Sabtu, 28 Juli 2012

AVONTUR; Kesan dalam Jejak Sang Petualang

Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/

Experience is the best teacher; pengalaman adalah guru terbaik. Kata mutiara ini tampaknya akan menjembatani kita untuk masuk dalam sajak-sajak Ragil. Dalam hal ini, pengalaman mampu menjelma menjadi seorang pengajar bagi para siswa, menjadi dosen untuk mahasiswa, menjadi ustad bagi murid, menjadi kiyai untuk santri, dan menjadi mursyid bagi rohaniawan, atau apa sajalah yang sejenis.
Secara sederhana, kita sering mendengar tuturan bahwa kita hendaknya senantiasa belajar dari pengalaman. Entah itu pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, mengharukan, menggelikan tak jadi ukuran, yang penting pengalaman itu berkesan bagi kita. Kesan pengalaman itu biasanya terpantik dari fenomena luar yang menyapa indrawi kita. Fenomena itu diproses dalam hati lewat perenungan, ditarik dalam sebuah logika tertentu, baru kemudian dituangkan kembali sebagai sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu dapat berupa keyakinan, tuturan lisan, perilaku, maupun kreatifitas.

Biasanya, pengalaman itu kerap diperoleh melalui petualangan. Petualangan akan memicu adanya intuisi yang maujud sebagai ide untuk diungkapkan sebagai sesuatu yang baru. Dalam proses berpetualang, seorang manusia akan mengantongi fenomena yang disapa dan dirasa dengan inderanya. Tidak hanya panca indera, bisa jadi indera keenam juga ikut andil. Jika petualangan itu dilakukan dalam realitas lingkungan fisik seorang manusia, maka yang berperan aktif adalah panca inderanya. Jika petualangan itu dilakukan dalam realitas batin (lokat gaib) maka eksistensi indera keenamlah yang cenderung muncul.

Ragil kali ini mencoba mengumpulkan sajak-sajaknya dengan tajuk Avontur. Dalam kumpulan sajak tersebut terdapat 53 sajak termasuk salah satunya adalah Avontur sendiri. Tampaknya sajak itulah yang dijadikan ikon oleh Ragil dalam kumpulan sajaknya. Dengan nada semacam itu, Ragil bermaksud mengejahwantakah bahwa seluruh sajaknya dalam buku ini berangkat dari sebuah avontur. Fenomena itu diperkuat dengan ilustrasi cover bukunya. Cover yang terlukis adalah pemandangan alam dengan hiruk-pikuk suasananya yang variatif. Ditambah lagi dengan sesosok wanita bertopeng yang sepintas terlihat berjas hujan dan berpayung. Bagian depan dihiasi dengan sembilan kupu-kupu dan tujuh pohon. Bagian belakang dihiasi dengan dua belas pohon dan tujuh belas kupu-kupu serta tiga kayu pemancang. Terlukis pula anak sungai. Ini disadari atau tidak oleh Ragil, yang jelas ilustrasi cover begitu kuat mendukung akan tajuk Avontur.

Untuk membuktikannya, marilah sejenak mengintip kumpulan sajak ini dari sajak yang berjudul Avontur. Istilah avontur secara leksikal memiliki makna petualangan. Sajak ini mengisahkan suatu pengalaman penyairnya saat berpetualang dalam sebuah kota. Kota di sini dapat merujuk pada kota yang sesungguhnya dapat pula berkonotasi pada suatu tempat yang dipenuhi dengan keramaian hiruk-pikuk kehidupan/aktifitas orang. Dalam sajak ini penyair bermaksud mengajak pembaca berdialog dengan dirinya melalui penyematan kata ganti “kau” di dalam baris sajak. Jika tidak demikian maka itu adalah dialog penyair dengan dirinya sendiri dan kata “kau” merupakan satu pengelabuhan dari keakulirikannya.

Pada bait pertama, penyair mencoba mengisahkan suatu perjalanan (petualangan) yang dilakukan oleh tokoh “kau”. Dalam perjalanan itu tokoh “kau” dilukiskan melakukan suatu aktifitas yaitu mengetuk pintu-pintu kota, singgah mencuri oksigen, dan menorehkan jejak lalu pergi meninggalkan jejaknya di kota tersebut. Pintu di sini dapat dikonotasikan pada suatu jalan untuk memasuki tempat atau ruang tertentu.

Si “aku” mapir sejenak dalam tempat tersebut untuk mengambil pengalaman hidup dan mengukir kreatifitas yang mengesankan. Sesuatu yang mengesankan pada gilirannya nanti akan membuat orang lain terkenang. Suatu kenangan akan membawa sebuah keabadian yang senantiasa melekat di hati dan pikiran orang tertentu meski orang yang membuat kesan itu telah tiada.

Pada bait terakhir sajak Avontur, penyair mempertanyakan keberadaan kesan si “kau” saat singgah di tempat itu. Penyair mencoba membangkitkan kenangan si “kau” akan suatu hal. Penyair bermaksud mengajak si “kau” agar senantiasa mampu mengambil kesan dalam setiap tempat yang pernah disinggahinya saat ia melakukan sebuah perjalanan. Kesan tersebut diharapkan mampu menjadi pengalaman berharga dan dapat dijadikan guru dalam perjalanan berikutnya.

AVONTUR

Kau ketuk tiap daun
Pintu di setiap kota.
Kau singgah mencuri oksigen dan
Menoreh jejak
kemudian pergi.

Lalu,
jejak siapa yang tinggal
di kamarmu.

Berdasarkan sajak Avontur, ada satu indikasi bahwa sajak-sajak Ragil yang lain tercipta dari kesan yang didapatnya saat berpetualang. Dalam petualangannya, Ragil menemukan fenomena tertentu yang kemudian dijadikannya sebagai ide dasar penggarapan sajaknya. Apa yang dilakukan Ragil saat ini memiliki korelas dengan pernyataan Paul Valery. Paul Valery menyatakan bahwa “sebaris saja dari sajak itu diberikan Tuhan atau alam, sedangkan selebihnya harus ditemukan oleh si penyair itu sendiri”. Tuhan atau alam hanya memberikan sebaris sebagai ide dasar, selebihnya penyairlah yang mengembangkannya berdasarkan pola fikir dan gaya pengungkapannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, satu fenomena yang sama yang dialami sepuluh penyair pasti menghasilkan sudut pandang dan bentuk pengungkapan karya berbeda.
Dalam sebuah ayat juga dinukilkan bahwa ilmu yang diberikan Tuhan kepada manusia itu hanya setetes. Dari yang setetes itulah Tuhan mengharapkan kepada manusia agar terus menggalinya untuk menjadi ilmu secawan, segelas, segentong, bahkan sesamudra.

Fenomena yang ditangkap ragil dalam sajaknya cukup variatif. Semua ia dapatkan dari petualangannya. Kevariatifannya terletak pada cara penuangan kesan dalam sajak. Ragil seolah ingin mengejawantahkan kesan indrawi dengan sudut pandang pemikiran dan perenungannya. Oleh sebab itu, Ragil dalam sajaknya ada yang menuangkan gambaran riil lingkungannya. Ada pula yang memotret realitas alam namun karya itu mampu membentuk dunianya sendiri. Mari kita tengok sajak berikut.

MEMANG

ta’ kan ada
nikah kumbang dan bunga
ia yang meningkah angin di kelopak kaki kaki basah
sekedar menggaris jejak sekelumit
dalam peta gairah putik dan benang sari.

ta’ kan ada, memang
nikah kumbang dan bunga
ia yang memandi manis madu
pasti selalu pergi dengan ngengatnya yang patah
di jalan jalan kota kembang

Pada sajak di atas, kita seoalah disajikan dengan fenomena pembuahan antara bunga jantan dan bunga betina. Ini merupakan realitas kehidupan yang kerap kita jumpai sehari-hari. Proses pembuahan antara bunga jantan dan bunga betina kerap dibantu oleh kumbang yang menghisap madu pada bunga tertentu yang kemudian hinggap di bunga lain. Saat hinggap dibunga yang pertama, kaki-kaki kumbang atau ngengatnya tertempel serbuk sari dan saat hinggap di bunga kedua, serbuk sari itu jatuh dan atau menempel pada kepala putik. Selain itu proses pembuahan juga bisa terjadi berkat bantuan angin yang menerbangkan serbuk sari ke kepala putik.

Itulah gambaran sederhana dari sajak Ragil yang berjudul Memang. Itu merupakan realitas yang diperoleh Ragil sebagai kesan dalam kehidupan sehari-hari saat ia berpetualang di taman bunga. Namun tidak sesederhana itu kandungan dari sajak Ragil. Ada dunia (konotasi) lain di balik semua itu. Ada nilai filosofis tertentu di dalamnya. Dengan pernyataan “ta’ kan ada”, Ragil menegasikan akan adanya hubungan simbiosis mutualisme yang sempurna. Dalam realitas kehidupan, pasti suatu saat ada salah satu pihak yang dirugikan/dikalahkan meski itu intensitasnya rendah. “ia yang memandi manis madu // pasti selalu pergi dengan ngengatnya yang patah”. Jika dikembangkan maka muncullah satu fenomena bahwa seorang manusia kadang sekarang jadi kawan, esok jadi lawan. Dulu benci sekarang cinta. Dulu baik sekarang buruk.

Senada dengan sajak di atas, sajak yang berjudul Bundaku Pertiwi juga memiliki konotasi lain yang tidak hanya gambaran realitas belaka. Dalam sajak ini, berdasarkan kaca mata penyair, ia merasakan akan adanya tindakan perusakan tanah air oleh oknum tertentu. Padahal selama ini, semenjak terlahir, semua orang berada dalam perlindungan tanah air ini. Ragil menggambarkan bahwa kerusakan tanah air ini dipicu oleh adanya asap-asap pabrik, angkara murka, dan keserakahan dengan mengorbankan penderitaan orang lain.

Hal itulah yang kiranya menuntut Ragil untuk memohon agar ia diberikan lambaian daun padi supaya dapat mengerti nilai kasih sayang. Selain itu Ragil juga memohon agar diajari tentang tumbuh, berkembang, berbunga, dan berbuah hingga ia mengerti kesabaran. Inilah yang terkandung dalam dua bait terakhirnya. Dua bait sajak ini yang memiliki konotasi makna yang lain. Tiga bait sebelumnya hanyalah dijadikan batu loncatan untuk menggapai esensi sajak yang sebenarnya. Esensi tersebut adalah harapan Ragil agar bisa seperti ibu pertiwi yang selalu sabar dan senantiasa memberikan kasih sayang kepada semua orang meski tubuhnya tersakiti dan tertindas. Selain itu, filosofi padi juga tersentuh, yaitu daun padi (bisi) semakin tua semakin berisi dan merunduk dan memberikan kebahagiaan bagi setiap orang.

BUNDAKU PERTIWI

Dalam atmosfermu, janinku
Di bawah langitmu, lahirku
Bersama pelukan hutanmu hidupku
Bundaku pertiwi

Kini tubuhmu menggigil
Terkena kibaran angin warna warni
Warna keserakahan
Dan beribu warna kebingungan

Awanmu adalah asap hitam uap angkara
Tanahmu memerah dengan sepoi angin yang
Membawa segar anyir darah anak anakmu

Dari semua kumohon, bundaku
Jangan kau beraling
Beri lambaian lembut daun padi
Agar ku mengerti akan kasih sayang

Ajarilah aku tentang tumbuh,
Berkembang, berbungah, dan buah
Hingga ku mengerti kesabaran
Pada mu tumpah aku seluruh
Bundaku pertiwi

Berbeda dengan dua sajak di atas. Dua sajak berikut benar-benar berangkat dari potret realitas alam yang utuh. Sajak ini merupakan sajak yang mengandung suasana realitas denotatif; menyingkap gambaran realitas yang tidak perlu diejawantahkan lagi. Tengok saja sajak yang berjudul Di Lembah dan Di Puncak. Kita akan menemukan gambaran realitas alam yang nyata. Dalam sajak Di Lembah, Ragil berusaha memvisualisasikan pengalamannya saat berada di lembah. Potret suasana petualangannya di lembah disajikan secara apik. Saat itu ia berada di lembah pinus. Suasana lembah dipenuhi kabut yang tak kunjung hilang. Apalagi hari semakin bertambah petang dan gelap. Ada rasa cemas yang bersarang di hati Ragil. Ia tersesat di hutan. Ditambah pula dengan kondisi jalanan licin, mungkin terkena hujan atau akibat embun. Jalanan juga bisa jadi terjal pula. Suasana semacam itulah yang kemudian menjadikan Ragi meneteskan air mata. Ia teringat tentang suatu hal sehingga menumbuhkan bunga-bunga rindu di taman hatinya. Mungkin ia rindu dengan kampung halamannya, orang tuanya, keluarganya, teman-temannya, atau bahkan kekasihnya.

DI LEMBAH

kabut yang turun tak pergi-pergi
rintik embun mendera dera di pelipis

petang sepanjang waktu
petengan di lembah pinus

tersesat di hutan, melesat di kota
sama licinnya cari tempat berpijak

air mata (sedikit perlu) bukan bersedu
sekedar melepas rindu

Suasana lahir dan suasana batin disajikan Ragil dengan apik pula dalam sajaknya yang berjudul Di Puncak. Ia memotret alam sekitar dari sebuah ketinggian. Ia menangkap bahwa saat berada di puncak, bintang-bintang terlihat bergemerlap di angkasa. Begitu pula dengan di lembah, kerlap-kerlip lampu yang bersumber dari pemukiman warga terkesan tampak menyerupai bintang.

Saat itu tak ada lagi satu hal yang menghantui angan kecuali kematian, yaitu terbakar cahaya atau terjatuh dan berdarah-darah. Dengan perasaan semacam itu, di puncak kesadarannya, Ragil berusaha mengheningkan cipta, menenangkan diri dengan melantunkan puja-puji untuk mendekatkan diri kepada Tuhan biar ia berolehkan keselamatan dari-Nya.

DI PUNCAK

bintang bintang gemerlapan
di angkasa dan di lembah
langit di atas, langit di bawah
begitu terang, begitu jauh

seperti tak ada lagi lain jalan
selain terus mendaki cahaya dan terbakar
atau terjatuh bergelinding ke dataran
demi luka nan berdarah darah

di puncak sendiri
kumemejam harap
dan tak ingin apa apa lagi
selain mendatangimu lebih dekat.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito