Selasa, 10 Juli 2012

Pendidikan; Prospek Pembentuk Karakter Budaya *

Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com/

Bismillahirrohmanirrohim, saya awali makalah ini. Sebelumnya maaf pengantarnya panjang, lantaran saya perlu sesuaikan tema yang sudah tertandai. Anggaplah sebab musababnya materi kan tersampaikan atau asbabul wurud, demi dapati pijakan realitas kata-kata nan terwedar. Kebetulan saya tengah hijrah di bumi Reog, memang tak jauh dari tanah kelahiran Lamongan yang kini terpijak, ibu pertiwi jiwa-raga ini. Tetapi bagaimana pun suasana hijrah taklah menyenangkan, ada rindu mungkin sedalam kerinduan para muhajir ke tanah suci, seperti mendamba surga di bawah telapak kaki ibu.

Hal mengharukan, peroleh angin dari dataran dulunya tempat bermain; adakah ini berkah hukum jarak waktu berselisih? Setidaknya, sebelum hijrah hanya peroleh undangan seminar di luar kota, bagi saya ini luar biasa atau diluar kebiasaan, apalagi bertema "Guru Profesional Pembentuk Karakter Generasi Anak Bangsa." Yang jelas jauh dari pengalaman sejak belia, dimana baru mengerti abjad kelas V Ibtidaiyah, serta membenci orang-orang yang tekun belajar. Hanya saja, saya diselamatkan wejangan sang guru masa itu, "jika ingin peroleh ilmu manfaat, hormati guru dan buku," tersebut baru sadar pentingnya baca di bangku kelas II Aliyah, pun masih saya pelajari dengan pola tak lepas dari gejolak pencarian jati diri.

Yang tersanjung sekaligus grogi disematkan di belakang nama saya, ‘penyair dan budayawan Lamongan,’ di sebelah narasumber lain yang titel kesarjanaannya rangkap-rangkap, lalu ada bisikan, 'gitu saja kok repot.' Saya diingatkan petuah santri Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis, Ponorogo, santrinya Kyai Ageng Hasan Besari; H.O.S. Cokroaminoto; "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat." Lalu teringat keilmuan para santri Mbah Hasan Besari lainnya, Pakubuwono II, pujangga R. Ng. Ronggowarsito. Ini menegur saya sebelas tahun lewat sempat berkelana di Tegalsari, kini pun bernafas di bekas daerah kerajaan Lodaya, dengan raja Prabu Singobarong bersama Iderkala tempo dulunya.

Dan terngiang makolah Ki Hajar Dewantara, "Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani," kurang-lebih tafsirannya: "Jadi seorang pemimpin kudu sanggup memberi suri tauladan orang-orang sekitarnya. Seorang ditengah kesibukannya, patut membangkitkan kemauan lingkungan. Yang mengikuti, harus memberi dorongan moral semangat bekerja." Lantas, apa masih ada nafasan ruh bebulir mutiaranya? Kita sengaja, setengahnya, abai terhadap pencetus gugusan bintang di bencah sendiri, terpukau wacana kekinian, entah dari bebangsa Barat atau para tokoh yang belum teruji dalam kehidupannya?

Para imam serta iman melekat di dada kita, tidak tersekat datangnya ilmu dari mana, asal ruhaniahnya bersambung kesadaran beribadah. Sepaham al Kindi dan para ulama' tempo dulu, tidak segan belajar pada pengetahuan bangsa Yunani, tentu patut mengoreksi atas kemerosotannya kini, seakan diambil alih bebangsa berwatak militan terhadap nilai kebudayaannya sendiri, misalkan Jepang. Nusantara kini sekakek-nenek berpakaian necis kemrompyang perhiasannya, tidak sadar datangnya senja, kekayaan negara dirampok habis-habisan dibawa keluar, kaum pribumi tak kalah menggasak apa saja yang tak mendatangkan manfaat di pekuburannya. Ini dapat dibuktikan di lembaga-lembaga pertaniah, pendidikan, pemerintahan dst, yang tidak pantas disandingkan Dasar Negara, "Kemanusiaan yang adil dan beradab?" Namun saya yakin, ada sekuntum kembang teratai di rawa-rawa!

Pemandangan di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah, Siman, Sekaran, Lamongan, tak asing bagi saya. Setidaknya tujuh tahun silam menyebarkan buku-buku stensilan karya sendiri di sini, peristiwa itu mendatangkan kepengen berbicara seperti sekarang. Perasaan kesemsem ini hampir persis kala mendapati buku musik di toko loakan Jalan Semarang, kota Surabaya, yang terstempel perpustakaan pribadi Setya Yuwana Sudikan (mungkin ada pencuri dari rak-nya, buku itu sering saya ambil referensi beberapa bulan ini untuk menganalisa esainya Ignas Kleden), yang menjadi ingin berjumpa, dan rasanya keberuntungan bertemu di STKIP PGRI Ponorogo sedang memberi kuliah tamu. Membuat berhasrat mengikuti kuliahnya, tapi dia bilang sungkan, mungkin karena melihat saya mengisi waktu menantinya di depan mahasiswa. Lalu saya keluar ruangan untuk menghormatinya.
***

Kebetulan saya bawa Kitab Minhajul 'Abidin, karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, saya petik saja pendapatnya bagi pijakan pemikiran: "Ibadah merupakan buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat, bekal berharga dari para aulia, jalan nan ditempuh kaum bertaqwa, bagian bagi mereka yang mulia, tujuan bagi orang bercita-cita menggelora, syiar golongan terhormat, pencariannya orang-orang mukmin, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga."

‎’Ibadah merupakan buah dari ilmu.’ Pendidikan kita kerap menekankan hafalan, definisi atau kulit luar sampai kemandekan tertentu membuat malas mengetahui makna luas, memahami maksud tujuannya, jadilah senandung merdu tapi terlepas ruhaniah kerjanya. Istilah Jawa-nya hanya tahu Qur'an garing, dan kurang mengetahui Qur'an teles, lincah mengurai kata-kata, tapi tak meresap ke jantung kesadaran hayati, itu tantangan berat sekaligus payah. Mungkin maksud sang guru, lewat hafalan kan merembes jika didzikirkan di tengah kembara, tapi kala pencarian ilmu hanya ditujukan materi kedudukan semata, fatallah di hari kemudiannya.

Kala mendengar khotbah, khatib selalu mewanti-wanti meningkatkan iman dan taqwa, tapi bagaimana jika tiada tantangan pendewasaan, tanjakan memeras keringat-otak. Olehnya hidup merupakan ujian, setiap goda rayuan tipu daya kebodohan diri pun perangai luar, pantas ditelisik berulang, yang luput kembali ke rel keselamatan. Di sini mutu terwujud tempaan berkali-kali; kesabaran, ketekunan, keinsyafan, ketundukan dan selalu perbaharui syahadat, dari rupa-rupa syikir terhadap benda, patung-patung para tokoh, paham berseberangan, demi iktikat luhur bermuwajjahah kepada-Nya.

Saat ilmu sepohon kehidupan, akar-akarnya kehendak pencarian sumber mata air hayati, mencecapi saripati di dasar bumi, merawat ruh di antara bencah tanah-udara sekeliling keberadaannya, batang menegak ke atas, dahan cecabang menjulur digoyang angin merindangkan pengembara, daun-daun kering terjatuh menjelmah humus. Siklus ini menerus kekuncup kembang bermekaran, terjadilah bebuahan manis pula pahit, yang kurang berwibawa digariskan tak menghasilkan buah, sebagian diberi ketahanan batang melewati pergantian musim perubahan jaman, tapi parahnya berbuah busuk dimakan ulat kebinasaan. Olehnya langkah keliru patut diluruskan, lalu lebih mewaspadai jalan-jalan nafasan ruh demi rahmat sekalian alam.

Para ulama' tempo dulu dalam irama sama berpendapat, 'ilmu hanya bisa diperoleh dengan keterbatasan, dan berpayah-payah,' seakar pepohon berketekunannya menyibak pori-pori bebatu pegunungan paling keras, laksana tetesan air melubagi batu besar bercekungan, selain senandungkan suara merdu di atas watak keistiqomahan tetes demi tetes, membaca sampai terkantuk-kantuk pahami keilmuan. Bahasa saya, menghajar diri sendiri sebelum memberi pelajaran, memaksa kedirian mencintai kitab-kitab kandungan ilmu pengetahuan, menyerap limpahan isi, mengamalkan sekiranya kuat melaksanakan. Ini berulang sebolak-baliknya hati naik-turunya iman oleh perihal melingkupi dalam mematangkan mental, agar kelak hanya tertunduk terhadap kebenaran.

Kedua, ‘ilmu berfaedah dari umur’ yang terus memakan usia kian terkikis bak lintasan angin mengajak kembarai mega-mega takdir, tak tahu kapan terjadinya hujan, tersumbatnya uap tiada gemawan, meranggasnya kemarau, ini berputar bersama gesekan musim perubahan. Antara itu, ingatan, teguran, hardikan serta elusan tipis, memberi siratan bagi terjaga, mawas umur bertambah. Dan manfaat bacaan itu mengekang, menimbang, mengolah, pencegahan, jika terlepas kembali meski tertatih menuju jalur kebahagiaan.

Kita bersilaturahmi kepada orang-orang berilmu untuk meminta saran, wajah para beliau sumringah mengucurkan berkah manfaat, suguhkan faedah pada diri sendiri pula sesamanya. Setiap yang datang pelajaran, dan melintasi wewarna pemikiran peroleh manfaat kesejahteraan merambahi penghayatan, menyebarkan benih pepadian, tidak rela mati sebelum mengenyangkan lambung pengertian, sebatang pohon pisang tidak rela ditebang membusuk sedurung menumbuhkan tandanan pisang. Pohon faedah menyerupai ondak-ondakan tangga menjulang menerobos sab-sab langit, menujah lapisan bumi menemui inti; hati yang menjangkau kepada-Nya.

Ilmu berfaedah bagi umur, yang merupakan rentangan waktu, jatah tempo, lencung adanya titik klimak, perjanjian di alam ruh atas lamanya kembarai bumi. Atau kesepakatan tak terlihat tapi kudu ditepati, ini hadirkan waswas, kesiapan, menanti jemputan maut. Putaran waktu terkadang lamban, di sisi terasa cepat, bergelayut lena, di pinggiran kecurigaan; menempati penelitian bagi menghayati sesalan, haru, cemburu. Pada gilirannya pekerti menjelma percikan pengertian, mengunyah sedalam kesadaran hakiki, sehingga kekecewaan bisa ditanggulangi, tidak parah ke jurang kemurungan.

Tanpa ilmu, umur sekadar permainan, tapi di batas tertentu sandiwara hidup menempati keilmuan bagi memikirkan, pikiran itu pengendali kesadaran. Atau dengan sadar menemukan bentuk kesepakatan, seperti pembuatan tanggul kincir air, arus sungai dialirkan ke ladang, waktu menyusuri malam-siang. Kata ‘faedah’ itu sesuatu yang menempel pun bisa berpindah secahaya menerangi ruangan pula menerobos lubang kunci. Faedah, dapat diresapi dengan penerimaan tulus, sebentar paksaan, hardikan di atas ketentuan. Serupa ketetapan, setiap hubungan tak lebih timbangan yang naik-turun dipengaruhi pembawanya.

Ketiga ‘hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat.’ Tanpa kesungguhan membaja, para ulama’ tak mungkin menulis puluhan buku, ratusan kitab, ribuan bulir pemikiran yang tiap babnya tak hanya menawan juga menyanggupi nalar-nalar bersuntuk menyimak. Berapa waktu beliau pergunakan mencipta lelembar penghayatan? Padahal masanya di batas peperangan, minimnya lampu penerang, tapi berpenuh seluruh teresapi diri kepada rentangan kembara. Pertemuan sesama pencari, ketawadhu'an tanpa pamrih, melampaui terangnya lampu sorot alun-alun. Para beliau pembawa lentera abadi bagi generasi selanjutnya yang tak padam lantaran keikhlasan.

Para beliau menerangi malam menyalakan siang, menahan haus lapar, tapi betapa segar jiwanya oleh keyakinan hari balasan. Di jaman keemasan Islam, tak sekadar memegahkan bangunan masjid, juga perpustakaan bersegala kegiatan penerjemahan, menelitian sedari lelintasan temuan di belahan berbeda di muka bumi. Berkumpul membahas capaian-capaian agung serta pergeseran terjadi dimasanya, tidak disibukan kebutuhan pribadi, tapi kemaslahatan umat oleh panji-panji keimanan. Ini bertolak belakang dari sekarang, tiap informasi tak disaring kritis, alat-alat komunikasi membuat terlena menghilangkan waktu permenungan. Kemalasan membaca, sering bertanya tanpa tindakan lanjut, karakter keadaban luhung seakan berangsur-angsur lenyap dalam tiap pribadi mukmin.

Saya sering bayangkan kala melihat tiang-tiang masjid besar, dinding gedung pesantren bertingkat tapi sunyi penghuningan itu sebagiannya dibelanjakan untuk menerbitkan kitab-kitab klasik, menafsirkan pemikiran para ulama' dan merutinkan kajian keilmuan. Seyogyanya belajar pada burung-burung pandai berkicau lihai terbang, selain terampil mencipta sarang. Menggratiskan biaya pendidikan kepada murid dari kelurga miskin, memfasilitasi lebih yang berprestasi, memberi jam pelajaran tambahan. Di mana perangkat pendidikan tak memanjakan, namun memacu kreatifitas, tentunya keindahan itu dapat diciduk dari sumur pengetahuan, lelembar peradaban dari jaman keemasan.

Kelenjar itu bekerja baik jika merawat silaturahmi, saling menopang dari pemerintahan, perdagangan, pendidikan &st. Sesekali diperlukan kritikan pedas bagi bidang yang lalai tanggung jawab, sehingga melangkah cepat mengumandangkan syiar, gaungan ini sekadar mimpi jika pohon-pohon pendidikan tak disirami tirta nurani fitri. Dari para beliau mengaji bebulir pemikirannya, tak hanya jadi warisan berharga juga dinikmati sanubari umat. Di pundak pendidiklah teremban, pahlawan tanpa tanda saja, bukan menyogok untuk perolehan lebih tanpa memikirkan kemajuan anak didik.

Selanjutnya, ‘ilmu bekal berharga dari para aulia,’ sebab kedekatan para beliau kepada Allah Swt, dipercayai merintis jalan lurus di bumi, jalur menuju kebahagiaan. Karena hati para beliau disucikan, senantiasa mensuci dengan amalam mendekatkan diri, sampai gerak, pandangan, apapun atas ridho-Nya. Ketika mengungkap sesuatu, selaksa air mengalir berkebeningan, seluruh indera bersaksi bersegenap informasi masuk bak nyanyian, umpama penari mengikuti tabuhan gending Ilahi. Para sahabat mencatat lekuk kearifannya, dan pena mengalir betapa menderas melalui jalur kebenaran sudah tertandai dalam kitab suci, pikiran dituntun hatinya dibimbing cahaya Sang Maha Cahaya.

Selalu terjaga, dijaga kekasih-Nya dari merintangi dalam berkasih mesra, batinnya i'tikaf, jiwanya mengembarai alam-alam ciptaan-Nya, sukmanya keluar-masuk lelapisan langit-bumi, raganya ada menyendiri pula ada berbaur tapi tak tercederi kemurnian kasihnya dalam menyeluruh, sayangnya betapa menyentuh. Jalan aulia sepantasnya bagi landasan pendidikan demi mendewasakan iman, mengisi ruh berkeyakinan, tapak menuju kesenangan abadi membawa wajah-wajah berseri, kaki-kaki ringan bagai bocah girang mendamba ibundanya. Setiap yang datang-pergi menggesek perasaannya bergetar, memecah menaburi persendian jiwa sebintang ambyar mengisi ruang semesta raya.

Sebagai manusia pernah ditantang bebentuk keraguan, namun cepat-cepat mendekatkan diri memohon petunjuk kepada Sang Pemilik Jalan, beliau-beliau mendapati teguran kala lampaui kodrati, dipertemukan para kekasih di mimbar dzikir sekumpulan lebah mengambil madu kembang mengeluarkan zat penyembuhan. Untaian sholawat membumbung terbang laksana laron memanjat cahaya, sayap-sayap badaniahnya terlepas, tapi ruh menjumpai Pemilik Ruh. Tanpa para beliau, bumi gelap-gulita semuka malam tiada bebintang, maka tak layak jika tak mensyukuri kehadirannya. Mungkin tanpa para beliau, kita tak dilahirkan di atas bumi atau tidak dicipta sama sekali. Munajat harum dari bibirnya menuntun umat pada pengertian, memudahkan menyibak deduri rerumputan tajam, sampai mendapati taman kemenangan.

Kelima, ‘jalan nan ditempuh kaum bertaqwa.’ Rasanya saya tak pantas menuangkan kata-kata di lembar makalah ini dengan merujuk pemikiran Imam al Ghazali. Di depan mata seakan tampak api menyala-nyala siap melumat dosa-dosa saya, semoga dengan bersujud kepada-Nya, nyala membara segera sirna, atau dingin perangainya sesejuk keridhoan-Nya. Ini berliku jika hendak menuju jalan lurus kebenaran, ada memutari badan gunung ke ketinggiannya, sebelum mencapai taman bunga. Laluan licin mendaki, menanjaki tebing curam, berjumpa makhluk-makhluk buas, bekalnya ketaqwaan tulus. Betapa hawa ketinggian sanggup menulikan telinga, mengaburkan pandangan oleh kabut padat uap belerang. Dan tak sampai kecuali atas izin-Nya, berkat kasih sayang-Nya melampaui murka-Nya.

Keenam, ‘ilmu, bagian bagi mereka yang mulia;’ kemuliaanya turun-temurun, keutamaannya mencahayai, kecuali menolak kedatangannya. Para mendidik dihiasi ketampanan ilmu, parasnya dicantikkan ilmu, para pencari dinaungi sayap-sayap malaikat membentang dari ufuk timur hingga barat. Dedaun bertasbih menyaksikan lelangkahnya, atas ilmu kebahagiaan dapat diraih di dunia pula akhirat. Ilmu perhiasan berharga, perbendaharaan tak habis ditimba, dengan kepasrahan menderas menentramkan pemiliknya. Harta tak dapat dicuri itu ilmu, dengan sembunyi selaksa diperkenan mendengar syairnya; barangsiapa kikir ilmu, disempitkan dadanya sedari kegembiraan berlimpah. Ilmu mendatangkan rizki juga menyalurkannya, mengurangi marabahaya, menanggulangi langkah celaka. Dalam keilmuan terkandung kelezatan yang menghendaki jalan suci menuju kehadirat Ilahi.

Ialah bagian hidup kaum mulia, sedang wewarna jasadi tak tentu sembada. Namun sepapan dialog, cara bercanda, menghiasi diri memudahkan laluan rumit, sebagai jamu sehat, kecuali yang melampaui kodratnya; tetesan air hikmah itu telah ditakar Sang Maha Kuasa. Ialah pasangan hidup pula syarat mendapati keturunan baik, ilmu itu pokok musabab, tanpanya kesulitan takkan teratasi. Dapat pula berlaku balik, karenanya kebejatan mudah dilaksanakan, penunjuk jalan lurus juga bercabang serta berliku, hanya nasib baik / buruk menentukan langkahnya. Ilmu membuat kagum sesama, dan bisa kendalikan pikiran lingkungannya (mengetahui yang dibutuhkan), lalu menjadi raja meski tak bermahkota, lantaran di dalamnya terkandung kekuatan, kewibawaan, kejayaan yang sanggup mengurung bagai benteng kerajaan.

Ketuju, ‘tujuan bagi orang bercita-cita menggelora;’ awalnya belajar, lalu temukan perihal luar biasa, indahnya membaca, lezatnya paham, nikmatnya menganalisa. Sebab menyenangkan batin gembirakan jiwa, diulang-ulang hingga menemukan sesudut pandang berkilauan, sukmanya gemetar, ruh keluar-masuk bercampur membuai, di sini rasa ketagikan meminta jatah. Bermula penasaran dan pertanyaan; apa, bagaimana, kenapa? Kemudian pemilahan tempat-waktu, kesuntukan, ketundukan, kehusyukan, menyetiai; pemberontakan, perjuangan, gairah tak habis-habisnya melapangkan jalan, mencipta jalur sesuai karakter empunya. Karenanya, jiwa pembawanya senantiasa muda, lantaran tahu hukum masa mengabadikannya. Darinya, sketsa alam dijangkau indera terdekat, pemampu memendek-panjangkan jarak, meringkas-mengurai terbang sesuka pemiliknya, tentu tidak lepas seberapa tetesan air hikmah jatuh dari jari kekuasaan-Nya.

Keanggunannya lebihi candu, sanggup menarik harta paling bernilai; waktu, usia, kesempatan, tak sekadar menggadaikan juga pertukaran meski merugi, hakikatnya tiada kerugian dalam perdagangan dengan ilmu. Telah banyak bangsawan, para pedagang mengurbankan miliknya demi meraih untaian kemewahannya, namun diberkahi kebangsawanan serta kejayaan jiwa. Di antara itu dengan memegang tongkatnya, mampu mengembalikan yang pernah sirna, pun kenyataannya; ia sabda-sabda melampaui masa, bulir mutiaranya membahayai kesewenang-wenangan, tiran. Dan meski dibakar lelembarannya, hakikannya kembali, sejauh penerusnya bertabah telusuri jalanan sunyi, dimana para pendahulu pernah melalui.

Kepribadiannya dikjaya menanamkan kepercayaan dan keyakinan diri pencarinya. Karena inti hidup sudah bersemayam dalam pengejawantahan, para pembawanya tak gentar melintasi batas negara, batasan nalar pun batas-batas keimanan, seakan dituntun meski penuh pergolayakan. Adanya setarik-menarik energi semesta di dirinya, sebentuk peleburan gula dipanasi bersama air dalam panci, diaduk sejenis membikin kembang gula, bertambah mengental manis atas pusaran masalah bergerak cepat. Keadaan itu menyadari sunatullah berlaku, juga hubungan dengan alam raya lebih luas. Kesungguhan mencari menyentuh dinding kodrati, dan betapa mengerahkan seluruh tenaga menyadari kelemahan manusiawi. Dari sana menemukan pandangan, jadi pelajaran berharga pengembaraan menggelora.

Kedelapan, syiar golongan terhormat, ini upah sepadan yang diperjuangkan, diantaranya berontak kepada penjajahan, bergerilya di medan tempur sebelum berjuang terang-terangan, setelah cukup dirasai sanggup kuasai tanah-waktu perjanjian yang telah dijanjikan. Kehormatan ini tak dicarinya, sebagaimana tidak memilih 'nasib buruk' pernah menimpanya; mula kesadaran lalu menimbang, meramu menjadi kukuh bertahan, atau hampir semua dihitung, sehingga tidak berpribadi pangling oleh kejutan perubahan. Tulisan ini ruhaniah judul yang bisa diudar menguraikan nilai pengajaran, membentuk kepribadian umat atas kesadaran inti yang dibetot dari akar niat, untuk ditanam di ladang lain, tentu sudah mempelajari kebutuhan tanaman serta tanahnya, agar tumbuh subur sesuai harapan.

Para beliau dalam perkumpulan masing-masing sesuai bidang ditekuni, ada dipayungi plakat, ada pengembara tak terikat identitas. Tahap tingkatannya begitu dalam sealur kedalaman pencarian, dan Tuhan Swt pertemukan sesuai gelombangnya, meski sebagian terpental keluar atau sedikit bergayuh seirama ombak pencarian luhur. Lebih terang kesungguhan, kekhusyukan bisa dirasai yang sama mengalami. Dari itu menjadi pelajaran naiknya tingkatan menginsyafi seberapa barunya kembara, jelasnya tak terikat kedudukan pandangan indrawi, namun lebih derajat batin temuan yang dilewatinya. Bahasa lain, mereka petarung di hutan belantara misteri alam raya, sudah jauh lelangkahnya sedari gua pertapaan. Hanyalah sekali tempo teringat datang sebentar di tanah permenungan, jika mengalami goyah. Tapi lekas keluar menuju ramainya pasar peradaban, untuk menguji jurus-jurus terbaru mematangkan sesuai hukum nan tengah disibaknya.

Kesembilan, pencariannya orang-orang mukmin. Padanya ilmu tak sekadar jalan pengetahuan, penglihatan hukum disaksikan, pandangan di alam pemikiran, juga laku pencarian dengan kaki realitas, di sinilah nalar turun sebagai hijab, yang sebelumnya terus mengikuti jalur penelusuran. Dengan pelbagai ilmu pengetahuan, hati sudah tercetak, telah disucikan memancarkan permenungan lama, akar-akar kian halus menembus pori-pori bebatu. Langkahnya laksana kilat, semacam pecahan cahaya tertabur di udara, wewarna dan titik-titik terjadi sejarak bintang-gemintang berdaya tarik sesuai ketentuan. Lalu dari pancangannya hati membaca, langkah memahami lewat uraian menandai capaian, sungai mengalir melewati cela-cela batu, mengangkut ranting, dedaun kering, hanyut tak melampaui tradisi alam hukum Tuhan, dimana jikalau berbentuk ujaran-ujaran bagi bekal pencari kebenaran.

Karena ilmu mendatangkan bahagia, mengundang kemenangan, menarik kejayaan dunia-akhirat. Maka para beliau tak gusar menumpas keraguan, memukul kejahiliaan, mengangkat cahaya menyinari sekeliling, dan tidak takabur oleh kebaikan-keburukan datang dari Sang Maha Kuasa, tentu melalui pintu pertaubatan, pensucian diri berulang, istikomah dalam kepasrahan, keikhlasan. Penulis hanya berteguh niat, marilah berdoa agar kita mencapai jalan ke sana. Pada derajat ini ilmu tak sekadar nikmat badani, lezat ruhani, bacaan dijadikannya amalam menerus dalam pembelajaran, olah karena kita tak mungkin sempurna. Maka, bukalah pintu lebar-lebar, bentangkan ruang tamu lapang, suguhkan rasa hormat, dan menerima yang pahit, salah satu jalan ternikmat dirasai.

Sepuluh, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar. Ini hadir oleh mengetahui jalan-jalan, disamping tahu ketentuan-ketetapannya memungkinkan langkah menuju pandangan benar. Iramanya terkadang dipercepat, dipelankan, dipotong melintas memandang sorot lampu ilmu pengetahuan. Ini dialog batin terdalam di antara pandangan mata, terlebih dekat dari urat leher sendiri; detakan nadi, deraian jantung, mata lurus ke letak bersudut, hati punjernya arah. Tetapi begitu, medan yang ditempuh tak mudah meski telah ketahui, tanjakan, menurun, licin, sudut cadas meruncing, mudah rumpil menjatuhan ingatan. Kiranya kehati-hatian, kewaspadaan, mengulang-ulang niat kesucian tertanam dalam agar hujamannya mendalam. Jika digambarkan lalui cela sempit di antara tebing curam dikejar srigala hitam, tapi dengan kemantapan tekat, keyakinan bulat, sebilah keris berlekuk iman, setelunjuk bersyahadat dalam kesaksian.

Sebelum temukan ini, batin digusarkan angin keragu-raguan, waswas tidak tenangkan segala gerak, lambang tak tertangkap, dibingungkan arah, buyar pandangan mata, lubang telinga buntu, tak terasa selain kebingungan memuncak. Namun dengan telaten mengudar benang sengkarut, mengurai jalinan rumit, mengulur menemukan ketentuan menggembirakan, yang tidak tercapai kecuali atas kehendak Allah Swt. Serasa nafas senjakala mematangkan iman pada selimut petang menaburkan ketentraman, desahan pekerti, hembusan angin dari taman kegembiraan. Aliran sungai mengalir jernih, enak diteguk tenggorokan kehausan, kedahagaan merindu manfaat tak hanya bagi diri-sesama, juga sekalian alam nan dirawat setiap kaum beriman.

Akhirnya mencapai urutan sebelas, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga. Maka sepatutnya para pendidik mencecapi ayat-ayat teles, di sisi ayat-ayat garing, ditempuh sungguh dihayati yakin, diimani mendarah daging dan ruh, sehingga bersambung kepada generasi-generasi mendatang. Dan pendidikan dimungkinkan membentuk karakter kebudayaan madani, pribadi umat nan tangguh sedari datangnya persinggungan, benturan kian keras pertempurannya di medan akhir jaman. Semoga ini permenungan tidak sebatas di sini, tetapi terus dipelajari di dalam diri, tiap gerak tak lepas ilmu pengetahuan yang diraih, kaidah-kaidah disinauhi mencapai gaung pujian kehadirat Ilahi Robbi.

Kamis kliwon, senjakala awal dan akhir Nisfu Sya'ban 1433 H,
5 Juli 2012, Indonesia, Ponorogo, Tanah Jawa.

*) Makalah Seminar Pendidikan di kampus STITAF, Siman, Sekaran, Lamongan, Jawa Timur. Tertanggal 15 Juli 2012.

**) Nurel Javissyarqi, pengelana asal Lamongan, beberapa bukunya; “Balada-balada Takdir Terlalu Dini, (2001)” Kumpulan Esai-(kebudayaan)-nya “Trilogi Kesadaran, (2006)” dan “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri,(2011)” Antologi Puisinya “Kitab Para Malaikat, (2007)” &ll. Pengelola Website www.sastra-indonesia.com dan www.pustakapujangga.com (Penerbitan buku PUstaka puJAngga). Sementara ini tinggal di lingkungan STKIP PGRI Ponorogo, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito