak langsungGAM (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi tolok ukur dalam masalah-masalah yang dicertakan. Akibat hal-hal itu, Aceh menjadi daerah yang penuh kontroversi, daerah rawan konflik dan sensitif. Tidak tampak lagi kelangsungan dalam kehidupan masyarakatnya yang sehari-hari ramah dan tenggang rasa. Tapi berubah mencekam dan selalu awas dengan bahaya teror-teror yang tanpa sadar akan datang menghampiri.
Berkisah tentang tokoh sentral Aku yang menceritakan tentang sosok Ahmadi yang bergelar Si Kumis Tebal. Sosok lelaki jangkung kurus ini memiliki nyali besar untuk membentuk gerakan-gerakan pemberontakan yang tentu secara sembunyi-sembunyi dalam aktifitasnya. Ahmadi menjadi lambang sikap pemberani bagi masyarakatnya di desa Lampuki. Dia (Ahmadi) kerap memberikan pandangan kepada masyarakat tentang kesadaran untuk ikut berjuang membentuk laskar menentang pemerintahan. Baginya pemerintah adalah penjajah yang harus dilawan dengan kekuatan senjata.
Meski begitu, banyak juga masyarakat yang enggan dan tidak menyukainya. Tidak suka akan sikap dan sifatnya yang selalu congkak, sombong, dan kadang sok berani, karena secara tak langsung, gara-gara Ahmadi-lah ada sebagaian warga masyarakat ditangkap dan disekap para tentara yang mengadakan patroli keliling kampung karena untuk menciduk anak-anak buah Ahmadi yang dicurigai sebagai pemberontak. Oleh sebab itu, masyarakat menjadi resah, gundah, dan ketakutan untuk beraktifitas di kampungnya sendiri. Sedang Ahmadi dan anak buahnya yang berasil dirayunya itu asik bersembunyi di dalam hutanyang katanya sering digunakan untuk latihan menembak. Untuk itulah masyarakat tidak tertarik pada Ahmadi karena sikapnya yang hanya dapat membuat masalah di kampung Lampuki yang membuat masyarakat jadi repot. Tapi Ahmadi tetap congkak dan menganggap dirinya sebagai pahlawan yang membela kebenaran. Tampak sikap Ahmadi yang benci kepada pemerintah pusat yang dikatakannya sebagai penjajah.
‘’Kita sekalian wajib berperang melawan kaum perusak yang sudah menginjak-injak tanah ini. Mereka betul-betul tidak tahu diri, biadab, dan kejam! Tiada pantas lagi bagi kita memberi hati atas kejahatan mereka yang tiada berperi, kalau tidak, betapa hinanya kita ini, bangsa yang merupakan keturunan baeradab dan pembernai, bisa diperbudah oleh kaum lamit yang pernah dijajah berkali-kali. Terkutuklah anjing-anjing penjajah!’’ teriak Ahmadi dengan kumis bergetaran. (Lampuki, hlm: 31)
Ahmadi di mata masyarakat memang memiliki nyali besar. Barangkali hal itu karena dulu dia sebagai bekas berandal. Tapi karena akibat konflik yang terus berlangsung di Lampuki dia tergerak untuk mengikuti jejak langkah pendahulunya yang mengangkat senjata untuk melawan kaum penjajah (pusat). Pribadinya semakin menaruh kebencian kepada hal-hal yang berbau pemerintah pusat.
‘’Ahmadi pernah berkata bahwa kebanyakan dari pemimpin kami dahulu -dan juga sekarang ini- adalah kawanan berandal. Dan mereka yang berjabatan paling tinggi sampai yang paling rendah, terus saja bertikai dan memelihara permusuhan; saling menyikat, menyepak, dan menerjang demi kepentingan dan keuntungan diri mereka sendiri, tanpa mereka pernah menghiraukan nasib rakyat. Mereka tidak pernah merasa rugi ataupun berdosa bila negeri ini hancur dan binasa di tangan mereka, padahal mereka itu sebagai pemangku amanah, pemikul tanggung jawab, dan penentu nasib kami semua.’’ (Lampuki, hlm: 4)
Semakin bencilah Ahmadi kepada hal-hal yang bersifat dari pusat. Dia terus menanamkan kebencian itu di dalam hati. Baginya angkat senjata adalah perkara yang harus dilakukan tanpa memandang lagi hal-hal yang lain dan pemikirannya yang lepas itu membuatnya semakin mantap untuk melawan. Dia seperti tidak memandang lagi dimana dia masih berada, dan dia juga tidak lagi mau menyikapi tentang rasa nasionalismenya sebagai warga negara Indonesia. Dia seperti berada di awang-awang.
Karya sastra merupakan hasil ‘perkawinan’ dunia fiksi dan realita dengan sendirinya akan mewarisi sifat-sifat dasar dari kedua induknya. Dalam karya sastra, ditemukan pelukisan suasana, tempat, dan tokoh-tokoh dan peristiwa. Sastrawan yang melahirkan karya tersebut merupakan anggota masyarakat sebagai pengejawantahan homo homini lupus (manusia sebagai makhluk sosial). Oleh karena itu, dalam karya sastra, tergambar jelas kondisi sosial masyarkat sebagai cermin keadaan masyarakat ketika karya itu diciptakan. (Sudjarwoko: 213).
Arafat Nur, sang pengarang Lampuki, yang memenangkan Sayembara Penulisan Novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) 2010 ini begitu cermat menyoroti lekuk-liku ‘tubuh’ Aceh. Sebagai putra Aceh sejati Arafat meresapi segala problematika Aceh yang penuh gejolak itu. Dalam Lampuki, gambaran buram tentang Aceh banyak terungkap. Kita sebagai pembaca dapat menyaksikan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, seperti tidak adanya keharmonisan antara rakyat Aceh sebagiannya dengan pemerintah Indonesia, antara masyarakat dengan pihak keamanan (tentara) yang telah lama menduduki tanah rencong itu dengan dalih menjaga keamanan dari gembong-gembong pemberontakan, atau bahkan tidak adanya keharmonisan antara sesama masyarakat karena sesama masyarakatpun telah saling curiga sebagai orang yang ikut terlibat dalam gerakan pemberontakan yang berakibat ditangkap pihak militer dengan risiko tragis diinterogasi dengan disiksa bahkan sampai mengakibatkan kematian.
Hal yang kacau itu dapat mengakibatkan dilema psikologi bagi tiap masyarakat. Masyarakat menjadi antipati pada siapapun, tak terkecuali kepada pemerintah, karena dalam hal ini, pemerintah yang seharusnya sebagai pelindung rakyatnya kini tak ubah sebagai macan yang menerkam anaknya sendiri. Hal ini menjadi paradikma besar yang mengikis sikap-sikap manusia sehingga dapat menimbulkan chaos dalam tiap diri manusia itu yang semakin lama mengikis rasa nasionalismenya yang dapat menjurus kepada tidak ada lagi rasa percaya kepada pemerintah (negara).
‘’Setiap terjadi penyerangan pemberontak, mereka selalu saja memukuli orang-orang dan membakar pula rumah mereka. Budak-budak itu mempersalahkan setiap menyerangan kepada mereka yang tinggal di sekitar tempat kejadian. Karena itulah setiap terjadi kekacauan penduduklah yang menanggung akibatnya. Mereka kerap kena hantam dan kehilangan tempat tinggal.’’ (Lampuki, hlm: 417)
Rasa nasionalisme; sikap setia dan berbakti kepada negara adalah kewajiban bagi tiap warga negara. Hal itulah yang menjadi kekuatan bagi bangsa untuk mempertahankan negaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal yang penuh ketimpangan dalam kisah-kisah Lampuki dapat menjadi cerminan bahwa kita harus menyikapi dengan baik segala langkah ke depan (apalagi sebagai pemimpin). Berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kisah-kisah Lampuki ini adalah gambaran tumpang tindih dalam kebijakan permintah terhadap daerah yang dikuasainya. Dari satu sisi, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam kekuasaan pemerintah pusat juga sebagai masalah besar yang tentu membuat warga masyarakat yang tertindas itu tidak senang. Bukankah banyak daerah lain yang juga hampir memiliki karakter permasalahan yang sama?
Pergulatan batin tokoh Ahmadi satu sisi dikatakan baik karena dia -apakah dengan kesadarannya atau pula karena semata kebenciannya pada aparat-aparat negara- mau membela dan menegakkan marwah. Tapi dari sisi lain, dia tidak menimbang rasa akan keberadaannya yang masih juga bergantung dari hasil kekayaan negaranya sendiri. Dia tumbuh dan berkembang dalam didikan tanah arinya Indonesia sejak kecil, tapi mengapa harus membangkang dan menentang negaranya sendiri? Yang kemudian turut menghasut masyarakat agar turut mengikuti jejaknya berjuang menentang negaranya sendiri, yang akhirnya meracuni pikiran masyarakat dan mengikis rasa nasionalismenya. ***
Telukbelitung, 24 Maret 2013
*) Riki Utomi, peminat dan penikmat sastra. Pernah berproses di FLP Riau. Menulis sajak, cerpen, esai, juga sesekali naskah drama. Sejumlah tulisan dimuat dalam Suara Merdeka, Lampung Post, Padang Ekspres, Sabili, Haluan Kepri, Haluan Riau, Jawa Pos, Batam Pos, Riau Pos, Sagang dan terangkum dalam sejumlah antologi bersama. Diundang dalam helat baca sajak Penyair Jemputan Serumpun 2012 oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Bergiat di Rumahsunyi. Bermastautin di Selatpanjang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/05/nasionalisme-yang-terkikis-dalam-lampuki.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar