Mengikuti Festival Penyair Korea-ASEAN (KAPLF) II 25-29 Oktober 2011
Zaim Rofiqi
http://www.riaupos.co/
Kita akan menemukan Asia sebagai dunia sendiri.
Puisi kita bermimpi untuk menanggulangi sejarah yang penuh penguasaan dan eksploitasi.
Apa yang diharapkan kita semua adalah saling mendekat.
Mungkin seorang penyair adalah tukang jam yang pekerjaannya seperti memeriksa dan merawat bahasa.
Kho Hyeong Ryeol, Presiden The Poet Society of Asia (TPSA)
Panitia memang sengaja membiarkan (karya-karya penyair) antologi ini membuat tafsiran mereka sendiri tentang keragaman Asia itu.
Keanekaragaman kultur dan interpretasi para penyairnya terhadap kehidupan, persaudaraan, dan kreativitas. Sound of Asia itu juga dapat diterjemahkan dengan pengertian: menyuarakan Asia, menggaungkan Asia.
Dan di dalamnya suara-suara dan denyut kebudayaan Melayu sebagai bagian dari kebudayaan Asia dan dunia ikut terdengar. Gemuruh dan menjentikkan kesadaran-kesadaran tentang kehidupan rumpun bangsa yang pernah demikian jayanya di kawasan ini.
Rida K Liamsi, dalam pengantar buku Sound of Asia
BAGAIMANA jadinya jika para penyair dari berbagai negara bertemu dalam sebuah acara yang secara khusus diselenggarakan bagi para pembuat sajak ini?
Apa yang akan terjadi jika para penyair dari berbagai latar belakang budaya berinteraksi dalam sebuah festival bersama yang diadakan di suatu tempat tertentu?
Apa yang bisa diharap dari bertemunya para penyair dari bangsa-bangsa yang berbeda di sebuah wilayah tertentu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang segera bergelayut dalam pikiran ketika saya dapat email bahwa saya diundang ikut serta dalam Festival Penyair Korea-ASEAN II di Pekanbaru, Riau, 25-29 Oktober 2011.
Dalam perjalanan menuju Pekanbaru, selain keinginan untuk segera sampai ke lokasi, apa yang ada dalam benak saya adalah, saya harus dapat sesuatu (baca: pengetahuan) yang terkait dunia puisi dari pertemuan dengan para penyair dari berbagai negara ini.
Paling tidak saya harus dapat semacam gambaran besar tentang kehidupan perpuisian di negara-negara ASEAN dan Korea Selatan dari para penyair yang mewakili negara mereka.
Dan apa yang saya harapkan selama dalam perjalanan itu sedikit banyak terpenuhi.
Dalam festival ini saya bisa bertemu, misalnya, dengan Maung Day dan Maung Pyiyt Minn (keduanya penyair Myanmar), yang bercerita banyak tentang kehidupan perpuisian khususnya, dan kesusastraan pada umumnya, di negara mereka: mereka berkisah, rezim militer di negara mereka masih sangat kuat menindas para penulis; banyak buku yang dilarang dan banyak juga penulis yang dicekal; di negara mereka para penulis dilarang menulis hal-ihwal seputar politik; melanggar larangan ini berarti siap didenda, bahkan dipenjara. Sebuah kisah yang segera mengingatkan saya pada masa Orde Baru di Indonesia, di mana larangan-larangan serupa sedikit banyak juga terjadi.
Dalam perjalanan ke Candi Muara Takus di Kampar (hari ketiga festival ini, 27/10/2011), saya kebetulan satu bangku dengan penyair Ko Hyeong Ryeol (Korea Selatan). Sebelumnya saya tahu, Ko Hyeong adalah Presiden The Poets Society of Asia (TPSA).
Kesempatan itu tak saya sia-siakan. Setelah sedikit memperkenalkan diri dan basa-basi seadanya, saya mulai mengajukan pertanyaan seputar kehidupan kesusastraan (khususnya puisi) di Korea.
Dan Ko Hyeong pun mulai bercerita: pada tahun 1970-an kondisi kesusastraan di Korea tak jauh beda dengan Myanmar —otokrasi politik telah menindas banyak bidang pemikiran, tak terkecuali kesusastraan. Pada masa rezim otokrasi itu berkuasa, para penyair tak diizinkan menulis puisi dengan segala kebebasannya.
Para penyair merasa malu menghadapi situasi buruk ini. Kemudian muncul sastrawan-sastrawan yang berani mendobrak kemacetan itu: Ko-Eun, Shin Kyung-Rhim, Kim Ji-Ha, Baek Nak-Cheong, dll.
Para penyair ini mencipta puisi tidak di sanggar-sanggar atau kamar-kamar di menara gading, melainkan di alun-alun, lapangan, dan tempat-tempat publik yang terbuka lainnya.
Mereka mengumumkan pandangannya bahwa sastra tak mungkin tidak harus terkait dengan politik. Kesusastraan (khususnya puisi) berhak mengoreksi dan mengkritik politik, jika politik dianggap telah menyimpang dari tujuannya yang utama: melayani kepentingan rakyat.
Dalam kesempatan lain, pada Kamis malam dalam perjalanan untuk makan malam bersama di Rumah Makan Melayu, saya juga kebetulan satu bangku di bus bersama Do Thi Khanh Phuong (seorang penyair perempuan dari Vietnam).
Setelah berbasa-basi sekadarnya, kami pun mulai bertukar cerita tentang kehidupan sastra di Indonesia dan Vietnam. Tak seperti di Myanmar dan Korea pada 1970-an, kehidupan sastra di Vietnam relatif terbuka, dan para penyair praktis bisa menulis tentang tema apa saja yang disukainya.
Tak ketinggalan, dia juga mengemukakan pandangan-pandangan pribadinya tentang sastra, khususnya puisi: baginya puisi adalah bagian dari tubuh kita, ia adalah kebahagiaan sekaligus penderitaan kita sebagai manusia.
Puisi baginya juga merupakan salah satu alat berkomunikasi dengan ‘’ada tertinggi’’ (The Supreme Being) dan sarana mencapai ‘’keindahan’’ (Beauty).
Semua pengetahuan tambahan ini tentu sangat berharga, paling tidak sebagai latar belakang bagi saya dalam menikmati karya-karya mereka yang ada dalam ketiga buku antologi yang diberikan panitia: Malay as World Heritage on Stage, Sound of Asia; dan Becoming After Seoul.
Sayang, saya tak sempat bercakap-cakap secara intens dengan para penyair dari negara lain selain yang saya sebut di atas, dan hanya bisa menikmati dan menerka-nerka kehidupan perpuisian dan kesusastraan di negara mereka dari puisi-puisi dan esai-esai yang termuat dalam tiga buku tersebut —ketiga buku itu memuat karya-karya seluruh peserta KAPLF II: 10 penyair Korea Selatan, 2 penyair Vietnam, 2 penyair Myanmar, 3 penyair Thailand, 2 penyair Filipina, seorang penyair Brunei Darussalam dan seorang penyair Singapura, serta 20 penyair tuan rumah, Indonesia.
Namun melihat mereka membaca puisi dan esai —kadang bahkan bernyanyi— dengan bahasa, gaya, dan cara mereka masing-masing dalam tiap acara dalam KAPLF II ini tentu merupakan pengalaman yang sangat berharga dan bermanfaat yang jarang bisa didapat di tiap kesempatan.
Festival, Panitia, dan Masyarakat
Acara-acara yang harus dihadiri para peserta dalam festival ini sendiri sangat beragam dan masing-masing sangat menarik. Pada hari pertama (25/10/11), para peserta, setelah sarapan, diajak mengunjungi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) —sebuah perusahaan minyak terbesar dan tertua di Indonesia.
Di semacam ballroom atau hall perusahaan itu, dari pagi hingga tengah hari perwakilan dari CPI mempresentasikan kesungguhan mereka terhadap sastra, seni dan budaya Riau khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Acara ini diakhiri jamuan santap siang bersama di ruang pertemuan CPI di Minas.
Dari kantor CPI, para peserta kemudian diajak ke Universitas Lancang Kuning (Unilak). Acara di kampus ini diisi dengan pembacaan puisi dan esai oleh para penyair, diskusi tentang proses kreatif dalam menulis, dan diselingi aneka tarian persembahan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unilak.
Dari kampus Unilak, para peserta kembali ke Hotel Labersa untuk istirahat sejenak, dan setelah itu malam harinya acara yang harus dihadiri adalah santap malam bersama Gubernur Riau, dilanjutkan prosesi pembukaan KAPLF II 2011 yang juga diisi dengan beragam sajian pementasan baca puisi, esai, dan musik daerah Riau.
Hari kedua (26/10/11), acara yang harus diikuti cukup unik: kunjungan ke Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura, di Kabupaten Siak.
Perjalanan menuju Siak dilakukan melalui jalur air, menggunakan speedboat menyusuri arus Sungai Duku. Begitu sampai di pelabuhan, peserta disambut dengan naik beca menuju Istana Siak.
Di istana, para peserta disambut oleh Bupati Siak dan jajarannya. Mereka kemudian memperkenalkan dan menjelaskan Istana Siak beserta isi dan sejarahnya ke para peserta.
Momen yang cukup menarik adalah ketika para abdi Istana Siak menjelaskan tentang Komet: sebuah alat musik raksasa sejenis gramofon yang diputar secara manual.
Alunan musik klasik karya Beethoven, Mozart dan Bach masih bisa didengar dari alat musik ‘purba’ ini. Dari penjelasan salah seorang abdi Istana Siak, para peserta tahu bahwa alat musik ini hanya ada dua di dunia. Pertama di Indonesia, tepatnya di Istana Siak itu, sedang satunya lagi di Jerman sebagai tempat asal pembuatan alat musik tersebut.
Komet ini sendiri dibawa Sultan Siak XI (Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syarifuddin, yang bertahta 1889-1908). Komet ini dibawa ke Siak ketika Sultan melawat ke Eropa di tahun 1896. Di tubuh alat musik ini tertulis ‘’Komet Goldenberg & Zetitlin Patent 95312, buatan abad XVIII’’.
Komet ini tingginya mencapai lebih dari 3 meter dengan lebar sekitar 90 Cm. Acara di Istana Siak ini bisa dibilang cukup sukses karena para peserta, jajaran pemerintahan, abdi Istana, dan masyarakat setempat berinteraksi cukup hangat.
Malam harinya acara yang dihelat adalah Patin Night: santap malam ikan patin dilanjutkan dengan pembacaan sajak dan esai dari masing-masing peserta.
Hari ketiga (27/10/11), setelah sarapan, para peserta dijadwalkan mengunjungi situs Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar.
Acara kali ini dilaksanakan di pelataraan candi, dan diisi dengan penampilan musik tradisional Kampar, pembacaan puisi, dan diakhiri santap siang dengan menu tradisional Kampar yang disebut bajambau.
Setelah kembali ke hotel untuk istirahat sejenak, malam harinya para penyair dimanjakan dengan santap malam di Rumah Makan Melayu: berbagai sajian makanan khas Riau yang seluruhnya lezat.
Setelah santap malam, acara kemudian dilanjutkan di Anjung Seni Idrus Tintin Art Theatre. Di pelataran gedung pertunjukan yang cukup megah ini para peserta berbaur dengan masyarakat umum untuk menyaksikan pergelaran simfoni ‘’Bulang Cahaya’’ dan pembacaan puisi para penyair senior Riau yang mendukung kepanitiaan KAPLF II.
Hari keempat (28/10/11), para peserta dibawa mengunjungi Perpustakaan Soeman Hs. Acara yang diadakan di perpustakaan yang merupakan salah satu ikon kebanggaan Provinsi Riau ini adalah kolokium/diskusi panel yang terbagi dalam tiga sesi.
Masing-masing sesi diisi dengan pembacaan esai oleh 5-7 penyair, dilanjutkan dengan diskusi tema-tema dari esai-esai yang dibacakan tersebut.
Peserta kemudian makan siang di Kantor Gubernur Riau, Salat Jumat, lalu dilanjutkan dengan tur keliling Kota Pekanbaru: berkunjung ke museum, ke Taman Budaya, ke pasar tradisional Pasar Bawah, serta ke pusat kerajinan songket.
Sayang, setelah acara di Perpustakaan Soeman Hs, saya harus kembali ke Jakarta karena harus mengisi di acara Bienal Sastra Internasional Utan Kayu-Salihara 2011.
Namun saya terus mengikuti perkembangan acara di hari kelima KAPLF II (29/10/11) dengan sesekali mengontak kawan saya yang juga salah seorang peserta, Gunawan Maryanto, dan sesekali menanyakan kabar penyelenggaraan acara hari terakhir itu ke salah seorang panitia yang cukup ramah dan bersahabat.
Dari Gunawan Maryanto, salah seorang panitia, dan juga dari buku program yang dibagikan panitia saya tahu bahwa hari kelima yang juga merupakan hari terakhir KAPLF II itu diisi dengan agenda utama musyawarah penentuan tuan rumah penyelenggara KAPLF III 2012.
Selanjutnya adalah diskusi budaya Melayu: diskusi karya besar Dr Tenas Effendy, Bujang Tan Tomang dan berkunjung ke rumah salah seorang perupa Riau, Amrun Salmun.
Dari kedua sahabat itu saya juga tahu, acara di hari terakhir ini berjalan lancar meski sama padatnya dengan hari-hari sebelumnya.
Kedua sahabat saya itu bahkan sempat nyeletuk ‘’mantap’’ dan ‘’keren’’ saat melalui telepon saya tanyakan bagaimana acara di hari terakhir tersebut.
Mendengar jawaban ini, saya ikut senang dan bangga, bahkan hati kecil saya sempat berbisik: penyelenggaraan KAPLF II 2011 yang serius dan rapi ini patut jadi contoh tentang bagaimana seharusnya menyelenggarakan acara-acara sastra nasional dan internasional di daerah-daerah lain di Indonesia.
Apa yang juga harus dicatat dan patut diapresiasi tinggi selama penyelenggaraan KAPLF II ini adalah penampilan tari-tarian dan musik tradisional Riau yang disajikan hampir di tiap-tiap awal dan akhir masing-masing acara: dari sini saya jadi mengenal dan meyaksikan langsung tari lukah gilo, tari zapin, dan tari-tarian Melayu khas daerah Riau yang lain.
Secara umum, apa yang cukup menonjol dari penyelenggaraan KAPLF II 2011 di Pekanbaru, Riau ini -KAPLF I diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan, pada Desember 2010- adalah jadwal yang begitu padat: tiap hari, acara dimulai dari pukul 07.00 pagi dan berakhir sekitar pukul 23.00 atau lebih.
Semula saya mengira jadwal yang padat ini hanya ada di atas kertas, dan dalam praktiknya akan molor atau berubah-ubah seperti lazimnya acara-acara sastra di tempat lain di Indonesia. Namun dugaan saya ternyata salah besar.
Panitia lapangan yang dimotori Mbak Andi Noviriyanti, Mbak Ali Mamiya, Mbak Fifi, dan Mas Hary B Kori’un dan yang lainnya ternyata adalah orang-orang yang sangat ketat dan tepat waktu sehingga para penyair yang biasanya urakan dan slenge’an pun ‘takluk’ oleh mereka: dalam festival ini para penyair tak ubahnya para pegawai kantor yang rajin dan harus tepat waktu, tak boleh telat.
Memang, dengan jadwal yang ketat dan padat ini saya menduga masing-masing penyair peserta dapat dipastikan kelelahan, namun panitia tentu jauh lebih kelelahan karena memiliki ‘jam kerja’ yang lebih lama dibanding para peserta.
Dalam hal keketatan dan ketepat-waktuan ini, apresiasi yang tinggi patut diberikan pada seluruh panitia yang menjadikan festival ini berjalan begitu menarik dan lancar.
Bisa dikatakan, merekalah sebenarnya tulang punggung festival ini: mereka, dengan caranya sendiri, telah berperan dalam memajukan puisi Indonesia -juga dalam ‘menertibkan’ para penyair.
Setelah mengikuti berbagai acara yang demikian beragam dan memikat ini, dalam benak saya muncul semacam kekaguman pada orang-orang yang merancang, merencanakan dan menata isi acara yang begitu beragam, padat, namun seluruhnya bisa dikatakan berjalan lancar tersebut.
Ya, beberapa hari setelah saya ikut festival ini, saya masih terkesan pada orang-orang yang dengan kegigihan dan keseriusan -di tengah-tengah berbagai keterbatasan dan kendala- menggagas dan memelopori acara semacam KAPLF ini.
Dan dalam benak saya muncul nama Pak Rida K Liamsi (Direktur KAPLF II 2011), Pak Ko Hyeong Ryeol (Ketua TPSA dan pemimpin Majalah Sipyung). Terima kasih dan selamat atas festival sastra yang membanggakan ini.
Terakhir, hal yang juga sangat berkesan, dan cukup mengharukan, dari penyelenggaraan KAPLF II 2011 ini adalah apresiasi dan antusiasme masyarakat Riau yang begitu tinggi.
Dan bukan hanya masyarakat awam: bahkan para pemangku adat, perwakilan instansi pemerintah, perwakilan perusahaan swasta, abdi Istana Siak, pelajar SMP-SMU, mahasiswa, dan para pejabat publik wilayah Riau memperlihatkan apresiasi dan antusiasme yang tak dibuat-buat.
Saya masih ingat bagaimana wajah Gubernur Riau, Bupati Siak dan Wakil Bupati Kampar tercenung dan sejenak merenung mendengar para penyair dari Korea Selatan, ASEAN, dan dari Indonesia sendiri berdiri di hadapan mereka dan membacakan sajak-sajak tentang cinta, keindahan, spiritualitas, perjuangan hidup.
Mereka bahkan dengan sukarela ikut berpartisipasi membacakan sajak mereka sendiri. Pendeknya, setelah ikut KAPLF II ini ada semacam optimisme yang muncul dalam diri saya: masa depan puisi dan sastra Indonesia pada umumnya cukup cerah.***
_______________8 November 2011
Zaim Rofiqi adalah penyair, cerpenis, dan esais kelahiran Jepara (Jawa Tengah). Bekerja di Freedom Institute. Salah seorang peserta dalam Pertemuan Penyair Korea-ASEAN di Riau. Tinggal di Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar