Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
Experience is the best teacher; pengalaman adalah guru terbaik. Kata mutiara ini tampaknya akan menjembatani kita untuk masuk dalam sajak-sajak Ragil. Dalam hal ini, pengalaman mampu menjelma menjadi seorang pengajar bagi para siswa, menjadi dosen untuk mahasiswa, menjadi ustad bagi murid, menjadi kiyai untuk santri, dan menjadi mursyid bagi rohaniawan, atau apa sajalah yang sejenis.
Secara sederhana, kita sering mendengar tuturan bahwa kita hendaknya senantiasa belajar dari pengalaman. Entah itu pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, mengharukan, menggelikan tak jadi ukuran, yang penting pengalaman itu berkesan bagi kita. Kesan pengalaman itu biasanya terpantik dari fenomena luar yang menyapa indrawi kita. Fenomena itu diproses dalam hati lewat perenungan, ditarik dalam sebuah logika tertentu, baru kemudian dituangkan kembali sebagai sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu dapat berupa keyakinan, tuturan lisan, perilaku, maupun kreatifitas.
Biasanya, pengalaman itu kerap diperoleh melalui petualangan. Petualangan akan memicu adanya intuisi yang maujud sebagai ide untuk diungkapkan sebagai sesuatu yang baru. Dalam proses berpetualang, seorang manusia akan mengantongi fenomena yang disapa dan dirasa dengan inderanya. Tidak hanya panca indera, bisa jadi indera keenam juga ikut andil. Jika petualangan itu dilakukan dalam realitas lingkungan fisik seorang manusia, maka yang berperan aktif adalah panca inderanya. Jika petualangan itu dilakukan dalam realitas batin (lokat gaib) maka eksistensi indera keenamlah yang cenderung muncul.
Ragil kali ini mencoba mengumpulkan sajak-sajaknya dengan tajuk Avontur. Dalam kumpulan sajak tersebut terdapat 53 sajak termasuk salah satunya adalah Avontur sendiri. Tampaknya sajak itulah yang dijadikan ikon oleh Ragil dalam kumpulan sajaknya. Dengan nada semacam itu, Ragil bermaksud mengejahwantakah bahwa seluruh sajaknya dalam buku ini berangkat dari sebuah avontur. Fenomena itu diperkuat dengan ilustrasi cover bukunya. Cover yang terlukis adalah pemandangan alam dengan hiruk-pikuk suasananya yang variatif. Ditambah lagi dengan sesosok wanita bertopeng yang sepintas terlihat berjas hujan dan berpayung. Bagian depan dihiasi dengan sembilan kupu-kupu dan tujuh pohon. Bagian belakang dihiasi dengan dua belas pohon dan tujuh belas kupu-kupu serta tiga kayu pemancang. Terlukis pula anak sungai. Ini disadari atau tidak oleh Ragil, yang jelas ilustrasi cover begitu kuat mendukung akan tajuk Avontur.
Untuk membuktikannya, marilah sejenak mengintip kumpulan sajak ini dari sajak yang berjudul Avontur. Istilah avontur secara leksikal memiliki makna petualangan. Sajak ini mengisahkan suatu pengalaman penyairnya saat berpetualang dalam sebuah kota. Kota di sini dapat merujuk pada kota yang sesungguhnya dapat pula berkonotasi pada suatu tempat yang dipenuhi dengan keramaian hiruk-pikuk kehidupan/aktifitas orang. Dalam sajak ini penyair bermaksud mengajak pembaca berdialog dengan dirinya melalui penyematan kata ganti “kau” di dalam baris sajak. Jika tidak demikian maka itu adalah dialog penyair dengan dirinya sendiri dan kata “kau” merupakan satu pengelabuhan dari keakulirikannya.
Pada bait pertama, penyair mencoba mengisahkan suatu perjalanan (petualangan) yang dilakukan oleh tokoh “kau”. Dalam perjalanan itu tokoh “kau” dilukiskan melakukan suatu aktifitas yaitu mengetuk pintu-pintu kota, singgah mencuri oksigen, dan menorehkan jejak lalu pergi meninggalkan jejaknya di kota tersebut. Pintu di sini dapat dikonotasikan pada suatu jalan untuk memasuki tempat atau ruang tertentu.
Si “aku” mapir sejenak dalam tempat tersebut untuk mengambil pengalaman hidup dan mengukir kreatifitas yang mengesankan. Sesuatu yang mengesankan pada gilirannya nanti akan membuat orang lain terkenang. Suatu kenangan akan membawa sebuah keabadian yang senantiasa melekat di hati dan pikiran orang tertentu meski orang yang membuat kesan itu telah tiada.
Pada bait terakhir sajak Avontur, penyair mempertanyakan keberadaan kesan si “kau” saat singgah di tempat itu. Penyair mencoba membangkitkan kenangan si “kau” akan suatu hal. Penyair bermaksud mengajak si “kau” agar senantiasa mampu mengambil kesan dalam setiap tempat yang pernah disinggahinya saat ia melakukan sebuah perjalanan. Kesan tersebut diharapkan mampu menjadi pengalaman berharga dan dapat dijadikan guru dalam perjalanan berikutnya.
AVONTUR
Kau ketuk tiap daun
Pintu di setiap kota.
Kau singgah mencuri oksigen dan
Menoreh jejak
kemudian pergi.
Lalu,
jejak siapa yang tinggal
di kamarmu.
Berdasarkan sajak Avontur, ada satu indikasi bahwa sajak-sajak Ragil yang lain tercipta dari kesan yang didapatnya saat berpetualang. Dalam petualangannya, Ragil menemukan fenomena tertentu yang kemudian dijadikannya sebagai ide dasar penggarapan sajaknya. Apa yang dilakukan Ragil saat ini memiliki korelas dengan pernyataan Paul Valery. Paul Valery menyatakan bahwa “sebaris saja dari sajak itu diberikan Tuhan atau alam, sedangkan selebihnya harus ditemukan oleh si penyair itu sendiri”. Tuhan atau alam hanya memberikan sebaris sebagai ide dasar, selebihnya penyairlah yang mengembangkannya berdasarkan pola fikir dan gaya pengungkapannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, satu fenomena yang sama yang dialami sepuluh penyair pasti menghasilkan sudut pandang dan bentuk pengungkapan karya berbeda.
Dalam sebuah ayat juga dinukilkan bahwa ilmu yang diberikan Tuhan kepada manusia itu hanya setetes. Dari yang setetes itulah Tuhan mengharapkan kepada manusia agar terus menggalinya untuk menjadi ilmu secawan, segelas, segentong, bahkan sesamudra.
Fenomena yang ditangkap ragil dalam sajaknya cukup variatif. Semua ia dapatkan dari petualangannya. Kevariatifannya terletak pada cara penuangan kesan dalam sajak. Ragil seolah ingin mengejawantahkan kesan indrawi dengan sudut pandang pemikiran dan perenungannya. Oleh sebab itu, Ragil dalam sajaknya ada yang menuangkan gambaran riil lingkungannya. Ada pula yang memotret realitas alam namun karya itu mampu membentuk dunianya sendiri. Mari kita tengok sajak berikut.
MEMANG
ta’ kan ada
nikah kumbang dan bunga
ia yang meningkah angin di kelopak kaki kaki basah
sekedar menggaris jejak sekelumit
dalam peta gairah putik dan benang sari.
ta’ kan ada, memang
nikah kumbang dan bunga
ia yang memandi manis madu
pasti selalu pergi dengan ngengatnya yang patah
di jalan jalan kota kembang
Pada sajak di atas, kita seoalah disajikan dengan fenomena pembuahan antara bunga jantan dan bunga betina. Ini merupakan realitas kehidupan yang kerap kita jumpai sehari-hari. Proses pembuahan antara bunga jantan dan bunga betina kerap dibantu oleh kumbang yang menghisap madu pada bunga tertentu yang kemudian hinggap di bunga lain. Saat hinggap dibunga yang pertama, kaki-kaki kumbang atau ngengatnya tertempel serbuk sari dan saat hinggap di bunga kedua, serbuk sari itu jatuh dan atau menempel pada kepala putik. Selain itu proses pembuahan juga bisa terjadi berkat bantuan angin yang menerbangkan serbuk sari ke kepala putik.
Itulah gambaran sederhana dari sajak Ragil yang berjudul Memang. Itu merupakan realitas yang diperoleh Ragil sebagai kesan dalam kehidupan sehari-hari saat ia berpetualang di taman bunga. Namun tidak sesederhana itu kandungan dari sajak Ragil. Ada dunia (konotasi) lain di balik semua itu. Ada nilai filosofis tertentu di dalamnya. Dengan pernyataan “ta’ kan ada”, Ragil menegasikan akan adanya hubungan simbiosis mutualisme yang sempurna. Dalam realitas kehidupan, pasti suatu saat ada salah satu pihak yang dirugikan/dikalahkan meski itu intensitasnya rendah. “ia yang memandi manis madu // pasti selalu pergi dengan ngengatnya yang patah”. Jika dikembangkan maka muncullah satu fenomena bahwa seorang manusia kadang sekarang jadi kawan, esok jadi lawan. Dulu benci sekarang cinta. Dulu baik sekarang buruk.
Senada dengan sajak di atas, sajak yang berjudul Bundaku Pertiwi juga memiliki konotasi lain yang tidak hanya gambaran realitas belaka. Dalam sajak ini, berdasarkan kaca mata penyair, ia merasakan akan adanya tindakan perusakan tanah air oleh oknum tertentu. Padahal selama ini, semenjak terlahir, semua orang berada dalam perlindungan tanah air ini. Ragil menggambarkan bahwa kerusakan tanah air ini dipicu oleh adanya asap-asap pabrik, angkara murka, dan keserakahan dengan mengorbankan penderitaan orang lain.
Hal itulah yang kiranya menuntut Ragil untuk memohon agar ia diberikan lambaian daun padi supaya dapat mengerti nilai kasih sayang. Selain itu Ragil juga memohon agar diajari tentang tumbuh, berkembang, berbunga, dan berbuah hingga ia mengerti kesabaran. Inilah yang terkandung dalam dua bait terakhirnya. Dua bait sajak ini yang memiliki konotasi makna yang lain. Tiga bait sebelumnya hanyalah dijadikan batu loncatan untuk menggapai esensi sajak yang sebenarnya. Esensi tersebut adalah harapan Ragil agar bisa seperti ibu pertiwi yang selalu sabar dan senantiasa memberikan kasih sayang kepada semua orang meski tubuhnya tersakiti dan tertindas. Selain itu, filosofi padi juga tersentuh, yaitu daun padi (bisi) semakin tua semakin berisi dan merunduk dan memberikan kebahagiaan bagi setiap orang.
BUNDAKU PERTIWI
Dalam atmosfermu, janinku
Di bawah langitmu, lahirku
Bersama pelukan hutanmu hidupku
Bundaku pertiwi
Kini tubuhmu menggigil
Terkena kibaran angin warna warni
Warna keserakahan
Dan beribu warna kebingungan
Awanmu adalah asap hitam uap angkara
Tanahmu memerah dengan sepoi angin yang
Membawa segar anyir darah anak anakmu
Dari semua kumohon, bundaku
Jangan kau beraling
Beri lambaian lembut daun padi
Agar ku mengerti akan kasih sayang
Ajarilah aku tentang tumbuh,
Berkembang, berbungah, dan buah
Hingga ku mengerti kesabaran
Pada mu tumpah aku seluruh
Bundaku pertiwi
Berbeda dengan dua sajak di atas. Dua sajak berikut benar-benar berangkat dari potret realitas alam yang utuh. Sajak ini merupakan sajak yang mengandung suasana realitas denotatif; menyingkap gambaran realitas yang tidak perlu diejawantahkan lagi. Tengok saja sajak yang berjudul Di Lembah dan Di Puncak. Kita akan menemukan gambaran realitas alam yang nyata. Dalam sajak Di Lembah, Ragil berusaha memvisualisasikan pengalamannya saat berada di lembah. Potret suasana petualangannya di lembah disajikan secara apik. Saat itu ia berada di lembah pinus. Suasana lembah dipenuhi kabut yang tak kunjung hilang. Apalagi hari semakin bertambah petang dan gelap. Ada rasa cemas yang bersarang di hati Ragil. Ia tersesat di hutan. Ditambah pula dengan kondisi jalanan licin, mungkin terkena hujan atau akibat embun. Jalanan juga bisa jadi terjal pula. Suasana semacam itulah yang kemudian menjadikan Ragi meneteskan air mata. Ia teringat tentang suatu hal sehingga menumbuhkan bunga-bunga rindu di taman hatinya. Mungkin ia rindu dengan kampung halamannya, orang tuanya, keluarganya, teman-temannya, atau bahkan kekasihnya.
DI LEMBAH
kabut yang turun tak pergi-pergi
rintik embun mendera dera di pelipis
petang sepanjang waktu
petengan di lembah pinus
tersesat di hutan, melesat di kota
sama licinnya cari tempat berpijak
air mata (sedikit perlu) bukan bersedu
sekedar melepas rindu
Suasana lahir dan suasana batin disajikan Ragil dengan apik pula dalam sajaknya yang berjudul Di Puncak. Ia memotret alam sekitar dari sebuah ketinggian. Ia menangkap bahwa saat berada di puncak, bintang-bintang terlihat bergemerlap di angkasa. Begitu pula dengan di lembah, kerlap-kerlip lampu yang bersumber dari pemukiman warga terkesan tampak menyerupai bintang.
Saat itu tak ada lagi satu hal yang menghantui angan kecuali kematian, yaitu terbakar cahaya atau terjatuh dan berdarah-darah. Dengan perasaan semacam itu, di puncak kesadarannya, Ragil berusaha mengheningkan cipta, menenangkan diri dengan melantunkan puja-puji untuk mendekatkan diri kepada Tuhan biar ia berolehkan keselamatan dari-Nya.
DI PUNCAK
bintang bintang gemerlapan
di angkasa dan di lembah
langit di atas, langit di bawah
begitu terang, begitu jauh
seperti tak ada lagi lain jalan
selain terus mendaki cahaya dan terbakar
atau terjatuh bergelinding ke dataran
demi luka nan berdarah darah
di puncak sendiri
kumemejam harap
dan tak ingin apa apa lagi
selain mendatangimu lebih dekat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar