Kamis, 09 Februari 2012

Penyair dan Institusi Jalanan

Binhad Nurrohmat*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

PENYAIR tak lahir dari rahim langit. Ia tumbuh dari bumi tempat lingkungan masyarakat dan tradisi hidup serta membentuknya. Setiap penyair niscaya merupakan produk dari suatu mata rantai historis panjang penuh lekuk kelindan sehingga biografi kepenyairan melekat pada dan (melalui penelusuran yang gigih dan tekun) bisa diuraijelaskan dari latar masyarakat dan tradisi yang melingkupinya. Lain kata, penyair tak menyembul dari kekosongan, melainkan anak kultural yang lahir dari persetubuhan dengan masyarakat dan tradisi.

Di negeri mana pun tak ada sekolah resmi untuk mencetak penyair, meski sebagian besar penyair modern Indonesia adalah manusia sekolahan yang terdidik formal secara intelektual yang di antaranya ada yang cemerlang maupun berantakan prestasi sekolah formalnya. Penyair tumbuh dan hidup di luar semua sistem sosial formal maupun informal. Tak ada organisasi yang menghimpun para penyair yang benar-benar punya kekuatan riil.

Dalam KTP tak dikenal jenis pekerjaan sebagai penyair. Penyair bekerja tanpa ijazah dan jadi sejenis profesi “ilegal”. Bisa dikatakan secara ekstrem bahwa kategori sosiologis penyair serupa gelandangan dan orang gila. Paradoksnya, penyair kerap disebut sebagai hati nurani bangsa, benteng moral kultural termurni, simbol kedalaman menghayati dunia, bahkan legislative of the world. Apakah ini basa-basi kultural belaka?

Dalam banyak kasus, penyair serupa institusi jalanan yang menanamkan pandangan atau nilai melalui pengaruh puisinya yang populer atau hidup di masyarakat yang menyuarakan pandangan atau nilai sosial-politik, religius, maupun kedalaman perasaan cinta yang mampu menjadi suara atau artikulasi kolektif masyarakat untuk mengucapkan dirinya karena puisi itu bisa mewakili perasaan dan pikiran kolektif mereka.

Penyair berada di dalam dan sekaligus di luar masyarakat dan tradisi, seperti bertukar tangkap dengan lepas. Penyair hidup dalam kubangan anomali atau ambiguitas sosial yang ganjil dan rawan. Dalam banyak kasus, penyair ditempatkan sebagai sekutu atau seteru bagi masyarakat dan tradisi. Penyair kerap diagungkan seperti suara yang mengembuskan kekudusan dan keluhuran atau dinajiskan serupa bisikan dari kegelapan sebagaimana tafsir yang menempatkan penyair sebagai kaum penempuh jalan kesesatan.

Penyair seperti tumbuh dan hidup di luar semua sistem sosial formal maupun informal itu merupakan suatu gambaran simbolik bagi eksistensinya yang cenderung di luar cengkeraman mainstream, “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”, mangkir dari kejamakan, atau “berada di atas angin”. Maka jangan heran bila penyair Indonesia berkeliling dunia berkali-kali dengan memanggul nama bangsanya namun tanpa lembaga resmi masyarakat dan negaranya yang mendukung, mengantar kepergian, maupun menyambut kepulangannya.

Secara sosial, penyair seperti makhluk abnormal sehingga masyarakat yang melahirkannya cenderung canggung menerima kehadirannya secara wajar. Di alam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, mengerahkan sepenuh tenaga dan waktu demi menulis puisi dinilai sebagai tindakan mubazir dan ahistoris. Masa keluhuran kepujanggaan sudah hilang.

Lantaran bernasib sebagai komunitas minoritas dalam kepungan keramaian dunia sosial yang serba material, penyair cenderung menjadi individu soliter dan sensitif yang lebih merasa nyaman berinteraksi dengan sesama kaumnya dan tak jarang menempuh kehidupan “ganjil” yang sulit dimengerti oleh cara pandang konvensional. Latar sosiopsikologis semacam ini turut membentuk citra sosial penyair di mata masyarakat sebagai makhluk asosial dan individualis yang membangun dunia sendiri di lorong kesunyian yang kerap romantik.

Kata orang, menulis puisi itu maksimal energi dan minimal ekonomi. Akan tetapi, meski tak ada jaminan sosial ekonominya, sosok penyair terus lahir dari masa ke masa. Walau banyak sudah bukti sejarah penyair hidupnya merana, tak sedikit yang ngotot ingin menjadi penyair. Para penyair begitu peduli dunia puisi, meski masyarakat tak menginginkannya, apalagi memesannya. Para penyair tak henti menulis puisi secara berdarah-darah, tak kenal kompromi, serta sarat perasaan sakral.
**

PENYAIR tak lahir secara murni-natural seperti semak belukar. Dalam riwayat kepenyairan modern Indonesia, muncul para “guru” yang membina para penyair. Mereka bukan pendidik berbaju batik yang memeriksa pekerjaan rumah dalam kelas, di antara mereka terjalin hubungan akrab antara pencipta dan apresiator tanpa papan tulis. Bagi para penyair, mereka menjadi “pembaca pertama yang terpercaya” yang layak diperhitungkan “mutu” apresiasinya sebelum puisi dihadirkan ke khalayak luas. Tentu, corak atau pandangan perpuisian sang guru sedikit-banyak membentuk pandangan perpuisian mereka.

Pada dekade 1970 sampai awal-awal dekade 1990-an, Saini KM setia mengapresiasi puisi penyair yang mengasah diri di rubrik “Pertemuan Kecil” HU Pikiran Rakyat Bandung. Saini KM mengawal satu generasi penyair yang menjadi sebagian jajaran depan di ruang perpuisian modern Indonesia pada dekade 1980 hingga dekade 1990-an, misalnya, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahda Imran, Cecep Syamsul Hari, Juniarso Ridwan, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan Soni Farid Maulana. Demikian juga Umbu Landu Paranggi yang mengasuh sejumlah penyair yang menempa diri di Yogyakarta pada dekade 1970 seperti Linus Suryadi A.G. dan Emha Ainun Nadjib serta sejumlah penyair yang mengolah diri di Bali pada dekade 1990-an, contohnya, Warih Wisatsana dan Raudal Tanjung Banua.

Para guru penyair itu adalah kaum volunter kebudayaan dalam perpuisian. Mereka merupakan representasi masyarakat yang ikhlas mengayomi penyair dalam belantara sosial yang apatis pada eksistensi puisi dan kepenyairan. Setidaknya mereka memberi dasar moral, motivasi, kepercayaan diri, atau spirit kepada para penyair sehingga berdaya dan tabah menghadapi kerasnya dunia. Kelak, dalam perkembangannya, anak-anak sang guru itu menempuh jalan kepenyairannya sendiri, keluar dari pandangan perpuisian sang guru atau mengembangkannya sebagai sebuah pijakan perpuisiannya.
**

PENYAIR tak bisa sepenuhnya dicetak oleh masyarakat atau murni membentuk dirinya sendiri. Sesungguhnya penyair dilahirkan dan sekaligus melahirkan dirinya sendiri. Masyarakat, tradisi, dan para guru itu kemudian menjadi sebuah latar di belakang para penyair yang meski jauh tak bisa diceraikannya sama sekali atau malah sebaliknya.

Sejauh apa pun penyair mengelana tetap berada di bumi yang sama, yaitu dunia yang dihuni dan dihidupi oleh nilai kolektif masyarakatnya dan diregulasi oleh kekuasaan bernama negara. Apa yang tersemat dalam puisi merupakan produk dari pergumulan penyair dengan dunia yang melingkupinya dan pendar puisi berakar dari api pergumulan itu, untuk mengamini atau menyubversinya, bukan sebagai ketaklukan atau makar, melainkan upaya menjaga “kemurnian” suara individu di tengah serbuan injeksi maupun represi nilai yang secara kolektif cenderung tak disadari sepenuhnya. Sikap inilah yang memungkinkan penyair menyerap suara zaman yang kerap dibungkam tangan kepentingan dominasi atau hegemoni nilai masyarakat atau negara yang mengaramkan kesadaran secara massif.

Sikap penyair berjarak dengan dunia merupakan sebatas etos yang membuatnya dalam posisi bisa memandang dunia lebih jernih dan substil, sebab sesungguhnya penyair berada di dalam dunia dan mustahil hengkang darinya. Sebagai institusi jalanan, penyair berupaya menjaga suaranya tak bertekuk lutut menghadapi kuasa nilai yang dibentuk oleh institusi masyarakat dan negara yang cenderung beku namun kerap memaksa, penyair sebagai institusi jalanan bukanlah personifikasi yang menjadi ruang pelarian penyair lantaran tergusur oleh nilai yang lain.

Hakikinya, penyair tak bisa menjadi Malin Kundang sepenuhnya terhadap semua itu, melainkan sebatas menjaga jarak atau bertarik-ulur dengan dunia yang melingkupinya yang bersemayam dan menggeliat di dalam dan di luar dirinya, seperti sepasang kekasih yang kadang bertengkar hebat dan kadang pula berpelukan mesra.

Sejumlah mitos kepenyairan yang masih hidup dalam benak masyarakat merupakan refleksi keberakaran historis puisi dan penyair dalam kehidupan mereka. Betapa banyak pejuang kehilangan nyawa pada masa Perang Kemerdekaan terlupakan, tetapi “Si Binatang Jalang” Chairil Anwar terus hidup dalam kepala banyak orang lantaran kepenyairan dan bait puisi “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Ya, guratan puisi bisa terus berdaya setara tindakan pahlawan besar yang tak lekang dalam kenangan banyak orang, bahkan hingga jauh setelah tubuh penyair musnah ditelan tanah permakaman umum…. ***

*) Penyair dan esais.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito