Senin, 21 Mei 2012

Tantangan Miterealis Han Gagas

Saifur Rohman
http://sastra-indonesia.com/

Cerpen-cerpen Indonesia mutakhir diwarnai oleh komodifikasi yang bisa disingkat dengan jimat “cerpen koran”. Bentuknya ringkas, isinya padat, dikemas dengan gaya yang unik, selesailah. Seperti membuat pop mie; cepat saji, segar, dan gurih.

Di tengah-tengah komodifikasi itu, kumpulan cerpen bertajuk Ritual (2012) karya Han Gagas sesungguhnya bisa diapresiasi sebagai sebuah perlawanan yang betul-betul berani terhadap kemasan cerpen koran. Sungguh pun tidak bisa dimungkiri, 17 cerita dalam kumpulan cerpen sebagian besar sudah dipublikasikan di media lokal maupun nasional.
Cerpen-cerpennya tidak mengangkat fakta segar, tetapi mengaduk-aduk ingatan lama yang terkubur di bawah sadar sebagai trauma. Bentuk ungkapan yang sangat antropologis mengingatkan pada cerpen panjang karya mendiang Umar Kayam. Hal itu juga bisa dilihat dari tokoh-tokoh yang dibangun, model pengaluran, serta pesan-pesan yang hendak disampaikan. Tulisan ini melihat karya Han Gagas secara struktural dan menunjukkan relevansinya dalam kajian cerpen Indonesia mutakhir. Sebab, melalui kajian struktural ini hendak dibentuk suatu common sense untuk melihat cerpen yang kuat dan cerpen lemah. Pada saatnya nanti, pijakan itu sangat bermanfaat dalam pengembangan sejarah, kritik, dan teori sastra Indonesia masa kini.

Simptom Sosial

Secara umum cerpen-cerpen Han Gagas mengungkapkan realitas-realitas tak sadar dari masyarakat kontemporer. Dia memiliki prinsip bahwasanya masyarakat yang bergerak sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari lapis-lapis ketidaksadaran yang turut menopangnya. Batasnya sangat tipis. Bukti paling kuat tampak dalam cerpen “Gemblak” yang mengingatkan kita pada kasus perbudakan, kanibalisme, dan tribalisme yang sangat dekat dengan kita pada masa lalu. Secara umum cerpen ini menceritakan tentang lamaran seorang warok kepada seorang pemuda bernama Hargo. Pemuda itu sebetulnya tidak mau karena dia mengetahui nasib gemblak yang sangat sengsara. Selain menjadi objek homoseks, seorang gemblak dengan kata lain adalah seorang budak karena gemblak telah dibeli dengan sejumlah raja kaya. Di sisi lain, lamaran itu bagi keluarga adalah berkah karena harta lamaran berupa sapi, emas, serta berbagai makanan adalah hal yang sulit didapat oleh keluarga miskin.

Di tengah dilema itu, akhirnya Hargo memutuskan melarikan diri. Kendati dia tahu, pada saat yang sama keputusan itu berarti malapetaka bagi keluarganya. Cerita ini diakhiri dengan upaya Hargo melangkah keluar dan pada saat yang sama pundaknya sudah dipegang oleh sang ayah. Lihat kutipan berikut:

Hargo membuka selot pintu belakang, namun sebuah tangan dengan cepat menangkap bahunya, mencengkeram.

“Hendak ke mana, kau!!” Suara berat Rekso menghentikan langkahnya (dalam cerpen “Gemblak”).

Apakah itu berarti Hargo gagal melarikan diri dan menjadi gemblak? Hal itu tidak diceritakan. Sebaliknya, pencekalan itu bukan berarti upaya Hargo sama sekali tidak berhasil. Perihal pertanyaan itu kiranya bukan bagian dari cerita ini karena cerita telah berhenti ketika Hargo memutuskan pergi.

Akhir yang tiba-tiba itu sontak membebani pembaca agar turut melanjutkan ceritanya. Sebab, cerita yang sudah berakhir bagi penulis tidak berlaku bagi pembaca.

Akhir bukanlah akhir. Pencerita menyerahkan akhir kepada pembaca. Setelah itu bisa dilanjutkan dalam kepala pembaca masing-masing. Bukti lain, cerpen “Antara Rumah dan Kebun”. Dia memberikan akhir bercerita tentang keangkeran suatu kebun yang berada tak jauh dari rumah si aku-pencerita. Dikisahkan, karena keterbatasan keuangan, akhirnya sang suami membeli rumah yang konon angker. Sebab, tak jauh dari rumah itu terhampar kebun yang selalu memunculkan fenomena aneh saat malam. Suatu malam dia mencium aroma bunga yang sangat menusuk sehingga dia jadi bergidik ngeri. Kejadian aneh itu belakangan diketahui oleh istrinya. Selama ini, sang istri sengaja tidak diberi tahu agar bersedia menempati rumah baru itu, apa boleh buat, sang istri akhirnya mengajak pergi dari rumah yang baru dibeli.

Sang suami menolak dengan cara memberi pengertian tentang adanya yang mahakuasa. Secara tak sengaja seorang tetangga telah menceritakan sebab-musabab keangkeran itu. Rumah yang baru saja ditinggali konon adalah bekas rumah bidan yang berpraktik aborsi. Setiap bayi yang berhasil diaborsi akhirnya dibuang tak jauh dari rumah itu. Akhirnya arwah bayi itu penasaran dan menangis tiap malam. Akhir cerita dikisahkan berikut ini:

Di manakah bau harum tadi? Kakiku terpaku di tempat. Ujung jariku kaku memegang korden. Tak bisa digerakkan. Muncul tawa cekikikan anak-anak kecil di luar. Tanganku gemetar. Jantungku copot!

Suara langkah terseret makin dekat…

Aku hendak berdoa, tapi lidahku kelu. Tenggorokanku tercekat!

Terdengar suara menyayat-yayat, memilukan. Isak tersedu. (Dalam cerpen “Antara Rumah dan Kebun”)

Gambaran tersebut sudah diungkapkan sejak awal cerita. Tapi kutipan di atas diambil dari babak terakhir. Kemiripan gambaran itu seperti meneror pembaca tentang kisah misteri yang dimunculkan sejak awal hingga akhir. Ruang yang terbatas mengharuskan pencerita mengakhiri sebelum alur benar-benar mencapai leraian dan berujung pada penyelesaian.

Analisis pengaluran itu sangat bermanfaat untuk menelisik pesan yang bisa tersampaikan kendati durasi tidak panjang. Tokoh-tokoh dibangun secara tegas dalam semua cerpen sehingga pencerita berhasil menciptakan karakter secara baik. Latar disusun detail dan menyatu dengan pesan. Tema-tema mitos, misteri dan mistis bisa menjadi sangat menonjol.

Lihat cerpen “Redi Kelud”. Ada keluarga cacat yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Kalimat itu mengisyaratkan hadirnya tokoh yang tipikal. Belakangan diketahui salah seorang anak berumur sepuluh tahun bernama Redi justru memiliki kelebihan. Di punggungnya tumbuh sayap sehingga dia mirip malaikat. Sampai kemudian dia mengiris sayap itu tetapi yang terjadi justru banjir darah di kampungnya. Banjir darah itu mengakibatkan ibunya kembali teringat pembantaian massal 1965. Banjir darah itu akhirnya bisa diubah menjadi banjir lumpur oleh si cebol. Bahkan si cebol bisa mengalihkan banjir itu sehingga tidak menenggelamkan keluarganya.

Tema dan tokoh sangat cemerlang, tetapi lemah dalam alur. Justru cerpen kuat dapat dilihat dalam teknologisasi cerita yang sederhana sebagaimana ditampilkan dalam cerpen “Mbah Mangun dan Mbah Naim”. Cerpen itu menceritakan tentang sosok lelaki mistis bernama Mbah Mangun. Sosok ini digambarkan berpakaian sederhana, sering dijumpai berjalan di pinggir jalan, dan memiliki senyum misterius. Tokoh aku tertarik dengan Mbah Mangun karena penasaran dengan penampilan yang sangat khas di kampung itu. Suatu ketika, tokoh aku bermaksud menunaikan ibadah haji. Menjelang sampai di bandara, dia berpapasan dengan Mbah Mangun di pinggir jalan. Mereka saling melemparkan senyum. Anehnya, ketika sampai di Makkah, dia menjumpai Mbah Mangun dan sempat bercakap-cakap. Bahkan ketika tokoh aku pingsan karena berdesak-desakan, Mbah Mangunlah yang menolongnya.

Peristiwa itu jelas membuat tokoh aku semakin penasaran untuk tahu lebih jauh. Sampai suatu ketika Mbah Mangun dituduh telah membunuh Mbah Naim. Modus pembunuhannya adalah dengan cara membacakan ayat suci. Begitu dibacakan, maka Mbah Naim langsung wafat. Sebelumnya disinyalir Mbah Naim tidak bisa mati karena memiliki ilmu kebal. Warga lain menyatakan bahwa Mbah Naim diguna-guna karena tidak mau mengubah wasiat yang terkait dengan harta warisan. Kematian Mbah Naim yang cepat itu jelas menggagalkan rencana anaknya yang menginginkan warisan lebih banyak dengan cara mencari peluang agar si empunya mengubah isi wasiat. Karena itu, Mbah Mangun kemudian diajukan ke meja pengadilan. Ironisnya dia mengakui telah membunuh Mbah Naim dengan ayat suci. Pengakuan itu membuat dia masuk penjara. Setelah putusan kehakiman, Mbah Mangun mendatangi tokoh aku lewat mimpi. Dia pamit. Dan ketika terbangun, benar saja, Mbah Mangun telah wafat.

Sederhana, tetapi memikat. Dia mengangkat mitos-mitos yang berkeliaran di tengah masyarakat menjadi bentuk cerita yang sangat realis. Ironi yang muncul melalui tokoh Mbah Mangun justru kian menjelaskan fakta-fakta sosial yang timpang.

Labirin Traumatik

Pendeknya, realisme Han Gagas mengubah fakta-fakta sosial itu menjadi ironi yang sangat menyentuh. Dalam bentuk yang sederhana terdapat dalam cerpen “Kucing Tetangga”. Ada kisah lika-liku kehidupan bertetangga yang memfokuskan pada gangguan seekor kucing. Tokoh utama menduga kegagalan kandungan istrinya itu akibat kucing yang selalu mampir ke rumahnya. Fakta sosial itu dipotret secara detail yang memberikan pesan betapa sulit hidup bermasyarakat.

Dalam kasus yang berat, fakta-fakta sosial itu ditampilkan dalam cerpen “Bangunan Itu Menelan Ibu dan Bulanku”. Cerpen ini bercerita tentang seorang anak yang diasuh oleh bapaknya. Ibunya belakangan diketahui telah menjadi korban akibat ambruknya sebuah bangunan. Lelaki yang berperan sebagai single parent ternyata harus menampilkan peran sebagai sosok yang tak tergoyahkan oleh masa lalu.

Hal itu juga tampak dalam cerpen “Kabar Duka” yang mengangkat kesetiaan seorang istri menunggu suami yang sudah tewas dalam setting peristiwa gestapu 1965. Tema-tema sosial-politik tampak mencuat dalam karya “Nasib Membekap Karno”, “Menunggu Suaramu di Hapeku”, “Layang-Layang”, dan “Gemerincing Malam” yang memiliki setting politik negara Islam. Cerita-cerita lain yang mengangkat unsur mistik dan peristiwa traumatik antara lain “Susuk Kekebalan”, “Kawin Ghaib”, “Ritual”, “Aku Sengaja Datang ke Kotamu”, “Badai Utara”, “Merapi dan Bisul”.

Setelah membaca seluruh cerpen-cerpennya, kita mendapatkan informasi penting tentang mitos dan realisme. Dalam sejarah cerpen di Indonesia, cerpen-cerpen realis itu berada dalam genre yang pernah diusung Seno Gumira Ajidarma melalui cerpen Saksi Mata. Akan tetapi, ketika merujuk pada jalinan mitos-mitos sosial dalam ceritanya, kita tidak bisa meninggalkan pengaruh Danarto dalam cerpen “Rintrik”; Itu sebuah cerpen fenomenal yang menghidupkan arwah bayi yang dibunuh melalui aborsi. Bagaimanapun juga, cerpen itu tetaplah membayang-bayangi dalam cerita tentang arwah bayi dalam cerpen “Antara Rumah dan Kebun”. Penggarapan mitos dan realitas sosial pernah secara berhasil dilakukan oleh Mustofa Bisri dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, tetapi Han Gagas memberikan warna “abangan” yang sangat kental.

Cerpen kuat seperti “Mbah Mangun dan Mbah Naim”, “Nasib Membekap Karno”, maupun “Layang-layang” dapat dijadikan inspirasi bagi dunia sastra untuk mengembangkan gagasan-gagasannya dan meramaikan khazanah cerpen realis di Indonesia.

DR. SAIFUR ROHMAN, Pengajar Kritik Sastra di Universitas Negeri Jakarta, menetap di Semarang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito