Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Malang Post, 22 Mei 2011
Ada pemandangan sangat menarik di sepanjang jalan Ijen di kota
Malang setiap bulan Mei sejak lima tahun terakhir, yakni suasana serba
‘doeloe’ mulai dari gambar atau foto kota Malang, jajanan (seperti
tiwul, cenil, jadah, gelali), minuman, pakaian para pelayan yang serba
tradisional, pentas hiburan hingga warung-warung yang menjual makanan.
Semuanya menggambarkan keadaan Malang tempo dulu. Jumlah
pengunjung dari tahun ke tahun terus meningkat. Banyak warga Malang
yang berada di luar kota pada pulang kampung untuk melihat agenda
tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Malang tersebut. Tidak
sedikit warga luar Malang juga datang menyaksikan peristiwa unik
tersebut. Konon banyak warga yang tinggal di luar negeri juga pulang,
sekaligus untuk menengok keluarga.
Entah apa ihwal yang melatarbeIakanginya, tetapi rasanya tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa ide penyelenggaraan kegiatan itu cukup
cerdas. Masyarakat Malang merasa terhibur dan untuk sementara waktu bisa
melupakan kasus-kasus besar secara nasional yang sedang mengemuka,
mulai hiruk pikuk rencana pembangunan gedung DPR, korupsi pembangunan
sarana SEA Games di Palembang oleh bendahara Partai Demokrat, terorisme,
kisruh Kongres PSSI, hingga hasil UN tahun 2011. Berbagai isu besar itu
kalah pamor dengan kegiatan Malang Tempo Doeloe yang dimulai tanggal 19
Mei 2011. Benda-benda kuno seperti keris, panah, udeng, cowek, lesung,
dan sebagainya dipamerkan. Foto-foto di jaman pemerintahan kolonial
Belanda juga ikut meramaikan suasana serba ‘doeloe’.
Malang Tempo Doeloe diformat dalam suasana serba kuno dengan berbagai
karaktersitiknya dengan aneka ragam makanan tradisional dengan setting
suasana pedesaan. Aneka makanan tradisional dan suasana ‘desa’ itu
bukan sekadar makanan untuk dinikmatiya, tetapi juga di dalamnya aspek
sosial budaya. Makanan bisa berceritera tentang status sosial pemakannya
dan kondisi keluarga serta lingkungannya. Sebagai orang desa yang sudah
sekian lama tinggal di kota, saya selalu ingin membeli makanan kesukaan
saya ‘tahu lonthong’ tatkala pulang kampung. Warung tempat jual ‘tahu
lonthong’ itu masih utuh seperti dulu, kendati penjualnya sudah turun ke
anak dan cucunya. Ketika menikmati makanan tersebut memori masa kecil
saya di desa puluhan tahun lalu tiba-tiba hadir kembali. Suasana bermain
di desa ketika itu terbayang sangat jelas dan semuanya masih terekam
dalam memori kolektif saya.
Kehidupan adalah siklus. Orang yang terbiasa hidup di desa ingin
suatu kali menikmati suasana kehidupan kota. Sebaliknya, yang terbiasa
dengan kehidupan kota yang serba ‘modern’ suatu saat ingin kembali
menikmati suasana hidup pedesaan. Rasa ingin kembali ke masa lalu
sejatinya manusiawi saja. Biar sudah hidup di perkotaan dan menjadi
pejabat atau orang terkenal, kita tetap orang Indonesia yang suatu saat
ingin kembali ke akarnya (desa), karena sebagian besar wilayah Indonesia
adalah pedesaan.
Kerinduan terhadap masa lalu seperti itu ditangkap oleh pemerintah
kota Malang lewat acara “Malang Tempo Doeloe”. Ribuan warga kota Malang
yang memiliki ikatan kuat dengan masa lalu akan pulang kampung, termasuk
ikatan untuk makan makanan tradisional sepeerti jajan pasar. Setelah
sehari-hari berkenalan dengan makanan dan suasana ‘modern’, toh akhirnya
mereka rindu juga dengan masa lalu. Dengan bernostalgia mengenang masa
lalu tidak berarti kita menjadi ‘ndeso’. Kita tetap bisa mengikuti
kehidupan modern, tanpa kehilangan rasa empati terhadap hal-hal
tradisional. Menurut saya menjadi modern memang bukan berarti melupakan
masa lalu, tetapi lebih berupa sikap hidup yang mengedepankan
rasioanalisme. Jadi istilah kerennya ‘being modern is being rational’.
Kalau begitu ‘Malang Tempo Doeloe’ itu sesungguhnya gejala apa? Ada
seorang kawan yang menyebutnya sebagai gejala post-modernisme. Apa itu
post-modernisme? Di kalangan komunitas intelektual, berkembang suatu
cara berpikir dalam memandang fenomena budaya yang kemudian diberi nama
‘post-modernime’. Cara berpikir ini memberikan ruang cukup lebar kepada
siapa saja yang sudah merasa muak atau setidaknya bosan terhadap pola
kehidupan modern yang serba seragam, teratur, tertata, monoton,
totaliter, rasional, dan kapitalistis sebagaimana kita rasakan selama
ini. Orang-orang yang sudah merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti
itu merasa mendapat perlindungan dari cara berpikir post-modernisme.
Bahkan para gelandangan, kaum lesbi, homoseks yang selama ini
terpinggirkan secara struktural dan sosial merasa terlindungi oleh
payung post-moderisme.
Penggagas gerakan pemikiran tersebut ialah para filsuf Perancis
seperti Foucault, Lyotard, Derrida, dan Deleuze. Oleh Baudrillard,
Rorty, dan Maclntyre cara berpikir baru ini dijadikan sebagai sebuah
paradigma atau cara pandang untuk memahami gejala sosial dan budaya.
Gerakan pemikiran post-modernisme sebenarnya merupakan upaya untuk
mendelegitimasi modernitas yang mengandung suatu utopia atau cita-cita
kemajuan (progress) sebagai dasar untuk mengukur perjalanan sejarah
kehidupan. Di dalam utopia tersebut terdapat dua macam aliran pemikiran
besar yang saling kontras, yakni Marxisme dan liberalisme. Marxisme
melahirkan sistem politik komunisme dan liberalisme melahirkan sistem
kapitalisme. Dari dua aliran pemikiran besar tersebut, dalam praktiknya
komunisme tidak mampu bertahan seiring dengan runtuhnya Uni Soviet,
kendati nilai-nilainya sebagai paham tetap saja hidup hingga saat ini.
Bagaimana pun harus diakui bahwa dua aliran pemikiran tersebut telah
menjadi komando atau arah pembangunan sosial. Kehidupan kapitalis telah
menjadikan masyarakat materialistis yang mengukur kemajuan dari sisi
kebendaan dan kepemilikan material. Lewat alam pemikiran post-modernsime
sekat-sekat kepemilikan secara material dihapus. Post-modernisme
mengedepankan kebersamaan dan menghilangkan praktik hegemoni kekuasaan.
Sebab, di mata post-modernisme praktik kekuasaan melahirkan golongan
yang terpinggirkan atau termarginalisasi. Tentu saja post-modernisme
sangat dibenci oleh kalangan yang sudah mapan dan mempraktikkan
kekuasaannya dengan leluasa. Rezim Orde Baru merupakan contoh praktik
kekuasaan serba seragam. Kita mungkin masih ingat pemerintah Orde Baru
meminta warga untuk menulis PKK di atap setiap rumah. Bahkan, beberapa
masih tersisa dengan jelas saat ini. Mobil dinas pejabat juga
diseragamkan, yakni dengan mobil nasional TIMOR. Tas dan sepatu siswa
saja dulu akan diseragamkan. Untung rencana itu gagal seiring dengan
berakhirnya kekuasaan Orde Baru.
‘Malang Tempo Doeloe’ telah memberikan gambaran bahwa hal-hal yang
serba teratur, seragam, hegemonik, dan sejenisnya tidak bisa langgeng.
Kehadiran berbagai makanan ala pedesaan yang serba tradisional telah
menepis angapan bahwa makanan ala jajan pasar hanya makanan warga
pedesaan dan kelas bawah. Lewat ‘Malang Tempo Doeloe’ aneka ragam
makanan desa itu dihadirkan dan dikonsumsi oleh kalangan menengah ke
atas. Menghadirkan rasa ‘lalu’ dan dalam suasana tidak formal, tidak
diatur, tidak seragam, tidak dikomando, tidak ada kelas-kelas sosial
sehingga semuanya tumpkek blek dalam arena panggung hiburan adalah
gambaran jelas praktik post-modernisme.
Sebagai kota ukuran sedang, Malang tumbuh sangat cepat, baik dari
sisi demografi, pembangunan sarana dan prasarana, sekolah, dan berbagai
ruang publik untuk berbagai keperluan masyarakat. Pertokoan menjamur di
berbagai tempat. Didukung oleh udara yang segar dan beaya hidup yang
tidak begitu tinggi, Malang menjadi alternatif tempat tinggal di masa
pensiun dan tempat menyekolahkan anak. Karena itu, tidak mengherankan
jika banyak pemilik rumah mewah di Malang sehari-hari tinggal di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Batam, dan
sebagainya. Hanya pada hari-hari tertentu saja mereka menengok rumahnya.
Seiring dengan pertumbuhan kota yang demikian pesat, warga Malang
telah merasa hidup dalam suasana ‘urban’. Aneka fasilitas umum serba
modern menjadikan masyarakat merasa jenuh. Seorang kawan yang asli
Malang dan kini bermukim di luar Jawa dan lama tidak pulang sangat
terkejut dengan perubahan kota kelahirannya, tidak saja menyangkut aspek
fisik, tetapi juga perubahan udaranya yang tidak sesegar dulu.
Berkali-kali dia menyebut “Malang tidak lagi dingin seperti dulu”. Apa
yang dikatakan kawan itu tidak salah. Kita yang saat ini tinggal di
Malang merasakan udara panas. Perubahan iklim tentu disebabkan banyak
faktor, seperti terjadinya global warming, peningkatan jumlah penduduk,
berkurangnya daerah hijau, meningkatkan jumlah industri, bertambahnya
jumlah kendaraan bermotor dan sebagainya.
Di tengah-tengah suasana ‘perubahan’ itu, warga Malang ingin
‘kembali’ ke serba masa lalu, yang serba bebas dan tidak diatur. Oleh
karena itu, semakin banyak warga yang hadir dalam acara Malang Tempo
Doeloe semakin meneguhkan pemahaman bahwa masyarakat Malang sejatinya
sudah jenuh dengan kehidupan ‘urbanized’ yang wah dan modern. Penguasa
juga perlu hati-hati. Sebab, gejala post-modernisme juga berarti
masyarakat sudah tidak lagi merasa nyaman atau jenuh dengan praktik
penyelenggaraan kekuasaan yang selama ini berjalan. Semua bisa kita
saksikan bagaimana Malang Tempo Doeloe 2011 ini berlangsung. Semakin
jelas pula terlihat bagaimana praktik post-modernisme telah hadir di
Malang, kendati alam pikirannya berasal dari negeri nan jauh di Eropa.
________
Malang, 18 Mei 2011
Dijumput dari: http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/287-malang-tempo-doeloe-sebagai-fenomena-post-modernisme.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar