Muhammad Aris*
http://terpelanting.wordpress.com/
Konsep “identitas” pada pengertian ilmu psikologi, adalah suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, pada keyakinan yang pada dasarnya tetap tinggal sama selama seluruh jalan perkembangan hidup kendatipun terjadi segala macam perubahan. Erikson menambahkan bahwa pembentukan identitas adalah suatu proses yang terjadi dalam inti dari pribadi, dan juga di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan identitas dalam pengertian ilmu sosial adalah satu unsur kunci dari kenyataan subyektif dan sebagaimana semua kenyataan subyektif, berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial.
Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Secara luas pencarian identitas dalam perkembangan berikutnya, dari tinjauan budaya, menurut Kleden, berjalan seiring dengan usaha mencari identitas kelompok secara politis.
Identitas Bahasa
Hampir seluruh pengarang, baik yang bergerak dalam bidang prosa ataupun puisi, menggarap dan menonjolkan identitas yang menyangkut pola bahasa yang digunakannya secara intens. Salah satu yang menonjol adalah H.U Mardi Luhung. Pola bahasa yang digunakan oleh H.U. Mardi Luhung adalah pola bahasa yang silang-sengkarut seperti tidak beraturan dan cenderung membentuk pola bahasa baru. Penggunaan pola bahasa baru adalah upaya H.U. Mardi Luhung dalam merengkuh dan menghayati fenomena yang berkembang dalam lingkungan sosialnya. Bahkan daya responnya yang agak cepat menyebabkan ia harus berhadapan dengan hal-hal yang kompleks, seperti kompleknya ide-ide yang hendak disampaikannya.
Bait-bait puisi “Penganten Pesisir” dengan jelas mengambarkannya: … di depan para pesilat bertopeng monyet, celeng, macan, dan juga kancil berjumplitan , … aku datang dalam muasal bercinta, seperti dulu ketika kita sama-sama punya pagi, sama-sama mengumpulkan telur-telur sembilang, …
Diksi berjumplitan dalam kamus bahasa Indonesia jika kita mencarinya pasti tidak akan tertemukan. Diksi tersebut adalah diksi khas dari wilayah Gresik sub pesisiran, yang digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Secara denotatis, diksi tersebut dapat diartikan suatu kegiatan meloncat kesana-kemari.
Sedangkan diksi sama-sama adalah diksi yang diserap dari diksi bahasa jawa yaitu padha-padha. Diksi ini dipergunakan secara luas oleh etnis Cina, yang dapat diartikan sebagai diksi pembauran dari sebuah etnis minoritas. Diksi sama-sama yang diulang sampai dua kali menunjukkan upaya yang cukup keras dalam meraih angan-angan pembauran yang riil.
Contoh lain yang menggambarkan upaya pembaruan dari pengarang lewat diksi etnis Cina-Melayunya atau Cina perantauan dapat disimak dalam puisi “Terbelah Sudah Jantungku”: …lewati bidang dadamu, aku melihat hari-hari jadi seperti babi, mengendus-ngendus di gigir-pedang-tajam sambil, menyerahkan tubuhnya berdikit-dikit dibelah, …
Diksi berdikit-dikit adalah diksi yang khas diucapkan oleh etnis Cina-Melayu atau cina perantauan. Diksi ini adalah serapan dari diksi dalam khasanah bahasa Indonesia yaitu dari kata ulang sedikit-sedikit atau sedikit demi sedikit.
Bahasa yang dipergunakan oleh H.U. Mardi Luhung menuju pada definisi psikologi tentang keterpecahan/kebingungan identitas (split personality) atau dalam istilah yang lebih sederhana dan tepat adalah krisis identitas. Dan krisis identitas selalu berhubungan erat dengan krisis psiko dan krisis sosial.
Hal ini dapat disimak pada pengunaan kata ulang yang terkesan aneh. Seperti dalam puisi “Penerbangan Ikan Paus”: …sepucat warna tropika, dalam memungut-balik musim petik, yang telah lama, …
Dalam kaidah bahasa Indonesia atau penulisan dengan Ejaan Yang Disempurnakan, tentu tidak akan ditemukan kata ulang seperti diksi di atas. Secara EYD, yang benar adalah memungut-mungut. Tetapi penyair di sini menggunakan diksi memungut-balik, yang secara makna memang tidak ada bedanya, namun penggunaan diksi tersebut tidak lain karena dalam diri penyair terdapat sesuatu yang tarik ulur yaitu antara melepas sesuatu dan memungutnya kembali.
Dalam bait puisi selanjutnya dari “Penerbangan Ikan Paus” semakin menggambarkan keadaan tersebut: …dan akhirnya, diantara cuaca, yang ceriwis, kita pun melihat, gerak-terbang ikan paus makin lurus, …
Keterpecahan identitas bahasa juga tercermin dalam penggunaan tanda hubung untuk beberapa diksi sekaligus. Pada puisi “Terbelah Sudah Jantungku” dengan jelas terbaca: …lewati bidang dadamu, aku melihat hari-hari jadi seperti babi, mengendus-ngendus di gigir-pedang-tajam sambil, …
Penggunaan tanda hubung lebih dari dua kata biasanya merujuk pada apa yang dinamakan idiom. Idiom digunakan bertujuan untuk merengkuh makna yang lebih luas dan sekaligus fleksibel. Penggunaan idiom lewat tanda hubung yang mengunakan lebih dari dua diksi umumnya terdapat dalam khasanah bahasa Inggris, tetapi untuk khasanah bahasa Indonesia jarang terjadi. Dari segi psikologis bahasa, penggunaan idiom model di atas menunjukkan pengarang mengalami gangguan pikiran, yang tercermin dalam model berbahasanya.
Hal yang sama juga terdapat dalam puisi “Penerbangan Ikan Paus”: …lalu lewat lengkung ritmis, trisula-kemamang-bakau, ikan paus pun melesat, …, jadi menu-siap-santap, sampai, …
Diksi trisula-kemamang-bakau jika dipisahkan satu-persatu memiliki arti leksikal yang berbeda. Juga diksi menu-siap-santap, secara leksikal pun berbeda. Hanya saja, untuk diksi yang kedua ini masih ada kedekatan makna leksikal dibandingkan dengan diksi pertama.
Krisis Identitas
Kekacauan/kebingungan identitas atau krisis identitas yang dialami oleh H.U. Mardi Luhung adalah bawaan dari struktur keluarga yang “kacau”. Erikson menyatakan bahwa krisis identitas ini dapat diperkuat oleh keraguan mendalam terdahulu tentang identitas seksualnya dan tentang tempatnya serta nilainya dalam relasi-relasi primer keluarga. H.U. Mardi Luhung memberikan sebuah pemahaman di atas yang menyangkut dirinya dalam puisi “Terbelah Sudah Jantungku”: Aku diletakkan diantara dagingmu, yang digarami persetujuan dan perseteruan, aku mengambang diantara kejejakanmu, sambil menjilati garammu itu, lewati bidang dadamu, aku melihat hari-hari jadi seperti babi, mengendus-ngendus di gigir-pedang-tajam sambil, menyerahkan tubuhnya berdikit-dikit dibelah, …, aku memang milikku dan kau milikkukah?, aku memang pasir, laut, siwalan, ceruk, ikan?, kau apakah juga memang nelayan, jaring, perahu, kemudi?, Sang pasangan abadi yang tak pernah undur, …, jika begini, terbelah, ya, terbelah sudah jantungku dalam kegembiraanmu, itu, kekasihku.
Dalam puisi tersebut nampak jelas pergulatan H.U. Mardi Luhung menghadapi sesuatu yang menempatkannya pada posisi serba salah. Daging dapat diartikan sebagai anggota tubuh yang mewakili tubuh itu sendiri sekaligus sebagai suatu wilayah teritorial yang jamak, artinya wilayah pribadi yang dekat dengan wilayah personal dan emosional. Sedangkan diksi garam yang ditampilkan, secara denotatif dapat diartikan sebagai benda yang berhubungan dengan wilayah dapur, yaitu tempat memasak. Sifat dari garam adalah membuat asin dan memedih-rangsangi luka atau kulit badan. Dari dua diksi tersebut H.U. Mardi Luhung seolah-olah ingin mengungkapkan bahwa wilayah personalnya mengalami sesuatu yang membingungkan. Satu sisi subyek lirik ditempatkan pada sebuah wilayah, namun di sisi lain dia harus berhadapan dengan garam yang tanpa memberi posisi baginya untuk memilih, sebab semuanya terletak pada kontradiksi antara persetujuan dan perseteruan. Maka secara terpaksa pula subyek lirik harus menjilati garam dan harus rela pula menyerahkan hari-harinya, sejarah dan cerita kehidupannya pada gigir-pedang-tajam dan berdikit-dikit dibelah.
Pada penutup puisi di atas, semakin nampak jelas H.U. Mardi Luhung mengalami krisis atau kekacauan identitas. Subyek lirik tak dapat lagi menolak segala yang perbuatan yang diperlakukan terhadap dirinya, segala diserahkan pada subyek yang mempengaruhinya. jika begini,/ terbelah, ya, terbelah sudah jantungku dalam kegembiraanmu/ itu, kekasihku…
Krisis identitas ini juga dapat diperparah oleh ketakutan menyangkut ketidaksanggupannya untuk menemukan peran orang dewasa dalam bidang pekerjaan, cinta atau status sosial-politis yang biasanya menyokong identitas aktual dan masa depannya. Dalam puisi “Dari Jalanan” berikut tercermin keadaan tersebut: Dari jalanan ketika kau bekerja cuma, dibayar dengan berita dan terpaksa, pulang dengan persiapan berkelahi dengan istri, …
Puisi di atas berhubungan dengan persepsi tentang kerja. Kerja dalam pandangan kaum kosmologi dipahami tidak mendapatkan tempat ataupun fungsi yang menentukan. Epistemologi lama pikiran kosmologis memperlihatkan bahwa tidak ada distansi antara manusia dan alamnya. Persepsi semakin mendorong masyarakat untuk tidak memberikan penghargaannya terhadap kerja dalam kehidupan sosial.
Tidak adanya penghargaan terhadap kerja tersebut kemudian ditentang oleh John Locke kemudian diteruskan oleh Adam Smith. Mereka mengartikan kerja sebagai kegiatan yang luhur dari manusia, bukan saja karena kerja manusia dapat bertahan hidup, tetapi kerja merupakan penciptaan manusia terhadap alam sekitarnya manjadi manusiawi. Namun dalam perkembangannya, persepsi kerja dewasa ini menuju kepada materialisme, karena kerja bukan mulai lagi dinilai sebagai realisasi ataupun pendewasaan diri manusia, tetapi semata-mata ditentukan oleh produktivitas ataupun kekuatan ekonomi.
Akibat lain dari krisis identitas adalah terjadinya alienasi. Pengaruh hubungan pribadi dengan lingkungan atau alam sosio-budayanya yang tidak sepadan dan serasilah yang menyebabkan situasi tersebut terjadi.
H.U. Mardi Luhung dengan cermat melukiskan rasa terasingnya menghadapi sesuatu yang begitu mencekam. Ada kesan telah terjadi traumatik sejarah sekaligus traumatik masa lalu dalam diri subyek lirik, di mana ketika suatu waktu subyek lirik pulang dari kepergian berlayar; dengan menjadi ujung tombak pelayaran –yang merupakan tradisi keseharian masyarakat pesisir–, seolah-olah diri subyek lirik bimbang untuk dapat mengenal siapa dirinya, siapa lingkungannya. Lingkungan yang biasanya aman tentram, tiba-tiba suasananya berubah. Keberubahan suasana yang teramat mandadak inilah yang menyebabkan diri subyek lirik manjadi begitu terasing. Subyek lirik yang merasa terasingpun hanya bisa bertanya; sebuah pertanyaan yang mungkin kepada dirinya sendiri, dan pertanyaan tersebut terus menerus diulang.
Efek lain dari krisis identitas yang dialami H.U. Mardi Luhung adalah pelarian diri. Menurut Fromm ada beberapa mekanisme pelarian diri dalam mengatasi perasaan ketidakpastian ketika berhadapan dengan kekuasaan besar yang berasal dari luar dirinya, yaitu: pertama, melepaskan integritas individunya dan menjadi orang lain. Kedua, menghancurkan segala dunia luar. Ketiga, penarikan diri dari dunia luar.
Dalam puisi “Pesisir Terakhir”, mekanisme pelarian diri merujuk pada kategori ketiga. H.U. Mardi Luhung menyadari bahwa keadaan lingkungan yang dengan cepat berubah seolah-olah tidak dapat berbuat banyak. Hal memaksa subyek lirik untuk membiarkan segalanya terjadi seperti kejadian alam. Dan seperti 20 tahun yang lalu/ kadar-kadar pun tetap berimbang.
Mekanisme pelarian diri kategori kedua juga direnggut oleh H.U. Mardi Luhung. Hal ini tampak dari puisi “Dari Kegelapan Dasar Lautan”:… kemudian ekor naga di hatinya, mengibas, terkibas pulalah setiap apa, yang diingatnya itu, …
Subyek lirik yang merupakan wakil H.U. Mardi Luhung rupanya tidak tahan dengan situasi yang melingkupi dirinya. Situasi yang membuat dirinya sulit untuk bernafas, maka tidak ada jalan selain memberontak, tanpa memperdulikan apakah nantinya keadaan atau sesuatu yang mengganjal dirinya tersebut hilang atau justru semakin kacau.
Tumbuhnya kesadaran untuk menciptakan pola bahasa atau struktur bahasa baru menunjukkan kemampuan kepengarangan di satu pihak dan menempatkan dirinya sebagai manusia profesionalis dan intelektual di dalam struktur sosialnya. Hampir semua materi yang digunakannya diberlakukan demikian bebasnya dengan maksud untuk mengembalikan hakikat struktur seni pada tempatnya semula, yakni dunia imajiner yang mampu menggambarkan kesadaran manusia yang kompleks.
*) Penulis lepas dan staff LePASS (Lembaga Pengkajian Agama, Sastra, dan Sejarah) dan Komunitas @rekpilem Surabaya. Lahir di Lamongan, 19 Agustus 1975. Karyanya berupa puisi, gurit, cerpen, dan esai dimuat di beberapa antologi bersama; Upacara Menjadi Tanah (1995), Adakah Hujan Lewat Di Situ (1996), Rumah Yang Kering (1997), Permohonan Hijau (Festival Seni surabaya, 2003), dan beberapa media antara lain: Karya Darma, Ummi, Annida, Mimbar Pembangunan Agama, Surabaya Post, Surabaya News, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Media Indonesia, Serambi Indonesia, dan Waspada. Antologi puisinya Ngilu Peju (GAPUS, 2000) diluncurkan dan dipentaskan di Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Antologi puisinya Manifesto Surrealisme (Galah, Yogyakarta, 2002) bersama W. Haryanto, Indra Tjahyadi, dan Mashuri, dibedah dan ditransfer ke dalam lukisan di beberapa kampus dan Dewan Kesenian Surabaya. Alamat : Rangge 6/37 Lamongan 62216 E-mail : bandeng_iwak@plasa.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar