Binhad Nurrohmat*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
PENYAIR tak lahir dari rahim langit. Ia tumbuh dari bumi tempat lingkungan masyarakat dan tradisi hidup serta membentuknya. Setiap penyair niscaya merupakan produk dari suatu mata rantai historis panjang penuh lekuk kelindan sehingga biografi kepenyairan melekat pada dan (melalui penelusuran yang gigih dan tekun) bisa diuraijelaskan dari latar masyarakat dan tradisi yang melingkupinya. Lain kata, penyair tak menyembul dari kekosongan, melainkan anak kultural yang lahir dari persetubuhan dengan masyarakat dan tradisi.
Di negeri mana pun tak ada sekolah resmi untuk mencetak penyair, meski sebagian besar penyair modern Indonesia adalah manusia sekolahan yang terdidik formal secara intelektual yang di antaranya ada yang cemerlang maupun berantakan prestasi sekolah formalnya. Penyair tumbuh dan hidup di luar semua sistem sosial formal maupun informal. Tak ada organisasi yang menghimpun para penyair yang benar-benar punya kekuatan riil.
Dalam KTP tak dikenal jenis pekerjaan sebagai penyair. Penyair bekerja tanpa ijazah dan jadi sejenis profesi “ilegal”. Bisa dikatakan secara ekstrem bahwa kategori sosiologis penyair serupa gelandangan dan orang gila. Paradoksnya, penyair kerap disebut sebagai hati nurani bangsa, benteng moral kultural termurni, simbol kedalaman menghayati dunia, bahkan legislative of the world. Apakah ini basa-basi kultural belaka?
Dalam banyak kasus, penyair serupa institusi jalanan yang menanamkan pandangan atau nilai melalui pengaruh puisinya yang populer atau hidup di masyarakat yang menyuarakan pandangan atau nilai sosial-politik, religius, maupun kedalaman perasaan cinta yang mampu menjadi suara atau artikulasi kolektif masyarakat untuk mengucapkan dirinya karena puisi itu bisa mewakili perasaan dan pikiran kolektif mereka.
Penyair berada di dalam dan sekaligus di luar masyarakat dan tradisi, seperti bertukar tangkap dengan lepas. Penyair hidup dalam kubangan anomali atau ambiguitas sosial yang ganjil dan rawan. Dalam banyak kasus, penyair ditempatkan sebagai sekutu atau seteru bagi masyarakat dan tradisi. Penyair kerap diagungkan seperti suara yang mengembuskan kekudusan dan keluhuran atau dinajiskan serupa bisikan dari kegelapan sebagaimana tafsir yang menempatkan penyair sebagai kaum penempuh jalan kesesatan.
Penyair seperti tumbuh dan hidup di luar semua sistem sosial formal maupun informal itu merupakan suatu gambaran simbolik bagi eksistensinya yang cenderung di luar cengkeraman mainstream, “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”, mangkir dari kejamakan, atau “berada di atas angin”. Maka jangan heran bila penyair Indonesia berkeliling dunia berkali-kali dengan memanggul nama bangsanya namun tanpa lembaga resmi masyarakat dan negaranya yang mendukung, mengantar kepergian, maupun menyambut kepulangannya.
Secara sosial, penyair seperti makhluk abnormal sehingga masyarakat yang melahirkannya cenderung canggung menerima kehadirannya secara wajar. Di alam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, mengerahkan sepenuh tenaga dan waktu demi menulis puisi dinilai sebagai tindakan mubazir dan ahistoris. Masa keluhuran kepujanggaan sudah hilang.
Lantaran bernasib sebagai komunitas minoritas dalam kepungan keramaian dunia sosial yang serba material, penyair cenderung menjadi individu soliter dan sensitif yang lebih merasa nyaman berinteraksi dengan sesama kaumnya dan tak jarang menempuh kehidupan “ganjil” yang sulit dimengerti oleh cara pandang konvensional. Latar sosiopsikologis semacam ini turut membentuk citra sosial penyair di mata masyarakat sebagai makhluk asosial dan individualis yang membangun dunia sendiri di lorong kesunyian yang kerap romantik.
Kata orang, menulis puisi itu maksimal energi dan minimal ekonomi. Akan tetapi, meski tak ada jaminan sosial ekonominya, sosok penyair terus lahir dari masa ke masa. Walau banyak sudah bukti sejarah penyair hidupnya merana, tak sedikit yang ngotot ingin menjadi penyair. Para penyair begitu peduli dunia puisi, meski masyarakat tak menginginkannya, apalagi memesannya. Para penyair tak henti menulis puisi secara berdarah-darah, tak kenal kompromi, serta sarat perasaan sakral.
**
PENYAIR tak lahir secara murni-natural seperti semak belukar. Dalam riwayat kepenyairan modern Indonesia, muncul para “guru” yang membina para penyair. Mereka bukan pendidik berbaju batik yang memeriksa pekerjaan rumah dalam kelas, di antara mereka terjalin hubungan akrab antara pencipta dan apresiator tanpa papan tulis. Bagi para penyair, mereka menjadi “pembaca pertama yang terpercaya” yang layak diperhitungkan “mutu” apresiasinya sebelum puisi dihadirkan ke khalayak luas. Tentu, corak atau pandangan perpuisian sang guru sedikit-banyak membentuk pandangan perpuisian mereka.
Pada dekade 1970 sampai awal-awal dekade 1990-an, Saini KM setia mengapresiasi puisi penyair yang mengasah diri di rubrik “Pertemuan Kecil” HU Pikiran Rakyat Bandung. Saini KM mengawal satu generasi penyair yang menjadi sebagian jajaran depan di ruang perpuisian modern Indonesia pada dekade 1980 hingga dekade 1990-an, misalnya, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahda Imran, Cecep Syamsul Hari, Juniarso Ridwan, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan Soni Farid Maulana. Demikian juga Umbu Landu Paranggi yang mengasuh sejumlah penyair yang menempa diri di Yogyakarta pada dekade 1970 seperti Linus Suryadi A.G. dan Emha Ainun Nadjib serta sejumlah penyair yang mengolah diri di Bali pada dekade 1990-an, contohnya, Warih Wisatsana dan Raudal Tanjung Banua.
Para guru penyair itu adalah kaum volunter kebudayaan dalam perpuisian. Mereka merupakan representasi masyarakat yang ikhlas mengayomi penyair dalam belantara sosial yang apatis pada eksistensi puisi dan kepenyairan. Setidaknya mereka memberi dasar moral, motivasi, kepercayaan diri, atau spirit kepada para penyair sehingga berdaya dan tabah menghadapi kerasnya dunia. Kelak, dalam perkembangannya, anak-anak sang guru itu menempuh jalan kepenyairannya sendiri, keluar dari pandangan perpuisian sang guru atau mengembangkannya sebagai sebuah pijakan perpuisiannya.
**
PENYAIR tak bisa sepenuhnya dicetak oleh masyarakat atau murni membentuk dirinya sendiri. Sesungguhnya penyair dilahirkan dan sekaligus melahirkan dirinya sendiri. Masyarakat, tradisi, dan para guru itu kemudian menjadi sebuah latar di belakang para penyair yang meski jauh tak bisa diceraikannya sama sekali atau malah sebaliknya.
Sejauh apa pun penyair mengelana tetap berada di bumi yang sama, yaitu dunia yang dihuni dan dihidupi oleh nilai kolektif masyarakatnya dan diregulasi oleh kekuasaan bernama negara. Apa yang tersemat dalam puisi merupakan produk dari pergumulan penyair dengan dunia yang melingkupinya dan pendar puisi berakar dari api pergumulan itu, untuk mengamini atau menyubversinya, bukan sebagai ketaklukan atau makar, melainkan upaya menjaga “kemurnian” suara individu di tengah serbuan injeksi maupun represi nilai yang secara kolektif cenderung tak disadari sepenuhnya. Sikap inilah yang memungkinkan penyair menyerap suara zaman yang kerap dibungkam tangan kepentingan dominasi atau hegemoni nilai masyarakat atau negara yang mengaramkan kesadaran secara massif.
Sikap penyair berjarak dengan dunia merupakan sebatas etos yang membuatnya dalam posisi bisa memandang dunia lebih jernih dan substil, sebab sesungguhnya penyair berada di dalam dunia dan mustahil hengkang darinya. Sebagai institusi jalanan, penyair berupaya menjaga suaranya tak bertekuk lutut menghadapi kuasa nilai yang dibentuk oleh institusi masyarakat dan negara yang cenderung beku namun kerap memaksa, penyair sebagai institusi jalanan bukanlah personifikasi yang menjadi ruang pelarian penyair lantaran tergusur oleh nilai yang lain.
Hakikinya, penyair tak bisa menjadi Malin Kundang sepenuhnya terhadap semua itu, melainkan sebatas menjaga jarak atau bertarik-ulur dengan dunia yang melingkupinya yang bersemayam dan menggeliat di dalam dan di luar dirinya, seperti sepasang kekasih yang kadang bertengkar hebat dan kadang pula berpelukan mesra.
Sejumlah mitos kepenyairan yang masih hidup dalam benak masyarakat merupakan refleksi keberakaran historis puisi dan penyair dalam kehidupan mereka. Betapa banyak pejuang kehilangan nyawa pada masa Perang Kemerdekaan terlupakan, tetapi “Si Binatang Jalang” Chairil Anwar terus hidup dalam kepala banyak orang lantaran kepenyairan dan bait puisi “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Ya, guratan puisi bisa terus berdaya setara tindakan pahlawan besar yang tak lekang dalam kenangan banyak orang, bahkan hingga jauh setelah tubuh penyair musnah ditelan tanah permakaman umum…. ***
*) Penyair dan esais.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar