Rabu, 07 Desember 2011

Perburuan dan Kelincahan Metodis

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

Selalu tidak ada titik temu dalam polemik sastra. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat sastra yang menghendaki bahwa karya sastra adalah media komunikasi, sekaligus estetika. Di seberang sisi yang lain sangat berbeda. Karya sastra hendaknya dibebaskan dari beban-beban komunikatif tersebut. Karena itu, sastra adalah estetika. Sastra tiada lain hanyalah seni.

Golongan yang pertama, mewakili golongan modern yang mempertahankan nilai fungsional sastra. Sedangkan golongan yang kedua, adalah para sastrawan pascamodern yang menghendaki kebebasan penafsiran atas teks sastra, secara terus-menerus tanpa henti, sesuai dengan selera pembacanya.

Sekilas, golongan pertama adalah moralis. Sastra memang digunakan sebagai strategi moral dan kepentingan sosial. Hal ini dapat ditemui di mana saja, misalnya tatkala teks sastra, menuliskan penderitaan orang-orang kecil dan tertindas, pemihakan sosial, kritik sosial, ungkapan religius kebudayaan tertentu dan lain sebagainya.

Pada golongan pascamodern, awalnya ingin memberikan kritik yang konstruktif bagi pemikiran modern. Jika sastra itu fungsional dan komunikatif, memang menjadi hal yang menggembirakan saat sastra digunakan sebagai alat untuk ibadah atau berbuat baik. Dari sini, tentu saja ada celah-celah yang mudah dibelokkan. Sastra bisa jadi, dimanfaatkan untuk hal-hal yang kurang baik, tercela dan merugikan orang lain.

Sastra yang bermanfaat ini, baik itu manfaat yang benar maupun sebaliknya, selalu bermakna atas apa yang dikehendaki penciptanya. Di samping itu, bermakna pula atas keinginan pembacanya. Bagi pembaca, jelas, adalah mereka yang punya kepentingan yang sama dengan penciptanya. Secara lebih sederhana, sastra modern, adalah untuk kepentingan moral tertentu. Makna, selalu mengikuti tuan pengendali kepentingan.

Dengan bahasa yang lugas, sastra modern disebut pula sastra moral atau sastra kepentingan. Lazim diketahui bahwa, setiap moral atau kepentingan adalah kekuasaan yang dijalankan untuk tujuan tertentu. Di sinilah pemikir pascamodern memberikan kritik atas kekuasaan, agar setiap kuasa tertentu, tidak terlampau berlebihan dalam melampiaskan hasratnya.

Dalam memberikan kritik, sastrawan pascamodern tentu saja tidak menggunakan metode yang sama seperti yang dijalankan sastrawan modern. Dialektika modern atau saling beradu argumen dan bertukar pikiran atas makna-makna, sangat beresiko pada debat kusir yang tidak berujung. Tetapi yang paling penting, mengikuti arus jalannya sastra modern, maka akan selalu tidak mandiri dan tidak pula dapat lepas dari tuntunan moral yang agung.

Jalan alternatif yang ditempuh adalah keluar dari dialektika modern dan beralih pada metode yang sama sekali berbeda. Barangkali, secara lebih terus terang, bahwa jalan yang ditempuh adalah bukan jalan dalam kungkungan moral. Dengan kata lain, bukanlah jalan yang didikte oleh kekuasaan.

Metode pascamodern menghendaki bahwa sastra hendaknya terlepas dari beban-beban komunikatif dan fungsional. Kebebasan itu berarti adalah kemandirian teks sastra. Konsekuensinya, bisa saja bahwa teks itu bukanlah bahasa formal maupun informal dalam komunikasi massa, tetapi hanyalah tenunan huruf. Beruntung pula tenunan itu dapat dibunyikan secara oral, jika terajut huruf-huruf vokal. Di sini, justru makna sangatlah penting. Makna akan berdiri bebas, mengikuti kehendak-kehendak pembaca, tanpa melulu didikte oleh kuasa apapun.

Secara umum, pemikiran pascamodern, menolak setiap kekuasaan mutlak. Tentu bukanlah hal yang sungguh-sungguh mutlak di dalam dirinya sendiri. Misalnya saja Tuhan. Tuhan berbeda dengan sesuatu tentang Tuhan: ketuhanan. Maka, kebenaran mutlak, yang hendak ditantang dan diserang pemikiran pascamodern, bukanlah yang benar-benar mutlak. Namun, nampak mutlak. Manusialah yang bisa menentukan adanya yang “nampak” mutlak, kendati dengan istilah benar-benar mutlak.

Demikianlah, yang ditentang oleh pemikiran pascamodern adalah kebenaran yang “seolah” tunggal, yang seringkali ditampilkan oleh pemikiran modern. Sesungguhnya sekali lagi, bukan ketunggalan itu yang coba dipersoalkan. Namun, arogansi manusia-manusia yang merasa dirinya sendirilah yang paling benar. Kebenaran dalam hal ini, bisa berarti makna, pikiran, rasionalitas, moral, pengetahuan dan segala dimensi etis.

Kebebasan dan ketiadaan moral yang dimiliki manusia pascamodern, bukanlah berarti bahwa manusia kehilangan pijakan. Tidak demikian. Pijakan tetaplah ada, kebaikan tetaplah diapresiasi dan kebenaran tetaplah diinginkan. Kendati demikian, semua itu tidak tunggal ataupun selesai, final. Tetapi, terus-menerus memperbaharui segala maknanya, tanpa batas dan akhir, sepanjang manusia itu hidup.

Terlalu beresiko, menyebutnya “ketidakmungkinan” maupun kebalikannya, “keabadian”. Ketidakmungkinan dan keabadian adalah masa yang belum tertempuh. Manusia yang hidup sekarang, kekinian dan kedisinian, hanyalah mengangankan, mengimajinasikan, berkarya akan masa depan tersebut. Dari sini, teranglah bahwa, ketidakmungkinan, kekosongan dan makna yang tidak pernah selesai, sesungguhnya adalah apa yang belum dijumpai.

Menyoal hal ini melalui cara pandang filsafat, akan ditemui istilah relativisme, bahkan nihilisme. Relativisme atau makna bagi setiap pembaca adalah relatif, bisa dimengerti dengan mudah. Namun, kerelativan itu sendiri, tidak seliar yang dibayangkan. Betapapun manusia itu memaklumi relativitas pemaknaan, tatkala memberi makna atas teks sastra, maka berhentilah pembaca atau penikmat sastra dalam “satu” persinggahan kekinian. Begitu juga dengan nihilisme, ketidakadaan kebenaran, hanyalah ilusi. Sejajar dengan persoalan kebenaran tunggal itu sendiri. Klaim nihilisme dan kebenaran tunggal, adalah dua hal yang berada di luar pemikiran kekinian. Termasuk pula, jika saat ini seorang pembaca sastra mengimani nihilisme, maka sesungguhnya itulah suatu terjemah akan karya sastra, suatu iman nihilisme sebagai kebenaran tunggal saat itu juga, kekinian.

Namun, kalaupun relativisme dan nihilisme itu ada, atau sederajat dengan kebenaran tunggal yang sejati itu ada, tidaklah bisa manusia berkomentar atau memberi catatan kritis atasnya, terlebih mengkomunikasikannya.

Mengatakan kebenaran itu tidak ada (nihilisme), berarti telah mengatakan satu kebenaran. Begitu pula, mengatakan bahwa sesuatu itu benar sejati, maka hilanglah kesejatiannya karena sifat manusia yang alpa. Tidak jauh berbeda, bahkan lebih ironis jika mengkomunikasikan keduanya, berarti telah memanfaatkan untuk kepentingan atau moralitasnya.

Pemikiran sastra pascamodern, khususnya yang menghendaki kebebasan mutlak atas makna dan mengkritik dimensi fungsional-komunikatif dari teks sastra, “seperti” memiliki sayap yang ingin terbang bebas dengan sejati. Hal itu, tidak sepenuhnya benar. Realitasnya, mereka hanya memiliki kelincahan metodis dan kecerdikan dalam berpolemik pemikiran sastra.

Kelincahan metodis adalah persoalan mudah. Jelas, dengan kehendak untuk menetralisir segala petunjuk moral sebagai perwujudan kuasa dalam proses pemaknaan teks sastra, akan mempersilahkan setiap pembaca untuk melewati tahapan berikutnya, yaitu tafsir yang dikehendaki atau yang disukai, “secara bebas”. Kembalilah tahapan pascamodern, pada pemaknaan yang serupa pada metode sastra modern. Kendati demikian, hal ini tetaplah berbeda satu sama lain. Metode sastra modern terlihat mantap dengan keyakinan, sedang pascamodern, tidak terlalu penting menyoal keyakinan, yang terpenting adalah kebebasan pemaknaan.

Memberikan kritik pada pemikiran pascamodern, bisa saja dengan pemikiran modern, maupun dengan kelincahan metodis yang serupa. Bagi kritik yang pertama, berarti memberikan kritik dengan moral-moral atau dengan kekuasaan kehendak pengkritik. Memburu celah-celah pemikiran pascamodern yang cela dengan metode pascamodern, punya geliat yang sama dengan kehendak modern, kendati perbedaannya bahwa hal ini lebih pada kegiatan menafsirkan ulang tanpa selesai dan selalu menggapai makna kebaruan.

Apapun itu, segala yang tergolong sebagai pembacaan ulang, kritik atau penafsiran tertentu, adalah operasi penindakan terhadap obyek tertentu. Singkat kata, kritik seutuhnya adalah modus operandi penguasaan. Kritik adalah perburuan.

Sebagai perburuan, entah apa yang diburu, baik pemikiran modern maupun pascamodern, baik menggunakan senjata tradisional maupun dengan yang lebih canggih, senantiasa menginginkan agar hasrat berburunya terpenuhi.

Cara berburu ini akan lebih kentara di permukaan, jika menunjukkan bahwa obyek buruannya memiliki kekuasaan, kehendak, niat, hasrat tertentu, maka setiap pemburu punya hal yang serupa untuk menyerang binatang buruannya (teks sastra). Persoalan perburuan, adalah persoalan pertarungan, tarik-menarik kehendak dan dalam bahasa yang lebih terus terang adalah kompetisi, kontestasi, rivalitas dan lain sebagainya. Tapi tetap, dalam bahasa sastra sehari-hari, perburuan atau kritik, adalah suatu upaya penafsiran.

Berikut ini, akan dijelaskan soal polemik sastra yang ada di Indonesia. Secara spesifik bahwa, yang hendak dikritik adalah pemikiran pascamodern, yang diwakili oleh Sutardji Calzoum Bachri (Sastrawan Indonesia) yang didukung oleh Ignas Kleden (Kritikus Sastra), khususnya dalam esai yang berjudul, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007). Pemikiran yang punya kelincahan metodis ini, hendak diburu oleh penafsir lainnya, yang juga memiliki kehendak pemaknaan terhadap sastra, khususnya oleh Nurel Javissyarqi, sastrawan dan kritikus yang bergaya Surealis dan eksentris.

Perburuan Nurel ini, telah ditulis secara sistematis di dalam esai bersambungnya yang berjudul “Membaca ‘Kedangkalan’ Logika Dr. Ignas Kleden?”. Pada bagian pertama dan kedua esainya, akan diuraikan dalam diskusi berikut ini.

***
Segala sastra adalah metafora. Berarti, setiap pencipta seni, akan melepaskan karyanya untuk hidup sendiri secara mandiri. Dengan kata lain, seperti melepaskan burung dan membiarkannya hinggap dengan sesuka hatinya.

Sastra, barangkali akan sangat mudah dipahami orang, pembaca atau penikmatnya. Namun adakalanya sebaliknya. Sastra, menuruti sifatnya untuk menyembunyikan makna, sehingga sangat sulit dan beragam pemaknaan atasnya.

Seorang sastrawan terkemuka, Sutardji Calzoum Bachri misalnya, memiliki ciri khas tatkala menuliskan puisi-puisinya. Kadangkala bagian awalnya hanya berupa tenunan huruf-huruf yang tidak selesai sehingga layak dimengerti sebagai kata. Rasa-rasanya sepintas, kalau dibacakan seperti membunyikan sesuatu. Mungkin tidak bermakna atau sulit sekali menemukan maknanya secara sederhana, tetapi berasa sesuatu, yang mana dapat dinikmati baik oleh pelantun maupun pendengarnya, sesuai dengan selera masing-masing.

Itulah, tidak heran jika Sutardji dalam bukunya yang berjudul Isyarat (2007: 10), menjelaskan bahwa puisinya adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan serta kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata. Dengan kekhasan ini, masyhur ciptaannya menyandang gelar “mantra”.

Dalam bidang studi antropologi, “mantra” itu sangatlah unik dan fungsional. Orang membaca mantra, biasanya punya kehendak agar orang lain mengikuti kehendaknya tersebut, hanya dengan mendengarkan lantunan-lantunan yang menuntun batin. Entah energi, entah keajaiban, yang jelas, tanpa penjelasan secara rasional, mantra seringkali bekerja secara ampuh, menuruti kehendak tuannya. Mantra di sini, sejenis kata-kata, namun bukan bahasa, karena tidak memiliki makna yang lazim dipahami secara komunikatif. Itulah keunikan mantra.

Tentu saja berbeda, antara mantra sebagai tradisi masyarakat adat, dengan mantra dalam khazanah sastra, khususnya mantra Sutardji. Kendatipun memiliki kesamaan, baik itu dalam dimensi kesakralan, religiusitas, magis, mistis dan estetika, dari segi kelahirannya, kedua jenis mantra tersebut memiliki ibu, rahim, ruang, waktu dan falsafah yang berbeda.

Para penikmat sastra, bisa saja larut dalam keheningan dan terbawa dalam suasana ruhaniah, tatkala puisi mantra Sutardji dibacakan. Namun hal ini, tidak berlaku bagi masing-masing masyarakat adat yang memiliki tradisi mantra, bahkan kelahiran tradisi tersebut jauh sebelum zaman-zaman perkembangan sastra Indonesia menjadi marak.

Seorang gadis adat Osing dari Banyuwangi, akan jatuh cinta secara tergila-gila, karena batinnya telah tertuntun oleh mantra pengasihan Jaran Goyang, yang dibacakan oleh seorang pria yang menginginkannya. Gejala-gejala magis dari mantra Osing, sangat berbeda dengan mantra Sutardji yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat berpendidikan.

Namun, ada sisi menarik dalam mantra Sutardji. Jika padamulanya bahasa, selalu berfungsi sebagai alat komunikasi, kini tidak lagi demikian. Karena, seperti dijelaskan sebelumnya, kata, tidak selalu sebagai bahasa. Kata yang bukan bahasa.

Kata itulah burung yang terbang bebas. Sedangkan puisi, lebih luas lagi dari itu. Bagaikan langit, puisi menjadi ruang bagi burung-burung yang terbang tinggi, menari dan pergi sekehendak hati.

Dari sini jelaslah bahwa, puisi atau teks sastra bagi Sutardji, karena bukan dalam kategori bahasa, bukan berarti tidak bisa dikomunikasikan. Namun, cara komunikasi, baik itu makna maupun bunyinya, diberikan seutuhnya bagi pembaca secara bebas, tanpa batas secara terus-menerus.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) membenarkan pendapat ini. Ia mengungkapkan bahwa, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

“Puisi sebagai alibi kata-kata” itulah kata yang paling pas untuk membayangkan teks sastra gaya Sutardji. Dengan puisi, pembaca bisa lari dari makna yang hendak dipatenkan, sekehendaknya. Dengan puisi, yang paling pasti adalah ketidakpastian yang liar. Inilah yang dimaksud dengan kelincahan metodis. Selalu menemukan jalan untuk kabur dan pergi ke sana ke mari sesuka hati. Sebenarnya, inilah deklarasi kebebasan Sutardji. Semacam kredo yang sedang dirayakan.

Dalam kesempatan lain, Sutardji menyampaikan bahwa, “Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”

Sekali waktu, Ignas Kleden dalam Pidato Kebudayaan Pekan Presiden Penyair (19 Juli 2007) sangat berharap agar kredo Sutardji tersebut akan diwujudkan.

Dari sini, mulailah pelbagai kritik dilancarkan oleh Nurel. Bukan pada Sutardji, namun pada penafsirnya, yaitu Ignas Kleden. Jelas dalam uraian esainya, baik itu bagian pertama maupun kedua, belumlah secara terus terang memberi kritik pada teks sastra Sutardji. Kritikus surealis ini hanya menjelaskan bahwa, logika yang dipakai Ignas Kleden untuk menjelaskan kelincahan metodis Sutardji, belumlah tepat.

Misalnya dalam dukungan Kleden akan Sutardji, diungkapkan bahwa kelincahan metodis, serupa dengan penerobosan makna, jenis, bentuk kata dan tata bahasa. Hal itu dinilai sebagai dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, karena memberi peluang bagi pelbagai gaya baru yang lebih otentik melalui karya sastra. Jadi di sini, bukan sekedar teks sastra yang mengalami pembebasan, namun juga metodologi dan filsafat sebagai dasar pijaknya.

Dalam memberikan kritik, Nurel mendiagnosa bahwa Kleden menafsirkan kata “pembebasan” dengan “penerobosan”. Pilihan kata “menerobos” sangat beresiko untuk mendapati arti yang dirasa tepat dengan maksud kelincahan metodis Sutardjian. Menerobos barangkali, lebih tendensius dan memanggul cita rasa resentimen terhadap lawan. Sedangkan pembebasan tentu saja, kendatipun berkehendak untuk melawan, kata ini mengandung unsur moral kebaikan.

Menurut Nurel, menerjemahkan kata “membebaskan” dengan “menerobos” berarti membelokkan maknanya. Jelas sah, bagi seorang penafsir, siapapun, untuk menafsirkan suatu kata tertentu. Tapi satu penafsiran, jika ditafsir ulang, maka tidak akan luput dari kritik.

Kalau konsekuen dengan kebebasan dan pembebasan penafsiran, maka dekonstruksi Sutardjian oleh Kleden, akan lebih mengarah kepada upaya yang destruktif, sekedar merusak atau menghancurkan, tanpa menata kembali. Namun, sebagai suatu jalinan kata yang utuh (kalimat), Kleden bisa saja membela bahwa, maksud dari menerobos telah dijelaskan oleh kata berikutnya, yaitu untuk, “...melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.”

Dalam esainya, Nurel mencoba menjelaskan, “Kata ‘menerobos’ yang diulang-ulang, tak lebih bentuk usaha keras IK dalam mengaburkan pemahaman, membuat buyar pelahan-lahan atas tatanan konsep SCB, disesuaikan pola IK dalam pijakannya berfikir kali itu, dan upaya menekankan, meyakinkan pembaca bahwa kata ‘(mem)bebaskan’ sama dengan ‘menerobos’. Ini awal pembelokan manis teruntuk pembaca sastra yang sungguh menghipnosis, kalau yang bilang bukan IK, tentu ada tuntutan, tetapi karena yang berkata-kata Dr. Ignas Kleden, siapa berani?”

Di sinilah yang dimaksud dengan penafsiran ulang atas tafsir tertentu. Padamulanya, Kleden mentransformasi kata “membebaskan” menjadi “menerobos”. Ini adalah tenunan baru dari sebelas tenunan huruf-huruf m-e-m-b-e-b-a-s-k-an menjadi sembilan tenunan huruf-huruf: m-e-n-e-r-o-b-o-s. Lalu prosesnya, Nurel mengudarnya menjadi banyak tenunan huruf, dan jalinan kata yang lain pula. Misalnya, “’Menerobos’, masihlah fokus dengan jalan pintas seperti sorot cahaya, sedangkan kata ‘(mem)bebas(kan)’ bermakna membuyarkannya.

Makna menerobos menurut Nurel, seperti halnya makna tunggal tertentu yang secara spesifik, memiliki kebenaran yang erat dengan penulisnya. Sangat berbeda dengan kata membebaskan, yang bermakna “membuyarkan” sesuatu. Kata membuyarkan, jika dikehendaki, bermakna pula sebagai diseminasi atau penyebaran teks, dengan demikian, juga penyebaran jaringan jejak teks (gramma) ke teks yang baru, yang tidak tunggal, namun berlaku “bebas” sesuai kehendak penafsir.

Dalam persoalan ini, penulis memaklumi penjelasan Kleden soal “menerobos” dan tafsiran Nurel soal “keberatan terhadap kata menerobos”. Menurut kacamata sastra pascamodern, terjadi dialektika intertekstualitas. Tapi secara jujur, pastilah itu semua adalah tarik-menarik kehendak antara Kleden yang selesai menuliskan karyanya, lalu diburu untuk dikritik oleh Nurel yang kurang sependapat dengannya. Dengan demikian, bukan melulu intertekstual, tetapi intersubyektif. Apalagi jelas-jelas dalam komentar Nurel disebutkan bahwa, “Siapa berani?”

Hal ini tidak selesai. Seperti dijelaskan di muka, aktivitas tafsir-menafsir, tidak akan pernah selesai. Selalu menemui makna baru yang dikehendaki secara terus-menerus. Reproduksi teks dalam ketidakpastian yang paling pasti.

Mungkin kata “kebebasan” sangat cocok untuk diselidiki lebih jauh. Pertimbangannya adalah karena polivokalitas yang dimiliki, juga sifat interpretatif dari pembacaan terhadapnya. Nurel mengungkapkan bahwa, “Kelicinan IK tidak menampakkan kata ‘kredo’ pada paragraf awalnya, padahal secara ruhaniah makna merujuk padanya, yang terbukti munculnya kalimat ‘memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi’.”

Seluruhnya adalah teks. Bagi penulis, untuk menunjukkan tafsir baru, berarti mereproduksi teks. Namun mengurai metode, berarti menunjukkan bagaimana cara kerja filsafat penulisan teks berlaku. Di sini, Sutardjian menghendaki pembebasan makna. Demikian pula dengan kedua kritikus, baik itu Kleden maupun Nurel. Kemungkinan bagi konstruksi baru adalah teks baru yang berasal dari reproduksi. Begitu pula dengan catatan Nurel, bahwa tantangan kritis terhadap Kleden adalah teks baru yang juga dari hasil reproduksi. Tentu saja, dapat disimpulkan bahwa inti dari kebebasan adalah reproduksi teks yang sekali lagi, terus-menerus dan tidak selesai.

Misalnya saja, Kleden menyatakan, “...dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik...” Tentu saja jika dekonstruksi berlaku, maka barangkali kungkungan gramatika bahasa Indonesia yang menjerat akan terbebaskan dan teks otentik baru akan tercipta. Namun, bagi dunia pascamodern, bukankah hal ini adalah biasa saja? Apa yang hendak didekonstruksi? Tidak ada. Sekiranya mendekonstruksi jejaring teks, maka jejaring baru adalah pengulangan yang lama. Seandainya makna yang didekonstruksi, maka makna barulah yang akan menggantikan kekuasaan makna lama.

Sama halnya dengan Nurel, apa yang hendak dikritik? Makna? Jejaring teks? Kekuasaan Sutardji? Kebesaran citra Kleden? Bukankah itu hal yang biasa? Demikianlah, perburuan-perburuan serupa dialektika modern atau pascamodern yang tidak terlalu rumit, bahkan biasa saja. Teks hanyalah teks. Subyek adalah subyek. Dialektika kehendak, sebenarnya tidak pernah ada. Kehendak untuk saling berkuasalah yang sedang beroperasi. Hubungan antar kehendak, dalam jejaring interpretasi, lazim disebut dengan intersubyektivitas.

Mana yang lebih baik dalam berkomentar atau upaya kritisisme, bukanlah hal yang penting. Bahkan benar dan salah adalah hal yang sepele saja. Ini juga teks.

7 Desember 2011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito