Chavchay Syaifullah
http://www.leadership-park.com/
Apakah setiap kita menjadi naif, bila sebentar-sebentar bertanya: di mana peran negara ketika masyarakat kita saat ini masih saja jumpalitan seperti cacing tanah tersulut api mengatasi kesulitan hidupnya sendiri-sendiri?
Dalam perjalanan 65 tahun kemerdekaan RI ini, siapa pun akan mudah menemukan potret kemiskinan. Dan bila potret 1945 atau potret 1965, tergambar kemiskinan yang hampir merata dalam lanskap pembangunan yang masih minim sehingga terbetik kesusahan hidup rakyat terjadi dalam situasi negara yang memang masih miskin. Namun kini potret kemiskinan itu justru telah banyak berdampingan sangat dekat dengan potret kemewahan yang luar biasa.
Kita bisa dengan mudah menyaksikan pemandangan gedung-gedung perkantoran dan hotel-hotel yang megah berdiri di samping perumahan kumuh berdinding triplek. Juga ketika pemerintah secara resmi menyatakan Indonesia dalam situasi krisis ekonomi, jalan-jalan raya justru semakin disesaki mobil-mobil mewah. Pusat-pusat perbelanjaan, pusat hiburan, pusat maksiat berlabel salon dan panti pijat, pun justru tumbuh menjamur. Semua ini terjadi berbarengan dengan kabar-kabar kuno tentang busung lapar, kaki gajah, gizi buruk, penangkapan anak jalanan, dan sebagainya.
Belum lagi kini kita menyaksikan bagaimana rakyat harus jumpalitan seperti cacing tanah tersulut api mengatasi masalah-masalah yang muncul dari kebijakan negara yang konon terpaksa harus dijalankan. Lihatlah tarif dasar listrik yang mendadak naik setelah marak gosip rumah berdaya listrik 450 watt akan digratiskan. Lihatlah rumah-rumah yang hancur berantakan dibom tabung gas elpiji 3 kilo gram hasil sumbangan negara sebagai kebijakan pengalihan minyak tanah. Jerit tangis rakyat yang menyaksikan keluarganya hangus terbakar dengan tubuh hitam lebam seperti gorengan ikan lele dumbo, telah dihadapi dengan instruksi normatif Presiden agar rakyat selalu memastikan kompor dalam kondisi off sebelum meninggalkan dapur atau memastikan selang tidak bocor. Rakyat pun harus mengelus dada. Mau kembali ke minyak tanah sudah tidak ada di pasaran, mau beli tabung 14 kilo gram dan kompor gas yang layak jelas tidak mampu.
Maka dengan sangat terpaksa ibu-ibu kita pun rela menyimpan teror bom 3 kilo gram di sudut dapurnya. Dan bila suatu ketika meledak dan membakar para penghuni serta seluruh bagian rumah, itulah yang disebut nasib masing-masing, takdir sendiri-sendiri. Rakyat kembali mengelus dada.
Di tengah kemiskinan yang kisah-kisahnya terlalu lebar dibicarakan ini, kita juga menyaksikan kekerasan dalam bentuk dan modus yang rupa-rupa. Bila sampai dekade awal 1990-an kekerasan di tengah masyarakat yang marak terjadi bersifat individual dan atau sektoral, seperti pencopetan atau pun perkelahian antar geng-geng kecil yang ribut akibat soal remeh temeh, kini tidak lagi begitu.
Indonesia yang sudah berusia kakek-nenek ini, harus menyaksikan tayangan pembakaran ratusan mobil, ratusan rumah, ratusan toko. Menyaksikan tayangan pembantaian rasial dengan tombak-tombak yang ujungnya tertancap wujud asli kepala orang, lengkap dengan darah segarnya. Indonesia harus menyaksikan kekerasan purna dari organisasi-organisasi legal skup besar berlabel pembelaan agama dan atau kesatuan primordial. Organisasi-organisasi seperti ini terus bermunculan dan masih menjadi teror keamanan rakyat, sebab rakyat sudah tahu sama tahu bila organisasi-organisasi besar ini sudah membuat onar, aparat keamanan pun tidak cukup bisa mengendalikan keadaan.
Kekerasan yang tidak kalah mengerikan yaitu dalam proses pemilihan kepala daerah. 498 kabupaten/kota di Indonesia harus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Andai saja di setiap kabupaten/kota terdapat 2 pasangan calon bupati/walikota, terdapatlah 996 kekuatan yang potensial melahirkan kekerasan di tanah air ini. Hal ini semakin mengerikan sebab kekisruhan pilkada di mana pun telah menumpahkan darah segar, menghanguskan kantor-kantor pemerintah, serta kekerasan yang berlarut-larut. Kekerasan ini semakin besar sebab didukung oleh kekuatan modal yang besar. Hal ini mudah dipahami karena setiap calon bupati dan calon walikota dipastikan memiliki modal besar, ini karena antara lain masyarakat kita sudah apatis dengan idealisme politik dan memilih politik uang sebagai jawaban atas janji-janji yang tidak pernah ditepati. Ibu pertiwi mengelus dada.
Di tengah kemiskinan dan kekerasan yang harus disaksikan oleh Indonesia yang kini tengah duduk lelah di kursi goyang, korupsi semakin menjadi-jadi. Jumlah pelakunya terus bertambah. Modusnya semakin aneh-aneh saja. Rakyat kini umumnya sudah tidak bisa lagi berharap pada kerja Polisi, Kejaksaan, bahkan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tingkat kepercayaan rakyat terhadap Presiden dalam hal pemberantasan korupsi semakin hari semakin pupus. Kalaupun ada aksi-aksi penangkapan koruptor, termasuk oleh KPK, rakyat sesekali hanya tertawa sambil menebak-nebak ini ada angin politik apalagi, ini ada rekayasa apalagi, ini ada pengalihan isu apalagi, atau ini ada dagelan apalagi.
Ya, kepercayaan rakyat sudah harus masuk ke ruang ICU. Sebab kondisi kepercayaan rakyat sudah gawat darurat dan butuh penanganan khusus. Namun sayang, dokter-dokter kepercayaan rakyat yang jujur dan berani sudah banyak yang wafat, ruang ICU pun sudah penuh. Kepercayaan rakyat akhirnya pingsan di ruang tunggu. Ibu pertiwi tak kuasa menahan gejolak darah di wajahnya. Ibu pertiwi memeluk erat kepercayaan rakyat sambil menahan air mata yang hampir saja tumpah serupa air bah.
Namun ketika luka kemiskinan, kekerasan, dan korupsi coba disembuhkan Indonesia, sayang bin sayang Indonesia harus melihat rakyatnya tidak memiliki daya saing yang tinggi. Indonesia kembali lelah dan duduk di kursi goyang. Ia kembali menyaksikan tayangan daya saing anak bangsa megap-megap dalam hempasan gelombang besar. Ia menyaksikan bagaimana dunia birokrasi tidak lagi memiliki daya saing yang baik, sehingga untuk meraih jabatan, kaum birokrat harus melahirkan fitnah dan jebakan. Ia menyaksikan dunia kampus tidak lagi memiliki daya saing, sehingga lahir di sana-sini karya-karya plagiat, hasil penelitian yang tidak valid, gelar-gelar akademis yang kosong melompong, juga mahasiswa-mahasiswi yang lebih senang pacaran ketimbang belajar.
Indonesia menyaksikan dunia politik tidak punya daya saing, sehingga melahirkan politikus-politikus yang gemar membunuh keluhuran cita-cita politik sebagai alat mewujudkan kesejahteraan umum. Politik telah berubah menjadi medan konspirasi, telah menjadi ajang caci maki, dan gawatnya politik telah dijadikan mesin untuk menghasilkan uang jumlah besar dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ia juga menyaksikan guru agama berdaya saing rendah, sehingga selalu melakukan agitasi terhadap kelompok yang lebih maju dengan dalil-dalil agama. Ia juga menyaksikan artis-artis berdaya saing rendah, sehingga kerap masuk ke dunia pelacuran kelas kakap yang melayani oknum pejabat bermental bejat, politikus yang haus seks bebas, dan pengusaha yang hobi pelacuran.
Di atas kursi goyangnya, Indonesia meneteskan air matanya. Ia biarkan air mata itu membasahi pipinya. Ia seperti tidak bisa lagi membendung kesedihan purba itu. Kini Indonesia merasakan luka daya saing anak bangsa seperti luka yang telah melahirkan luka kemiskinan, luka kekerasan, dan luka korupsi. Luka demi luka yang meneteskan darah dan air mata, membuat lautan tidak lagi biru, gunung tidak lagi tinggi, hutan tidak lagi gondrong, air bercampur racun, tempe bercampur formalin, rumah sakit jadi perusahaan orang sakit, seks bebas jadi rutinitas, bencana alam jadi siklus, kemewahan jadi tontonan, kekerasan jadi jalan keluar, kemiskinan jadi tontonan, dan seterusnya.
Di dalam kesedihan yang pilu, Indonesia tiba-tiba bangkit dari kursi goyangnya. Ia berjalan perlahan. Ia melihat kalender. Ia melihat warna merah di tanggal tujuh belas. Ia mulai sadar, usianya sudah 65 tahun. Ia mulai sadar usianya sudah cukup tua. Karenanya ia semakin mantap berpikir bahwa usia 65 tahun adalah usia yang asyik untuk berpikir dewasa, bertindak penuh wibawa, dan melangkah penuh kepastian.
Indonesia lantas berlari-lari anjing menghampiri daun jendela. Ia membuka jendela selebar-lebarnya. Halaman nusantara terbentang luas di matanya. Dengan suara lantang, Indonesia pun memanggil-manggil anak-anaknya. Ia memanggil-manggil kesetiakawanan sosial, ia memanggil-manggil pendidikan, ia memanggil-manggil kejujuran, ia memanggil-manggil keberanian, ia memanggil-manggil demokrasi, ia juga memanggil-manggil kemajuan.
Kepada anak-anaknya ia meminta untuk segera masing-masing membangun karakter. Karakter bukan ilmu dan pengetahuan, namun nilai dan jiwa. Nilai dan jiwa akan tumbuh antara lain dari lingkungan dan cita-cita. Indonesia meminta anaknya bernama kesetiakawanan sosial untuk segera membangun karakter dari lingkungan yang menjalin kepedulian satu sama lain, untuk cita-cita membangun peradaban yang berkemanusiaan dan berkeadilan.
Indonesia juga meminta kepada anaknya bernama pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan zaman. Pendidikan yang terjangkau bagi rakyat harus segera direalisasi. Lembaga-lembaga pendidikan yang diskriminatif harus segera dievaluasi, agar siswa-siswa sekolah unggulan kelak tidak berlaku elitis di tengah masyarakat, sementara siswa-siswa sekolah rendahan hanya bisa minderan karena terlalu sering terkena stigma.
Indonesia juga meminta anaknya bernama kejujuran untuk berjalan bareng dengan keberanian, sebab tidak ada kebenaran yang gratisan. Semuanya harus dimulai dari perjuangan yang jujur dan berani. Tanpa itu, demokrasi hanya tinggal urusan formal-formalan di atas kertas. Apapun sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial kalau dilakukan secara tidak jujur dan tidak berani, maka yang terjadi hanya kekacauan. Bukan kemajuan. Karena itu kepada anaknya bernama kemajuan, Indonesia sangat berharap agar bersabar dalam melangkah sambil menyesuaikan diri dengan kemanusiaan dan keadilan sosial. Kesempatan dan pintu masuk untuk maju, harus dimiliki oleh setiap bangsa Indonesia. Tidak boleh ada sekelompok kecil orang maju menari-nari di atas golongan besar yang tidak maju. Kesenjangan pasti bisa diatasi.
Indonesia menegaskan kepada anak-anaknya bahwa karakter bangsa harus segera dicipta, digerakkan, dan diajak berlari menuju cita-cita kebersamaan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Namun apa daya, hingga hari ini kepercayaan rakyat masih pingsan dalam pelukan ibu pertiwi di ruang tunggu di sebuah rumah sakit. Indonesia harus segera menjemputnya. Indonesia harus segera mengajaknya pulang untuk kembali bernyanyi dan menari. Tapi apakah kepercayaan rakyat masih bisa bernyanyi dan menari? Bisa! Tentu setelah disembuhkan dulu luka lamanya. Tapi, maaf, siapakah Indonesia itu? Hmmm…..kenapa kau masih bertanya terus soal ini? Kenapa kau masih bertanya terus tentang siapa Indonesia? Dengarlah baik-baik, Indonesia adalah kita semua. Indonesia adalah kita semua. Indonesia adalah kita semua.
Chavchay Syaifullah – Sastrawan & Wartawan, aktif di Yayasan Dayamuda Nusantara (Yadanu) dan Indonesia Institute for Democratic Development (IIDD), kini tinggal di Banten.
*) Materi ini dipresentasikan dalam Forum Media Massa bertajuk “Refleksi Kesetiakawanan Sosial dalam 65 Tahun Kemerdekaan RI”, di Kantor Kementerian Sosial, Jakarta, 16 Agustus 2010.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar