Senin, 11 Juni 2012

Pujangga Baru: Yang Lama Telah Mati

Seno Joko Suyono, Anton Septian
http://majalah.tempointeraktif.com/

Harga Langganan: f 1,25. Tiga boelan, dibajar lebih doeloe. Alamat Administrasi: Gang Kesehatan VII No.3, Batavia-C. Karangan dialamatkan: Armijn Pane, Taman Siswa, Kemajoran 42, Bat-C.

JULI, 1934. Majalah Pujangga Baru memasuki tahun kedua. Harga tetap, seperti ketika terbit perdana, Juli 1933. Dalam kata pengantar peringatan satu tahun itu Sutan Takdir menulis bahwa sesungguhnya, ketika hendak menerbitkan majalah ini, terbetik perasaan waswas, apakah majalah "berat" ini bisa bertahan lama.

"Baiklah kami katakan teroes-terang, bahwa ketika kami menjelenggarakan Poedjangga Baroe nomor pertama setahoen jang laloe, kami masih sangsi tentang pandjang atau pendeknja oesia madjalah ini.... Soal jang menjebabkan sangsi kami itoe ialah: telah tjoekoepkah minat ra'jat Indonesia akan bahasa dan kesoesastraan, akan seni serta bahagian keboedajaan jang lain, sehingga dapat ia menghidoepkan seboeah madjalah seperti Poedjangga Baroe ini?"

Pujangga Baru didirikan Takdir bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah. Pada Juli 1933 itu, mereka masih muda belia. Takdir 25 tahun, Armijn 25, dan Amir 22. Majalah itu diniatkan sebagai "motor pembaharuan", ruang yang memberi tempat seluas-luasnya bagi ekspresi individu yang bebas dalam sastra, dan pada refleksi antikekolotan kebudayaan. Aktivitas sastra bagi mereka bukan sesuatu yang bisa ditunda-tunda sampai Indonesia merdeka.

Awal pertemuan tiga serangkai ini adalah tatkala Takdir menjabat redaktur kepala Panji Pustaka, majalah terbitan Balai Pustaka. Dalam majalah itu, sejak 8 Maret 1932, Takdir mengetengahkan rubrik khusus: Oentoek Memadjoekan Kesoesastraan. Lembar itu semacam forum bagi penulis yang menulis dengan gaya baru; yang bukan bercorak kesusastraan lama seperti pantun, syair, gurindam, gazal, masnawi, atau hikayat.

Amir dan Armijn kerap mengirim sajak ke lembar itu. Amir Hamzah saat itu bersekolah di AMS-A (Algemeene Middelbare School) Solo, Armijn wartawan harian Soeara Oemoem, Surabaya. Keduanya lantas menjadi sahabat pena Takdir. Mereka semakin karib ketika Amir dan Armijn pindah ke Jakarta: Amir meneruskan studi ke sekolah hakim tinggi dan Armijn bekerja di Taman Siswa.

Takdir mengajak mereka membuat satu majalah sastra bulanan di luar Balai Pustaka. Nama yang mereka pikirkan tidak langsung Pujangga Baru. "Mula-mula namanya majalah Bahasa dan Sastra, sesudah itu Sastra oentoek membentoek keboedajaan baroe," kata Takdir dalam sebuah wawancara.

Lewat perantaraan F. Dahler, salah satu kepala Balai Pustaka, mereka dihubungkan dengan Percetakan Kolff, sebuah percetakan besar di Pecenongan, Jakarta. Percetakan itu tidak keberatan menerbitkan sebuah majalah sastra. Disepakati pembiayaan digalang dengan cara mencari pelanggan yang harus mau setor uang di muka untuk tiga penerbitan. Kolff lalu mencetak 10 ribu formulir berlangganan Pujangga Baru.

Ternyata, pelanggan yang terjaring tak lebih dari 110 orang. Kolff mulanya membatalkan dan bermaksud mengembalikan seluruh uang pelanggan yang masuk. Namun Takdir mengusulkan, uang yang terkumpul sudah cukup untuk membuat majalah kecil 32 halaman dengan kertas biasa.

Nomor perdana Pujangga Baru akhirnya terbit pada Juli 1933 itu. Hoesein Djajadiningrat menulis mukadimah memberi selamat. Takdir menulis Menoedjoe Seni Baroe. Kalimat awalnya menggebrak: Jang Lama Telah Mati.... Armijn Pane menulis Kesoesastraan Baroe, yang dimulai dengan kalimat: Seorang hamba seni jang sedjati adalah hamba soekmanja. Tiga nomor awal Pujangga Baru selamat, meski kemudian berpindah percetakan ke Gang Kenanga di Kota, yang biayanya lebih murah.

Selama setahun, majalah ini cepat menyerap perhatian kaum muda intelektual. Tjipto Mangoenkoesoemo dari pengasingannya sampai menulis: Surat dari Neira. Pada tahun-tahun kemudian bahkan kita lihat beberapa penulis perempuan menyumbang artikel. Maria Ulffah Santoso, misalnya, pada 1937 menulis: Peladjaran apakah jang dapat dipeladjari anak gadis Indonesia di Eropa?

Pada kulit muka Pujangga Baru di tahun-tahun awal selalu tercantum kutipan-kutipan dari pemikir terkenal. Pada edisi 6 Desember 1934, misalnya, ada kutipan dari Khrisnamurti: "The True enemy of freedom is dead tradition; living at second hand; the enslavement of the life of today to the worn out formulas of a past age."

Ada hal menarik bila kita cermati terbitan 2 Agustus 1934. Di nomor itu ada pengumuman, karena pembaca mengeluh banyak kata sulit dalam puisi yang dimuat, redaksi meminta agar penyair yang mengirim puisi "... soedilah memboeboeh arti pada perkataan-perkataan dalam karangan atau poen sja'irnya jang menoeroet anggapannja tiada oemoem diketahoei orang."

Terlihat artikel yang dimuat tidak didominasi oleh selera Barat Takdir. Amir Hamzah, misalnya, secara bersambung menerjemahkan Bhagawad Gita. Lalu ada seorang bernama Soeharda Sastrasoewignja, yang pada 1934 menulis secara bersambung upaya pembaruan wayang kulit. Muhammad Yamin juga menulis Ken Arok dan Ken Dedes.

Sikap yang mengobarkan semangat pembaruan bernada polemis memang sering ditampakkan artikel Takdir. Ia menulis apa saja, mulai dari puisi, tinjauan bahasa, hingga pendidikan masyarakat. Pada 1936-1937, diawali dengan pemuatan fragmen novelnya: Layar Terkembang, Takdir berdebat dengan penulis Sandhyakalaning Madjapahit, Sanusi Pane.

Takdir juga pernah menulis sesuatu yang unik, yaitu mengenai Mas Pirngadie, ahli gambar kita yang pada 1904-1913 bertualang ke seluruh Nusantara-menemani J.E. Jasper pegawai pemerintah Belanda. Takdir melihat kumpulan gambarnya yang terhimpun dalam buku De Inlandsche Kunstnijverheid in N-Indie sebagai sesuatu yang penting. Artikel itu dilengkapi contoh-contoh lukisan Mas Pirngadie dan foto Mas Pirngadie tatkala melukis.

Terasa memang, Pujangga Baru adalah majalah intelektual. Di samping artikel, sikap kritis juga sering terlihat dalam tinjauan buku. Sutan Takdir sering menulis resensi buku. Pada November 1934, ia mengulas buku Dr G Stuivelin tentang Nieuwe Gids, yakni pergerakan sastra baru di Belanda pada 1880, yang menurut Takdir mengobarkan revolusi dahsyat kesusastraan Belanda.

Dalam desainnya, Pujangga Baru sering menampilkan iklan majalah "idealis" lain. Misalnya, sering dimuat advertensi Madjalah Penindjauan, majalah bergambar yang dipimpin P.F. Dahler dan Dr GSSJ Ratu Langie. Atau Wasita, yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara. Juga sering dimuat iklan buku baru atau buku bekas berbahasa Belanda, seperti buku Bharata Yuddha, terjemahan bahasa Belanda oleh Dr Poerbatjaraka dan Dr C. Hooykaas. Jarang kita lihat ada iklan produk barang. Sekali ada iklan "Obat Gosok Balsem Tjap Matjan".

Menjelang pendudukan Jepang, majalah ini mati. Sejak terbit pertama kali, sampai Jepang datang pada 1942, oplah Pujangga Baru hanya 500 eksemplar per edisi. Ongkos cetaknya f 35 hingga f 85 per bulan. Dicetak mula-mula oleh percetaakan Kolff, lalu berpindah-pindah untuk menghemat biaya. Uang langganan f 1,25 per kuartal, dengan jumlah pelanggan kurang dari 150 orang. Selama sembilan tahun terbit, Pujangga Baru menderita rugi rata-rata f 25 setiap bulan. Kerugian itu ditutup oleh gaji Takdir dari Balai Pustaka, yang ketika itu f 125 per bulan.

l l l

PADA Maret 1948, Pujangga Baru terbit kembali. Kini diterbitkan percetakan milik Takdir: Pustaka Rakjat. Dalam kata pengantar, Takdir dengan menyala-nyala mengatakan, datangnya Pujangga Baru dahulu sesungguhnya jauh melampaui zaman. Ia melihat kini, setelah merdeka, ada tanda-tanda perjuangan mengalami angin mati. Maka dibutuhkan orientasi yang mampu mengarahkan perjuangan.

"Apabila Pudjangga Baru terbit kembali setelah enam tahun lamanya dihentikan itu, djustru pada waktu jang sesukar ini, pada waktu orang putus asa dan mulai menjadi lethargis dan masa-bodo, maka tidaklah lain daripada oleh kami jakin, bahwa lebih-lebih dari masa jang lampau kita sekarang perlu sadar kembali, memperkuat batin kita...."

Pada penerbitan kembali ini, Amir Hamzah telah tiada. Ia dibunuh sekelompok pemuda dalam apa yang disebut "revolusi sosial" di Sumatera Timur. Dalam kata pengantar redaksi ditulis: "... Kata orang matinja digorok, dan majatnya ditjampakkan begitu sadja di salah satu hutan di dekat Tanjung Pura, sebagai mentjampakan majat pendjahat...."

Armijn Pane tak duduk di redaksi nomor ini, walau di nomor-nomor selanjutnya ia kembali tercatat sebagai pembantu redaksi. Wajah baru di redaksi: R. Nugroho dan L.S. Sitorus. Sementara Soewarsih Djojopoespito, Idrus, Hazil Tanzil, Rivai Avin, Asrul Sani, dan Chairil Anwar, antara lain, tercatat sebagai pembantu redaksi. Chairil pun cuma singgah setahun. Ia wafat pada 1949. Achdiat Karta Mihardja juga duduk di redaksi hingga majalah itu tidak terbit lagi pada 1953.

Harga Pujangga Baru setelah kemerdekaan f 4 per satu kuartal. Tapi, jika membeli eceran, harganya f 1,50. Sebelum mata uang dikonversi ke rupiah, harga majalah ini sempat naik menjadi f 4,50 per satu kuartal. Pada 1950 harganya Rp 6 per kuartal, atau Rp 2 setiap bulan. Hingga akhirnya tak terbit lagi, harganya hanya naik menjadi Rp 6,15 setiap kuartal.

Lantaran diterbitkan oleh percetakan Takdir, advertensi buku kebanyakan buku terbitan Pustaka Rakjat, termasuk buku nonsastra. Misalnya sering diiklankan buku Obat Asli Indonesia karya Dr Seno Sastroamidjojo. Ke Udara, buku penerbangan modern karya R.J. Salatun, bahkan petunjuk bagi wanita hamil karya Sutadireja.

Kualitas cetakannya lebih baik ketimbang Pujangga Baru "edisi lama". Juga lebih kaya gambar. Ada gambar Mahatma Gandhi yang dibuat Mochtar Apin dengan pahatan lino, dimuat di nomor pertama "edisi baru". Mochtar Apin, yang disebut-sebut sebagai Bapak Seni Grafis Modern Indonesia, juga duduk di dewan pembantu redaksi edisi ini. Untuk ilustrasi kemudian banyak dimuat vinyet, sketsa para pelukis kita, di antaranya Sudjojono, Salim, Sudjono Kerton, Fadjar Sidik, Oesman Effendi, Arie Smith.

Tampaknya dunia seni lukis mendapat porsi cukup banyak. Pada edisi Februari-Maret 1950, redaksi mengumumkan bahwa mulai nomor itu sedapat-dapatnya tiap nomor akan memuat repro lukisan berwarna dari pelukis besar dunia, disertai keterangan sekadarnya. Pada edisi itu kita lihat foto repro lukisan Van Gogh dipasang disertai sedikit ulasan. Pada nomor-nomor selanjutnya giliran ditempel foto lukisan Marc Chagal, George Braque, Paul Gaugain, Rousseau, Edouard Manet, Diego Rievera.

Tulisan C. Doelman tentang seni rupa banyak dimuat. Ia, misalnya, menulis Seni Lukis Abad 20 dan laporan Bienalle Venesia. Dilihat dari tulisan yang masuk, Pujangga Baru "edisi baru" tidak bisa lagi disebut "hanya" majalah kesusastraan. Sejumlah esai filsafat pun muncul. Salah satunya tentang eksistensialisme yang ditulis oleh R.F. Beerling. Di edisi Januari 1949 bahkan dimuat sebuah terjemahan tulisan Albert Camus, Seniman ialah saksi dari Kemerdekaan.

Tak kalah menarik adalah tulisan dan terjemahan artikel tentang musik dari J.A. Dungga dan komponis Amir Pasaribu. Amir pernah mengkritik habis-habisan orkes di Ibu Kota sebagai Orkes Tak Peduli Ekspressivitet. J.A. Dungga pernah secara panjang-lebar mengeluarkan pendapat bahwa konservatorium lebih baik didirikan di Jakarta daripada di Yogya, karena di sana kekurangan guru. J.A. Dungga sendiri pada 1953 masuk redaksi.

Di luar itu, sebagaimana Pujangga Baru "edisi lama", puisi tak pernah absen dimuat. Bahkan Pramoedya Ananta Toer aktif menulis mulai akhir 1952. Pada September 1952, artikelnya tentang Kegiatan Seni Dalam Bulan September di Ibu Kota dimuat. Bahkan pada bulan Februari 1953, dimuat tulisannya, Offensif Kesusastraan 1953, yang beranak judul garang: H.B Jassin sudah lama mati sebelum gantung diri.

Sebagaimana biasa, Takdir tetap banyak menulis kritik sastra dan kebudayaan. Salah satu yang menarik adalah Tjara Berpikir Statis Membawa Kita ke Djalan Buntu. Ia mengkritik hasil konferensi kebudayaan di Magelang, ketika Takdir dan sahabat lamanya, Armijn Pane, berdebat. Pada November 1951, ia mencecar kongres kebudayaan di Bandung. Judulnya Konggres Kebudajaan di Bandung: Gedjala Kelumpuhan Jiwa! Tulisannya yang menawan pada 1951 adalah renungan perlawatannya ke Eropa, sebuah tulisan bersambung yang panjang, yang menjelaskan mengapa ia memilih ke Eropa daripada ke Amerika.

Tapi justru ketika isi majalah makin luas, Takdir melihat majalah itu tidak ada bedanya dengan majalah lain saat itu seperti Gelanggang, Zenith, Siasat, atau Indonesia. Hal itu terjadi, menurut dia, karena Pujangga Baru pascakemerdekaan sebagian besar didukung oleh sastrawan Angkatan 45.

Nomor terakhir Pujangga Baru adalah edisi 10 April 1953. Tidak ada tanda-tanda majalah itu bakal mati. Tidak ada kata pengantar yang mengisyaratkan bahwa majalah itu akan sayonara. Pada edisi itu malah dimuat lengkap naskah sandiwara Sitor Situmorang, Drama Pulo Batu. Di nomor sebelumya dimuat cerpen "penulis baru" Wiratmo Sukito, berjudul Apakah Tuhan Sudah Mati.

Dan kita tahu, bukan Tuhan yang mati. Tapi Takdir sendiri yang akhirnya menyudahi Pujangga Baru.

25 Februari 2008
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/02/25/LYR/mbm.20080225.LYR126443.id.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito