Seno Joko Suyono, Anton Septian
http://majalah.tempointeraktif.com/
Harga Langganan: f 1,25. Tiga boelan, dibajar lebih doeloe. Alamat Administrasi: Gang Kesehatan VII No.3, Batavia-C. Karangan dialamatkan: Armijn Pane, Taman Siswa, Kemajoran 42, Bat-C.
JULI, 1934. Majalah Pujangga Baru memasuki tahun kedua. Harga tetap, seperti ketika terbit perdana, Juli 1933. Dalam kata pengantar peringatan satu tahun itu Sutan Takdir menulis bahwa sesungguhnya, ketika hendak menerbitkan majalah ini, terbetik perasaan waswas, apakah majalah "berat" ini bisa bertahan lama.
"Baiklah kami katakan teroes-terang, bahwa ketika kami menjelenggarakan Poedjangga Baroe nomor pertama setahoen jang laloe, kami masih sangsi tentang pandjang atau pendeknja oesia madjalah ini.... Soal jang menjebabkan sangsi kami itoe ialah: telah tjoekoepkah minat ra'jat Indonesia akan bahasa dan kesoesastraan, akan seni serta bahagian keboedajaan jang lain, sehingga dapat ia menghidoepkan seboeah madjalah seperti Poedjangga Baroe ini?"
Pujangga Baru didirikan Takdir bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah. Pada Juli 1933 itu, mereka masih muda belia. Takdir 25 tahun, Armijn 25, dan Amir 22. Majalah itu diniatkan sebagai "motor pembaharuan", ruang yang memberi tempat seluas-luasnya bagi ekspresi individu yang bebas dalam sastra, dan pada refleksi antikekolotan kebudayaan. Aktivitas sastra bagi mereka bukan sesuatu yang bisa ditunda-tunda sampai Indonesia merdeka.
Awal pertemuan tiga serangkai ini adalah tatkala Takdir menjabat redaktur kepala Panji Pustaka, majalah terbitan Balai Pustaka. Dalam majalah itu, sejak 8 Maret 1932, Takdir mengetengahkan rubrik khusus: Oentoek Memadjoekan Kesoesastraan. Lembar itu semacam forum bagi penulis yang menulis dengan gaya baru; yang bukan bercorak kesusastraan lama seperti pantun, syair, gurindam, gazal, masnawi, atau hikayat.
Amir dan Armijn kerap mengirim sajak ke lembar itu. Amir Hamzah saat itu bersekolah di AMS-A (Algemeene Middelbare School) Solo, Armijn wartawan harian Soeara Oemoem, Surabaya. Keduanya lantas menjadi sahabat pena Takdir. Mereka semakin karib ketika Amir dan Armijn pindah ke Jakarta: Amir meneruskan studi ke sekolah hakim tinggi dan Armijn bekerja di Taman Siswa.
Takdir mengajak mereka membuat satu majalah sastra bulanan di luar Balai Pustaka. Nama yang mereka pikirkan tidak langsung Pujangga Baru. "Mula-mula namanya majalah Bahasa dan Sastra, sesudah itu Sastra oentoek membentoek keboedajaan baroe," kata Takdir dalam sebuah wawancara.
Lewat perantaraan F. Dahler, salah satu kepala Balai Pustaka, mereka dihubungkan dengan Percetakan Kolff, sebuah percetakan besar di Pecenongan, Jakarta. Percetakan itu tidak keberatan menerbitkan sebuah majalah sastra. Disepakati pembiayaan digalang dengan cara mencari pelanggan yang harus mau setor uang di muka untuk tiga penerbitan. Kolff lalu mencetak 10 ribu formulir berlangganan Pujangga Baru.
Ternyata, pelanggan yang terjaring tak lebih dari 110 orang. Kolff mulanya membatalkan dan bermaksud mengembalikan seluruh uang pelanggan yang masuk. Namun Takdir mengusulkan, uang yang terkumpul sudah cukup untuk membuat majalah kecil 32 halaman dengan kertas biasa.
Nomor perdana Pujangga Baru akhirnya terbit pada Juli 1933 itu. Hoesein Djajadiningrat menulis mukadimah memberi selamat. Takdir menulis Menoedjoe Seni Baroe. Kalimat awalnya menggebrak: Jang Lama Telah Mati.... Armijn Pane menulis Kesoesastraan Baroe, yang dimulai dengan kalimat: Seorang hamba seni jang sedjati adalah hamba soekmanja. Tiga nomor awal Pujangga Baru selamat, meski kemudian berpindah percetakan ke Gang Kenanga di Kota, yang biayanya lebih murah.
Selama setahun, majalah ini cepat menyerap perhatian kaum muda intelektual. Tjipto Mangoenkoesoemo dari pengasingannya sampai menulis: Surat dari Neira. Pada tahun-tahun kemudian bahkan kita lihat beberapa penulis perempuan menyumbang artikel. Maria Ulffah Santoso, misalnya, pada 1937 menulis: Peladjaran apakah jang dapat dipeladjari anak gadis Indonesia di Eropa?
Pada kulit muka Pujangga Baru di tahun-tahun awal selalu tercantum kutipan-kutipan dari pemikir terkenal. Pada edisi 6 Desember 1934, misalnya, ada kutipan dari Khrisnamurti: "The True enemy of freedom is dead tradition; living at second hand; the enslavement of the life of today to the worn out formulas of a past age."
Ada hal menarik bila kita cermati terbitan 2 Agustus 1934. Di nomor itu ada pengumuman, karena pembaca mengeluh banyak kata sulit dalam puisi yang dimuat, redaksi meminta agar penyair yang mengirim puisi "... soedilah memboeboeh arti pada perkataan-perkataan dalam karangan atau poen sja'irnya jang menoeroet anggapannja tiada oemoem diketahoei orang."
Terlihat artikel yang dimuat tidak didominasi oleh selera Barat Takdir. Amir Hamzah, misalnya, secara bersambung menerjemahkan Bhagawad Gita. Lalu ada seorang bernama Soeharda Sastrasoewignja, yang pada 1934 menulis secara bersambung upaya pembaruan wayang kulit. Muhammad Yamin juga menulis Ken Arok dan Ken Dedes.
Sikap yang mengobarkan semangat pembaruan bernada polemis memang sering ditampakkan artikel Takdir. Ia menulis apa saja, mulai dari puisi, tinjauan bahasa, hingga pendidikan masyarakat. Pada 1936-1937, diawali dengan pemuatan fragmen novelnya: Layar Terkembang, Takdir berdebat dengan penulis Sandhyakalaning Madjapahit, Sanusi Pane.
Takdir juga pernah menulis sesuatu yang unik, yaitu mengenai Mas Pirngadie, ahli gambar kita yang pada 1904-1913 bertualang ke seluruh Nusantara-menemani J.E. Jasper pegawai pemerintah Belanda. Takdir melihat kumpulan gambarnya yang terhimpun dalam buku De Inlandsche Kunstnijverheid in N-Indie sebagai sesuatu yang penting. Artikel itu dilengkapi contoh-contoh lukisan Mas Pirngadie dan foto Mas Pirngadie tatkala melukis.
Terasa memang, Pujangga Baru adalah majalah intelektual. Di samping artikel, sikap kritis juga sering terlihat dalam tinjauan buku. Sutan Takdir sering menulis resensi buku. Pada November 1934, ia mengulas buku Dr G Stuivelin tentang Nieuwe Gids, yakni pergerakan sastra baru di Belanda pada 1880, yang menurut Takdir mengobarkan revolusi dahsyat kesusastraan Belanda.
Dalam desainnya, Pujangga Baru sering menampilkan iklan majalah "idealis" lain. Misalnya, sering dimuat advertensi Madjalah Penindjauan, majalah bergambar yang dipimpin P.F. Dahler dan Dr GSSJ Ratu Langie. Atau Wasita, yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara. Juga sering dimuat iklan buku baru atau buku bekas berbahasa Belanda, seperti buku Bharata Yuddha, terjemahan bahasa Belanda oleh Dr Poerbatjaraka dan Dr C. Hooykaas. Jarang kita lihat ada iklan produk barang. Sekali ada iklan "Obat Gosok Balsem Tjap Matjan".
Menjelang pendudukan Jepang, majalah ini mati. Sejak terbit pertama kali, sampai Jepang datang pada 1942, oplah Pujangga Baru hanya 500 eksemplar per edisi. Ongkos cetaknya f 35 hingga f 85 per bulan. Dicetak mula-mula oleh percetaakan Kolff, lalu berpindah-pindah untuk menghemat biaya. Uang langganan f 1,25 per kuartal, dengan jumlah pelanggan kurang dari 150 orang. Selama sembilan tahun terbit, Pujangga Baru menderita rugi rata-rata f 25 setiap bulan. Kerugian itu ditutup oleh gaji Takdir dari Balai Pustaka, yang ketika itu f 125 per bulan.
l l l
PADA Maret 1948, Pujangga Baru terbit kembali. Kini diterbitkan percetakan milik Takdir: Pustaka Rakjat. Dalam kata pengantar, Takdir dengan menyala-nyala mengatakan, datangnya Pujangga Baru dahulu sesungguhnya jauh melampaui zaman. Ia melihat kini, setelah merdeka, ada tanda-tanda perjuangan mengalami angin mati. Maka dibutuhkan orientasi yang mampu mengarahkan perjuangan.
"Apabila Pudjangga Baru terbit kembali setelah enam tahun lamanya dihentikan itu, djustru pada waktu jang sesukar ini, pada waktu orang putus asa dan mulai menjadi lethargis dan masa-bodo, maka tidaklah lain daripada oleh kami jakin, bahwa lebih-lebih dari masa jang lampau kita sekarang perlu sadar kembali, memperkuat batin kita...."
Pada penerbitan kembali ini, Amir Hamzah telah tiada. Ia dibunuh sekelompok pemuda dalam apa yang disebut "revolusi sosial" di Sumatera Timur. Dalam kata pengantar redaksi ditulis: "... Kata orang matinja digorok, dan majatnya ditjampakkan begitu sadja di salah satu hutan di dekat Tanjung Pura, sebagai mentjampakan majat pendjahat...."
Armijn Pane tak duduk di redaksi nomor ini, walau di nomor-nomor selanjutnya ia kembali tercatat sebagai pembantu redaksi. Wajah baru di redaksi: R. Nugroho dan L.S. Sitorus. Sementara Soewarsih Djojopoespito, Idrus, Hazil Tanzil, Rivai Avin, Asrul Sani, dan Chairil Anwar, antara lain, tercatat sebagai pembantu redaksi. Chairil pun cuma singgah setahun. Ia wafat pada 1949. Achdiat Karta Mihardja juga duduk di redaksi hingga majalah itu tidak terbit lagi pada 1953.
Harga Pujangga Baru setelah kemerdekaan f 4 per satu kuartal. Tapi, jika membeli eceran, harganya f 1,50. Sebelum mata uang dikonversi ke rupiah, harga majalah ini sempat naik menjadi f 4,50 per satu kuartal. Pada 1950 harganya Rp 6 per kuartal, atau Rp 2 setiap bulan. Hingga akhirnya tak terbit lagi, harganya hanya naik menjadi Rp 6,15 setiap kuartal.
Lantaran diterbitkan oleh percetakan Takdir, advertensi buku kebanyakan buku terbitan Pustaka Rakjat, termasuk buku nonsastra. Misalnya sering diiklankan buku Obat Asli Indonesia karya Dr Seno Sastroamidjojo. Ke Udara, buku penerbangan modern karya R.J. Salatun, bahkan petunjuk bagi wanita hamil karya Sutadireja.
Kualitas cetakannya lebih baik ketimbang Pujangga Baru "edisi lama". Juga lebih kaya gambar. Ada gambar Mahatma Gandhi yang dibuat Mochtar Apin dengan pahatan lino, dimuat di nomor pertama "edisi baru". Mochtar Apin, yang disebut-sebut sebagai Bapak Seni Grafis Modern Indonesia, juga duduk di dewan pembantu redaksi edisi ini. Untuk ilustrasi kemudian banyak dimuat vinyet, sketsa para pelukis kita, di antaranya Sudjojono, Salim, Sudjono Kerton, Fadjar Sidik, Oesman Effendi, Arie Smith.
Tampaknya dunia seni lukis mendapat porsi cukup banyak. Pada edisi Februari-Maret 1950, redaksi mengumumkan bahwa mulai nomor itu sedapat-dapatnya tiap nomor akan memuat repro lukisan berwarna dari pelukis besar dunia, disertai keterangan sekadarnya. Pada edisi itu kita lihat foto repro lukisan Van Gogh dipasang disertai sedikit ulasan. Pada nomor-nomor selanjutnya giliran ditempel foto lukisan Marc Chagal, George Braque, Paul Gaugain, Rousseau, Edouard Manet, Diego Rievera.
Tulisan C. Doelman tentang seni rupa banyak dimuat. Ia, misalnya, menulis Seni Lukis Abad 20 dan laporan Bienalle Venesia. Dilihat dari tulisan yang masuk, Pujangga Baru "edisi baru" tidak bisa lagi disebut "hanya" majalah kesusastraan. Sejumlah esai filsafat pun muncul. Salah satunya tentang eksistensialisme yang ditulis oleh R.F. Beerling. Di edisi Januari 1949 bahkan dimuat sebuah terjemahan tulisan Albert Camus, Seniman ialah saksi dari Kemerdekaan.
Tak kalah menarik adalah tulisan dan terjemahan artikel tentang musik dari J.A. Dungga dan komponis Amir Pasaribu. Amir pernah mengkritik habis-habisan orkes di Ibu Kota sebagai Orkes Tak Peduli Ekspressivitet. J.A. Dungga pernah secara panjang-lebar mengeluarkan pendapat bahwa konservatorium lebih baik didirikan di Jakarta daripada di Yogya, karena di sana kekurangan guru. J.A. Dungga sendiri pada 1953 masuk redaksi.
Di luar itu, sebagaimana Pujangga Baru "edisi lama", puisi tak pernah absen dimuat. Bahkan Pramoedya Ananta Toer aktif menulis mulai akhir 1952. Pada September 1952, artikelnya tentang Kegiatan Seni Dalam Bulan September di Ibu Kota dimuat. Bahkan pada bulan Februari 1953, dimuat tulisannya, Offensif Kesusastraan 1953, yang beranak judul garang: H.B Jassin sudah lama mati sebelum gantung diri.
Sebagaimana biasa, Takdir tetap banyak menulis kritik sastra dan kebudayaan. Salah satu yang menarik adalah Tjara Berpikir Statis Membawa Kita ke Djalan Buntu. Ia mengkritik hasil konferensi kebudayaan di Magelang, ketika Takdir dan sahabat lamanya, Armijn Pane, berdebat. Pada November 1951, ia mencecar kongres kebudayaan di Bandung. Judulnya Konggres Kebudajaan di Bandung: Gedjala Kelumpuhan Jiwa! Tulisannya yang menawan pada 1951 adalah renungan perlawatannya ke Eropa, sebuah tulisan bersambung yang panjang, yang menjelaskan mengapa ia memilih ke Eropa daripada ke Amerika.
Tapi justru ketika isi majalah makin luas, Takdir melihat majalah itu tidak ada bedanya dengan majalah lain saat itu seperti Gelanggang, Zenith, Siasat, atau Indonesia. Hal itu terjadi, menurut dia, karena Pujangga Baru pascakemerdekaan sebagian besar didukung oleh sastrawan Angkatan 45.
Nomor terakhir Pujangga Baru adalah edisi 10 April 1953. Tidak ada tanda-tanda majalah itu bakal mati. Tidak ada kata pengantar yang mengisyaratkan bahwa majalah itu akan sayonara. Pada edisi itu malah dimuat lengkap naskah sandiwara Sitor Situmorang, Drama Pulo Batu. Di nomor sebelumya dimuat cerpen "penulis baru" Wiratmo Sukito, berjudul Apakah Tuhan Sudah Mati.
Dan kita tahu, bukan Tuhan yang mati. Tapi Takdir sendiri yang akhirnya menyudahi Pujangga Baru.
25 Februari 2008
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/02/25/LYR/mbm.20080225.LYR126443.id.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar