Indra Tjahjadi
Pewawancara: R. Giryadi
Suara Indonesia, 20 September 2005
Sejak berkenalan dengan W. Hariyanto, Indra Tjahja dimengakui mulai belajar menulis puisi. Energi kreatrf kepenyairannya diakui, selain lewat buku-buku bacaan tetapi lewat perkenalannya dengan penyair W.Hariyanto. Karena tertarik dengan bahasa ungkap puisi W. Hariyanto, Indra berusaha ‘mempelajari’ gaya penulisan W. Hariyanto, dengan mencoba menjadi ‘juru ketik’ puisi-puisi W.Hariyanto. “Tetapi anehnya setelah saya membuat puisi, justru menjadi antitesis dari pemikiran We,” kata Indra kepada R. Giryadi wartawan Suara Indonesia dikediamannya Jl. Potro Agung II/5 Surabaya, Sabtu (20/11).
Sejak saat itulah, proses kreatrif mereka secara konseptual memiliki arah yang berbeda meski Indra mengakui, We memiliki kekuatan lompatan diksi yang basiknya jelas, yaitu culture Surabaya.Setelah itu, Indra mencoba mencari bahan-bahan bacaan lain. Selain itu dia juga mencoba aktif diberbagai gerakan yang ada di kampusnya Universitas Airlangga Surabaya. Namun, secara tidak langsung Indra juga mengakui campur tangan cerpenis Sony Karsono, juga melecutnya untuk mempelajari tentang konsepsuriallisme yang terus diperkenalkan oleh Sony di forumnya Rumah Biru.
Di tengah kesibukannya mengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca MargaProbolinggo, Indra juga aktif menterjemahkan karya-karya sastra bahasa asing kedalam bahasa Indonesia. Perkenalannya dengan buku-buku barat dan literature dari penulis Indonesia, Indra mengakui banyak mempengaruhi proses penciptaanya.
Bagai mana proses penciptaan puisi-puisi Indra? Dan bagaimana Indra memperoleh bahan-bahan bacaan untuk menambah pengetahuannya? Lalu apa hubungannya buku-buku bacaan dengan proses kreatifnya? Berikut wawancara dengan Indra Tjahjadi, salah seorang penyair muda dari Surabaya.
Apa kesibukan Indra akhir-akhirini?
Saya sedang mempersiapkan antologi puisi tunggal saya ‘Ekspedisi Waktu’. Desember ini insy’allah akan terbit. Puisi itu sayakumpulkan dari karya tahun 1995 sampai karya tahun 2004. Buku itu diterbitkanoleh penerbit Atlas, Jakarta. Puisi-puisi saya yang mengeditori JJ.Kusni, salah satu tokoh sastrawan eksil.
Selain itu?
Membantu penerbitan puisi Dewan Kesenian Jawa Timur bersama W. Hariyanto. Tahun ini DKJT menerbitkan dua antologi puisi, milik penyair Aming Aminudin dari Mojokerto, dan Mashuri dari Surabaya. Di Jatim penerbitan buku-buku sastra sangat sepi, padahal sastrawan Jatim sangat produktif. Setiap tahun,DKJT masih bisa menerbitan 2 buku, dan itu harus bergiliran. Padahal jumlah sastrawan kita banyak dan produktif.
Berbicara masalah buku,dari mana Indra mendapatkannya?
Terus terang di Surabayabuku-buku literature sangat terbatas. Untuk mencari buku-buku barat kita harus ke Jakarta atau ke Jogjakarta. Kalau itu dikira lebih mahal, biasanya juga terpaksa memfoto kopy buku yang dimiliki teman atau terkadang juga mencarai bahan di internet.
Buku yang kali pertamaIndra baca dan bisa menggerakan energi kreatif, bukunya siapa?
Sebelum berkenalan lebih jauh dengan W. Hariyanto, Sony Karsono, Imam Muhtarom, Mashuri, dan lainnya saya tidak punya teman. Bahanbacaan pun sedikit. Kali pertama yang saya baca puisi karya Acep Zazam Noor dari kumpulan ‘Dari Kata Hujan’. Saya mengagumi puisi Acep dan juga puisi Jamal D Rahman, ‘Airmata Diam’. Dua penyair ini terus terang sedikit mempengaruhi proses kepenyairan saya, pada periode awal, sekitar tahun 1994-an. Begitu jugapenyair romantic John Keats, Baudelaire. Dan juga ‘Arsitektur Hujan’ karya Afrizal dan juga sajak-sajak Kreapor, banyak memberikan ispirasi pada saya.Sajak-sajak Kreapor bagi saya menarik. Bahkan saking sulitnya mendapatkan sajak-sajaknya, saya sampai mencari di perpustakaan Surabaya Post. Meski tidak sepenuhnya saya terpengarauh oleh ke empat tokoh tersebut, tetapi saya mengakui dari situlah saya memulai menulis puisi dan tahu puisi yang baik. Puisi-puisi Gunawan Muhammad, ‘Asmaradana’ saya juga tertarik.
Bagaimana dengan peran Sony Karsono?
Sony Karsono banyak memberikan dapak kepada pribadi saya.Tetapi selain itu, dia juga memberikan dampak yang cukup meluas dikalangan teman-teman penyair seangkatan saya di Unair yang sering nongkrong di warung ‘Emak’ depan kampus Karang Menjangan. Sony memperkenalkan saya dengan karya-karya sastrawan Perancis seperti Rimbault, TS. Elliot. Dan terutama soal konsepsurialisme.
Tetapi secarapenulisan, kepada siapa Indra banyak belajar?
Tahun 1997 saya dekat We (W. Hariyanto, penyair yang lebihdulu muncul sebelum Indra Tjahyadi, red). Tetapi terus terang, pada akhirnya setiap kali saya membuat puisi yang terinspirasi dengan puisinya We, justru yang muncul bukan kesamaan pemikiran tetapi merupakan antitesis dari pemikiran We.
Di sini kami sering saling ‘berolok-olok’. We sering menyarankan saya untuk mengambalikan diksi ke semangat cultural. Kalau kitatinggal di Surabaya, ya semangat Suroboyoannya itu yang diangkat. Tetapi bagi saya, justru sebaliknya bukan diksinya tetapi cultural sebagai semangat penciptaan, karenaterus terang saya membawa semangat cultural yang berbeda dengan We. We, orang Surabaya asli, sementarasaya berasal dari persilangan berbagai cultural. Ibu saya Bandung, Bapak Jakarta, saya lahir di Jakarta, dan dibesarkandi Surabaya.
Banyak orang yang mengatakan puisi-puisi saya dengan We, itu tidak terlalu benar. Henri Mardi Luhung (penyair Gresik, red), pernah mengatakan pada saya, bahwa We, lompatan diksinya begitu jauh dan nilai filosofinya lebih kental. Sementara puisi saya lebih ekspresif. Tetapi saya mengakui belajar menulis puisi dari We, karena pada masa awal dulu, saya sering mengetikan naskah We yang akan dikirimkan ke media massa.
Indra Tjahjadi, Lahirdi Jakarta 21 Juni 1974. Alumi Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya ini menulispuisi sejak tahun 1994. karya-karyanya tersebar di berbagai media massa luar dan dalamnegeri. Karya-karya puisinya pernah dimuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei). Puisinya dalam bahasa Inggris dimuat di Big Lick Literary Review; aMulticultural Arts Ezine yang di terbitkan Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal. Di Indonesia puisi-puisinya pernah dimuat antara lainHorison, Jurnal Puisi, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, republika, Surabaya Post, Suara Indonesia, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Manuskrip kumpulan puisinya yang berjudul ‘Di Bawah Nujum Kabut’ tercatat sebagai salahsat7u nominasi penghargaan KSI Award 2003. Tahun 2002 bersama, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Muhammad Aris, mendeklarasikan ‘Manifesto Surrealisme’di Gallery Surabaya.
Apa yang melatariterbitnya ‘Manifesto Surrealisme’?
Ini salah satu sikap terhadap kekosongan gagasan, setelahbangsa kita disibukan dengan efuria reformasi yang begitu dasyat sekitara tahun 1998. pada awalnya kami yang sering berkumpul di warung kopi, mempelajari konsep-konsep dadaisme, yang kalau disini kita bisa melihat puisi-puisi karya SaifulHadjar. Tetapi di situ kami tidak menemukan sesuatu dasar estetika yang jelas. Pada saat itu Sony memperkenalkan konsep Surrealisme yang diliputi suasana revolusi Perancis.
Kami melihat kesamaan perjuangan atas hakikat kemanusiaan yang utuh. Dan konsep Surrealisme memberikan syarat estetik yang jelas bila dibandingkan dengan konsep dadaisme. Dari sinilah kami pingin bicara. Dengan semangat manifesto itu, kita ingin menghindari pengucapan yang politis yang leterlek dalam puisi. Sehinga alat ucap itu tidak mencair tetapi padat danlebih simbolis.
Semangat ini justru sekarang menjadikan banyak orangmengeklaim, kecenderungan sastrawan Jatim lebih banyak yang bernuansakan Surrealisme. Barangkali mereka benar, karena menurut saya ada missing-ling dengan aspek cultural yang ada di Jatim. Orang-orang Jakarta, memandang Jatim, seperti bom yang meledak. Puisi-puisinya banyak yang menggunakan bahasa yang melompat-lopat dan lebih gelap.
Sejak saat itu konseppenulisan Indra berubah?
(Diam sejenak) Puisi-pusisi Acep masih sering melintas dibenak saya. Adabeberapa puisi yang sering kali membayangi proses penciptaan pusisi saya,seperti karya Acep yang berjudil ‘Buat Malika Hamudi’ dan menjadi pusisi sayaberjudul ‘Buat Wan Aiping.’ Dari puisi We, ‘bagaimana Aku Lihat Tubuhku Membeku, ‘saya menulis puisi,’ Barangkali dari Usia Kita yang TertinggalHanyalah Kesendirian.’
Kapan Indra menuliskan puisinya?
Setiap waktu saya menulis puisi. Kalau sudah mendapatispirasi, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Kepala saya bisa pusing, kalau tidak segera ditulis. Pernah suatu kali di tahun 1995, We, bercertia tentangperistiwa bunuh diri yang terjadi di dekat rumahnya. Mendengar cerita itu sayalangsung meninggalkan We, pulang ke rumah dan mengetik secara manual. Sesaat kemudian puisi itu jadi. Kemudian saya kembali ke Kampus dan memberikan puisiitu kepada We.
Menurut Indra, menulispuisi merupakan proses kesadaran ekspresi, karena menurutnya sebelum jauh berkenalan dengan We, S.Jai, Imam Muhtarom, Mashuri, dia sudah lama menulis puisi.Tetapi sebelumnya Indra lebih suka melukis. Karena dirasa materialnya begitu mahal, Indra akhirnya memilih untuk menjadi penulis puisi saja. Begitu jugapada tahun 1997 dia menulis cerpen, tetapi karena tidak tertarik cerpen pun akhirnya ditinggalkan. “Cerpen hanya menampilkan cerita-cerita saja. Tetapipuisi lebih ekspresi dan bisa mewadahi ekspresi yang sangat individualsekalipun,” kata Indra.
Setelah memilih menjadi penulis puisi, tingkat produktifitasnya tak terbendung. Hampir setiapminggu Indra mengirimkan puisinya ke media massa. Maka tak heran kalau hampir seluruh media massa yang ada di Indonesia itu pernah memuat karya-karyanya. “Setiap kali saya mengirim ke media, ada 10puisi yang saya lampirkan. Dan itu hanya berselang seminggu atau dua minggukemudian, saya kirmkan 10 puisi berikutnya,” kata Indra mengakhiri pembicaraan siang itu. n gir
*) dijumput dari http://www.facebook.com/notes/rakhmat-giryadi/indra-tjahjadi-puisi-saya-antitesis-puisi-w-haryantosuara-indonesia-20-september/419385546610
Pewawancara: R. Giryadi
Suara Indonesia, 20 September 2005
Sejak berkenalan dengan W. Hariyanto, Indra Tjahja dimengakui mulai belajar menulis puisi. Energi kreatrf kepenyairannya diakui, selain lewat buku-buku bacaan tetapi lewat perkenalannya dengan penyair W.Hariyanto. Karena tertarik dengan bahasa ungkap puisi W. Hariyanto, Indra berusaha ‘mempelajari’ gaya penulisan W. Hariyanto, dengan mencoba menjadi ‘juru ketik’ puisi-puisi W.Hariyanto. “Tetapi anehnya setelah saya membuat puisi, justru menjadi antitesis dari pemikiran We,” kata Indra kepada R. Giryadi wartawan Suara Indonesia dikediamannya Jl. Potro Agung II/5 Surabaya, Sabtu (20/11).
Sejak saat itulah, proses kreatrif mereka secara konseptual memiliki arah yang berbeda meski Indra mengakui, We memiliki kekuatan lompatan diksi yang basiknya jelas, yaitu culture Surabaya.Setelah itu, Indra mencoba mencari bahan-bahan bacaan lain. Selain itu dia juga mencoba aktif diberbagai gerakan yang ada di kampusnya Universitas Airlangga Surabaya. Namun, secara tidak langsung Indra juga mengakui campur tangan cerpenis Sony Karsono, juga melecutnya untuk mempelajari tentang konsepsuriallisme yang terus diperkenalkan oleh Sony di forumnya Rumah Biru.
Di tengah kesibukannya mengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca MargaProbolinggo, Indra juga aktif menterjemahkan karya-karya sastra bahasa asing kedalam bahasa Indonesia. Perkenalannya dengan buku-buku barat dan literature dari penulis Indonesia, Indra mengakui banyak mempengaruhi proses penciptaanya.
Bagai mana proses penciptaan puisi-puisi Indra? Dan bagaimana Indra memperoleh bahan-bahan bacaan untuk menambah pengetahuannya? Lalu apa hubungannya buku-buku bacaan dengan proses kreatifnya? Berikut wawancara dengan Indra Tjahjadi, salah seorang penyair muda dari Surabaya.
Apa kesibukan Indra akhir-akhirini?
Saya sedang mempersiapkan antologi puisi tunggal saya ‘Ekspedisi Waktu’. Desember ini insy’allah akan terbit. Puisi itu sayakumpulkan dari karya tahun 1995 sampai karya tahun 2004. Buku itu diterbitkanoleh penerbit Atlas, Jakarta. Puisi-puisi saya yang mengeditori JJ.Kusni, salah satu tokoh sastrawan eksil.
Selain itu?
Membantu penerbitan puisi Dewan Kesenian Jawa Timur bersama W. Hariyanto. Tahun ini DKJT menerbitkan dua antologi puisi, milik penyair Aming Aminudin dari Mojokerto, dan Mashuri dari Surabaya. Di Jatim penerbitan buku-buku sastra sangat sepi, padahal sastrawan Jatim sangat produktif. Setiap tahun,DKJT masih bisa menerbitan 2 buku, dan itu harus bergiliran. Padahal jumlah sastrawan kita banyak dan produktif.
Berbicara masalah buku,dari mana Indra mendapatkannya?
Terus terang di Surabayabuku-buku literature sangat terbatas. Untuk mencari buku-buku barat kita harus ke Jakarta atau ke Jogjakarta. Kalau itu dikira lebih mahal, biasanya juga terpaksa memfoto kopy buku yang dimiliki teman atau terkadang juga mencarai bahan di internet.
Buku yang kali pertamaIndra baca dan bisa menggerakan energi kreatif, bukunya siapa?
Sebelum berkenalan lebih jauh dengan W. Hariyanto, Sony Karsono, Imam Muhtarom, Mashuri, dan lainnya saya tidak punya teman. Bahanbacaan pun sedikit. Kali pertama yang saya baca puisi karya Acep Zazam Noor dari kumpulan ‘Dari Kata Hujan’. Saya mengagumi puisi Acep dan juga puisi Jamal D Rahman, ‘Airmata Diam’. Dua penyair ini terus terang sedikit mempengaruhi proses kepenyairan saya, pada periode awal, sekitar tahun 1994-an. Begitu jugapenyair romantic John Keats, Baudelaire. Dan juga ‘Arsitektur Hujan’ karya Afrizal dan juga sajak-sajak Kreapor, banyak memberikan ispirasi pada saya.Sajak-sajak Kreapor bagi saya menarik. Bahkan saking sulitnya mendapatkan sajak-sajaknya, saya sampai mencari di perpustakaan Surabaya Post. Meski tidak sepenuhnya saya terpengarauh oleh ke empat tokoh tersebut, tetapi saya mengakui dari situlah saya memulai menulis puisi dan tahu puisi yang baik. Puisi-puisi Gunawan Muhammad, ‘Asmaradana’ saya juga tertarik.
Bagaimana dengan peran Sony Karsono?
Sony Karsono banyak memberikan dapak kepada pribadi saya.Tetapi selain itu, dia juga memberikan dampak yang cukup meluas dikalangan teman-teman penyair seangkatan saya di Unair yang sering nongkrong di warung ‘Emak’ depan kampus Karang Menjangan. Sony memperkenalkan saya dengan karya-karya sastrawan Perancis seperti Rimbault, TS. Elliot. Dan terutama soal konsepsurialisme.
Tetapi secarapenulisan, kepada siapa Indra banyak belajar?
Tahun 1997 saya dekat We (W. Hariyanto, penyair yang lebihdulu muncul sebelum Indra Tjahyadi, red). Tetapi terus terang, pada akhirnya setiap kali saya membuat puisi yang terinspirasi dengan puisinya We, justru yang muncul bukan kesamaan pemikiran tetapi merupakan antitesis dari pemikiran We.
Di sini kami sering saling ‘berolok-olok’. We sering menyarankan saya untuk mengambalikan diksi ke semangat cultural. Kalau kitatinggal di Surabaya, ya semangat Suroboyoannya itu yang diangkat. Tetapi bagi saya, justru sebaliknya bukan diksinya tetapi cultural sebagai semangat penciptaan, karenaterus terang saya membawa semangat cultural yang berbeda dengan We. We, orang Surabaya asli, sementarasaya berasal dari persilangan berbagai cultural. Ibu saya Bandung, Bapak Jakarta, saya lahir di Jakarta, dan dibesarkandi Surabaya.
Banyak orang yang mengatakan puisi-puisi saya dengan We, itu tidak terlalu benar. Henri Mardi Luhung (penyair Gresik, red), pernah mengatakan pada saya, bahwa We, lompatan diksinya begitu jauh dan nilai filosofinya lebih kental. Sementara puisi saya lebih ekspresif. Tetapi saya mengakui belajar menulis puisi dari We, karena pada masa awal dulu, saya sering mengetikan naskah We yang akan dikirimkan ke media massa.
Indra Tjahjadi, Lahirdi Jakarta 21 Juni 1974. Alumi Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya ini menulispuisi sejak tahun 1994. karya-karyanya tersebar di berbagai media massa luar dan dalamnegeri. Karya-karya puisinya pernah dimuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei). Puisinya dalam bahasa Inggris dimuat di Big Lick Literary Review; aMulticultural Arts Ezine yang di terbitkan Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal. Di Indonesia puisi-puisinya pernah dimuat antara lainHorison, Jurnal Puisi, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, republika, Surabaya Post, Suara Indonesia, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Manuskrip kumpulan puisinya yang berjudul ‘Di Bawah Nujum Kabut’ tercatat sebagai salahsat7u nominasi penghargaan KSI Award 2003. Tahun 2002 bersama, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Muhammad Aris, mendeklarasikan ‘Manifesto Surrealisme’di Gallery Surabaya.
Apa yang melatariterbitnya ‘Manifesto Surrealisme’?
Ini salah satu sikap terhadap kekosongan gagasan, setelahbangsa kita disibukan dengan efuria reformasi yang begitu dasyat sekitara tahun 1998. pada awalnya kami yang sering berkumpul di warung kopi, mempelajari konsep-konsep dadaisme, yang kalau disini kita bisa melihat puisi-puisi karya SaifulHadjar. Tetapi di situ kami tidak menemukan sesuatu dasar estetika yang jelas. Pada saat itu Sony memperkenalkan konsep Surrealisme yang diliputi suasana revolusi Perancis.
Kami melihat kesamaan perjuangan atas hakikat kemanusiaan yang utuh. Dan konsep Surrealisme memberikan syarat estetik yang jelas bila dibandingkan dengan konsep dadaisme. Dari sinilah kami pingin bicara. Dengan semangat manifesto itu, kita ingin menghindari pengucapan yang politis yang leterlek dalam puisi. Sehinga alat ucap itu tidak mencair tetapi padat danlebih simbolis.
Semangat ini justru sekarang menjadikan banyak orangmengeklaim, kecenderungan sastrawan Jatim lebih banyak yang bernuansakan Surrealisme. Barangkali mereka benar, karena menurut saya ada missing-ling dengan aspek cultural yang ada di Jatim. Orang-orang Jakarta, memandang Jatim, seperti bom yang meledak. Puisi-puisinya banyak yang menggunakan bahasa yang melompat-lopat dan lebih gelap.
Sejak saat itu konseppenulisan Indra berubah?
(Diam sejenak) Puisi-pusisi Acep masih sering melintas dibenak saya. Adabeberapa puisi yang sering kali membayangi proses penciptaan pusisi saya,seperti karya Acep yang berjudil ‘Buat Malika Hamudi’ dan menjadi pusisi sayaberjudul ‘Buat Wan Aiping.’ Dari puisi We, ‘bagaimana Aku Lihat Tubuhku Membeku, ‘saya menulis puisi,’ Barangkali dari Usia Kita yang TertinggalHanyalah Kesendirian.’
Kapan Indra menuliskan puisinya?
Setiap waktu saya menulis puisi. Kalau sudah mendapatispirasi, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Kepala saya bisa pusing, kalau tidak segera ditulis. Pernah suatu kali di tahun 1995, We, bercertia tentangperistiwa bunuh diri yang terjadi di dekat rumahnya. Mendengar cerita itu sayalangsung meninggalkan We, pulang ke rumah dan mengetik secara manual. Sesaat kemudian puisi itu jadi. Kemudian saya kembali ke Kampus dan memberikan puisiitu kepada We.
Menurut Indra, menulispuisi merupakan proses kesadaran ekspresi, karena menurutnya sebelum jauh berkenalan dengan We, S.Jai, Imam Muhtarom, Mashuri, dia sudah lama menulis puisi.Tetapi sebelumnya Indra lebih suka melukis. Karena dirasa materialnya begitu mahal, Indra akhirnya memilih untuk menjadi penulis puisi saja. Begitu jugapada tahun 1997 dia menulis cerpen, tetapi karena tidak tertarik cerpen pun akhirnya ditinggalkan. “Cerpen hanya menampilkan cerita-cerita saja. Tetapipuisi lebih ekspresi dan bisa mewadahi ekspresi yang sangat individualsekalipun,” kata Indra.
Setelah memilih menjadi penulis puisi, tingkat produktifitasnya tak terbendung. Hampir setiapminggu Indra mengirimkan puisinya ke media massa. Maka tak heran kalau hampir seluruh media massa yang ada di Indonesia itu pernah memuat karya-karyanya. “Setiap kali saya mengirim ke media, ada 10puisi yang saya lampirkan. Dan itu hanya berselang seminggu atau dua minggukemudian, saya kirmkan 10 puisi berikutnya,” kata Indra mengakhiri pembicaraan siang itu. n gir
*) dijumput dari http://www.facebook.com/notes/rakhmat-giryadi/indra-tjahjadi-puisi-saya-antitesis-puisi-w-haryantosuara-indonesia-20-september/419385546610
Tidak ada komentar:
Posting Komentar